Selasa, 31 Desember 2013

Belajar Qanaah


Suatu ketika Nabi Muhammad SAW  bertanya kepada Abu Dzar Al-Ghifari. “Abu Dzar, apakah menurutmu banyaknya harta itu merupakan kekayaan?” Abu Dzar diam saja, tidak menjawab. 

Pertanyaan itu lalu dijawab sendiri oleh Nabi, “Kekayaan hakiki adalah kekayaan hati dan kemiskinan sejati adalah kemiskinan hati. Siapa yang memiliki kekayaan hati maka kondisi duniawi apapun yang dialaminya tidak akan mendatangkan kemudharatan baginya. Sebaliknya, siapa yang miskin hati maka apa pun yang melebihi isi dunia tidak akan pernah mencukupinya.” (HR Ibnu Hibban).

Nabi lalu melanjutkan pesan moralnya, “Jadilah engkau orang yang wara niscaya engkau akan menjadi orang yang paling ahli ibadah dan jadilah engkau yang selalu merasa cukup (qanaah), niscaya engkau menjadi orang yang paling pandai bersyukur.” (HR Al-Baihaqi). 
Sebab Allah SWT menegaskan, “Dan sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS Saba’ [34]: 13). Dengan kata lain, bersikap qanaah merupakan kunci menjadi orang yang bersyukur. 

Qanaah berarti merasa cukup, puas, dan ridha (menerima) terhadap bagian rezeki atau apa pun yang dianugerahkan Allah SWT kepada kita. Orang yang qanaah, menurut al-Jahizh, selalu merasa berkecukupan, tidak merasa kurang dengan terus mengeluh, dan tidak juga serakah dalam meraih kekayaan, kedudukan, dan jabatan, termasuk jabatan politik. Karena, setiap manusia pada dasarnya sangat mencintai kekayaan/kedudukan duniawi (QS al-Adiyat [100]: 8). 

Qanaah itu tak ubahnya seperti rem yang dapat mengendalikan nafsu duniawi dan syahwat politik menuju tawakal dan bersyukur kepada Allah SWT. Qanaah dalam berbagai hal, termasuk jabatan politik, sangat penting menjadi benteng moral, terutama bagi penguasa dan calon penguasa. 

Qanaah merupakan manifestasi kecerdasan moral yang dapat memerdekakan seseorang dari penghambaan diri terhadap urusan duniawi yang menyilaukan dan tidak pernah memuaskan. Sikap ini juga menjadi terapi mental penyakit hati, seperti tamak, hasad (iri hati), namimah (adu domba, provokasi), dan kebohongan publik. 

Qanaah juga dapat menumbuhkan kelapangan jiwa (legowo), zuhud (asketis), dan rasa percaya diri bahwa rezeki dan rahmat Allah SWT itu maha luas, tidak terbatas pada kedudukan dan jabatan yang disandang seseorang. Karena itu, belajar qanaah dalam menjalani kehidupan ini merupakan salah satu bentuk pendakian spiritual yang sangat penting dalam rangka pendekatan diri kepada Allah. 

Tanpa belajar qanaah, manusia cenderung menjadi serakah, tamak, dan korup. Lebih-lebih jika ketiadaan qanaah itu disandingkan dengan kekuasaan politik, yang bersangkutan akan semakin tidak bisa mengendalikan dirinya dari korupsi dan memperkaya diri sendiri.
“Jika engkau mempunyai hati yang qanaah maka engkau dan pemilik dunia ini sama saja.” Perkataan Imam Syafi’i ini senada dengan wasiat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu, “Qanaah itu merupakan kekayaan yang tidak pernah sirna.” 

Jabatan dan kekayaan datang silih berganti dan tidak pernah abadi. “Siapa bersikap dan belajar qanaah, hidupnya selalu bahagia. Sebaliknya siapa berlaku tamak, ia akan menderita sepanjang masa,” demikian kata Imam Ibn al-Jauzi.








Istighfar

Manfaat Indah Istighfar


Manfaat istigfar dalam kehidupan sehari-hari 

Pertama, memperoleh kenikmatan hidup secara terus-menerus. 
Allah SWT berfirman, "Dan hendaklah kamu beristigfar (meminta ampun) kepada Tuhanmu dan bertobatlah kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian) niscaya Dia (Allah) akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia (Allah) akan memberikan kepada tia-tiap orang yang mempunyai keutamaan (ketaatan/amal kebaikan)" (QS Hud [11]: 3).

Kedua, dibebaskan dari perasaan tertekan atau kedukaan. 

Ketiga, Membukakan jalan keluar atas kesulitan. 
Rasulullah SAW bersabda, "Dan Dia (Allah) akan memberikan (membukakan) jalan keluar bagi kesempitannya (kesulitannya)." 

Keempat, memudahkan datangnya rezeki. 
Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa yang merasa diperlambat (tersendat-sendat) rezekinya, hendaknya dia beristigfar kepada Allah." (HR Baihaqi dan ar-Rabi'i).

Selain itu, manfaat lain dari mendawamkan istigfar antara lain, mendatangkan keselamatan, menimbulkan ketenteraman hati, mendatangkan ampunan dosa, menumbuhkan sifat-sifat keutamaan kepada seseorang, dan dicintai Allah. 


Bertobat dengan Istighfar

Istigfar biasanya mempunyai kaitan dengan tobat atau pertobatan. 
Hal ini bisa disimak dari firman Allah, "Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya" (QS Al-Maidah [5]: 74).

