Empat Dekade Pukulan Terbaik Muhammad Ali
Muhammad Ali mengalahkan George Foreman dalam pertarungan Rumble In The Jungle yang dilaksanakan di Zaire. (Getty Images/Harry Benson)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tepat empat puluh tahun lalu, pada pukul setengah lima dini hari, rakyat Zaire menentang derasnya hujan badai demi satu sosok: Muhammad Ali. Di tengah-tengah hutan Kinshasha, suara klakson mobil ramai dibunyikan sementara mereka menunggu Ali beserta rombongannya lewat.
"Seperti baru kembali dari memenangkan peperangan," ujar Ferdie Pacheco, pelatih fisik Ali. "Di tengah-tengah hutan, mereka berbaris dengan anak-anak mereka berada di pelukan hanya untuk menunggu Ali."
Pada 1974, Ali adalah sosok paling terkenal di dunia.
"Saat itu ia bukan sekadar petinju. Ia adalah raja dunia. Saat kami berada di Afrika, Ali bahkan lebih besar ketimbang President Zaire, Mobutu Sese Seko," kata Gene Kilroy, manajer bisnis sang legenda tinju tersebut.
"Saya berkata dengan segala ketulusan saya, jika Ali memerintahkan mereka, 'Saya ingin menjadi presiden baru kalian', maka ia akan menjadi presiden mereka."
Pada dini hari 30 Oktober 1974 pukul 04.23 WIB, di tengah-tengah hutan Zaire, Ali baru saja membalikkan kemustahilan dan mengalahkan juara dunia George Foreman dalam satu pertarungan yang akrab dikenal dengan peristiwa Rumble in The Jungle.
Kehilangan Segalanya pada Masa Jaya
Meski pertemuan antara kedua petinju ini ditunggu-ditunggu oleh ratusan juta orang di seluruh dunia, pertarungan antara Ali dan Foreman bukan pertarungan seimbang. Ali berusia 32 tahun sementara Foreman tujuh tahun lebih muda, dengan Ali yang tidak berada pada kondisi terbaik sebagai petarung.
Tujuh tahun sebelumnya, pada masa kejayaannya di usia 25 tahun, Ali sendiri menerima hukuman larangan bertanding karena menolak pergi untuk berperang ke Vietnam.
"I ain't got no cuarrel with the Vietcong," ujar Ali dalam satu frasa paling terkenal yang pernah ia ucapkan. Bagi Ali, orang-orang Vietnam tidak menindasnya dan tidak berlaku adil padanya, sehingga ia tak ingin pergi memerangi mereka.
Ketika kembali ke dunia tinju pada 1970-an setelah menjalani masa hukuman, Ali tak mampu mengejar ketertinggalan sebagai petinju dan sempat kalah dari rival terberatnya, Joe Frazier seusai kembali ke ring tinju.
Setelah kekalahan itu, Ali pun sempat vakum lagi bertinju selama satu setengah tahun.
Sebagai persiapan melawan Foreman, Kilroy sempat membawa Ali ke dokter untuk memeriksa kondisi fisiknya dan sang dokter memerintahkan Ali untuk memandikan kedua tangannya dengan parafin panas, tiga kali sehari. Bahkan suntikan pemati rasa pun tak dianjurkan oleh dokter karena melihat kemerosotan fisik Ali.
Hal ini berkebalikan dengan Foreman.
Pada usia 25 tahun, Foreman berada pada puncak penampilan. Dengan kondisi fisik yang prima, Foreman pun mampu memaksimalkan kelebihannya sebagai seorang petinju: mengandalkan kekuatan dan energi yang besar.
Berbeda dengan Ali yang mengandalkan teknik bertinju dan kelincahan kaki, sebagai petinju Foreman memang bertumpu pada kekuatan fisik.
Tak heran banyak yang menjagokan Foreman untuk menang dalam pertarungan yang diselenggarakan oleh diktator Zaire tersebut. Apalagi Foreman sempat mengalahkan dua petinju yang mampu mengalahkan Ali, Jor Frazier dan Ken Norton, sebelum ia datang ke Zaire.
