Senin, 31 Januari 2011

Jangan Sok Tahu....


HIDUP ini harus ditata dgn keahlian. Induk keahlian adalah pengetahuan.... Orang2 yg tidak tahu dalam suatu urusan, tidak boleh merasa tahu. Itu namanya SOK TAHU.. meski pada saat yg sama ia juga harus terus meningkatkan pengetahuannya…
Bersikap SOK TAHU, sebenarnya mengandung umsur PENGHIANATAN.…. Pengkhianatan thd diri sendiri...Pengkhianatan thd kapasitas yg sesungguhnya kita miliki... Juga pengkhianatan kpd pada korban yg meyakini bhw kita tahu.
Orang SOK TAHU berbeda dgn orang2 yg tidak tahu, meski keduanya SAMA-SAMA TIDAK TAHU ...... Perbedaan utamanya seringkali terletak pada bencana yg diakibatkannya….


***********************************************

Di sebuah perjalanan yang melelahkan, seorang sahabat di masa Rasulullah mengalami kecelakaan. Kepalanya tertimpa batu, Darah mengucur dari luka yang sangat serius.

Perjalanan tetap dilanjutkan. Hingga malam datang menjelang. Jabir, salah seorang pengisah cerita itu menuturkan, bahwa mereka kemudian tidur pada malam yang sangat dingin itu, Keesokan harinya, lelaki yang terluka itu bangun. Rupanya semalam ia bermimpi yang menyebabkan ia harus mandi besar. Segera ia bertanya kepada kawan-kawannya, adakah ia punya keringanan untuk bertayamum saja karena luka menganga di kepalanya?

Orang-orang menjelaskan, “Tidak ada keringanan bagi engkau, selama engkau bisa mendapatkan air.”

Maka lelaki yang terluka itu pun mandi. Ia siram seluruh badannya, tak terkecuali kepalanya yang terluka. Karena mandi besar memang harus menyiram seluruh anggota badan. Ternyata luka parah di kepalanya yang tersiram air itu, mengantarkannya menemui ajal. Lelaki itu meninggal dan pergi untuk selama-lamanya.

Sekembali ke Madinah, Jabir mengisahkan kematian lelaki itu kepada Rasulullah. Juga tentang orang-orang yang memberi jawaban bahwa ia harus tetap mandi dengan alasan masih bisa mendapatkan air.

Rasulullah marah besar. Bahkan sangat marah. “Mereka telah membunuh orang itu. Semoga Allah membinasakan mereka,” begitu reaksi Rasulullah, Lalu ia melanjutkan, “Mengapa orang-orang itu tidak mau bertanya kalau memang tidak tahu, karena sesungguhnya penawar kebodohan itu adalah bertanya. Padahal semestinya lelaki itu cukup bertayamum, dan membungkus bagian lukanya dengan alas yang keras, lalu mengusap diatasnya dengan air. Baru kemudian menyiram dan membasahi sisa anggota badannya."

Sebuah kematian memang punya waktu dan tempatnya. Juga caranya yang berbeda-beda. Ini takdir yang sudah tertitah pasti. Tetapi kemarahan Rasulullah yang sangat pada kasus di atas, menunjukkan betapa tindakan ceroboh yang menyebabkan kematian orang lain, tetaplah kesalahan. Dan, itu layak mendapat kecaman.

Secara alur sebab akibat, banyak kejadian penting dalam hidup ini bermula dari sebuah keputusan ‘sok tahu’ kita. Padahal kejadian itu menjadi menyejarah di kemudian waktu, baik maupun buruk, salah maupun benar. Dan, kata kunci dari segala keputusan kita meski sederhana adalah sebatas mana pengetahuan kita tentang apa dan mengapa kita membuat keputusan itu.

Orang-orang itu merasa tahu bahwa lelaki yang luka kepalanya itu harus mandi. Sebuah pengetahuan yang salah dan terbatas. Lalu mereka bersikap, bahwa tak ada keringanan untuk tidak mandi. Dan, sebuah sikap merasa tahu telah menyebabkan kematian yang mengenaskan. Kematian yang menyejarah, ditulis dalam beribu buku, dikaji dari berbagai sudut pandang, hingga saat ini.

Kajian terpenting dari kasus ini, ialah bahwa hidup tidak menyisakan banyak area untuk pengetahuan yang abu-abu, remang-remang atau setengah-setengah. Sebab hidup harus berjalan dengan mekanisme yang pasti. Karena-nya, pengetahuan yang setengah-setengah, sulit bisa dipakai untuk landasan sebuah tatanan hidup, Ia juga tidak akan banyak menyelasaikan masalah, justru bisa menjadi sumber masalah. Tetapi lebih buruk dari tidak tahu adalah bersikap ‘sok tahu’ yang bahasa gaulnya disebut sotoy. Karena sikap ’sok tahu’ hampir selalu menjadi sumber bencana.

Dalam pengertian seperti ini, kita memahami, mengapa Rasulullah, secara lebih tegas, dalam kesempatan lain, mengatakan, “Jika suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”

Hidup ini harus ditata dengan keahlian. Sedang induk keahlian adalah pengetahuan. Orang-orang yang tidak tahu dalam suatu urusan, tidak boleh merasa tahu. Meski pada saat yang sama ia juga harus terus meningkatkan pengetahuannya.

Bersikap ’sok tahu’, secara moral mengandung unsur ‘pengkhianatan’. Ini mungkin terlalu kejam. Tapi begitulah kenyataannya. Pengkhianatan terhadap diri sendiri. Pengkhianatan terhadap kapasitas yang sesungguhnya kita miliki. Juga pengkhianatan kepada pada korban yang meyakini bahwa kita tahu. Akan ada manipulasi yang mengerikan dari segala sikap ’sok tahu’ dari siapa saja, padahal dirinya tidak-mengerti. Karenanya sangat beralasan mengapa Rasulullah begitu marah kepada orang-orang itu. Kecaman Rasulullah, juga ungkapannya, ‘Semoga Allah membinasakan mereka’ adalah refleksi mendalam betapa seriusnya permasalahan yang bisa ditimbulkan oleh orang-orang yang ’sok tahu’. Seserius penjelasannya tentang urusan yang akan hancur bila ditangani bukan oleh ahlinya.

Ini harus menjadi perhatian siapapun. Prinsip ini juga berlaku dalam segala sisi kehidupan dan dalam segala disiplin pengetahuan. Setiap kecerobohan akan melahirkan bencana. Dalam bidang syari’at Islam, orang-orang yang ’sok tahu’ dan dengan mudah mengumbar fatwa halal haram, bisa menyebabkan terjerumusnya orang lain kepada kesalahan ideologis dan hukum yang sangat fatal.

Karenannya, para ulama salaf mencela sebagian ahli ilmu di zamannya yang tergesa-gesa menetapkan fatwa tanpa pertimbangan yang matang dan meyakinkan. "Sesungguhnya seorang di antara kalian memberikan fatwa tentang suatu masalah yang andaikata disampaikan kepada Umar tentu ia mengumpulkan ahli Badar untuk itu." Sebagian yang lain mengatakan, "Orang yang paling berani berfatwa di antara kalian adalah orang yang paling berani masuk neraka."

Pada jaman yang terus berkembang, 3 penyakit merasa tahu punya tempat salurannya yang luar biasa. Seperti dunia pengamat dan dunia politisi, misalnya. Karena untuk dua profesi ini, pengetahuan, dalam batas tertentu, cukup diwadahi dengan ucapan dan retorika bicara.

Padahal hidup adalah dunia nyata, bukan dunia omongan yang berbusa-busa. Disinilah mengapa, orang yang pandai bicara belum tentu pandai bekerja. Karena pengetahuan, akan menemukan pembenarannya di alam yang sesungguhnya: alam kerja nyata.

Dalam sisi kehidupan lain yang lebih berdimensi sosial, kecerobohan dan sikap ’sok tahu’ bisa membunuh tidak saja satu orang yang luka kepalanya. Seperti sebuah definisi yang salah tentang terorisme, dari orang-orang kerdil dan sok tahu, misalnya, telah membunuh ribuan orang diberbagai belahan dunia, serta mengebiri jutaan lainnya. Sementara, di tempat yang lain, orang harus berjibaku dengan nasibnya yang gelap, akibat ulah orang-orang hidup dengan pengetahuan dan keahlian yang ‘ala kadarnya’.

Di tempat lain, sikap sok tahu mendapatkan ramuan penghancur terhebatnya, ketika ia bertemu dengan kekuasaan. Maka penguasa-penguasa yang bodoh, dalam level kekuasaan sekecil apapun akan cenderung otoriter dan ’sok tahu’. Karena itu merupakan cara utama untuk menutupi kedunguannya.

Dalam konteks keimanan, bila Allah mengaitkan kapasitas pengetahuan dan ilmu seseorang dengan kemampuan untuk takut kepada-Nya, maka sudah barang tentu kebalikannya, orang-orang yang bodoh dan miskin pengetahuan, berpeluang besar melakukan dosa dan maksiat kepada-Nya. Terlebih bila mereka bersikap pura-pura tahu atau merasa tahu.

Ibnu Qoyyim berkata, "Dosa itu dipagari oleh dua kebodohan. Bodoh terhadap hakikat sebab-sebab yang bisa memalingkannya, dan bodoh akan hakikat kerusakan yang diakibatkannya. Dari tiap kebodohan itu di bawahnya terdapat kebodohan-kebodohan yang banyak. Maka, Allah tidak dimaksiati kecuali dengan kebodohan dan tidak ditaati kecuali dengan ilmu."

Tidaklah aib berkata tidak tahu. Suatu hari, Masruq dan beberapa orang lainnya masuk ke rumah Abdullah bin Mas’ud. Kepada mereka Abdullah bin Mas’ud berkata, "Wahai umat manusia, Sesiapa yang mengetahui tentang suatu perkara, hendaklah ia menerangkannya. Dan sesiapa yang tidak mengetahuinya maka hendaklah dia berkata, ‘Allah lebih mengetahui.’ Kerana berkata demikian itu (Allah lebih mengetahui) tentang sesuatu perkara yang tidak diketahui adalah termasuk dari ilmu."

Orang-orang yang ’sok tahu’ tidak akan sama dengan orang-orang yang tidak tahu, meski keduanya sama sama tidak tahu. Perbedaan utamanya seringkali terletak pada bencana yang diakibatkannya. Hidup memang makin membutuhkan keahlian spesial. Tetapi jujur atas ketidaktahuan adalah pelengkap yang harus diambil dari segala keahlian. Tidaklah aib berkata tidak tahu. Ini bukan sekadar sudut pandang moral, tapi juga bagian penting dari menjauhi bencana dan menghindari malapetaka. Agar tidak ada orang yang mati begitu saja, hanya karena ulah orang-orang yang ’sok tahu’. Agar juga tak ada yang terlunta-lunta dalam sengsara, karena kecerobohan orang-orang yang tak mengerti apa-apa tapi merasa tahu segala-galanya.

Jangan sok tahu. Dan, jangan sotoy.

Wallahu’alam

http://beranda.blogsome.com/2008/08/04/jangan-sok-tahu/

Kesabaran


Tidak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran. Sebab kesabaran adalah nafas yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri seorang pahlawan. Maka dahulu ulama kita mengatakan: "Keberanian itu, sesungguhnya hanyalah kesabaran sesaat."