Lalu apakah dengan demikian istigfar sama dengan bertobat ? 
Dalam hal ini tobat mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Dalam bertobat, seseorang terikat untuk melaksanakan syarat-syarat pertobatan, bila ia melanggarnya maka tobatnya dengan sendirinya menjadi tertolak. 
Syarat-syarat itu antara lain: menyesali dosa-dosanya, tidak akan mengulangi kesalahan yang sama pada masa mendatang, memperbanyak melakukan kebaikan, amal ibadah ataupun ketaatan, menjauhi perbuatan buruk dan beberapa yang lain lagi.

Salah satu dari sekian tuntutan bagi orang yang bertobat ialah mengucapkan istigfar. Artinya, istigfar merupakan bagian dari tobat atau pertobatan. Meski demikian, istigfar memiliki nilai yang tinggi diantara amalan-amalan ibadah, khususnya dalam kelompok ibadah dan zikir. 
Rasulullah SAW bersabda, "Yang terbaik diantara kamu ialah orang yang sering tergoda, tetapi sering bertobat (sering kembali kepada Allah) dengan perasaan menyesal atas dosa yang diperbuatnya dengan jalan memperbanyak istigfar."

Di sini jelas hubungannya tobat dengan istigfar merupakan cara untuk menuju pertobatan.
Dengan membiasakan istigfar, maka bukan hanya dosa-dosa masa lalu dan masa kini, tetapi dosa-dosa masa mendatang pun telah mendapat jaminan diampuni Allah bahkan beristigfar dapat mendatangkan kesempurnaan nikmat (karunia) Allah. 
Firman-Nya, "Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu." (QS Al-Fath [48]: 2).

Berkah di Balik Istighfar

Istigfar merupakan permohonan ampunan dari manusia selaku hamba yang memiliki sifat ketergantungan kepada Allah, Zat yang telah menciptakan diri-Nya dan yang berkuasa menentukan bagaimana nasib dirinya sebagai makhluk Allah.

Permohonan ampunan ini semata-mata ditujukan kepada Allah, tidak kepada yang lainnya. Permohonan ampunan itu juga bersifat langsung kepada Allah tanpa melalui perantara, sehingga merupakan permohonan ampunan yang amat murni dari lubuh hatinya.

Allah SWT berfirman: "Mereka takut kepada Tuhannya yang berkuasa atas (nasib baik buruknya) mereka dan melaksanakan yang diperintahkan (kepada mereka)". (QS a-An-nahl [16]: 50).

Realisasi istigfar diungkapkan dalam bentuk kalimat-kalimat istigfar seperti berikut ini Gufraanaka Rabbanaa wa ilaikal masiir (Ampunilah kami, ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah kami kembali) (QS Albaqarah [2]: 285).



http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/12/28/myhx91-manfaat-indah-istighfar

Sabtu, 28 Desember 2013

Bersegera dalam Lima Perkara



Allah Swt mengaruniakan hamba-hambaNya berbagai macam nikmat yang tidak akan pernah dapat dihitung. Nikmat-nikmat itu tak hanya bersifat materi, namun juga immateri.

Kategori nikmat dalam bentuk harta (maal), akan habis jika kita tidak pandai dalam pengelolaan rezeki Allah. Dengan kata lain, ada ni’mat dari Allah yang kasat mata, namun bernilai ibadah tiada hingga, yakni semanagat (ghirah) ibadah.

Dalam satu tahun, Allah Swt pula yang menyediakan beberapa bulan khusus, termasuk di dalamnya rajab, yang disebut sebagai syahrullah (bulan Allah). Selain rajab, Allah juga menjadikan sya’ban, sebagai bulannya Rasulullah (syahru ar-rasuul).

Selain dua bulan tersebut, satu bulan mulia yang jika kita beribadah maka akan dilipatgandakan pahalanya ialah ramadhan. Oleh karenanya, ramadhan disebut-sebut sebagai bulannya umat Nabi Muhammad, sebab di dalamnyass terdapat banyak ganjaran pahala yang Allah berikan, jika kita ikhlas beribadah pada-Nya.

Dalam Qs Ali Imran, Allah berfirman, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,” (Qs Ali Imran: 133)

Allah membuka surah Ali Imran ayat 133 ini dengan anjuran untuk ‘bersegera’. Bersegera berarti menyegerakan hal-hal baik untuk segera dilaksanakan—yang dalam konteks di atas ialah menyegerakan diri meraih ampunan untuk memperoleh surgaNya Allah. Tentu saja, bersegera berbeda dengan ‘cepat-cepat’ atau ‘tergesa-gesa’ yang datangnya cenderung dari setan.

Sedangkan yang dimaksud dengan takwa dalam surah di atas, dijawab Allah pada ayat berikutnya, “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Qs Ali Imran: 134-135)

Ada lima kategori yang harus disegerakan dalam konteks ayat di atas, yaitu pertama, menafkahkan harta. Kedua, menahan amarah. Ketiga, memaafkan kesalahan orang lain. Keempat, bertobat saat melakukan perbuatan keji. Kelima, bertobat saat menganiaya diri sendiri. Kelima hal tersebut, Allah anjurkan untuk ‘disegerakan’ terlebih dua hal terakhir di atas, yakni ‘tobat’.

Allah sediakan bulan rajab ini sebagai bulanNya, dalam arti bahwa kita selaku hamba-hambaNya yang mungkin, lebih banyak dosa ketimbang pahala, untuk bersegera datang memohon dan mengharap ampunanNya. Bersegera dalam taubat juga mengandung makna bahwa timbul kesadaran penuh bahwa ‘usia adalah rahasia Allah’.

