Tampilkan postingan dengan label Akhlak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Akhlak. Tampilkan semua postingan

Minggu, 26 Januari 2014

Anjuran Menjenguk Orang Sakit



Dalam hadis-hadis yang menyuruh dan menggemarkan menjenguk orang sakit terdapat indikasi yang menunjukkan disyariatkannya menjenguk setiap orang yang sakit, baik sakitnya berat maupun ringan.

Imam Baihaqi dan Thabrani secara marfu' meriwayatkan, “Tiga macam penderita penyakit yang tidak harus dijenguk yaitu sakit mata, sakit bisul, dan sakit gigi.”

Mengenai hadis ini, Imam Baihaqi sendiri membenarkan bahwa riwayat ini mauquf pada Yahya bin Abi Katsir.

Berarti riwayat hadis ini tidak marfu' sampai Nabi SAW, dan tidak ada yang dapat dijadikan hujjah melainkan yang beliau sabdakan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Mengenai menjenguk orang yang sakit mata terdapat hadis khusus yang membicarakannya, yaitu hadis Zaid bin Arqam, dia berkata, "Rasulullah SAW menjenguk saya karena saya sakit mata."(HR Abu Daud).

Menjenguk orang sakit itu disyariatkan, baik ia terpelajar maupun awam, orang kota maupun orang desa, mengerti makna menjenguk orang sakit maupun tidak.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam "Kitab al-Mardha" dari kitab Shahih-nya, "Bab  'Iyadatul-A'rab," hadis Ibnu  Abbas RA bahwa Nabi SAW pernah menjenguk seorang Arab Badui, lalu beliau bersabda, "Tidak apa-apa, suci insya Allah."

Orang Arab Badui itu berkata, "Engkau katakan suci? Tidak, ini adalah penyakit panas yang luar biasa pada seorang tua, yang akan mengantarkannya ke kubur."

Lalu Nabi SAW bersabda, "Oh ya, kalau begitu." (HR Bukhari).

Makna perkataan Nabi SAW, "Tidak apa-apa, suci insya Allah," itu adalah bahwa beliau mengharapkan lenyapnya penyakit dan kepedihan dari orang Arab Badui.

Sebagaimana beliau mengharapkan penyakitnya akan menyucikannya dari dosa-dosanya dan menghapuskan kesalahan-kesalahannya.

Jika sembuh, maka ia mendapatkan dua macam faedah; dan jika tidak sembuh, maka dia mendapatkan keuntungan dengan dihapuskannya dosa dan kesalahannya.

Tetapi orang Badui itu sangat kasar tabiatnya, dia menolak harapan dan doa Nabi SAW, lalu Nabi menoleransinya dengan menuruti jalan pikirannya seraya berujar, "Oh ya, kalau begitu."  Artinya, jika kamu tidak mau, ya baiklah, terserah anggapanmu.

Disebutkan juga dalam “Fathul Bari” bahwa ad-Daulabi dalam “Al-Kuna” dan Ibnu Sakan dalam “Ash-Shahabah” meriwayatkan kisah orang Badui itu, dan dalam riwayat tersebut  disebutkan: Lalu Nabi SAW bersabda, "Apa yang telah diputuskan Allah pasti terjadi." Kemudian orang Badui itu meninggal dunia.

Diriwayatkan dari al-Mahlab bahwa ia berkata, "Pengertian hadis ini adalah bahwa tidak ada kekurangannya bagi pemimpin menjenguk rakyatnya yang sakit, meskipun dia seorang Badui yang kasar tabiatnya.”

“Juga tidak ada kekurangannya bagi orang yang mengerti menjenguk orang bodoh yang sakit untuk mengajarinya dan mengingatkannya akan hal-hal yang bermanfaat baginya, menyuruhnya bersabar agar tidak menggerutu kepada Allah yang dapat menyebabkan Allah benci kepadanya, menghiburnya untuk mengurangi penderitaannya, memberinya harapan akan kesembuhan penyakitnya, dan lain-lain hal untuk menenangkan hatinya dan hati keluarganya.”

“Di antara faedah lain hadis itu ialah bahwa seharusnya orang yang sakit itu menerima nasihat orang lain dan menjawabnya dengan jawaban yang baik.”