Menjelang pertandingan, Kilroy sang manajer bisnis sempat datang ke kamar ganti Foreman, hanya untuk disambut dengan ucapan bahwa Foreman akan membuat anak-anak Ali kehilangan ayahnya.
"Saat itu saya mencium bau darah," ujar Archie Moore, pelatih Foreman.
Didukung Rakyat Afrika
Masyarakat Afrika tak pernah sekalipun berpaling untuk mendukung Ali. Mereka seolah tak mau peduli dengan logika, bahwa secara hitungan matematis, seharusnya Ali terkapar di tangan Foreman.
Bagi mereka, Ali adalah sesama. Petinju yang terkenal membela hak-hak kaum kulit hitam ini tak pernah sekalipun menolak rakyat Zaire yang datang kepadanya hanya sekedar untuk menyapa.
Pada 1974, tiga bulan sebelum pertarungan berlangsung, Ali dan Foreman sendiri menghabiskan musim panas mereka di Zaire untuk berlatih dan menyesuaikan diri dengan cuaca Afrika.
Ali tak pernah menolak rakyat Zaire yang datang kepadanya. Ia bahkan pernah mendatangi koloni yang terkena kusta untuk datang berbicara dan memeluk mereka.
"Sepulang dari sana, saya mandi 10 kali, sementara Ali dengan tenang percaya bahwa ia tidak akan terkena penyakit kulit itu," tutur Kilroy.
Tak heran ketika Ali naik ke atas ring di tengah-tengah hutan Kinshasha itu, enam puluh ribu orang bersorak untuknya dan bukan untuk sang juara dunia, Foreman:
"Ali....bomaye! Ali....bomaye!" (Ali...bunuh dia! Ali....bunuh dia!), ujar mereka.
Hari itu Ali adalah raja Afrika.
Membalikkan Kemustahilan
Sejarah mencatat Ali tak menyerah meski berkali-kali menerima pukulan Foreman. Hingga ronde ketujuh, Ali mampu membuat Foreman kehabisan tenaga, meski pada ronde kedua dan ketiga Ali terlihat akan dibantai oleh Foreman.
"Hanya ini saja, George?"
"Ini tidak sakit, George."
"Coba lagi George, saya bahkan tak merasakannya. Pukul saya lebih keras!" ujar Ali untuk menteror mental sang lawan sembari menahan pukulan demi pukulan.
Ali, sang petinju kharismatik yang mampu membuat dunia terbius baik dengan kemampuan mengendalikan massa maupun kehandalan bertarung, pun lalu membangkitkan gairah penonton dengan meminta mereka untuk bersorak.
"Ali....bomaye! Ali....bomaye!" (Ali...bunuh dia! Ali....bunuh dia!)
Kekuatan mental Ali ini yang kemudian dikatakan membuat Foreman menyerah.
Ketika pada ronde kedelapan Ali bertanya sekali lagi pada Foreman, "Hanya ini saja, George?", ia pun menjawab lunglai:
"Ya," kata Foreman. "Hanya sampai di sini."
Yang terjadi selanjutnya adalah Ali mendaratkan pukulan tangan kanannya di muka Foreman. Pukulan yang dikatakan sebagai pukulan pamungkas Ali, yang telah ia simpan bertahun-tahun untuk membalas sakit hati karena masa-masa terbaik kariernya dihabiskan dengan menjalani hukuman.
Pukulan yang akhirnya menumbangkan seorang juara dunia, George Foreman. Pukulan yang mampu membalikkan kemustahilan.
Pukulan Terbaik
Bertahun-tahun kemudian, dalam sebuah film dokumenter bertajuk Facing Ali, Foreman pernah ditanyai tentang pertarungan paling dramatis dalam sejarah tinju ini.
Menurutnya, pukulan terbaik Ali malam itu bukanlah pukulan yang membuatnya terkapar, tapi justru pukulan yang tak pernah dikeluarkan Ali.