Saat kita memutuskan untuk ‘menunda’ pertobatan, maka yang ada hanyalah penyelesaian, ketika ternyata, Allah ‘selesaikan’ usia hidup di dunia dalam kondisi belum bertaubat. Dengan kata lain, Allah mengajak hamba-hambaNya untuk segera bertaubat di bulan ini, agar ramadhan mendatang, hati ini sudah diliputi kesucian lahir batin.

Selain kesucian lahir maupun batin, orang-orang yang bersegera mengharap ampunannya, maka akan diganjar surga olehnya. Ganjaran ini dipertegas melalui ayat setelahnya, yaitu, “Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (Qs Ali Imran: 136)




Oleh: Ina Itt


Mengikis Tabungan Dosa


Pepatah mengungkapkan, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Begitulah jika dosa-dosa kecil kita kerjakan secara terus menerus. Karena terasa remeh, boleh jadi banyak perkara yang sebenarnya tercela di sisi Allah SWT, tanpa disadari ternyata sudah menambah saldo dosa kita. Kita pun membiarkannya terus menumpuk.

Mengenai hal tersebut, Rasulullah SAW sendiri telah mengingatkan umatnya agar bersikap waspada. Beliau bersabda, ''Awaslah kalian dari dosa-dosa kecil yang biasa diremehkan, sebab itu semua dapat terkumpul sehingga dapat membinasakan orangnya.'' Lalu beliau membuat perumpamaan, suatu kaum (rombongan) yang turun berkemah di hutan dan ketika tiba waktunya makan, tiap orang keluar mencari lidi serta dahan pohon. Setiap orang mendapatkan satu dahan sehingga terkumpul banyak dan dinyalakan api yang dapat memasak makanan. (HR Ahmad).

Dalam kehidupan sehari-hari, dosa-dosa kecil tersebut mudah sekali terjadi. Terlambat menepati janji, berkata kotor dan jorok, berlebihan dalam berbicara (dibuat-buat), mengolok-ngolok orang lain, menangguhkan hak orang lain, dan sebagainya, merupakan contoh akhlak yang tercela. Semua itu membawa konsekuensi dosa.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dikisahkan bahwa dahulu pada masa Rasulullah SAW, orang-orang Yahudi menganggap bahwa mereka hanya sebentar saja kelak mendapat siksa di neraka. Karena itu mereka merasa puas dan untung atas perbuatan dosa atau kejahatannya, sehingga tidak bertobat dari dosa yang meliputi dirinya, dan mereka mati dalam kekafiran.

Jika tidak hati-hati, anggapan orang Yahudi tersebut mungkin juga menjadi bagian keyakinan seorang muslim. Karena mengganggapnya tidak seberapa, kita lantas menjadi biasa dan semakin berani melakukan dosa-dosa kecil. Padahal Rasulullah SAW telah bersabda, ''Sesungguhnya Anda semua melakukan amal yang lebih kecil dari rambut dalam pandangan Anda semua, meski kami memandangnya (di masa Rasulullah SAW) termasuk perkara yang merusak.'' (HR Bukhari)

Agar kita terhindar dari langkah menabung dosa akibat kesalahan-kesalahan kecil, yang disengaja maupun tidak, maka Rasulullah SAW sangat menganjurkan umatnya agar mengerjakan amalan-amalan yang disunnahkan. Banyak hal sunnah tersebut yang dapat menghapuskan dosa seseorang.

Ada juga kiat lain yang bisa dipakai untuk menipiskan tabungan dosa kita. Sebuah hadis dari Abu Hurairah menjelaskan, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, ''Shalatnya seorang laki-laki dengan berjamaah, melebihi shalatnya di rumah dan di pasar dua puluh lima derajat. Hal ini didapatkannya karena jika ia berwudhu dengan baik, kemudian keluar untuk shalat, ia tidak keluar kecuali hanya untuk keperluan shalat saja. Maka setiap kali ia melangkah pasti akan diangkat satu derajat baginya dan akan dihapus satu kesalahan darinya.'' (HR Bukhari Muslim).




70 Dosa Besar Manusia



Al-Insaanu Mahallu al-khatha` wa al-nisyaan 

(Manusia itu tempatnya salah dan lupa). 
Ungkapan di atas menjadi pertanda bahwa sesungguhnya, tak ada satu pun manusia yang ada di dunia ini luput dari kesalahan atau tak pernah berbuat dosa.

Nabi Muhammad SAW, sebagai seorang Nabi yang telah dijaga kesalahannya oleh Allah (al-Ma'shum) dan diampuni dosa-dosanya, pernah melakukan kekhilafan. Salah satunya sebagai berikut. Saat Rasulullah SAW sedang menerima tamu para pembesar Quraisy dan sedang berbincang-bincang, tiba-tiba datanglah di hadapannya seorang laki-laki buta yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Laki-laki ini bermaksud menanyakan sesuatu kepada Rasulullah SAW.

Namun, beliau merasa tidak 'suka' dengan kedatangan Ibnu Ummi Maktum ini sehingga beliau terlihat bermuka masam. Atas sikap Rasulullah SAW ini, Allah lalu menegurnya melalui firman-Nya dalam surah 'Abasa [80]: 1-42.

Bahkan, para nabi dan rasul lainnya juga pernah berbuat kekeliruan. Misalnya, Nabi Adam memakan buah khuldi, Nabi Yunus meninggalkan kaumnya, Nabi Musa membunuh lelaki keturunan Bani Israil, dan lain sebagainya. Ini semua menunjukkan bahwa manusia memang tempatnya salah dan keliru.