Perilaku yang Menghalangi Masuk Surga



Setiap orang pasti mendambakan masuk surga. Dan, surga terbuka bagi siapa saja yang mau melakukan berbagai amalan ahli surga. Kenyataannya, tidak sedikit orang yang menginginkan masuk surga, tapi tidak melakukan amalan ahli surga. 
Justru, ia malah sibuk melakukan amalan ahli neraka. Dan, akhirnya ia terhalang untuk masuk surga, naudzubillah min dzalik. Oleh karena itu, setiap kita harus mengetahui amalan apa saja yang dapat menjadi penghalang masuk surga. Lalu, kita berusaha meninggalkannya. 

Amalan penghalang masuk surga itu, di antaranya,

Pertama, memakan harta riba. 
Allah SWT berfirman, “ …orang yang kembali (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah [2]: 275).

Kedua, memakan harta anak yatim. “Sesungguhnya, orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS an-Nisa’ [4]: 10).

Ketiga, meninggalkan shalat. “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan, sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (QS al-Qalam [68]: 42-43).

Keempat, suka menggunjing. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka karena sebagian dari purbasangka itu dosa. Dan, janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hujurat [49]: 12).

Kelima, pemimpin yang menipu rakyatnya. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang diberikan urusan oleh kaum Muslimin (sebagai pemimpin), lalu ia mengeksploitasi kekayaan mereka, kebutuhan mereka, kesulitan mereka, dan juga kemiskinan mereka niscaya Allah akan menghalanginya pada hari kiamat dari kekayaannya, kebutuhannya, kesulitannya, juga kemiskinannya.” (HR Abu Dawud).

Keenam, melakukan tindak korupsi. “Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS Ali Imran [3]: 161).

Ketujuh berlaku kikir. Rasulullah bersabda, “Peliharalah diri kalian dari kezaliman karena itu adalah kegelapan pada hari kiamat. Peliharalah diri kalian dari kekikiran karena akan menjadikan umat sebelum kalian binasa. Kekikiran menjadikan mereka mudah menumpahkan darah dan menghalalkan semua hal yang dilarang Allah.” (HR Muslim).

Semoga Allah menjauhkan diri kita dari amalan-amalan yang menjadi penghalang masuk surga. Aamiin. 



http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/01/26/mzzizq-perilaku-yang-menghalangi-masuk-surga-2


Jumat, 24 Januari 2014

Rahasia Ikhlas



Ikhlas artinya murni. Dalam bahasa Arab air murni disebut dengan almaa’ul khalish. Bila air itu dicampur teh maka disebut al-syaai.  Bila dicampur kopi disebut al-qahwah. Amal yang ikhlas artinya amal yang murni untuk Allah. Bila sedikit ada acampuran kepentingan maka amal itu menjadi tidak murni lagi. Dengan kata lain, keikhlasannya berkurang atau dianggap tidak ikhlas.

Ada beberapa kaidah penting untuk mengukur ikhlas tidaknya sebuah amal: Pertama, bahwa amal dikatakan ikhlas bila memenuhi dua syarat: shihhatun niyyah (niatnya benar karena Allah) dan shihhatul amal (amalnya benar sesuai dengan tuntunan). Bila hilang salah satunya maka amal menjadi tidak ikhlas.

Contoh, seorang shalat Subuh dengan niat ikhlas, namun dia dengan sengaja menambah rakaatnya menjadi empat rakaat. Maka, shalat tersebut ditolak karena tidak sesuai dengan tuntunan. Karenanya, dalam beramal tidak cukup sekadar niat, melainkan juga harus benar sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Kedua, niat baik tidak bisa mengubah perbuatan maksiat menajdi baik. Contoh seorang mencuri dengan niat baik untuk membiayai anaknya sekolah. Maka, perbuatan tersebut tetap dosa. Contoh lain lagi seorang berzina dengan niat ingin membahagiakan pacarnya. Ini tetap dosa besar. Seorang merampok dengan niat membantu fakir miskin, ini juga haram. Seorang membuka aurat di depan umum dengan niat menghibur orang lain, ini dosa.
Ketiga, niat buruk bisa membuat amal baik menjadi buruk. Dalam sebuah hadis diceritakan bahwa kelak di hari kiamat akan ada tiga orang yang dibangkitkan lalu masing-masing ditanya mengenai nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka.

Seorang yang diberi harta banyak, lalu Allah tanya kapadanya mengenai harta tersebut. Dia menjawab bahwa harta tersebut telah diinfakkan dalam kebaikan dengan niat karena Allah. Lalu Allah menjawab, “Kamu bohong, kamu lakukan itu dengan niat ingin dibilang dermawan.” Lalu Allah perintahkan malaikat agar menyeretnya ke neraka.