Resiko adalah pajak keberanian. Dan hanya kesabaran yang dapat menyuplai seorang pemberani dengan kemampuan untuk membayar pajak itu terus menerus. Dan itulah yang dimaksud Allah swt dalam firman-Nya: ”Jika ada di antara kamu dua puluh orang penyabar, niscaya mereka akan mengalahkan dua ratus orang. Dan jika ada di antara kamu seratus orang (penyabar), niscaya mereka akan mengalahkan seribu orang kafir."(QS. 8: 65).

Ada banyak pemberani yang tidak mengakhiri hidup sebagai pemberani. Karena mereka gagal menahan beban resiko. Jadi keberanian adalah aspek ekspansif dari kepahlawanan. Tapi kesabaran adalah aspek defensifnya. Kesabaran adalah daya tahan psikologis yang menentukan sejauh apa kita mampu membawa beban idealisme kepahlawanan, dan sekuat apa kita mampu survive dalam menghadapi tekanan hidup. Mereka yang memiliki sifat ini pastilah berbakat menjadi pemimpin besar. Coba simak firman Allah swt ini: "Dan Kami jadikan di antara mereka sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar dan mereka selalu yakin dengan ayat-ayat Kami." (QS. 32 : 24).

Demikianlah kemudian ayat-ayat kesabaran turun beruntun dalam Qur’an dan dijelaskan dengan detil beserta contoh aplikasinya oleh Rasulullah saw, sampai-sampai Allah menempatkan kesabaran dalam posisi yang paling terhormat ketika Ia mengatakan: "Mintalah pertolongan dengan kesabaran dan sholat. Sesungguhnya urusan ini amatlah berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’." (QS. 2: 45 )

Rahasianya adalah karena kesabaran ibarat wanita yang melahirkan banyak sifat lainnya. Dari kesabaranlah lahir sifat santun. Dari kesabaran pula lahir kelembutan. Bukan hanya itu. Kemampuan menjaga rahasia juga lahir dari rahim kesabaran. Demikian pula berturut-turut lahir kesungguhan, kesinambungan dalam bekerja dan yang mungkin sangat penting adalah ketenangan.

Tapi kesabaran itu pahit. Semua kita tahu begitulah rasanya kesabaran itu. Dan begitulah suatu saat Rasulullah saw mengatakan kepada seorang wanita yang sedang menangisi kematian anaknya: "Sesungguhnya kesabaran itu hanya pada benturan pertama." (Bukhari dan Muslim). Jadi, yang pahit dari kesabaran itu hanya permulaannya. Kesabaran pada benturan pertama menciptakan kekebalan pada benturan selanjutnya. "Mereka memanahku bertubi-tubi, sampai-sampai panah itu hanya menembus panah," kata penyair Arab nomor wahid sepanjang sejarah, Al-Mutanabbi.

Mereka yang memiliki naluri kepahlawan dan keberanian, harus mengambil saham terbesar dari kesabaran. Mereka harus sabar dalam segala hal: dalam ketaatan, meninggalkan maksiat atau menghadapi cobaan. Dan dengan kesabaran tertinggi, "sampai akhirnya kesabaran itu sendiri yang gagal mengejar kesabarannya," kata Ibnul Qoyyim.


http://beranda.blogsome.com/2007/06/05/kesabaran/

Minggu, 30 Januari 2011

T A M A K



Tamak*)atau rakus dalam istilah psikologi bermakna keinginan eksesif (berlebihan) untuk memperoleh atau memiliki harta kekayaan yang bukan haknya atau melebihi yang dibutuhkan.

Keinginan menguasai dan mencintai harta benda yang berlebihan itu (QS Al Fajr 89:20) pada gilirannya akan membawa seseorang pada dua perilaku negatif yang sangat dilarang dalam Islam.

Pertama, menghalalkan segala cara (the ends justify the means) dengan berbagai bentuk dan variannya sesuai peluang dan kesempatan yang ada di depannya (QS Al Fajr 89:19). Perilaku korupsi yang dilakukan pejabat negara dari level tertinggi sampai terendah timbul, salah satunya, dari sifat tamak ini. Berusaha mendapat keuntungan sebesar-besarnya dengan cara apapun biasa dilakukan pedagang atau pengusaha yang rakus.

Kedua, pelit. Ketamakan itu identik dengan pelit atau kikir (Arab, bakhil) (QS 92:8). Tidak jelas mana yang menyebabkan apa. Apakah tamak yang menyebabkan pelit atau pelit timbul dari sifat tamak. Satu hal yang pasti, kedua karakter ini hanya dimiliki orang yang mementingkan dirinya sendiri (selfish). Yang tidak pernah befikir untuk membagi sebagian harta miliknya dengan orang lain. Al Quran sendiri memakai kata syuhh, yang berarti pelit, untuk menggambarkan perilaku tamak (QS Al Hasyr 59:9; At Taghabun 64:16)

Pada dasarnya, sifat tamak, dalam arti egois, sedikit atau banyak dimiliki setiap orang. Ia inheren dalam cara pikir dan perilaku manusia. Sifat mengutamakan diri sendiri, menomorduakan orang lain, pada hakikatnya manusiawi dan tidak dilarang dalam Islam. Yang dilarang apabila perilaku selfish ini mencapai level yang tidak proporsional sampai pada tahap merugikan orang lain.

Dalam Islam, istilah “merugikan orang lain” tidak hanya terbatas pada korupsi, menipu, memeras, mencuri atau membunuh. Istilah ini mencakup juga “keengganan untuk menginfakkan sebagian harta kita pada yang berhak” (QS Ali Imran 3:180). Allah menegaskan bahwa kesalihan itu adalah membagi sebagian harta dengan orang lain; bukan hanya ibadah ritual (QS Al Baqarah 2:177).

Untuk itu, seorang muslim yang tamak harus merubah perilakunya. Merubah perilaku tamak tidaklah sulit bagi mereka yang memiliki determinasi dan kemauan untuk merubah cara pikir dan perilakunya.

Pertama, rubah pola pikir atau keinginan hidup mewah atau hidup boros. Perilaku hidup mewah timbul pertama kali dari pola pikir (mindset). Karena itu perubahan harus dimulai dari sini. Jadikan hidup sederhana sebagai gaya hidup yang baru. Apabila Anda sudah berkeluarga, yakinkan anak dan istri bahwa pilihan hidup sederhana adalah yang terbaik untuk diri sendiri dan orang lain.

Kedua, yakinkan bahwa standar sukses yang hakiki bukanlah ditandai dari simbol-simbol kemewahan semu yang kita miliki seperti merk dan harga baju, merk mobil, nilai harga rumah dan perabotannya, dan lain-lain. Standar kesuksesan hendaknya berdasarkan pada (a) kredibilitas kepribadian, dan (b) seberapa besar kemampuan dan kekayaan kita dapat bermanfaat bagi orang lain yang membutuhkan (QS Al Baqarah 2:267).

Islam selalu menekankan pentingnya kesalihan kolektif untuk mencapai masyarakat madani, suatu masyarakat yang hidup damai dan sejahtera. Kesalihan kolektif baru dapat dicapai apabila kalangan yang lebih beruntung secara ilmu dan kekayaan berinisiatif untuk membagi apa yang dimilikinya dan membuang perilaku tamak dan selfish.[]


***************************

Hidup Sederhana sebagai Pilihan **)


Wilfried Hoffman,[1] Duta Besar (Dubes) Jerman antara 1987-1994 di dua negara Arab, Aljazair dan Maroko, bercerita bahwa istrinya merasa “malu” setiap kali menghadiri acara pesta kalangan diplomat atau para pejabat di kedua negara itu. Pasalnya, istri Pak Hoffman tidak memiliki perhiasan dan baju yang gemerlap, mahal dan mewah seperti yang biasa dikenakan para ibu-ibu pejabat negara-negara Arab. Kisah kecil yang dituturkan Wilfried Hoffman—yang juga Diektur Informasi NATO yang berpusat di Brussels– di atas menggambarkan fenomena yang terasa ironis dan paradoks: seorang Dubes atau diplomat dari negara maju dan kaya yang hidup sederhana, dan di sisi lain, para Dubes/diplomat dari negara miskin yg hidup mewah dan glamor. Hidup mewah di kalangan pejabat, memang tidak hanya terwakili oleh negara-negara Arab saja, tetapi hampir bisa dilihat menjadi fenomena umum di seluruh negara-negara berkembang yang miskin, tak terkecuali Indonesia. Kenapa ini terjadi? Ada beberapa faktor yg memotivasi hal ini: Pertama, faktor mental kuli. Negara-negara berkembang rata-rata baru 5 – 6 dekade menikmati kemerdekaan dari penjajah bule (plus Jepang bagi Indonesia). Mental dari anak jajahan yang paling kental adalah perasaan minder (inferiority complex) yang ekstrim yg untuk menutupinya adalah dengan cara hidup mewah dan berkesan kaya raya seperti gaya para penjajah itu; tak peduli apakah kemewahan itu didapat dari pendapatan yang halal atau haram.

Kedua, mismanajemen negara. Karena baru bisa mendapat kesempatan mengatur negara sendiri, maka kemampuan mengorganisir juga kurang. Keluar masuk uang negara juga kurang terdeteksi. Dan KKN juga menjadi hal yang dianggap wajar dan malah terkadang “membanggakan”. Sama dengan pelacur yang “bangga” dengan profesinya karena. telah berhasil mengangkat taraf hidup layak keluarganya.

Fenomena ini semakin diperparah dengan ketidakkritisan masyarakat pada praktik korupsi yang dilakukan pejabat. Sering kita melihat seorang pejabat yang dielu-elukan tokoh masyarakat tertentu (Kyai atau pemilik yayasan pendidikan) karena telah membantu pembangunan gedung-gedung institusi miliknya, tanpa mencari tahu lebih dahulu dari mana uang bantuan itu berasal. Hal ini selain akan mempermalukan sang tokoh masyarakat itu sendiri, juga—yang lebih parah—akan semakin memotivasi sang koruptor untuk melakukan praktik KKN-nya sudah “direstui” walaupun secara tidak langsung. Ketiga, rata-rata para calon pejabat, termasuk kita-kita para generasi muda ini, berasal dari keluarga miskin. Hidup miskin itu tidak enak, dan jarang orang yang bisa “menikmati”-nya. Ciri khas orang miskin umumnya selalu bermimpi jadi kaya dengan segala kemewahan yang ada di dalamnya. Karena itu, ketika mendapat kesempatan menjabat posisi basah, kita jadi ibarat singa lapar. Lapar memenuhi mimpi-mimpi waktu muda dengan segala cara. Seperti ketika kita berpuasa dan makan sepuas-puasnya ketika waktu berbuka sudah tiba. Sekarang mari kita kembali pada Dubes Wilfred Hoffman. Dia dubes negara maju, gajinya pasti besar.[2] Tapi kenapa dia hidup sederhana? Apakah dia tidak punya duit untuk menyenangkan istrinya? Atau apakah dia terlalu pelit untuk hidup mewah dan glamor? Jawabnya jelas, tidak. Dia hidup sederhana bukan karena tidak punya uang untuk hidup mewah. Tapi karena ia memang “sengaja memilih untuk hidup sederhana”. Jadi hidup sederhana sebagai pilihan yg membanggakan, bukan sebagai keterpaksaan. Dan mereka bangga dg kesederhanaan itu! Banyak kalangan orang-orang di negara maju (pejabat maupun pebisnis) yg memilih hidup sederhana, karena. mereka merasa hidupnya menjadi lebih bermakna dan bermanfaat: kelebihan uang mereka disalurkan untuk yayasan-yayasan anak-anak yatim, mengambil anak asuh, yayasan pemberi beasiswa pada mahasiswa internasional, untuk orang-orang miskin di negara-negara berkembang, untuk berbagai penelitian keilmuan, dan lain-lain..