Bila diperhatikan, kata 'manusia' yang dalam bahasa Arab berasal dari kalimat nisyan dengan jamaknya Al-Insaan memiliki makna pelupa. Hal ini menunjukkan bahwa pada prinsipnya manusia itu suka lupa, lalai, salah, dan khilaf. Karena itu, benarlah bila dikatakan, manusia itu tempatnya salah dan lupa.

                                                                       ***

Dosa besar

Bila berbicara masalah dosa dan kesalahan, manusia tentunya pernah berbuat dosa yang kecil dan dosa besar. Dosa-dosa atau kesalahan yang diperbuat itu antara lain adalah berdusta (berbohong), memasang duri di jalan, mencuri, meninggalkan shalat, tidak menunaikan zakat, enggan melaksanakan haji walau sudah mampu, menggunjing (ghibah), korupsi, berzina, memakan harta anak yatim, dan lain sebagainya. Di antara perbuatan tersebut terdapat dosa-dosa besar dan kecil.

Apa saja dosa-dosa besar itu? Berapa banyak jumlahnya? Para ulama berbeda pendapat mengenai dosa-dosa besar itu. Ada yang mengatakan jumlahnya tujuh, 70, hingga 700. Menurut Ibnu Abbas RA, dosa besar itu ada 70 dan jumlah ini mendekati kebenaran daripada tujuh.

Dalam sebuah hadis yang disepakati oleh para ahli hadis (muttafaq alaih), dosa besar itu ada tujuh. Rasulullah SAW bersabda, ''Jauhilah oleh kalian tujuh dosa yang membinasakan.'' Ditanyakan kepada Rasulullah SAW, ''Apa saja, ya, Rasulullah?'' Nabi menjawab, ''Syirik (menyekutukan Allah dengan lainnya), membunuh jiwa (manusia) yang dilarang Allah selain dengan dasar yang dibenarkan (oleh agama), memakan harta anak yatim, memakan riba, berpaling mundur saat perang, dan menuduh zina terhadap wanita-wanita terhormat. Mereka tidak tahu-menahu dan mereka wanita-wanita beriman.'' (Muttafaq Alaih).

Berkenaan dengan ini pula, Syekh Syamsuddin Muhammad bin Qaimaz at-Turkumani Al-Fariqi ad-Dimasqi asy-Syafii Adz-Dzahabi (673-748 H/1274-1348 M) memetakan dosa-dosa besar dalam sebuah buku yang berjudul al-Kaba`ir.

Dalam kitabnya setebal 179 halaman tersebut, Adz-Dzahabi menyebutkan, ada banyak perbuatan dosa yang sering dan biasa dilakukan oleh manusia. Di antaranya terdapat perbuatan dosa besar. Dalam kitabnya ini, Adz-Dzahabi menuliskan sebanyak 70 dosa besar. Dan, ke-70 dosa besar itu antara lain adalah syirik (menyekutukan Allah dengan sesuatu), membunuh, sihir, meninggalkan shalat, tidak mengeluarkan zakat, berbuka puasa di bulan Ramadhan tanpa uzur, meninggalkan haji di saat mampu, dan durhaka kepada kedua orang tua.

                                                               ***

Selain itu, yang termasuk dalam dosa besar juga adalah bermusuhan dengan sanak saudara, berzina, melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis (homoseksual dan lesbian), riba, memakan harta anak yatim dan menzaliminya, berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya, lari dari perang, melakukan penipuan dan kezaliman kepada rakyat, sombong, bersaksi palsu, meminum khamar, berjudi, menuduh wanita baik-baik berbuat zina, dan curang dalam melakukan pembagian harta rampasan perang.

Dosa besar lainnya adalah mencuri (korupsi), menodong, bersumpah palsu, berbuat zalim, melakukan pungutan liar (pungli), mengonsumsi dan mengoleksi barang haram, bunuh diri, kebiasaan berbohong, hakim yang jahat, menerima suap (menyogok), wanita bergaya laki-laki dan sebaliknya, serta suami yang acuh tak acuh dengan perbuatan buruk istri dan calo dalam kejahatan, mempermainkan pernikahan, riya, berkhianat, mengadu domba, ingkar janji, percaya kepada dukun dan paranormal, menyakiti tetangga, memanjangkan pakaian karena bangga dan sombong, menyakiti wali-wali Allah, berbuat makar, menyebarkan rahasia kaum Muslim, dan menghina sahabat Nabi SAW.

                                                                             ***
Dalam al-Kaba`ir ini, Adz-Dzahabi mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan dosa besar ialah segala hal yang dilarang Allah sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Alquran dan sunah serta para ulama salaf.

Ke-70 dosa besar itu, menurut Adz-Dzahabi, adalah penjabaran dari tujuh dosa besar yang disepakati oleh para ulama dan ahli hadis. Sedangkan, 70 dosa besar tersebut berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas RA.

Kitab ini terbilang sangat menarik. Mengingat, penulis menyertakan perbuatan dan kategori dosa besar itu berdasarkan dalil-dalil Alquran, hadis Nabi SAW, dan pendapat para ulama.