Lalu seorang yang diberi keahlian belajar dan mengajarkan Alquran. Allah bertanya kepadanya menganai nikmat Alquran. Dia menjawab bahwa telah mengajarkannya karena Allah. Allah menolak,  “Kamu bohong, kamu lakukan itu dengan niat agar dibilang seorang qari atau alim.” Lalu Allah perintahkan malaikat agar menyeretnya ke neraka.

Dan, seorang yang diberi kekuatan fisik dan keberanian untuk berperang. Ketika ditanya oleh Allah mengenai nikmat tersebut, dia menjawab, “Aku telah berperang di jalan-Mu ya Allah sehingga aku mati syahid.” Allah menjawab, “Kamu bohong, kamu lakukan itu agar dibilang pemberani. Lalu Allah perintahkan malaikat agar menyeretnya ke neraka.”

Kita paham bahwa ikhlas bukan sekadar ucapan penghias bibir, melainkan amal yang lahir dari kejujuran iman. Karenanya, para ulama mengatakan siapa yang mengatakan “aku ikhlas” maka itu perlu diikhlaskan lagi. Dan siapa yang pernah ikhlas walaupun sejenak maka itu sudah cukup sebagai bukti kejujuran iman. Wallahu a’lam



Senin, 11 Mei 2009

Jiwa Mandiri Kunci Harga Diri


Kehormatan dan kemuliaan yang sebenarnya adalah ketika hati kita bebas dari bergantung kepada selain Allah SWT. Perjuangan kita untuk menjaga harga diri dari meminta-minta kepada selain Allah adalah bukti kemuliaan kita. Jiwa mandiri adalah kunci harga diri.

Segera setelah berhijrah ke Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan orang-orang Anshar dan Muhajirin. Ada satu kisah menarik yang terjadi ketika Rasulullah SAW mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Sa'ad bin Rabi--orang paling kaya dari golongan Anshar.

Ketika itu Sa'ad berkata kepada Abdurrahman: "Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya, silakan pilih separuh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang isteri, coba perhatikan mana yang lebih menarik perhatian anda, akan kuceraikan ia hingga anda dapat memperistrinya.

Jawab Abdurrahman bin 'Auf: "Semoga Allah memberkati anda, juga isteri dan harta anda! Tunjukkanlah letaknya pasar agar aku dapat berniaga....! Abdurrahman pergi ke pasar, dan berjualbelilah di sana.......

Hingga suatu ketika Rasul menyapanya, "Bagaimana keadaanmu sekarang, wahai Abdurrahman?" Ia pun menjawab, "Ya Rasulullah, saya sudah menikah dan maharnya saya bayar dengan emas. SAHABAT, kita sangat layak untuk meneladani sikap yang ditunjukkan Abdurrahman bin Auf di atas. Itulah kemandirian yang berakar dari terjaganya harga diri. Sebuah sikap terpuji yang mulai hilang dalam kehidupan masyarakat kita.

Sudah menjadi keniscayaan, jika kita bersandar kepada selain Allah, pasti kita akan takut kalau sandaran itu diambil orang. Tapi bila kita bergantung kepada Allah SWT, maka tak ada sedikitpun keraguan dan kecemasan yang akan menghampiri. Allah tidak akan mengabaikan orang yang bersungguh-sungguh berharap kepada-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan, "Apabila seorang hamba-Ku mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan berlari. Apabila ia mendekati-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatinya satu hasta".

Jiwa mandiri adalah kunci harga diri. Selain akan merdeka dalam hidupnya, orang yang mandiri akan lebih rasa percaya diri, sehingga bisa melakukan pekerjaan lebih banyak, ucapannya lebih bermakna, dan waktunya akan lebih efektif. Karena itu, perjuangan kita untuk menjaga harga diri dengan tidak meminta-minta kepada selain Allah adalah bukti kemuliaan sejati.

Tapi kenapa ada orang yang begitu "tega" menggadaikan harga dirinya demi harta duniawi yang sedikit? Ataupun--dalam skala luas--kenapa bangsa kita yang demikian kaya harus mengemis minta bantuan negara lain? Jawabnya, kita terlalu menganggap topeng dunia sebagai sumber harga diri. Sebagian besar kita terlalu sibuk membangun aksesoris duniawi, tanpa disertai kesibukan membangun harga diri. Tak mengherankan apabila ada orang yang jabatannya tinggi tapi perbuatannya rendah. Atau ada yang hartanya banyak, tapi jiwanya miskin.