Salah satu contohnya yang paling monumental adalah Albert Nobel. Inventor (penemu) dan pemilik lebih dari 300 hak paten berbagai penemuan teknologi baru. Dia milyarder yang hidup sederhana dan memiliki komitmen tinggi terhadap keilmuan dan kemanusiaan. Ketika meninggal, tak sepeserpun hartanya dia wariskan ke anaknya. Sebaliknya, ia tumpahkan seluruh harta kekayaannya untuk Nobel Foundation, pemberi hadiah Nobel untuk para ilmuwan dunia yang berhasil meraih prestasi gemilang di bidang masing-masing. Albert Nobel sudah meninggal puluhan tahun lalu, tapi namanya selalu dikenang di seluruh dunia sampai sekarang. Kuncinya, karena ia memilih hidup sederhana, kendati ia lebih dari mampu untuk membeli kemewahan apapun yang menjadi impian banyak orang.

Menyebut pengusaha kaya raya yang hidup sederhana mengharuskan saya untuk sedikit membeberkan profil seorang milyarder Muslim asal India bernama Azim Premji.[3] Pengusaha teknologi informasi ini selama tiga tahun berturut-turut menempati posisi nomor 30 sebagai pengusaha terkaya dunia versi majalah bisnis Amerika, Forbes. Hartanya menurut laporan majalah Forbes edisi 2007 diperkirakan sebanyak U$D 30 milyar atau sekitar Rp. 300 milyar. Ini hanya kekayaan pribadinya, tidak termasuk omset perusahaan.

Apabila simbol kemewahan biasanya ditandai dengan rumah mewah berharga milyaran, mobil Mercedes Benz (Mercy), BMW, atau Lexus keluaran terbaru (kalau perlu memiliki pesawat jet pribadi seperti sebagian pengusaha Indonesia) dan baju merk terkenal, maka kita akan terkejut ketika bertemu Azim Premji. Mobil satu-satunya “hanya” sedan Ford Escort yang di India berharga tidak sampai 100 juta rupiah, mengenakan baju tanpa merk yang dijahit penjahit biasa dan rumah yang tidak layak masuk koran.

Azim Premji tidak hidup di zaman dahulu kala. Dia masih segar bugar sampai saat ini di usia 65-an. Azim juga bukan seorang sufi. Dia pebisnis ulung yang dihormati banyak pengusaha kelas dunia lain karena kejujuran dan integritas pribadinya.

Apa yang membuat Azim Premji “kuat” untuk tidak hidup mewah di tengah bergelimangnya harta yang melimpah adalah pemahamannya yang mendalam akan esensi atau hakikat hidup di dunia yaitu kerja keras[4], disiplin dan kepedulian untuk membantu sesama yang membutuhkan.[5] Harta yang banyak bagi dia hanyalah buah dari kerja kerasnya; bukan tujuan itu sendiri.Dengan demikian, kemewahan atau hidup bersenang-senang tidak ada dalam agenda hidupnya. Selain itu, hidup mewah adalah identik dengan ketamakan yang sangat berlawanan dengan prinsip kepedulian sosial itu sendiri.[6]

Tulisan ini saya persembahkan buat siapa saja yang membaca tulisan ini termasuk di dalamnya kalangan ulama (kyai), birokrat, pengusaha dan generasi muda seperti saya yang mungkin pada sepuluh tahun mendatang sudah menduduki berbagai posisi di pemerintahan atau menjadi pebisnis besar. Kalau kita beruntung secara materi, pilihlah hidup sederhana dan bangga dg kesederhanaan itu. Kalau kita kurang beruntung, mari sama-sama bekerja keras untuk menuju hidup yang lebih baik secara materi dan pola pikir (mindset).

Jadi, tulisan saya di atas hendaknya tidak disalahpahami secara sempit. Saya bukan mengajak Anda untuk hidup miskin seperti anjuran sebagian tokoh sufi. Sebaliknya, saya malah mengajak Anda untuk berusaha sekeras mungkin untuk menjadi kaya (dg cara yg halal tentunya), tapi tetap menjaga dan memelihara gaya hidup sederhana, bermartabat dan peduli pada yg membutuhkan bantuan kita.[]

——————-
CATATAN KAKI:

[1] Setelah membaca dan meneliti dengan seksama kandungan Al Quran, Hoffman dan istrinya akhirnya masuk Islam pada tahun 1980 dan berganti nama menjadi Murad Wilfried Hoffman. Sampai saat ini Hoffman telah menulis 10 buku berkaitan dengan Islam, yang terkenal antara lain Journey to Islam: Diary of a German Diplomat dan Religion on the Rise – Islam in the Third Millennium..

[2] Sekedar perbandingan, gaji diplomat Indonesia saja berkisar antara USD 3,000 – 8,000 atau sekitar Rp. 30 juta – 80 juta/bulan (tergantung senioritas jabatan).

[3] Profil Azim Premji lebih detail lihat di website saya www.fatihsyuhud.com

[4] Dalam setiap kesempatan saya selalu tekankan bahwa esensi ayat dalam Al Quran surah Al Jum’ah 62:9-10 adalah perintah bekerja keras dan tidak bermalas-malasan yang kalau dilaksanakan dengan benar akan menjadikan umat Islam sebagai umat yang paling rajin bekerja. Dalam agama lain seperti Yahudi dan Kristen, masing-masing harus libur pada hari besar mereka yaitu hari Sabtu dan Minggu. Dalam Islam, bahkan hari Jum’at pun umat Islam masih diperintahkan untuk bekerja, kendatipun di situ diingatkan untuk tidak melupakan salat Jum’at. Konsekuensi dari kerja keras adalah keberhasilan secara materi. Dengan kata lain, apabila ini dilakukan, umat Islam akan menjadi umat yang secara umum paling berhasil dari sisi materi. Apabila fakta menunjukkan sebaliknya, maka itu artinya kita belum memenuhi standar kerja keras seperti yang digariskan Islam.

[5] Salat lima waktu dan berzakat yang menjadi pilar pokok (rukun) Islam (QS Maryam 19: 31) adalah esensi pelajaran disiplin di satu sisi dan kerja kerjas serta kepedulian sosial di sisi lain yang kalau dilaksanakan dengan penuh komitmen akan menjadikan seorang Muslim sebagai individu ideal yang membawa rahmat di berbagai bidang kehidupan (QS Al Anbiya` 21:107).

[6] QS Al Muddatsir 74:12-16).

Source :
*)Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin El-Ukhuwah
Pondok Pesantren Alkhoirot Putri Karangsuko, Malang
http://afatih.wordpress.com/2010/02/02/tamak/


**)Oleh A. Fatih Syuhud
Website: www.fatihsyuhud.com
http://afatih.wordpress.com/2005/10/12/hidup-sederhana-sebagai-pilihan/

Pemimpin Saleh


Figur PEMIMPIN SALEH adalah karena beliau banyak belajar untuk memfungsikan MATA, HATI, dan TELINGA dgn sebenarnya. TIDAK TABU dan ALERGI pada kritikan dari siapa pun, bahkan dari rakyat jelata sekalipun.
Kalau para pemimpin kita sudah buta mata, hati, telinga, dan tidak mau belajar bagaimana mengayomi, melaksanakan tanggung jawab, dan memenuhi hak2 masyarakat dari para pemimpin sebelumnya. Maka kehancuran tinggal menunggu waktu, dan rakyat p...un tidak bisa disalahkan apabila kemudian melakukan perlawanan untuk menegakkan kebenaran, kejujuran, dan keadilan.

Suatu kezaliman besar manakala seorang pemimpin hanya memenuhi nafsu duniawi, mementingkan kebutuhan pribadi, keluarga, kerabat, dan mengabaikan kepentingan publik. Hati dan telinganya tidak pernah digunakan untuk memahami dan mendengarkan apa yang menjadi keluh kesah, penderitaan, dan kebutuhan rakyatnya.

Pemerintah/Penguasa manapun yang sadar akan pertanggungjawaban ini niscaya tidak akan berani melanggar apalagi menentang hukum syariah. Ia tentu berpikir beribu-ribu kali untuk mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan atau menzalimi rakyat. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangis karena khawatir akan masa pertanggungjawaban tentang urusan rakyatnya yang akan ditanyakan Allah Swt. kepadanya di akhirat.

Adapun di dunia, pertanggung-jawaban itu dilakukan dengan dua pendekatan.

Pertama: pelurusan.

Pelurusan ini dilakukan dengan cara mengoreksi penguasa, baik dilakukan oleh rakyat secara umum, partai politik, maupun Majelis Umat. Sikap, tindakan, keputusan, dan ketetapan penguasa dikoreksi setiap waktu. Koreksi sebagai aktivitas amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa diwajibkan oleh Allah Swt. (QS Ali Imran [3]: 104, 110).

Aktivitas mengoreksi penguasa tersebut merupakan suatu tindakan kongkret permintaan pertanggungjawaban penguasa sekaligus pelurusannya. Hal ini akan menghasilkan pelurusan terhadap perilaku dan kebijakan penguasa sedemikian rupa hingga penguasa tidak mengabaikan tanggung jawabnya.

Bahkan jika penguasa tidak melaksanakan keputusan Majelis Umat dalam perkara-perkara yang sifatnya mengikat maka Majelis dapat meminta pertemuan dengan Khalifah sebagai kepala negara untuk meminta pertanggung-jawabannya dalam hal tersebut. Jika Khalifah menyadarinya maka peristiwa itu merupakan salah satu bentuk koreksi Majelis Umat terhadap penguasa.

Kedua: pengadilan.

Penguasa Islam adalah manusia, bukan malaikat. Penyimpangan terhadap hukum syariah (seperti korupsi, penerapan hukum bukan Islam, dll) atau tindak kezaliman (seperti penggusuran, penjualan aset umum dengan privatisasi, dll) sangat mungkin terjadi. Semua itu diperintahkan Allah Swt. untuk dikoreksi. Jika setelah dikoreksi tetap saja penguasa tidak berubah maka rakyat, partai politik, atau Majelis Umat dapat mengadukan hal tersebut kepada Mahkamah Mazhalim. Mahkamah inilah yang akan meneliti dan mengevaluasinya, memintai pertanggung-jawaban penguasa dan mengadilinya, bahkan—jika fakta mengharuskan—memutuskan pergantian khalifah.
Adapun penguasa di bawah Khalifah bertanggung jawab kepada Khalifah. Jika Mayoritas anggota Majelis Umat, misalnya, mengusulkan seorang penguasa daerah untuk diganti, maka Khalifah harus menggantinya.

Walhasil, pertanggungjawaban penguasa dalam Islam terhadap rakyat dilakukan lewat koreksi oleh rakyat, partai politik, dan Majelis umat. Selain itu, pertanggungjawaban berupa pengadilan terhadap penyimpangan terhadap hukum syariah dan kezaliman yang dilakukan penguasa diselenggarakan di depan Mahkamah Mazhalim. Rakyat tidak dapat sembarangan ’memecat’ penguasa. Semuanya harus berjalan di atas rel hukum dan kenyataan. Pertanggungjawaban seorang penguasa tidak terbatas di dunia, melainkan juga sampai akhirat.