                                                                            ***

Syirik

Di dalam kitabnya ini, Adz-Dzahabi menempatkan dosa yang paling besar adalah syirik kepada Allah. Dalam Alquran, Allah SWT menyatakan, tidak akan mengampuni jika Dia disetarakan dengan makhluk ciptaannya. ''Sesungguhnya, Allah tidak mengampuni jika Dia disekutukan dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.'' (Annisaa' [4]: 48, 116). Dan, mereka akan kekal di neraka (QS Almaidah [5]: 72).

Adz-Dzahabi membagi jenis syirik ini pada dua hal, yakni syirku al-akbar (syirik besar) dan syirku al-ashghar (syirik kecil). Menurut Adz-Dzahabi, yang termasuk syirik besar adalah menyekutukan Allah dengan segala sesuatu, termasuk dengan menyamakannya dengan makhluk ciptaan-Nya. Tempat orang yang melakukan perbuatan ini adalah neraka.

Sedangkan, yang termasuk dalam kategori syirik kecil, jelas Adz-Dzahabi, adalah riya, sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam Alquran. ''Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhan-nya, hendaknya ia mengerjakan amal yang salih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhan-nya.'' (QS Alkahfi [18]: 110).

Dalam hadis Nabi SAW, juga disebutkan, ''Menjauhlah kalian dari syirik kecil, yakni riya.'' (Hlm 8-9).

Mengutip pendapat Fudhail bin 'Iyadh, Adz-Dzahabi menjelaskan, berbuat sesuatu dengan tujuan untuk dipamerkan kepada orang lain termasuk perbuatan syirik.


Oleh Syahruddin El-Fikri

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/04/04/mkq63u-inilah-70-dosa-besar-manusia

Kisah Rasulullah dan Pengemis Buta


“Wahai saudaraku! Jangan engkau dekati Muhammad itu. 
Dia orang gila. Dia pembohong. 
Dia tukang sihir. 
Jika engkau mendekatinya, engkau akan dipengaruhinya dan engkau akan menjadi seperti dia,” kata seorang pengemis buta Yahudi berulang-ulang kali di satu sudut pasar di Madinah setiap pagi sambil tangannya menadah meminta belas orang yang lalu-lalang.

Orang yang lalu-lalang di pasar itu ada yang mengulurkan sedekah karena kasihan malah ada juga yang tidak mempedulikannya langsung.
Pada setiap pagi, kata-kata menghina Rasulullah SAW itu tidak lekang daripada mulutnya seolah-olah mengingatkan kepada orang banyak supaya jangan terpedaya dengan ajaran Rasulullah SAW.

Seperti biasa juga, Rasulullah SAW ke pasar Madinah. Apabila baginda sampai, baginda terus mendapatkan pengemis buta Yahudi itu lalu menyuapkan makanan ke mulutnya dengan lembut dan bersopan tanpa berkata apa-apa.
Pengemis buta Yahudi itu tidak pernah bertanya sama sekali siapa yang selalu menyuapinya. Dia terlalu lahap dengan makanan yang disuapkan tadi.
Perbuatan Rasulullah itu dilakukannya setiap hari sampai beliau wafat.
Sejak kewafatan Rasulullah tidak ada yang sudi menyuapkan makanan ke mulut pengemis itu setiap pagi.

Pada satu pagi, Abu Bakar ra pergi ke rumah anaknya, Siti Aisyah yang juga merupakan isteri Rasulullah SAW untuk bertanyakan sesuatu kepadanya.

“Wahai anakku Aisyah, apakah kebiasaan yang Muhammad lakukan yang aku tidak lakukan?”, tanya Saidina Abu Bakar ra sebaik duduk di dalam rumah Aisyah.

“Ayahandaku, boleh dikatakan apa sahaja yang Rasulullah lakukan, ayahanda telah lakukan kecuali satu,” beritahu Aisyah sambil melayan ayahandanya dengan hidangan yang tersedia.

“Apakah dia wahai anakku, Aisyah?”

“Setiap pagi Rasulullah akan membawa makanan untuk seorang pengemis buta Yahudi di satu sudut di pasar Madinah dan menyuapkan makanan ke mulutnya. Sejak pemergian Rasulullah, sudah tentu tidak ada sesiapa lagi yang menyuapkan makanan kepada pengemis itu,” beritahu Aisyah kepada ayahandanya seolah-olah kasihan dengan nasib pengemis itu.
“Kalau begitu, ayahanda akan lakukan seperti apa yang Muhammad lakukan setiap pagi. Kamu sediakanlah makanan yang selalu dibawa oleh Muhammad untuk pengemis itu,” beritahu Saidina Abu Bakar ra kepada anaknya.

Pada keesokan harinya, Saidina Abu BAkar ra membawakan makanan yang sama seperti apa yang Rasulullah SAW bawakan untuk pengemis itu sebelum ini. Setelah puas mencari, akhirnya beliau bertemu juga dengan pengemis buta itu. Saidina Abu Bakar ra segera menghampiri dan terus menyuapkan makanan ke mulut pengemis itu.

“Hei… Siapakah kamu? Berani kamu menyuapku?” Pengemis buta itu menghardik Abu Bakar ra. Pengemis itu merasakan perbedaan pada orang yang biasa menyuapinya.
“Akulah orang yang selalu menyuapmu setiap pagi,” jawab Abu Bakar ra sambil memerhatikan wajah pengemis buta itu yang nampak marah.

“Bukan! Kamu bukan orang yang selalu menyuapiku setiap pagi. Perbuatan orang itu terlalu lembut dan sopan. Aku dapat merasakannya, dia terlebih dahulu akan menghaluskan makanan itu kemudian barulah menyuap ke mulutku. Tapi kali ini aku terasa sangat susah aku hendak menelannya,” balas pengemis buta itu lagi sambil menolak tangan Saidina Abu Bakar ra yang masih memegang makanan itu.