KITA harus mulai bangkit menjadi manusia-manusia berjiwa mandiri. Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan. Pertama, tekadkan dalam diri untuk menjadi orang yang mandiri. Dalam hidup yang hanya sekali ini, kita harus terhormat dan jangan menjadi budak dari apapun selain Allah SWT. Tekadkan terus untuk selalu menjaga kehormatan diri dan pantang menjadi beban. Andai pun hidup kita membebani orang lain, kita harus berusaha membalas dengan apa-apa yang bisa kita lakukan. Ketika kita membebani orangtua, maka harga diri kita adalah membalas kebaikan mereka. Begitupun kepada guru, teman, atau tetangga. Jangan sampai diri kita terhina karena menjadi benalu dan peminta-minta yang hanya menyusahkan orang lain.

Kedua, berani memulai. Hanya dengan keberanian orang bisa bangkit untuk mandiri. Tidak pernah kita berada di atas tanpa terlebih dahulu memulai dari bawah. Adalah mimpi menginginkan hidup sukses tanpa mau bersusah payah terlebih dulu.

Sungguh, dunia ini hanyalah milik para pemberani. Kesuksesan, kebahagiaan, dan kehormatan sejati hanyalah milik pemberani. Orang pengecut tidak akan pernah mendapatkan apa-apa karena ia melumpuhkan kekuatannya sendiri. Kejarlah dunia ini dengan keberanian. Lawanlah ketakutan dengan keberanian. Takut gelap, berjalanlah di tempat gelap. Takut berenang, segeralah menceburkan diri ke air. Semakin kita mampu melawan rasa takut, rasa malas, dan rasa tidak berdaya, maka akan semakin dekat pula keberhasilan itu dengan diri kita. Memang, segala sesuatu ada resikonya. Tapi inilah harga yang harus kita bayar dalam mengarungi hidup. Kalau kita tidak mau membayar harganya, kita pasti akan tersisih.

Ketiga, nikmatilah proses. Segalanya tidak ada yang instan, semua membutuhkan proses. Keterpurukan yang menimpa negeri kita, salah satu sebabnya karena kita ingin segera mendapatkan hasil. Padahal, tidak mungkin ada hasil tanpa memperjuangkannya terlebih dahulu.

Kita harus mau belajar menikmati proses perjuangan, menikmati tetesan keringat dan air mata. Dengan perjuangan nilai kehormatan yang sesungguhnya bisa terwujud. Kita jangan terlalu memikirkan hasil. Tugas kita adalah melakukan yang terbaik. Allah tidak akan memandang hasil yang kita raih, tapi Ia akan memandang kegigihan kita dalam berproses.

Kita tidak tahu kapan negeri ini akan bangkit. Tetapi bagaimana pun kita harus memulai dengan sesuatu. Ingatlah selalu kisah seorang kakek yang dengan semangat menanam pohon kurma. Ketika ditanya untuk apa ia melakukan semua itu, maka ia menjawab, "Bukankah kita makan kurma sekarang karena jasa orang-orang yang sudah meninggal. Kenapa kita tidak mewariskan sesuatu untuk generasi sesudah kita?".

Namun, jangan sampai kegigihan dan kemandirian kita mendatangkan rasa ujub akan kemampuan diri. Kemandirian yang sejati seharusnya membuat kita tawadhu, rendah hati. Sertailah kegigihan kita untuk mandiri dengan sikap tawadhu dan tawakal kepada Allah SWT.Jadi, kemandirian bukan untuk berbangga diri, tapi harus membuat kita lebih memiliki harga diri, bisa berprestasi, dan tidak membuat kita tinggi hati. Wallahua'lam.

Penulis : KH. Abdullah Gymnastiar
REPUBLIKA - Senin, 22 Desember 2003

Jumat, 08 Mei 2009

Pemimpin yang Fathonah


Setelah seorang pemimpin berupaya menjadi orang yang shidiq dan amanah, selanjutnya ia harus memiliki kecerdasan, yang dengan kecerdasannya itu ia bisa menempatkan sesuatu dengan sangat tepat di jalan yang disukai Allah SWT. Pemimpin yang shaleh dan jujur memang sangat dibutuhkan, tetapi tidak akan sempurna jika tidak didampingi dengan kecerdasan. Rasulullah SAW adalah orang yang fathonah yaitu orang yang sangat cerdas, bisa berfikir dengan jernih, cepat, efektif, efisien, jitu, dan kreatif. Paling tidak ada empat hal yang harus dimiliki pemimpin masa depan. Pertama, pemimpin yang cerdas dia harus bisa berfikir jauh ke depan.