Mudah-mudahan para pemimpin kita mau belajar dan lebih mementingkan urusan masyarakat daripada pribadi dan golongannya


http://hilmanmuchsin.blogspot.com/2011/01/pemimpin-saleh.html

Akhlak


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walaupun terambil dari bahasa Arab (yang biasa berartikan tabiat, perangai kebiasaan, bahkan agama), namun kata seperti itu tidak ditemukan dalam Al-Quran. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam Al-Quran surat Al-Qalam ayat 4. Ayat tersebut dinilai sebagai konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad saw sebagai Rasul,

Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung (QS Al-Qalam [68]: 4).

Kata akhlak banyak ditemukan di dalam hadis-hadis Nabi saw, dan salah satunya yang paling populer adalah : "Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia."

Bertitik tolak dari pengertian bahasa di atas, yakni akhlak sebagai kelakuan, kita selanjutnya dapat berkata bahwa akhlak atau kelakuan manusia sangat beragam, dan bahwa firman Allah berikut ini dapat menjadi salah satu argumen keaneka-ragaman tersebut.

Sesungguhnya usaha kamu (hai manusia) pasti amat beragam (QS Al-Lail [92]: 4).


Keanekaragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut, antara lain nilai kelakuan yang berkaitan dengan baik dan buruk, serta dari objeknya, yakni kepada siapa kelakuan itu ditujukan.

BAIK DAN BURUK


Para filosof dan teolog sering membahas tentang arti baik dan buruk, serta tentang pencipta kelakuan tersebut, yakni apakah kelakuan itu merupakan hasil pilihan atau perbuatan manusia sendiri, ataukah berada di luar kemampuannya?

Tulisan ini tidak akan mengarungi samudera pemikiran yang dalam lagi sering menenggelamkan itu, namun kita dapat berkata bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik, dan juga sebaliknya. Ini berarti bahwa manusia memiliki kedua potensi tersebut. Terdapat sekian banyak ayat Al-Quran yang dipahami menguraikan hal hakikat ini, antara lain:

Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)-nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk) (QS Al-Balad [90]: ayat 10).
...dan (demi) jiwa serta penyempurnaaaan ciptaannya, maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan ketakwaan (QS Asy-Syams [91]: ayat 7-8).

Walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan isyarat-isyarat dalam Al-Quran bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan.

Al-Quran surat Thaha (20): 121 menguraikan bahwa Iblis menggoda Adam sehingga, ... durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah ia.
Redaksi ini menunjukkan bahwa sebelum digoda oleh Iblis, Adam tidak durhaka, dalam arti, tidak melakukan sesuatu yang buruk, dan bahwa akibat godaan itu, ia menjadi tersesat. Walaupun kemudian Adam bertobat kepada Tuhan, sehingga ia kembali lagi pada kesuciannya.

Kecenderungan manusia kepada kebaikan terbukti dari persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan --jika terjadi-- terletak pada bentuk, penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep moral, yang disebut ma'ruf dalam bahasa Al-Quran. Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan, penipuan, atau keangkuhan. Pun tidak ada manusia yang menilai bahwa penghormatan kepada kedua orang-tua adalah buruk. Tetapi, bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi cara penghormatan kepada keduanya berbeda-beda antara satu masyarakat pada generasi tertentu dengan masyarakat pada generasi yang lain. Perbedaan-perbedaan itu selama dinilai baik oleh masyarakat dan masih dalam kerangka prinsip umum, maka ia tetap dinilai baik (ma'ruf).

Kembali kepada persoalan kecenderungan manusia terhadap kebaikan, atau pandangan tentang kesucian manusia sejak lahir, hadis-hadis Nabi saw pun antara lain menginformasikannya: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fithrah), hanya saja kedua orang-tuanya (lingkungannya) yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR Bukhari).

Seorang sahabat Nabi saw bernama Wabishah bin Ma'bad berkunjung kepada Nabi saw, lalu beliau menyapanya dengan bersabda: "Engkau datang menanyakan kebaikan?" "Benar, wahai Rasul," jawab Wabishah. "Tanyailah hatimu! "Kebajikan adalah sesuatu yang tenang terhadap jiwa, dan yang tenteram terhadap hati, sedangkan dosa adalah yang mengacaukan hati dan membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa." (HR Ahmad dan Ad-Darimi).

Dengan demikian menjadi amat wajar jika ditemukan ayat-ayat Al-Quran yang mengisyaratkan bahwa manusia pada hakikatnya --setidaknya pada awal masa perkembangan-- tidak akan sulit melakukan kebajikan, berbeda halnya dengan melakukan keburukan.

Salah satu frase dalam surat Al-Baqarah ayat 286 menyatakan, untuk manusia ganjaran bagi perbuatan baik yang dilakukannya dan sanksi bagi perbuatan (buruk) yang dilakukannya.
Oleh beberapa ulama, frase ini kerap dijadikan sebagai bukti apa yang disebut di atas. Dalam terjemahan di atas terlihat bahwa kalimat "yang dilakukan" terulang dua kali: yang pertama adalah terjemahan dari kata kasabat dan kedua terjemahan dan kata iktasabat.

Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar menyatakan kata iktasabat, dan semua kata yang berpatron demikian, memberi arti adanya semacam upaya sungguh-sungguh dari pelakunya, berbeda dengan kasabat yang berarti dilakukan dengan mudah tanpa pemaksaan. Dalam ayat di atas, perbuatan-perbuatan manusia yang buruk dinyatakan dengan iktasabat, sedangkan perbuatan yang baik dengan kasabat. Ini menandakan bahwa fitrah manusia pada dasarnya cenderung kepada kebaikan, sehingga dapat melakukan kebaikan dengan mudah. Berbeda halnya dengan keburukan yang harus dilakukannya dengan susah payah dan keterpaksaan (ini tentu pada saat fitrah manusia masih berada dalam kesuciannya).

Potensi yang dimiliki manusia untuk melakukan kebaikan dan keburukan, serta kecenderungannya yang mendasar kepada kebaikan, seharusnya mengantarkan manusia memperkenankan perintah Allah (agama-Nya) yang dinyatakan-Nya sesuai dengan fithrah (asal kejadian manusia). Dalam Al-Quran surat Ar-Rum (30): 30 dinyatakan,

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). Itulah fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. ( Ar-Rum (30): 30)

Di sisi lain, karena kebajikan merupakan pilihan dasar manusia, kelak di hari kemudian pada saat pertanggungjawaban, sang manusia dihadapkan kepada dirinya sendiri:

Bacalah kitab amalmu (catatan perbuatanmu); cukuplah engkau sendiri yang melakukan perhitungan atas dirimu (QS Al-Isra' [17]: 14).

PERTANGGUNGJAWABAN

Atas dasar uraian di atas, Al-Quran membebaskan manusia untuk memilih kedua jalan yang tadi disebutkan, tetapi ia sendiri yang harus mempertanggung-jawabkan pilihannya. Manusia tidak membebani orang lain untuk memikul dosanya, tidak juga dosa orang lain dipikulkan ke atas pundaknya. Tetapi dalam Al-Quran surat Al-An'am ayat 164 dinyatakan bahwa tanggung jawab tersebut baru dituntut apabila memenuhi syaratsyarat tertentu, seperti pengetahuan, kemampuan, serta kesadaran.

Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul... (QS Al-Isra' [17]: 15).

Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya... (QS Al-Baqarah [2]: 286)

Dari gabungan kedua ayat ini, kita dapat memetik dua kaidah yang berkaitan dengan tanggung jawab, yaitu:
1. Manusia tidak diminta untuk mempertanggungjawabkan apa yang tidak diketahui atau tidak mampu dilakukannya.
2. Manusia tidak dituntut mempertanggungiawabkan apa yang tidak dilakukannya, sekalipun hal tersebut diketahuinya.

Di sisi lain, ditemukan ayat-ayat yang menegaskan bahwa pertanggungjawaban tersebut berkaitan dengan perbuatan yang disengaja, bukan gerak refleks yang tidak melibatkan kehendak. Al-Quran secara tegas menyatakan:

Allah tidak akan meminta pertanggungjawabanmu atas sumpah-sumpah yang tidak kamu sengaja, tetapi Dia akan meminta pertanggungjawabanmu terhadap apa yang disengaja oleh hatimu... (QS Al-Baqarah [2]: 225).

...tetapi jika seseorang terpaksa, sedangkan ia tidak menginginkannya, dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya... (QS Al-Baqarah [2]: 173).

Dapat juga disimpulkan, bahwa karena manusia diberi kemampuan untuk memilih, maka pertanggungjawaban berkaitan dengan niat dan kehendaknya. Atas dasar ini pula, maka niat dan kehendak seseorang mempunyai peran yang sangat besar dalam nilai amal sekaligus dalam pertanggungjawabannya.

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman, dia mendapatkan kemurkaan Allah, kecuali orang-orang yang dipaksa kafir sedang hatinya tetap tenang dalam keimanan... (QS An-Nahl [16]: 106).

Al-Quran surat Al-Isra ayat 23-24 memerintahkan kepada seorang anak agar menghormati kedua orang-tuanya, khususnya kalau usia mereka sudah tua (karena ketika telah uzur boleh jadi mereka melakukan hal-hal yang menjengkelkan). Anak dilarang berkata uh, dan harus memilih kata-kata yang baik, sambil merendahkan diri kepada keduanya. Ayat ini disusul dengan firman-Nya:

Tuhanmu lebih mengetahui yang ada dalam hatimu. Jika seandainya kamu orang baik-baik (Allah akan memaaafkan sikap dan kelakuan yang telah kamu lakukan dengan terpaksa, tidak sadar, atau yang berada di luar kontrol kemampuanmu), karena Allah Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat (QS Al-Isra' [17]: 25).

TOLOK UKUR KELAKUAN BAIK

Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Perlu ditambahkan, bahwa apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.
Di sisi lain, Allah selalu memperagakan kebaikan, bahkan Dia memiliki segala sifat yang terpuji. Al-Quran suci surat Thaha (20): 8 menegaskan:

(Dialah) Allah tiada Tuhan selain Dia, Dia mempunyai Sifat-sifat yang terpuji (Al-Asma' Al-Husna) (QS Thaha [20]: 8).

Rasulullah saw juga memerintahkan umatnya agar berusaha sekuat kemampuan dan kapasitasnya sebagai makhluk untuk meneladani Allah dalam semua sifat-sifat-Nya: "Berakhlaklah dengan akhlak Allah".
Ketika Aisyah ditanya mengenai akhlak Rasulullah saw, beliau menjawab : "Budi pekerti Nabi saw adalah Al-Quran" (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad).

Semua sifat Allah tertuang dalam Al-Quran. Jumlahnya bahkan melebihi 99 sifat yang populer disebutkan dalam hadis.
Sifat-sifat Allah itu merupakan satu kesatuan. Bukankah Dia Esa di dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya? Karenanya tidak wajar jika sifat-sifat itu dinilai saling bertentangan. Artinya, semua sifat memiliki tempatnya masing-masing. ada tempat untuk keperkasaan dan keangkuhan Allah, juga tempat kasih sayang dan kelemah-lembutan-Nya. Ketika seorang Muslim meneladani sifat Al-Kibriya' (Keangkuhan Allah), ia harus ingat bahwa sifat itu tidak akan disandang oleh Tuhan kecuali dalam konteks ancaman terhadap para pembangkang, terhadap orang yang merasa dirinya superior. Ketika Rasul Saw melihat seseorang yang berjalan dengan angkuh di medan perang, beliau bersabda : "Itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah, kecuali dalam kondisi semacam ini."