“Ya, aku mengaku. Aku bukan orang yang biasa menyuapmu setiap pagi. Aku adalah sahabatnya. Aku menggantikan tempatnya,” kata Abu Bakar ra sambil mengesat air matanya yang sedih.

“Tetapi ke manakah perginya orang itu dan siapakah dia?”, tanya pengemis buta itu.

“Dia ialah Muhammad SAW. Dia telah kembali ke rahmatullah. Sebab itulah aku yang menggantikan tempatnya,” jelas Abu Bakar ra.

“Dia Muhammad SAW?”, kata pengemis itu dengan suara terkejut.

“Mengapa kamu terkejut? Dia insan yang sangat mulia,” kata Abu Bakar ra. Pengemis itu langsung menangis sekeras-kerasnya. Setelah agak reda, barulah dia bersuara.

“Benarkah dia Muhammad SAW?”, pengemis buta itu mengulangi pertanyaannya seolah-olah tidak percaya dengan berita yang baru didengarnya itu.

“Ya benar. Kamu tidak percaya?”

“Selama ini aku menghinanya, aku memfitnahnya tetapi dia sedikit pun tidak pernah memarahiku malah dia terus juga menyuap makanan ke mulutku dengan sopan dan lembut. Sekarang aku telah kehilangannya sebelum sempat meminta maaf kepadanya,” ujar pengemis itu sambil menangis teresak-esak.

“Dia memang insan yang sangat mulia. Kamu tidak akan berjumpa dengan manusia semulia itu selepas ini karena dia telah pun meninggalkan kita,” kata Abu Bakar ra.

“Kalau begitu, aku mau kamu menjadi saksi. Aku ingin mengucapkan kalimat syahadat dan aku memohon ampunan Allah,” ujar pengemis buta itu.

Selepas peristiwa itu, pengemis itu telah memeluk Islam di hadapan Abu Bakar ra. Keperibadian Rasulullah SAW telah memikat jiwa pengemis itu untuk mengakui ke-Esaan Allah..


Faedah dari kisah di atas:
1.     Hinaan orang lain tidak akan merendahkan martabat seseorang. Mulia atau hina, itu murni berasal dari diri manusia itu sndiri
2.     Kecintaan Abu Bakar thd Sunnah Rasul sangat besar, sangat bersemangat untuk mengamalkan seluruh sunnah Nabi tanpa terlewati satu pun
3.     Bersedakah dgn rutin, baik, dan tulus. Meskipun hanya dengan beberapa suap nasi
4.     Teladan Rasul tentang dada yang lapang untuk memaafkan dan mencintai fakir miskin, tanpa membeda-bedakan
5.     Kasih sayang kepada sesama manusia itu yang paling utama. Hati yg kotor akan luluh dengan kasih sayang yg tulus.





Rasulullah Seorang Pengusaha Sejati



Lahir sebagai anak yatim dan tak mendapat warisan apa pun, demikian kondisi Rasulullah Muhammad SAW. Namun, hal tersebut tidaklah menjadikannya patang arang menjalani hidup. Sejak kanak-kanak,  Muhammad telah memeras keringat.

Ketika anak-anak seusianya masih bermain, Rasulullah telah menggembala kambing. Padahal, saat itu usianya masih delapan tahun. Dia amat rajin menggembalakan kambing-kambing keluarga baninya.

Shafiyyur-Rahman al-Mubarakfurry dalam Sirah Nabawiyyah menyebutkan, Rasulullah pernah bersabda,  "Tidaklah seorang nabi pun melainkan ia pernah hidup menggembala kambing." Dari jasa mengembala tersebut, Rasulullah mendapat upah dari si pemilik ternak.

Menggembala dilakoni nabi hingga usia 12 tahun. Saat usia itulah untuk kali pertama  dia belajar berwirausaha. Dia turut serta dalam perjalanan dagang pamannya Abu Thalib ke Syam (sekarang Suriah). Pada perjalanan inilah terjadi sebuah pertemuan dengan rahib Nasrani yang mengenali  Muhammad sebagai bakal utusan Allah terakhir. Kisah pertemuan ini sangat terkenal, mengingat inilah kali pertama orang lain melihat sisi kenabian Muhammad meski ia baru diutus hampir 30 tahun setelahnya.

Kemudian, ketika mencapai usia remaja, kata al-Mubarakfury, Muhammad mulai hidup berdagang bersama as-Saib bin Abus-Saib. Dia merupakan rekanan terbaiknya. Tidak pernah saling curang dan saling berselisih. "Nabi dikenal dalam usahanya dengan setinggi-tingginya nilai amanah, nilai kejujuran, dan sikap menjaga kehormatan diri. Inilah karakter beliau di segenap sisi kehidupannya hingga diberi gelar al-Amin," kata AlMubarakfury.

Afzalur Rahman dalam bukunya Muhammad A Trader menyebutkan, pada usia 17 tahun Rasulullah telah  memimpin khalifah dagang hingga ke luar negeri. Tak heran  reputasinya amat cemerlang. Dia sangat dikenal di Syam, Yaman, Yordania, Irak, dan kota perdagangan lain. Tercatat terdapat 17 negara yang pernah dikunjungi dalam ekspedisi perdagangan tersebut. "Sungguh aktivitas perdagangan yang luar biasa. Reputasinya sebagai pedagang yang jujur dan amanah telah disematnya sejak usianya sangat belia," ujarnya.