Islam mengajarkan kita untuk berfikir tentang saat kematian, disuruh memperhitungkan tentang keadaan alam kubur, juga dilatih berfikir tentang yaumal hisab, suatu masa yang belum terjadi. Artinya seorang pemimpin yang cerdas dapat dilihat dari apakah ia memiliki visi atau tidak, juga sejauh mana visi yang dicita-citakannya itu. Seorang pemimpin sejati dia tidak hanya berfikir untuk hari ini saja, tapi harus mampu membuat perencanaan, misalnya sampai 5-10 tahun ke depan, juga strategi jangka panjang dan jangka pendek. Jika dia memimpin rumah tangga, dia akan berfikir hendak dijadikan apa rumah tangganya. Apakah hanya akan berkaya-kaya di dunia, tapi direbus di akhirat? Atau melimpah ruah di dunia dan di akhirat menjadi ahli surga?

Tidak sedikit orang yang cita-citanya hanya sampai dunia saja. Berlatihlah memikirkan visi yang jauh ke depan, karena berfikir jauh itu menentukan apa yang bisa kita lakukan. Kedua, pemimpin yang cerdas itu harus mampu membuat strategi, merencanakan dan menentukan mana yang harus didahulukan. Jangankan memimpin sesuatu yang besar, untuk mengatur hal yang sederhana saja memerlukan kemampuan berfikir. Membuat sesuatu yang sederhana saja jika tidak memakai strategi tentu akan gagal, apalagi untuk memimpin sesuatu yang besar. Jika seseorang tidak mampu menentukan mana yang harus didahulukan dan tidak mampu merencanakan, itu ciri orang yang lemah kepemimpinannya Ketiga, pemimpin yang cerdas harus terampil membaca, menggali dan mensinergikan potensi.

Pemimpin yang tidak pernah membaca potensi dan mensinergikannya, dia tidak akan sukses karena tidak ada sukses tunggal, tidak pernah bisa sukses hanya dengan sendirian. Sebagai contoh, Nabi SAW mengetahui potensi sahabat-sahabatnya, sehingga potensi mereka semua dapat bersinergi. Misalnya, Rasulullah SAW mengerti potensi Bilal, walaupun ia hanya seorang budak yang hitam legam, tetapi ia sangat taat dan mempunyai suara yang bagus, sehingga adzannya menyentuh qolbu. Contoh lainnya, terlahirnya seorang anak karena adanya sinergi dari dua potensi, yaitu sel telur dari seorang ibu dan sperma dari seorang ayah. Oleh karena itu, bacalah potensi orang-orang di sekitar kita. Di rumah potensi istri dan anak apa, potensi pembantu apa, potensi tetangga bagaimana?

Di sekolah potensi teman-teman juga dibaca. Keempat, pemimpin yang cerdas adalah pemimpin yang bisa memotivasi. Setelah potensi dibaca dan digali, lalu mereka didorong agar bisa berbuat sesuatu. Seorang pemimpin tidak cukup hanya pandai merencanakan dan bercita-cita, tetapi harus mampu memotivasi agar masyarakat bisa bergerak, anak bisa belajar, istri bisa menghemat, tetangga bisa saling menghargai, suasana di kantor bisa menjadi produktif, bahkan bangsa bisa berubah menjadi lebih baik akhlaknya. Sekarang di Indonesia ini orang yang cerdas banyak, setiap kampus melahirkan sarjana setiap tahun, tetapi mengapa negara kita dilanda krisis dan menjadi bangkrut?

Cerdas yang baik adalah cerdas yang dibimbing oleh Allah SWT, karena kecerdasan yang tidak tertuntun akan berpeluang merusak. Kebatilan yang dilakukan oleh orang yang cerdas lebih berbahaya dibandingkan oleh orang yang bodoh. Jika orang bodoh mencuri ayam, terkadang bukan ayamnya yang tertangkap, justru dirinya yang tertangkap. Tetapi jika orang cerdas mencuri bisa sampai miliaran atau triliunan rupiah, bahkan bisa membuat negara menjadi bangkrut. Semoga Allah Yang Menciptakan akal pikiran, mengaruniakan kepada kita kecerdasan yang dibimbing dan dituntun oleh-Nya, kecerdasan yang bermanfaat untuk melakukan sesuatu di jalan yang disukai-Nya.