Seseorang yang berusaha meneladani sifat Al-Kibriya' tidak akan meneladaninya kecuali terhadap manusia-manusia yang angkuh. Dalam konteks ini ditemukan riwayat yang menyatakan : "Bersikap angkuh terhadap orang yang angkuh adalah sedekah".

Ketika seorang Muslim berusaha meneladani kekuatan dan kebesaran Ilahi, harus diingat bahwa sebagai makhluk ia terdiri dan jasad dan ruh, sehingga keduanya harus sama-sama kuat. Kekuatan dan kebesaran itu mesti diarahkan untuk membantu yang kecil dan lemah, bukan digunakan untuk menopang yang salah maupun yang sewenang-wenang. Karena ketika Al-Quran mengulang-ulang kebesaran Allah, Al-Quran juga menegaskan bahwa:

Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang, angkuh lagi membanggakan diri (QS Luqman [31]: 18).

Jika seorang Muslim meneladani Allah Yang Mahakaya, ia harus menyadari bahwa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjukkan sifat itu adalah Al-Ghani. Ini yang maknanya adalah tidak membutuhkan --dan bukan kaya materi-- sehingga esensi sifat itu (kekayaan) adalah kemampuan berdiri sendiri atau tidak menghajatkan pihak lain, sehingga tidak perlu membuang air muka untuk meminta-minta.

Orang-orang yang tidak tahu, menduga mereka kaya, karena mereka memelihara diri dari meminta-minta (QS Al-Baqarah [2]: 273).

Tetapi dalam kedudukan manusia sebagai makhluk, ia sadar bahwa dirinya amat membutuhkan Allah:

Wahai seluruh manusia, kamu sekalian adalah orang-orang faqir (butuh) kepada Allah (QS Fathir [35]: 15).

Demikian seterusnya dengan sifat-sifat Allah yang lain, yang harus diteladaninya, seperti Maha Mengetahui, Maha Pemaaf, Maha Bijaksana, Maha Agung, Maha Pengasih, dan lain-lain.
Adalah merupakan keistimewaan bagi seseorang atau masyarakat jika menjadikan sifat-sifat Allah sebagai tolok ukur, dan tidak menjadikan kelezatan atau manfaat sesaat sebagai tolok ukur kebaikan. Karena kelezatan dan manfaat dapat berbeda-beda antara seseorang dengan yang lain, bahkan seseorang yang berada dalam kondisi dan situasi tertentu juga bisa berbeda, dengan kondisi lainnya. Boleh jadi suatu masyarakat yang terjangkiti penyakit akan menilai keburukan sebagai kebaikan.

SASARAN AKHLAK


Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.

Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan terdahulu serta mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Akhlak diniah (agama) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa).

Berikut upaya pemaparan sekilas beberapa sasaran akhlak Islamiyah.

a. Akhlak terhadap Allah

Akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada ilah (Tuhan, yang didahulukan) melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya.

Mahasuci engkau --Wahai Allah-- kami tidak mampu memuji-Mu; Pujian atas-Mu, adalah yang Engkau pujikan kepada diri-Mu, demikian ucapan para malaikat.
Itulah sebabnya mengapa Al-Quran mengajarkan kepada manusia untuk memuji-Nya, Wa qul al-hamdulillah (Katakanlah "al-hamdulillah"). Dalam Al-Quran surat An-Naml (27): 93, secara tegas dinyatakan-Nya bahwa,

Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan." (QS.An-Naml (27): 93)
Mahasuci Allah dan segala sifat yang mereka sifatkan kepada-Nya, kecuali (dari) hamba-hamba Allah yang terpilih (QS Ash-Shaffat [37]: 159-160).

Teramati bahwa semua makhluk selalu menyertakan pujian mereka kepada Allah dengan menyucikan-Nya dari segala kekurangan.

Dan para malaikat menyucikan sambil memuji Tuhan mereka (QS Asy-Syura [42]: 5).

Guntur menyucikan (Tuhan) sambil memuji-Nya (QS Ar-Ra'd [13]: 13).

Dan tidak ada sesuatu pun kecuali bertasbih (menyucikan Allah) sambil memuji-Nya (QS Al-Isra' [17]: 44).

Semua itu menunjukkan bahwa makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa kesempurnaan dan keterpujian Allah SWT Itu sebabnya mereka --sebelum memuji-Nya-- bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jangan sampai pujian yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan kebesaran-Nya. Bertitik tolak dari uraian mengenai kesempurnaan Allah, tidak heran kalau Al-Quran memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena segala yang bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah, dan sempurna.

(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung). (QS. Al-Muzzammil (73): 9)
Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak mengetahui (QS Al-Baqarah: 216).
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, itu dan (kesalahan) dirimu sendiri (QS An-Nisa' [4]: 79).
Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai, dan bukan (jalan) mereka yang sesat (QS Al-Fatihah [1]: 7).

Di sini, petunjuk jalan menuju kebaikan dinyatakan bersumber dari Allah yang memberi nikmat.

b. Akhlak terhadap sesama manusia

Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia.

Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima) (QS Al-Baqarah [2]: 263).

Di sisi lain Al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad saw --misalnya-- dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya (QS An-Nur [24]: 27).
Salam yang diucapkan itu wajib dijawab dengan salam yang serupa, bahkan juga dianjurkan agar dijawab dengan salam yang lebih baik (QS An-Nisa' [4]: 86).
Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia (QS Al-Baqarah [2]: 83).

Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar,

Dan katakanlah perkataan yang benar (QS Al-Ahzab [33]: 70).

Tidak wajar seseorang mengucilkan seseorang atau kelompok lain, tidak wajar pula berprasangka buruk tanpa alasan, atau menceritakan keburukan seseorang, dan menyapa atau memanggilnya dengan sebutan buruk (baca Al-Hujurat [49]: 11-12).

Yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan ini hendaknya disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan kesalahan. Karena itu, ketika Misthah --seorang yang selalu dibantu oleh Abu Bakar r.a.-- menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya, Abu Bakar dan banyak orang lain bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah. Tetapi Al-Quran turun menyatakan:

Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat(-nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah dijalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS An-Nur [24]: 22).

Sebagian dari ciri orang bertakwa dijelaskan dalam Quran surat Ali Imran (3): 134, yaitu: Maksudnya mereka mampu menahan amarahnya, dan memaafkan, (bahkan) berbuat baik (terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya), sesungguhnya Allah senang terhadap orang yang berbuat baik. Dalam Al-Quran ditemukan anjuran, "Anda hendaknya mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan Anda sendiri."

Mereka mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri, walaupun mereka amat membutuhkan (QS Al-Hasyr [59]: 9).

Jika ada orang yang digelari gentleman --yakni yang memiliki harga diri, berucap benar, dan bersikap lemah lembut {terutama kepada wanita)-- seorang Muslim yang mengikuti petunjuk-petunjuk akhlak Al-Quran tidak hanya pantas bergelar demikian, melainkan lebih dari itu, dan orang demikian dalam bahasa Al-Quran disebut al-muhsin.

c. Akhlak terhadap lingkungan


Yang dimaksud lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa.
Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.

Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.

Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, "Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri."
Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah SWT dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.

Karena itu dalam Al-Quran surat Al-An'am (6): 38 ditegaskan bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat seperti manusia juga, sehingga semuanya --seperti ditulis Al-Qurthubi (W. 671 H) di dalam tafsirnya-- "Tidak boleh diperlakukan secara aniaya."

Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat petunjuk Al-Quran yang melarang melakukan penganiayaan. Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan terbesar.

Apa saja yang kamu tebang dari pohon (kurma) atau kamu biarkan tumbuh, berdiri di atas pokoknya, maka itu semua adalah atas izin Allah ... (QS Al-Hasyr [59]: 5).

Bahwa semuanya adalah milik Allah, mengantarkan manusia kepada kesadaran bahwa apa pun yang berada di dalam genggaman tangannya, tidak lain kecuali amanat yang harus dipertanggungjawabkan. "Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin sepoi yang berhembus di udara, dan setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawaban manusia menyangkut pemeliharaan dan pemanfatannya", demikian kandungan penjelasan Nabi saw tentang firman-Nya dalam Al-Quran surat At-Takatsur (102): 8 yang berbunyi, "Kamu sekalian pasti akan diminta untuk mempertanggungjawabkan nikmat (yang kamu peroleh)." Dengan demikian bukan saja dituntut agar tidak alpa dan angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Pemilik (Tuhan) menyangkut apa yang berada di sekitar manusia.

Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta yang berada di antara keduanya, kecuali dengan (tujuan) yang hak dan pada waktu yang ditentukan (QS Al-Ahqaf [46]: 3).

Pernyataan Tuhan ini mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, melainkan juga harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak. Ia tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Memang, istilah penaklukan alam tidak dikenal dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos Yunani.

Yang menundukkan alam menurut Al-Quran adalah Allah. Manusia tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.

Mahasuci Allah yang menjadikan (binatang) ini mudah bagi kami, sedangkan kami sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk itu (QS Az-Zukhruf [43]: 13)

Jika demikian, manusia tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga mereka harus dapat bersahabat.
Al-Quran menekankan agar umat Islam meneladani Nabi Muhammad saw yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu). Untuk menyebarkan rahmat itu, Nabi Muhammad saw bahkan memberi nama semua yang menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak bernyawa. "Nama" memberikan kesan adanya kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan kepada kesadaran untuk bersahabat dengan pemilik nama.

Nabi Muhammad saw telah mengajarkan : "Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik."
Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih ada lagi prinsip taskhir, yang berarti penundukan. Namun dapat juga berarti "perendahan". Firman Allah yang menggunakan akar kata itu dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 11 adalah

Janganlah ada satu kaum yang merendahkan kaum yang lain. (QS. Al-Hujurat ayat 11)
Dan Dia (Allah) menundukkan untuk kamu; semua yang ada di langit dan di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).

Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia. Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa pun harga benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda itu. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya diridhoi Allah SWT, sesuai dengan kaidah kebenaran dan keadilan.

Akhirnya kita dapat mengakhiri uraian ini dengan menyatakan bahwa keberagamaan seseorang diukur dari akhlaknya. Nabi bersabda : "Agama adalah hubungan interaksi yang baik."

Beliau juga bersabda: "Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari kiamat, melebihi akhlak yang luhur. (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).


Referensi

* Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung, 1997.
* Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
* Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
* Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
* Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
* Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
* alquran.bahagia.us, keislaman.com, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT. Gilland Ganesha, 2008.
* Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
* Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2008.
* M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
* Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
* Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999.



http://al-quran.bahagia.us/_q.php?_q=sihab&dft&dfa&dfi&dfq=1&u2&ui=1&nba=14#2

Menatap Masa Depan Akhirat


Hidup yang kita jalani saat ini mengandung tiga dimensi sekaligus ; masa lalu, masa kini, dan masa depan. Masa lalu sering kali menghanyutkan dengan bernostalgia dan mengenang keindahan atau kepahitan yang kita rasakan. Ia bergelayut dalam alam perasan, membuat kita tersenyum, juga bisa membuat menangis. Tapi satu hal yang pasti, masa lalu tak akan pernah kembali.

Sebaliknya, masa depan adalah ruang yang terbentang dan terhampar luas di hadapan kita. Di dalamnya ada kehidupan ukhrawi, kehidupan yang abadi. Rentang waktu yang memisahkan keduanya adalah proses. Proses itu adalah apa yang kita jalani hari ini, saat ini, di tempat kita berada.