Menurut Ippho Santosa-Andalus-Khalifah dalam Muhammad sebagai Pedagang, pada usia 25 tahun, Rasulullah sudah menjadi entrepreneur yang kaya raya dan berdagang ke luar negeri tidak kurang dari 18 kali. "Bayangkan saja, jangkauan perdagangan Muhammad muda mencapai Yaman, Syria, Busra, Irak, Yordania, Bahrain, dan simpul perdagangan lainnya di Jazirah Arab," ujarnya.

Pakar Ekonomi Islam UIN Jakarta Agustianto dalam artikelnya "Meneladani Manajemen Bisnis Rasulullah" mengatakan, jauh sebelum Frederick W  Taylor (1856-1915) dan Henry Fayol mengangkat prinsip manajemen sebagai suatu disiplin ilmu, Nabi Muhammad telah mengimplementasikan  nilai-nilai manajemen dalam kehidupan dan praktik bisnisnya. Rasulullah dengan sangat baik mengelola proses, transaksi, dan hubungan bisnis dengan seluruh elemen bisnis serta pihak yang terlibat di dalamnya.

Dasar-dasar etika dan manajemen bisnis tersebut telah mendapat legitimasi keagamaan setelah dia diangkat menjadi Nabi. Prinsip-prinsip etika bisnis yang diwariskan semakin mendapat pembenaran akademis di pengujung abad ke-20 atau awal abad ke-21.

"Prinsip bisnis modern, seperti tujuan pelanggan dan kepuasan konsumen (costumer satisfaction), pelayanan yang unggul (service exellence), kompetensi, efisiensi, transparansi, persaingan yang sehat dan kompetitif, semuanya telah menjadi gambaran pribadi dan etika bisnis Muhammad  SAW ketika ia masih muda," ujar Aguatianto.

Oleh Afriza Hanifa

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/04/15/mlal9c-rasulullah-seorang-pengusaha-sejati

Amal Aqabah





Banyak ustadz kita menyitir QS al-Baqarah, {2}: 148, “Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.” Ayat ini  populer dan nyaring di telinga kita. Tapi sepertinya belum akrab dengan alam nyatanya.

Nah, momentum pergantian tahun haruslah mendorong kita berusaha untuk lebih mendekati ayat tersebut dalam keseharian kita berikutnya. Waktu berlalu adalah waktu menuju kebaikan, waktu yang diadu cepat dengan amal kebaikan.

Yang namanya perlombaan itu berarti siapa lebih cepat.  Jadi, siapa lebih cepat mengerjakan kebaikan, maka dia lebih baik dari manusia lainnya, dan karenanya pasti disukai Pemilik kebaikan, yaitu Allah SWT.

Sebaliknya yang menunda-nunda dan lambat dalam mengerjakan kebaikan berarti tidak lebih baik dari yang lain dan pasti kurang disukai oleh-Nya.

Amal yang melambat dan tertunda dengan waktu lama dalam konteks percepatan kebaikan jelas keadaan yang tidak bijak.

Kita saja menganggap menunggu adalah pekerjaan yang sangat membosankan. Maka tentu tidak berlebihan jika kita sebut keadaan beramal baik yang ditunda seharusnya menjadikan Allah pun bosan dan jemu dengan kita.

Tapi Allah adalah Zat yang dominan dengan rahmat-Nya bahkan kepada para pendosa dan pemaksiat kepada-Nya sekali pun, selalu berbalas rahmat ketimbang murka; sabaqat rahmati ‘ala ghadhabii.

Renungan lanjutan dari ayat di atas yakni ternyata kita perlu bergerak naik. Tidak hanya berjalan, tapi belajar untuk berjalan dengan mendaki.

Lawan dari mendaki adalah menurun. Kalau mendaki kita menuju puncak, maka menurun berarti menuju lembah atau jurang.

Bendera kemenangan selalau dikibarkan di puncak bukan di lembah apalagi di jurang. Karena itu, kita tidak hanya berlomba dalam amal, tapi belajar untuk adu sprint menuju puncak dengan cara mendaki.

Begitulah gambaran beramal dengan percepatan dan dengan proses pendakian. Kita sedang beramal dengan amal aqobah.

Amal pendakian sukar lagi sulit. Allah SAW menegaskan, “Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia menempuh jalan yang mendaki dan sukar (‘aqobah).''

''Tahukah kamu, apa itu amal mendaki dan sukar itu?  Ya, itu adalah amal melepaskan ketertindasan. Tergerak berbagi makan pada hari terjadi kelaparan. (Utamanya) untuk anak-anak yatim yang berkerabat. Atau orang miskin yang sangat faqir. Kemudian bersegera menjadikan dirinya sebagai orang yang semakin beriman dengan saling mengingatkan kepada kesabaran dan berpesan untuk berkasih sayang. Itulah golongan kanan (yang mengibarkan kemenangan).” (QS al-Balad, {90}: 10-18). Wallahu A’lam.     




Oleh: Ustaz HM Arifin Ilham

Berkah Menyebarkan Salam



Perintah untuk menyampaikan salam tidak hanya terdapat dalam hadis-hadis Rasulullah SAW, tetapi juga di dalam Alquran. Salam telah didefinisikan oleh Alquran secara jelas. Sedangkan rincian tata cara dan aturan-aturannya dipaparkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam banyak hadis. 