Penulis : KH Abdullah Gymnastiar
By Republika Newsroom
Rabu, 17 Desember 2008 pukul 15:03:00

Kamis, 07 Mei 2009

Keutamaan Akhlak

"Muslim yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya." (HR Tirmidzi dan Ahmad).Hadis ini mengungkapkan hal yang sangat penting dalam Islam, yaitu akhlak. Selain masalah tauhid dan syariat, akhlak memiliki porsi pembahasan yang sangat luas.

Secara etimotogi akhlak terambil dari akar kata khuluk yang berarti tabiat, muruah, kebiasaan, fitrah, atau naluri. Sedangkan secara syar'i, seperti diungkapkan Imam Al-Ghazali, akhlak adalah sesuatu yang menggambarkan perilaku seseorang yang terdapat dalam jiwa yang baik, yang darinya keluar perbuatan secara mudah dan otomatis tanpa terpikir sebelumnya.

Jika sumber perilaku itu didasari oleh perbuatan yang baik dan mulia, yang dapat dibenarkan oleh akal dan syariat, maka ia dinamakan akhlak yang mulia. Namun, jika sebaliknya, maka ia dinamakan akhlak yang tercela. Abu Hurairah ra. mengabarkan bahwa suatu saat Rasulullah SAW pernah ditanya tentang kriteria orang yang akan masuk syurga. Beliau menjawab, "Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik" (HR Tirmidzi dan Ahmad).

Tatkala Rasulullah SAW menasihati sahabatnya, beliau menggandengkan nasihat untuk bertakwa dengan nasihat untuk berakhlak baik pada manusia. Ada sebuah riwayat dari Abi Dzar Al-Ghiffary bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada dan balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya kebaikan itu akan menutupi kejelekan dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik" (HR Tirmidzi).

Benar, tauhid adalah inti dan pokok ajaran Islam yang harus selalu diutamakan. Namun, hal ini tidak berarti mengabaikan akhlak sebagai penyempurna. Tauhid dan akhlak sangat berkaitan erat, karena tauhid adalah realisasi akhlak seorang Muslim.

Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia adalah sebaik-baik manusia. Makin sempurna tauhid seseorang, akan semakin baik pula akhlaknya. Sebaliknya, tatkala seorang hamba memiliki akhlak buruk, berarti akan lemah pula tauhidnya. Akhlak adalah tolak ukur kesempurnaan iman seseorang. Rasulullah SAW bersabda, "Orang Mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya" (HR Tirmidzi dan Ahmad).

Setidaknya ada enam dimensi akhlak dalam Islam, yaitu:
1. Akhlak kepada Allah SWT. Diaplikasikan dengan cara mencintai-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, malu berbuat maksiat, selalu bertobat, bertawakkal, dan senantiasa mengharapkan limpahan rahmat-Nya.

2. Akhlak kepada Rasulullah SAW. Diaplikasikan dengan cara mengenalnya lebih jauh, kemudian berusaha mencintai dan mengikuti sunnah-sunnahnya, termasuk pula banyak bershalawat, menerima seluruh ajaran beliau dan menghidupkan kembali sunnah-sunnah yang beliau contohkan.

3. Akhlak terhadap Alquran. Diaplikasikan dengan membacanya penuh perhatian, tartil. Kemudian berusaha untuk memahami, menghapal, dan mengamalkannya.

4. Akhlak kepada orang-orang di sekitar kita, mulai dari cara memperlakukan diri sendiri, kemudian orangtua, kerabat, tetangga, hingga saudara seiman.

5. Akhlak kepada orang kafir. Caranya adalah dengan membenci kekafiran mereka. Namun, kita harus tetap berbuat adil kepada mereka. Agama memperbolehkan kita berbuat baik pada mereka selama hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam, atau untuk mengajak mereka pada Islam.

6. Akhlak terhadap lingkungan dan makhluk hidup lain. Caranya dengan berusaha menjaga keseimbangan alam, menyayangi binatang, melestarikan tumbuh-tumbuhan, dan lainnya. Wallahu a'lam. KH Abdullah Gymnastia/dokrep/Juli 2005


By Republika Newsroom
Jumat, 09 Januari 2009 pukul 15:30:00