Ada sebagian orang yang mengukur kebahagiaannya dengan sukses di dunia semata, sementara akhiratnya terbengkalai. Ada juga yang mengukur kebahagiaan dengan amal-amal akhirat saja, sedang kehidupan duniawinya tercerai berai. Keduanya tidak sehat. Yang sehat adalah bila kita bisa menjadikan sukses di dunia sebagai sarana untuk mencapai sukses di akhirat. Bahkan itulah sebenarya pola yang diinginkan oleh Islam.

Sukses Dunia Sukses Akhirat

Allah SWT menghendaki keseimbangan, sukses di dunia dan juga di akhirat, hal ini tergambar dalam doa yang diajarkan Allah kepada kita ketika menceritakan tipikal manusia, “Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka.” [Al Baqarah: 201]

Indicator kesuksesan duniawi adalah ketika kita bisa menjadi hamba Allah SWT yang beriman dan beramal shalih, serta bermanfaat bagi manusia dengan saling memberi nasihat dalam kebenaran dan kesabaran. [QS. Al Ashr: 1-3] Sedangkan kesuksesan ukhrawi adalah ketika kita terbebas dari siksa Neraka dan dimasukkan ke dalam surga. “Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”

Untuk mencapai kesuksesan ini hendaknya setiap kita menjadikan semua aktivitas duniawi memiliki nilai-nilai kesuksesan di akhirat. Banyak pekerjaan dan prestasi yang sepertinya duniawi semata, tetapi bila dijalankan dengan baik dan benar mulai dari niatnya hingga tata caranya akan menjadi prestasi sekaligus sukses di akhirat. Dengan demikian, sebenarnya kebutuhan kita kepada prestasi-prestasi duniawi sangat besar, dalam rangka kesuksesan akhirat tersebut.

Yang harus kita lakukan adalah mensinergikan amalan duniawi dengan ukhrawi, artinya semua perbuatan yang kita lakukan hendaknya bernilai pahala di sisi Allah SWT. Ibarat pepatah, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Dengan demikian, prestasi duniawi yang kita capai juga sekaligus cerminan kesuksesan ukhrawi. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa “Sesungguhnya makna ibadah adalah semua hal yang diridhai Allah, dari perbuatan lahir dan batin. “

Beberapa amalan duniawi berdimensi ukhrawi

Berikut ini adalah beberapa contoh prestasi dan amal duniawi yang bisa menjadi bagian untuk mencapai prestasi akhirat dengan catatan semuanya dilakukan dalam rangka mencari ridha Allah SWT:

1. Mencari Nafkah

Sebagian orang yang mencari nafkah dan penghidupan mungkin semata-mata hanya pekerjaan duniawi. Artinya, itu hanya soal mencari makan dan minum. Atau mencari sesuap dua suap nasi, selembar dua lembar uang, untuk dirinya, maupun keluarganya. Kita tidak boleh membatasi status pencarian penghidupan itu sebagai karya duniawi semata. Tetapi sebaliknya, kita harus menjadikannya sebagai bagian dari tabungan untuk kehidupan akhirat. Dengan teori seperti itu sebenarnya kita mendapatkan dua keuntungan sekaligus: sukses di dunia, dan insya Allah SWT sukses pula di akhirat. Seperti dijelaskan oleh Nabi SAW, nafkah yang kita berikan kepada anak istri adalah berpahala. Bahkan, nafkah batin yang diberikan kepada istri sekalipun adalah tabungan untuk sukses akhirat.

2. Bersabar ketika mengalami musibah,

Musibah yang menimpa kita, seperti sakit, ditinggal mati orang-orang yang kita cintai, dan berbagai masalah hidup yang tidak enak merupakan peristiwa yang menghiasi kehidupan dunia kita. Sebagian orang secara sempit menganggapnya sebatas kejadian-kejadian alami. Tetapi kita harus menjadikan semua itu tabungan untuk kehidupan akhirat kelak. Dengan cara menyabarkan diri, memohon balasan dari Allah SWT serta menyimpannya sebagai tabungan di sisi-Nya. Pada saat yang sama kita berobat bila sakit, mencari jalan keluar bila ada kesulitan, serta berikhtiar menyelesaikan segala masalah dan musibah yang terjadi. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah kesulitan dan sakit menimpa seorang muslim, tidak juga kegalauan, kesedihan, duka dan beban, hingga duri yang mengenai kakinya, kecuali menjadi penebus sebagian dari kesalahan-kesalahannya”. (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW juga menegaskan, bahwa Allah SWT dalam hadits Qudsi berfirman, “Tidaklah ada balasan bagi seorang hamba-Ku bila Aku panggil orang yang dicintainya dari dunia, lalu ia bersabar dan memohon balasan (kepada-Ku) kecuali baginya adalah surga”. (HR. Bukhari).

3. Menuntut Ilmu

Salah satu karya dan prestasi duniawi yang dilakukan banyak orang adalah menuntut ilmu. Dari ilmu itu orang lantas memiliki beragam keahlian, yang dengannya ia menopang tuntutan hidupnya di dunia. Tetapi kita harus menjadikannya sebagai kesuksesan akhirat. Dengan cara bersabar menekuni ilmu yang kita tuntut hingga sampai pada taraf ahli, mengajarkan ilmu tersebut, serta memanfaatkannya untuk maslahat Islam, kaum muslimin, dan kemanusiaan pada umumnya. Tak berlebihan, bila orang-orang yang berilmu, secara teori lebih bisa takut kepada Allah SWT. Tak berlebihan pula, bila Allah SWT menjanjikan derajat yang tinggi bagi orang-orang yang beriman dan berilmu.

4. Berbuat baik

Banyak pekerjaan duniawi yang terkesan kecil dan biasa. Tetapi ia sebenarnya bisa menjadi tabungan amal di akhirat. Seperti meminggirkan duri dari jalanan dll. dengan niat menabung amal di sisi Allah SWT, ia akan berubah menjadi amal shalih di sisi Allah SWT. Juga tersenyum kepada sesama saudara muslim, mengucapkan salam, mengasihi binatang. Rasulullah SAW pernah mengisahkan tentang wanita nakal yang di ampuni Allah SWT dan di masukan ke surga, setelah memberi air minum seekor anjing yang nyaris mati kelaparan. Sebaliknya, dalam riwayat lain, Imam Bukhari dan Muslim menyebutkan kisah seorang wanita yang masuk neraka karena menahan seekor kucing. Kucing itu tidak ia beri makan hingga mati.

5. Memakmurkan bumi.

Dalam banyak ayat Allah SWT melarang kita melakukan kerusakan di muka bumi. Sebaliknya, Allah SWT menyuruh kita memakmurkan bumi, memanfaatkan sebaik mungkin. Bumi dan segala yang ada di atasnya di peruntukan Allah SWT bagi manusia. “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS Al-Baqarah: 29). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. “ (QS Al-Mulk: 15). Karenanya, segala profesi dan prestasi yang terkait dengan memakmurkan bumi bisa bernilai tabungan amal shalih di akhirat kelak. Melindungi hutan dari penebangan liar, menjaga kebersihan kali, memaksimalkan kekayaan laut, mengeluarkan tambang dari perut bumi, memperjuangkan proyek-proyek penjagaan lingkungan, melakukan penyuluhan kesehatan masyarakat, juga memberdayakan potensi-potensi alam dengan teknologinya, demi maslahat kehidupan umat manusia adalah sedikit contoh dari memakmurkan bumi.

Siapa saja dari kita yang menekuni profesiprofesi tersebut harus bangga dan bersyukur, karena punya tempat menabung amal shalih
yang besar untuk hari akhir kelak melalui profesi-profesi tersebut. Yang dibutuhkan tinggal bagaimana menjalaninya dengan ikhlas untuk Allah SWT dan dengan tata cara yang halal, serta mendukung profesi tersebut dengan kemampuan dan keahlian yang semestinya.

6. Bermanfaat buat orang lain

Sukses akhirat juga bisa kita lakukan pada pekerjaan duniawi yang banyak bermanfaat buat orang lain. Pernahkah kita menyadari betapa berharganya pekerjaan para tukang sampah? Bukankah jerih payah mereka mengangkuti sampah menjadikan ribuan orang merasa nyaman? Demikian juga pekerjaan lain, para dokter yang dengan berani mengunjungi wilayah-wilayah konflik dan perang untuk menyelamatkan ratusan nyawa, mengobati ribuan korban luka-Iuka. Para guru yang tanpa pamrih menyebarkan ilmu. Atau mereka yang berada di tempat strategis yang berkait erat dengan maslahat orang banyak. Seperti dalam istilah Rasulullah SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Atau dalam bahasa al-Qur’an, beratnya timbangan amal tentu juga dipengaruhi oleh banyak sedikitnya amal. “Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. “ (QS Al-Qori ‘ah: 6- 7).

7. Mempunyai amal unggulan

Untuk menunjang kesuksesan akhirat hendaknya setiap kita mencontoh amal shalih yang dilakukan oleh salafus shalih terdahulu dengan cara istiqamah melakukannya, seperti sahabat Bilal Ra, yang senantiasa shalat sunnah setiap kali selesai berwudhu sehingga suara terompahnya terdengar di surga ketika Nabi SAW isra mi’raj. Atau Abu Dzar dan Abu Darda yang senantiasa menjaga wasiat Nabi SAW selama hidup untuk tidak meninggalkan tiga hal: dua rakaat sunnah Duha, puasa tiga hari dalam sebulan dan shalat witir sebelum tidur. Atau kita dapat melakukan perintah Rasulullah SAW untuk mendapat tiket ke surga dengan damai yaitu menebarkan salam, memberi makan kepada orang yang membutuhkan dan shalat malam ketika orang lain tidur nyenyak.

Sekarang, tinggal kita yang harus mulai meretas kembali semua amal perbuatan itu, mudah- mudahan semua yang kita lakukan selalu berdimensi ukhrawi!


http://www.almanar.co.id/buletin-almanar/menatap-masa-depan-akhirat.html

Kamis, 27 Januari 2011

Allah Maha Pengampun



Setiap hari ku merenungi diriku
Hari demi hari berlalu
Dan tahun demi tahun meninggalkanku
“Apa yang telah kupersiapkan sebagai bekalku?”
Demikian yang selalu terlintas dalam benakku

Sejujurnya aku malu
Karena ketika kuhitung-hitung amalku
Ternyata sedikit sekali hanya seujung kuku
Namun ketika kuingat-ingat dosaku
Alangkah banyaknya, menghitungnya pun aku tak mampu

Dengan bertumpuknya dosa-dosaku itu
Dan sedikitnya bekal yang ku kumpulkan untuk-Mu
Aku menjadi sedikit ragu
Masih layakkah aku mendapat ampunan wahai Robb-Ku?
Ataukah sudah tertutup pintu-Mu bagiku?

Untunglah aku masih teringat dengan janji-Mu
Bahwa rahmat-Mu mendahului murka-Mu
Dan pintu ampunan selalu terbuka untuk semua makhluk-Mu
Hal itulah yang menjadi penguat jiwaku
Dan memberi semangat kepada batinku

Sehingga inilah pengakuan tulusku :

“Wahai Robb-ku, meskipun sangat besar dosa-dosaku,
Sungguh ku tahu bahwa lebih besar ampunan-Mu” *

“Jika hanya orang yang baik saja yang boleh memohon kepada-Mu,
Lalu kepada siapakah seorang pendosa akan mengadu” **

“Maka ketika hatiku membeku dan terasa sempit semua jalan bagiku,
Ku jadikan harapanku sebagai tangga menuju ampunan-Mu” ***

Ampunilah diriku, wahai Robb-ku..