Tuntunan salam di dalam Alquran dapat kita temukan dalam QS An-Nur, [24]: 27. Allah berfirman yang artinya, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.'' 
Sebaliknya, Allah memerintahkan kepada kaum Muslim untuk menjawab setiap salam yang diucapkan oleh saudaranya sesama Muslim. Balasan yang disampaikan hendaknya berupa salam yang sepadan atau yang lebih baik lagi. Dengan demikian terus terjadi komunikasi antara yang menyampaikan salam dan yang menjawabnya. 

Allah berfirman yang artinya, ''Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa.''(QS An-Nisaa'[4]:86). 
Apa sesungguhnya manfaat menyebarkan salam itu? Dijelaskan oleh Nabi SAW bahwasanya menyebarkan salam sama dengan menyebarkan cinta di tengah-tengah kehidupan umat Muslim. Beliau menggambarkan salam sebagai sesuatu yang akan membawa pada cinta, dan cinta akan membawa pada keimanan, dan keimanan akan membawa pada surga. 

Rasulullah SAW bersabda yang artinya, ''Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, engkau tidak akan masuk surga sehingga engkau beriman, dan engkau tidak akan beriman sehingga engkau saling mencintai, dan bolehkan aku katakan kepadamu tentang sesuatu yang, jika engkau melakukannya, engkau akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.'' (HR Muslim) 

Manfaat lainnya, Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang terlebih dahulu mengucapkan salam akan berada dekat dengan Allah, dan lebih berhak mendapatkan ridha, anugerah, dan berkah dari-Nya. Sabda Nabi, ''orang-orang yang paling dekat di sisi Allah adalah orang yang mulai (mengucapkan) salam.'' 

Oleh karena agungnya manfaat mengucapkan salam ini, maka sebaiknya umat Islam tidak menggantikannya dengan sapaan-sapaan lain yang berasal dari tradisi di luar Islam, seperti ucapan selamat pagi, good morning (Inggris, selamat pagi), bonjour (Prancis, selamat pagi), dan lain-lain. Apa yang datang dari Allah dan Rasulnya merupakan kebenaran. Dan barang siapa menempatkan dirinya dalam kebenaran itu, niscaya ia akan mendapatkan keberuntungan berupa keselamatan di dunia dan akherat. 



Meraih Tiga Ridha





Menapaki kehidupan duniawi yang mahasementara, membuat kita terkadang lupa: bahwa kita ini milik siapa dan berasal dari mana. Dunia yang seolah kini kurang ramah, karena sekelumit godaan duniawi, dari mulai harta, tahta, hingga merambah ke teknologi, yang merusak moral anak bangsa.

Apa yang disebut Alquran dalam surah an-Nisaa tentang (dzurriyatan dhi’aafan/ keturunan yang lemah), tengah melanda negeri ini. Belum lagi masalah ekonomi, politik, kemiskinan, korupsi, yang semakin hari, makin menjadi.

“Dan hendaklah oerang-orang itu takut bila saja mereka meninggalkan keturunan yang lemah setelah mereka wafat, yang mereka khawatirkan kesejahteraannya. Hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan berkata dengan perkataan yang benar.” (Qs An-Nisa: 9)

Ayat di atas mengajak para orangtua atau pendidik untuk lebih mengerahkan diri menjaga dan membimbing generasi/ keturunan. Peringatan dari Allah ini hendaknya memang betul-betul ditadabburi, mengingat konsep dzurriyatan dhi’afaan, jika kita kaitkan pada era kekinian, dapat terjadi pada beberapa faktor.

Keturunan yang lemah—yang dimaksud dalam ayat ini dalam Tafsir Al-Mishbah ialah ‘anak-anak yang lemah dari segi keimanan’. Hal ini dapat terjadi jika pengawasan keluarga khususnya orangtua, terasa kurang didapat. Dan tentunya menjadi kontrol pribadi dan kesadaran spiritual si anak.

Memberikan pendidikan agama dan mengukuhkannya pada buah hati adalah tugas kedua orangtua. Hendaknya, anak diberikan bekal tentang keimanan pada Allah dan ketaatan kepada Ibu Bapak. Masa anak-anak ialah masa dimana mereka ingin belajar dan tahu banyak. Itu artinya, jika penanaman pendidikan agama kian kuat dalam mental si anak, ia akan tahu bahwasannya orangtua ialah orang yang patut dihormati.

Anak, sebagai aset bangsa memiliki peranan yang tidak kecil di kemudian hari. Bagaimana bisa Indonesia menjadi bangsa yang besar, jika akhlaq pada orangtua kurang baik? Dalam kesempatan hari Ibu ini, kiranya kesadaran kita bersama sebagai pendidik, untuk lebih fokus menanamkan nilai-nilai akhlaqul karimah dalam tiap sendi kehidupan si anak, karena, al-um madrasatul uula (Ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya), menjadi sangat berarti bagi rasa cinta dan tanggungjawab seorang ibu, untuk dapat memberikan pendidikan dengan dasar-dasar Qurani dalam usia dini anak yang akan terus ia gunakan sampai dewasa kelak.

Dan anak, memiliki rangkaian kewajiban untuk terus berbuat baik (ihsan) kepada kedua orangtua (yang disejajarkan setelah taat pada Allah), sesuai firman Allah dalam surah Al-Israa ayat 32. Berbuat baik artinya merawat mereka, dalam batas kemampuan yang dapat kita jalani dengan sempurna, menyayangi mereka, dan tidak berbuat semena-mena, karena kita tahu, bahwa Ridha Allah, ada pada ridha orang tua.

  Wallahu a’lam Bish Shawwab.



Oleh Ina Salma Febriany