Keterangan :
* , *** Potongan bait syair yang diucapkan Imam Syafi'i sebelum beliau wafat, sebagaimana diceritakan As-Subki dalam Thabaqat Asy-Syafi'iyyah : 1/188.
** Potongan bait syair yang dinisbatkan kepada Abu Nuwas. Biografi Abu Nuwas dapat dilihat pada Al-Bidayah wan Nihayah : 14/64-86 dan Wafayatul A'yan : 2/95-104.

http://faidah-ilmu.blogspot.com/2010/09/allah-maha-pengampun.html

Harun ar-Rasyid : Khalifah Yang Berhati Lembut



Ketika khalifah Harun ar-Rasyid selesai membangun salah satu istana yang megah, ia mengundang seorang penyair bernama Abul ‘Atahiyah datang ke istananya untuk membacakan syair-syairnya yang indah. Maka Abul ‘Atahiyah membacakan sebuah syair :

“Hiduplah sesuka hatimu
di bawah naungan megahnya istanamu;

Engkau mendapatkan apa yang engkau senangi
di waktu pagi maupun sore hari;

Namun jika tiba waktu sekaratnya jiwa
karena sempitnya nafas di dalam dada;

Saat itu barulah engkau sadari
bahwa engkau dalam kelalaian selama ini.”


Setelah mendengar syair tersebut, Harun ar-Rasyid langsung menangis tersedu-sedu.

Di lain kesempatan Harun ar-Rasyid memanggil Abul ‘Atahiyah lalu berkata : “Nasihatilah saya dengan sebuah syair.” Maka Abul ‘Atahiyah berkata :

“Janganlah engkau merasa selamat sekejap pun dari kematian
Walaupun engkau mempunyai para penjaga dan para pasukan;

Ketahuilah bahwa panah kematian pasti akan tepat sasaran
Meskipun seseorang berada dalam benteng perlindungan.”

Setelah mendengar syair itu, Harun ar-Rasyid langsung pingsan.

Demikianlah beberapa episode kehidupan Harun ar-Rasyid. Tidak seperti yang diceritakan dalam kisah-kisah dusta dalam buku dongeng berjudul Alfu Lailatin wa Lailah (cerita 1001 malam) yang menggambarkan Harun ar-Rasyid seorang yang gemar berfoya-foya dan bermaksiat.

Al-Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah wan Nihayah (14/28) menceritakan tentang khalifah Harun ar-Rasyid :
“Perjalanan bidupnya sangat mulia. Beliau seorang raja yang paling banyak berjihad dan menunaikan ibadah haji. Setiap hari beliau bersedekah dengan hartanya sendiri sebanyak seribu dirham. Jika beliau pergi haji maka ia juga menghajikan seratus ulama dan anak-anak mereka. Jika beliau tidak pergi haji maka ia menghajikan tiga ratus orang. Beliau sangat gemar bersedekah. Beliau mencintai ulama dan pujangga. Cincin beliau bertuliskan La ilaha Ilallah.”

Khalifah Harun ar-Rasyid wafat dalam peperangan di Khurasan pada tahun 193 Hijriah dalam usia 45 tahun. Ketika kabar kematiannya sampai ke telinga seorang ahli ibadah bernama Fudhail bin 'Iyadh, maka beliau berkata : “Tidak ada kematian seorang pun yang memuatku sangat terpukul melebihi kematian amirul mukminin Harun ar-Rasyid. Sungguh aku ingin seandainya Allah menambah umurnya dengan sisa umurku”. Perkataan Fudhail tadi terasa ganjil bagi sebagian orang ketika itu. Namun ketika khalifah setelahnya yakni al-Makmun menyebarkan ajaran bahwa al-Qur’an adalah makhluk, mereka baru menyadari kebenaran kata-kata Fudhail bin 'Iyadh.

Semoga Allah merahmati khalifah Harun ar-Rasyid dan menempatkannya dalam surga-Nya yang luas. Aamiin

(Diringkas dari majalah Al-Furqon edisi 5 th 8/1429 H, hal. 54-57, dengan sedikit perubahan dan penambahan).

http://faidah-ilmu.blogspot.com/2011/01/harun-ar-rasyid-khalifah-yang-berhati.html

Rabu, 26 Januari 2011

Apakah Dosa Kita Terampuni ?

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Allah Ta’ala berfirman, " Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.'” (HR. Tirmidzi, dan dia menghasankannya).

Hadits yang agung ini menyimpan banyak pelajaran berharga, di antaranya:

1. Tauhid merupakan syarat untuk bisa meraih ampunan Allah Ta’ala. Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata mengomentari hal ini, “Ini adalah syarat yang berat untuk bisa mendapatkan janji itu yaitu curahan ampunan. Syaratnya adalah harus bersih dari kesyirikan, banyak maupun sedikit. Sementara tidak ada yang bisa selamat/ bersih darinya kecuali orang yang diselamatkan oleh Allah Ta’ala. Itulah hati yang selamat sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala (yang artinya), 'Pada hari ketika tidak lagi bermanfaat harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.'” (Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 53-54)

2. Keutamaan ini hanya akan bisa diperoleh bagi orang yang bersih tauhidnya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “…Seandainya ada seorang yang bertauhid dan sama sekali tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatupun berjumpa dengan Allah dengan membawa dosa hampir seisi bumi, maka Allah pun akan menemuinya dengan ampunan sepenuh itu pula. Namun, hal itu tidak akan bisa diperoleh bagi orang yang cacat tauhidnya. Karena, sesungguhnya tauhid yang murni itu yang tidak tercemari oleh kesyirikan apapun, maka ia tidak akan menyisakan lagi dosa. Karena, ketauhidan semacam itu telah memadukan antara kecintaan kepada Allah, pemuliaan dan pengagungan kepada-Nya, serta rasa takut dan harap kepada-Nya semata, yang hal itu menyebabkan tercucinya dosa-dosa, meskipun dosanya hampir memenuhi isi bumi.

3. Hadits ini mengandung keterangan tentang makna la ilaha illallah yang bisa lebih berat timbangannya daripada semua makhluk dan semua dosa. Maknanya adalah meninggalkan syirik dalam jumlah banyak maupun sedikit. Hal itu pasti membuahkan ketauhidan yang sempurna. Tidak mungkin bisa bersih dari syirik kecuali bagi orang yang benar-benar merealisasikan tauhidnya, serta mewujudkan konsekuensi dari kalimat ikhlas (syahadat) yang berupa ilmu, keyakinan, kejujuran, keikhlasan, rasa cinta, menerima, tunduk patuh dan lain sebagainya menjadi konsekuensi kalimat yang agung itu

4. Hadits ini menunjukkan bahwa tauhid tidak hanya cukup di lisan. Namun, tauhid juga menuntut seorang hamba untuk menunaikan kewajiban, serta meninggalkan kemaksiatan.

5. Hadits ini menunjukkan betapa besar pahala amalan tauhid (lihat Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 55).

6. Hadits ini menunjukkan betapa luasnya kedermawanan dan kasih sayang Allah Ta’ala (lihat Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 55).

7. Hadits ini mengandung bantahan bagi orang-orang Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar (lihat Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 55).

8. Hadits ini juga mengandung bantahan bagi kaum Mu’tazilah yang memiliki keyakinan bahwa pelaku dosa besar itu berada di antara dua status di alam dunia ini, antara iman dan kafir. Manzilah baina manzilatain dalam istilah mereka, dan pelaku dosa besar menurut mereka kelak akan kekal di neraka (lihat Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 55).

9. Allah Ta’ala berkata-kata, sesuai dengan keagungan dan kemuliaan diri-Nya (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 43).

10. Meninggal di atas tauhid yang bersih merupakan syarat mendapatkan ampunan dosa, dalam hal ini terdapat perincian sebagai berikut:
[a] Orang yang mati dalam keadaan melakukan syirik besar atau tidak bertaubat darinya, maka dia pasti masuk neraka.
[b] Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih terkotori dengan syirik kecil sementara kebaikan-kebaikannya ternyata lebih berat daripada timbangan keburukannya, maka dia pasti masuk surga.
[c] Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih memiliki syirik kecil sedangkan keburukannya justru lebih berat dalam timbangan, maka orang itu berhak masuk neraka namun tidak kekal di sana (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 44).

11. Hadits ini mengandung motivasi (targhib) dan peringatan (tarhib). Ini merupakan motivasi agar orang mau berjuang keras membersihkan tauhidnya dari kotoran syirik dan kemaksiatan, karena Allah menjanjikan ampunan yang demikian besar bagi orang yang murni tauhidnya.

Dan ini sekaligus menjadi peringatan bagi orang-orang yang selama ini tenggelam dalam dosa dan kemaksiatan agar waspada dan takut kalau ternyata di akhir hidupnya mereka tidak tergolong orang yang bersih tauhidnya. Karena kotornya tauhid akan menyebabkan dosa-dosa mereka tidak pasti diampuni oleh Allah, padahal kita semua mengetahui bahwa ‘Inna bathsya Rabbika la syadiid’ Sesungguhnya siksaan Rabb-mu amatlah keras… Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Seandainya Allah mau menyiksa manusia -di dunia- sebagai hukuman atas dosa yang mereka perbuat niscaya tidak akan Allah sisakan di atas muka bumi ini seekor binatang melatapun. Akan tetapi Allah menunda hukuman itu untuk mereka hingga waktu yang telah ditentukan. Maka apabila telah datang saatnya sesungguhnya Allah Maha melihat semua hamba-Nya.” (QS. Fathir: 45).

12. Hadits di atas juga menunjukkan wajibnya mempelajari syirik dengan segala macam bentuk dan jenisnya untuk dijauhi, wajibnya menyadari bahayanya yang sangat besar serta memperingatkan umat dari segala sarana yang menjerumuskan ke dalamnya.

13. Hadits di atas juga menunjukkan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Karena sesungguhnya orang yang bisa meraih keutamaan yang berupa ampunan yang melimpah ruah itu hanyalah orang yang bersih tauhidnya. Sementara hal itu tidak akan bisa dicapai kecuali dengan mengenali maksiat dan menjauhinya serta bertaubat darinya.

14. Hadits di atas juga menunjukkan bahwa dosa yang paling harus ditakuti dan dijauhi oleh manusia adalah dosa kesyirikan dan kekafiran. Karena dosa itulah yang menghalangi mereka dari memperoleh ampunan Allah Ta’ala. Oleh sebab itulah dalam memperbaiki kondisi masyarakat yang telah mengalami kerusakan dalam berbagai sisi kehidupan mereka maka seorang dai harus memprioritaskan pembenahan akidah dan pemurnian tauhid terlebih dulu, karena ini adalah asas penyucian jiwa dan kunci keselamatan di dunia dan di akhirat.

15. Hadits di atas menunjukkan batilnya semua sesembahan selain Allah Ta’ala. Sehingga tidak ada sosok yang layak untuk dijadikan tempat bergantungnya hati, tumpuan rasa cinta, takut, dan harap serta tawakal kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

16. Hadits di atas juga menunjukkan bahaya nya riya’, karena riya’ adalah syirik yang sangat samar, sementara syirik menyebabkan pelakunya terhalang dari mendapatkan ampunan dosa.

17. Hadits di atas menunjukkan bahwa pengampunan dosa adalah hak Allah Ta’ala, bukan hak Nabi ataupun ulama, apalagi pendeta atau pastur gereja!

18. Hadits di atas menunjukkan sebesar apapun dosa selama masih berada di bawah tingkatan syirik, maka masih mungkin untuk diampuni oleh Allah Ta’ala dan masih ada kesempatan masuk surga walaupun pelakunya –jika tidak bertaubat- harus mampir sekian lama di dalam neraka, semoga Allah menyelamatkan kita darinya. Dosa syirik pun, apabila pelakunya bertaubat, maka akan diampuni oleh Allah Ta’ala.

Abu Mushlih Ari Wahyudi, (di Edit seperlunya)
http://pengusahamuslim.com/baca/artikel/1069/siapa-bilang-dosamu-tidak-terampuni
Artikel www.PengusahaMuslim.com

KEMURAHAN ALLAH TERHADAP PEREMPUAN



Allah telah menjelaskan kepada kita bahwa Dia telah menurunkan al-Qur'an kepada manusia sebagai "Peringatan"(QS. Al-Muminun, 71), dan Allah telah menjanjikan kesejahteraan kepada setiap hamba-hamba-Nya yang mengamalkan nilai-nilai moral di dalam al-Qur’an dan mengikuti jalan-Nya yang lurus. Satu-satunya cara bagi para perempuan untuk melepaskan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi di dalam kelompok masyarakat yang tidak mempercayai adanya tuhan dan kehormatan yang selayaknya mereka dapatkan hanya dapat ditemukan di dalam al-Qur’an.

Di dalam banyak ayat dalam al-Qur’an, Allah membela para perempuan dan hak-hak mereka, menghapus pendapat-pendapat yang salah mengeni perempuan yang tumbuh di dalam kelompok masyarakat yang tidak mempercayai adanya Tuhan, dan Allah memberi mereka kedudukan yang terhormat di dalam masyarakat. Al-Qur'an menjelaskan kepada kita bahwa Allah menilai kemuliaan hamba-Nya berdasarkan ketakwaannya kepada Allah, kadar keimanannya, kulitas moral yang dimilikinya, keikhlasan dan kesalehannya, bukan berdasarkan jenis kelamin atau gender, apakah dia seorang laki-laki atau perempuan. Semua itu merupakan bukti kemurahan Allah yang tak tertandingi terhadap perempuan.

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang palin bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (QS Al Hujurat, 13).

Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah Menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat. (QS Al A’raf, 26)

Pada ayat lain, Allah berfirman “Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah Mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (Surat Al Baqarah, 197), dan Allah menjelaskan bahwa kulitas terbaik hamba-Nya ditentukan oleh ketakwaannya. Oleh karena itu, kadar ketakwaan yang memberikan nilai dasar kepada manusia dan keunggulannya di mata Allah.

Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, akan dilipatgandakan (balasannya) bagi mereka; dan mereka akan mendapat pahala yang mulia.” (QS. Al Hadid, 18). Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa baik laki-laki maupun perempuan yang taat kepada moralitas al- Qur’an akan mendapatkan pahala yang mulia.

Di dalam al-Qur’an, Allah menjelaskan kepada kita bagaimana melindungi dan memperlakukan kaum perempuan dan memberi mereka penghormatan yang layak mereka dapatkan. Semua ketentuan-ketentuan tersebut adalah demi kebaikan perempuan, sehingga mereka tidak dilecehkan maupun ditindas.

Di dalam al-Qur’an, Allah telah memberikan petunjuk kepada umat manusia jalan yang lurus dan Allah telah menghapuskan kebodohan dan kepalsuan yang sebelumnya telah mengakar. Berdasarkan moralitas al Qur'an, hal yang terpenting bagi bagi umat manusia adalah pendekatan diri kepada Allah dengan keimanan yang mendalam, rasa takut dan penghormatan kepada Allah. Pendekatan berdasarkan jenis kelamin sama sekali tidak sesuai.

Mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya berarti mengikuti ajaran-ajaran moralitas al-Qur’an sebaik mungkin. Inilah orang-orang yang memiliki nilai di mata Allah. Al Quran menjelaskan kualitas dasar keimanan yang harus dimiliki baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan Diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (QS. At-Tawba, 71).

Sebagaimana yang telah Allah jelaskan kepada kita, perempuan yang beriman dan laki-laki yang beriman bertanggung jawab untuk mentaati dan mengikuti ajaran-ajaran moral di dalam al-Qur’an, mengingatkan orang lain untuk berbuat baik, menahan diri dari perbuatan maksiat, dan mengamalkan apa yang telah diatur di dalam al-Qur'an. Allah berjanji untuk memberikan kepada semua hamba-Nya, tanpa melihat jenis kelamin,"furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan bathil)" (QS. Al-Anfal, 29).

Sebagai imbalan atas iman dan ketulusan mereka, Allah akan membimbing mereka, memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang tepat dan bertindak dengan benar, dan memberi mereka kecerdasan, pemahaman, dan persepsi. Oleh karena itu, kecerdasan tidak tergantung pada jenis kelamin seseorang, namun kecerdasan dianugerahkan kepada mereka yang takut dan beriman kepada Allah serta melakukan tindakan yang terbaik untuk mendapat keridhaan Allah.

Setiap laki-laki maupun perempuan yang bertindak sesuai dengan kebijaksanaan yang berasal dari keyakinan mampu mengungguli orang lain dan mencapai keberhasilan dalam setiap bidang kehidupan. Hai ini tergantung sepenuhnya pada kehendak seseorang, semangat, dan tekad. Sesuai dengan ajaran moralitas Islam, orang beriman tidak pernah menganggap dirinya sempurna dalam segala hal, melainkan mereka selalu berusaha untuk menjadi lebih memahami, lebih mampu, lebih bertanggung jawab, dan lebih maju dalam pribadi mereka, dan lebih berhasil dalam membentuk sebuah kehidupan berdasarkan moralitas yang baik. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengembangkan diri di setiap bidang.

Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk berdoa kepada-Nya sehingga mereka dapat menjadi contoh pribadi yang baik kepada orang-orang di sekitar mereka:

Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan : 74)

Seorang wanita salehah yang melakukan hal terbaik untuk menjadi teladan, memiliki kejujuran moral, dan kemauan yang kuat, Insya Allah, mampu mencapai kedudukan yang tinggi di dalam masyarakatnya. Dia melaksanakan tanggung jawabnya sebaik mungkin, membuat keputusan yang paling tepat, menemukan solusi terbaik untuk berbagai masalah, dan menetapkan metode-metode terbaik untuk diterapkan

Islam mengajarkan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan. Rahmat Allah telah menghapus segala perbedaan gender yang timbul dari kebodohan dan pemikiran-pemikiran yang salah tentang gender, dan rahmat Allah memberi nilai dan penghormata kepada kaum perempuan. Semua ini tergantung pada keyakinan dari orang-orang yang beriman kepada Allah, karakter moral yang dimiliki, dan tanggung jawab yang mereka terima.

Oleh karena itu, tidak dikenal adanya bentuk perjuangan untuk menggapai kesetaraan dengan laki-laki bagi perempuan yang mengamalkan nilai-nilai moral al-Qur'an, melainkan di dalam al-Qur’an terdapat nilai-nilai kebaikan yang harus dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman demi mendapatkan pertolongan-Nya.

Dengan memahami tujuan tersebut, mereka berusaha keras untuk menjadi hamba yang paling dekat dengan Allah, hamba yang paling dicintai dan yang paling disukai. Kebaikan-kebaikan di dalam al-Qur’an tersebut sepenuhnya merupakan sebuah keberkahan. Allah menjelaskan kepada kita bahwa salah satu ciri khas utama orang yang beriman adalah upaya yang mereka lakukan untuk menggapai tujuan ini :

mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya. (QS. Al-Muminun, 61)

Kemudian Kitab itu Kami Wariskan kepada orang-orang yang Kami Pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar. (Surah Fatir Surah, 32)

http://us1.harunyahya.com/Detail/T/6HQIRVG4296/productId/24877/KEMURAHAN_ALLAH_TERHADAP_PEREMPUAN

************************************


KEISTIMEWAAN WANITA SOLEHAH


1. Do’a wanita lebih makbul daripada lelaki karena sifat penyayang yang lebih kuat daripada lelaki. Ketika ditanya kepada Rasulullah SAW akan hal tersebut, jawab baginda : ” Ibu lebih penyayang daripada Bapak dan doa orang yang penyayang tidak akan sia-sia.

2. Wanita yang solehah ( baik ) itu lebih baik daripada 1000 lelaki yang soleh.

3. Barang siapa yang menggembirakan anak perempuannya, derajatnya seperti orang yang senantiasa menangis Karena takut Allah SWT dan orang yang takut Allah SWT akan diharamkan api neraka keatas tubuhnya

4. Barang siapa yang membawa hadiah ( barang, makanan dari pasar kerumah ) lalu diberikan kepada keluarganya, maka pahalanya seperti bersedakah. Hendaklah mendahulukan anak perempuan daripada anak lelaki. Maka barang siapa yang menyukai akan anak perempuan seolah-olah dia memerdekakan anak Nabi Ismail A.S

5. Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya, akan tinggal bersama aku (Rasulullah SAW ) di dalam surga.

6. Barang siapa yang mempunyai tiga anak perempuan atau tiga Saudara perempuan atau dua Saudara perempuan, lalu dia bersikap ihsan dalam pergaulan dengan mereka dengan penuh rasa takwa serta bertanggung jawab, maka baginya adalah surga.

7. Dari Aisyah r.a. “Barang siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuannya lalu dia berbuat baik kepada mereka , maka mereka akan menjadi penghalang baginya api neraka.

8. Surga itu di bawah telapak kaki ibu.

9. Apabila memanggilmu dua orang ibu bapamu maka jawablah panggilan ibumu dahulu.

10. Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutup pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu surga . Masuklah dari manapun pintu yang dia kehendaki dengan tidak dihisab.

11. Wanita yang taat pada suaminya, semua ikan-ikan di laut, burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan, semuanya beristigfar baginya selama dia taat kepada suaminya dan rakannya ( serta menjaga sembahyang dan puasanya ).

12. Aisyah r.a. berkata ” aku bertanya pada rasulullah SAW, siapakah yang lebih besar haknya terhadap wanita? Jawab baginda “suaminya”. Siapa pula berhak terhadap lelaki?” jawab Rasulullah SAW “Ibunya”

13. Perempuan apabila sembahyang lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, memelihara kehormatannya serta taat pada suaminya, masuklah dia dari pintu surga mana saja yang dia kehendaki

14. Tiap perempuan yang menolong suaminya dalam urusan agama, maka Allah SWT memasukkan dia kedalam surga lebih dahulu daripada suaminya ( 10.000 tahun )

15. Apabila seorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka ber-istighfar-lah para malaikat untuknya. Allah SWT mencatatkan baginya setiap hari dengan 1000 kebaikan dan menghapuskan darinya 1000 kejahatan.

16. Apabila seorang perempuan mulai sakit hendak bersalin, maka Allah SWT mencatatkan baginya pahala orang yang berjihad pada jalan Allah SWT

17. Apabila seorang perempuan melahirkan anak, keluarlah ia dari dosa-dosa seperti keadaan ibunya melahirkan

18. Apabila telah lahir ( anak ) lalu disusui, maka bagi ibu itu setiap satu tegukan dari susunya diberi satu kebajikan

19. Apabila semalaman ( ibu ) tidak tidur dan memelihara anaknya yang sakit, maka Allah SWT memberinya pahala seperti memerdekakan 70 orang hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah SWT

Sumber: kisah tentang wanita sholehah
http://daanaa-peace-daana.blogspot.com/2010/03/19-keistimewaan-wanita-solehah.html