Foreman berujar, ketika ia terhuyung-huyung setelah menerima pukulan Ali, sang lawan bisa saja mendaratkan satu kali pukulan yang membuatnya benar-benar terkapar. Pada masa itu, memang menjadi suatu kelaziman petinju menghabisi lawan hingga mereka pingsan.
Namun tidak untuk Ali. Tangannya teracung seolah ingin memukul, namun ia tak pernah menghantarkan hantaman tersebut. Dalam dunia tinju yang demikian brutal dan kadang tak mengenal belas kasihan, Ali, sang petinju terbaik sepanjang massa mampu mengantarkan keindahan berupa ketahanan diri untuk tidak mempermalukan lawan.
Bagi Foreman, sang lawan yang semula ingin menghabisi Ali, ini adalah pukulan terbaik Ali sepanjang masa.
"Seperti baru kembali dari memenangkan peperangan," ujar Ferdie Pacheco, pelatih fisik Ali. "Di tengah-tengah hutan, mereka berbaris dengan anak-anak mereka berada di pelukan hanya untuk menunggu Ali."
Pada 1974, Ali adalah sosok paling terkenal di dunia.
"Saat itu ia bukan sekadar petinju. Ia adalah raja dunia. Saat kami berada di Afrika, Ali bahkan lebih besar ketimbang President Zaire, Mobutu Sese Seko," kata Gene Kilroy, manajer bisnis sang legenda tinju tersebut.
"Saya berkata dengan segala ketulusan saya, jika Ali memerintahkan mereka, 'Saya ingin menjadi presiden baru kalian', maka ia akan menjadi presiden mereka."
Pada dini hari 30 Oktober 1974 pukul 04.23 WIB, di tengah-tengah hutan Zaire, Ali baru saja membalikkan kemustahilan dan mengalahkan juara dunia George Foreman dalam satu pertarungan yang akrab dikenal dengan peristiwa Rumble in The Jungle.
Saat itu ia bukan sekadar petinju. Ia adalah raja dunia.Gene Kilroy |
Meski pertemuan antara kedua petinju ini ditunggu-ditunggu oleh ratusan juta orang di seluruh dunia, pertarungan antara Ali dan Foreman bukan pertarungan seimbang. Ali berusia 32 tahun sementara Foreman tujuh tahun lebih muda, dengan Ali yang tidak berada pada kondisi terbaik sebagai petarung.
Tujuh tahun sebelumnya, pada masa kejayaannya di usia 25 tahun, Ali sendiri menerima hukuman larangan bertanding karena menolak pergi untuk berperang ke Vietnam.
"I ain't got no cuarrel with the Vietcong," ujar Ali dalam satu frasa paling terkenal yang pernah ia ucapkan. Bagi Ali, orang-orang Vietnam tidak menindasnya dan tidak berlaku adil padanya, sehingga ia tak ingin pergi memerangi mereka.
Ketika kembali ke dunia tinju pada 1970-an setelah menjalani masa hukuman, Ali tak mampu mengejar ketertinggalan sebagai petinju dan sempat kalah dari rival terberatnya, Joe Frazier seusai kembali ke ring tinju.
Setelah kekalahan itu, Ali pun sempat vakum lagi bertinju selama satu setengah tahun.
Sebagai persiapan melawan Foreman, Kilroy sempat membawa Ali ke dokter untuk memeriksa kondisi fisiknya dan sang dokter memerintahkan Ali untuk memandikan kedua tangannya dengan parafin panas, tiga kali sehari. Bahkan suntikan pemati rasa pun tak dianjurkan oleh dokter karena melihat kemerosotan fisik Ali.
Hal ini berkebalikan dengan Foreman.
Saat itu saya mencium bau darah.Archie Moore |
Pada usia 25 tahun, Foreman berada pada puncak penampilan. Dengan kondisi fisik yang prima, Foreman pun mampu memaksimalkan kelebihannya sebagai seorang petinju: mengandalkan kekuatan dan energi yang besar.
Berbeda dengan Ali yang mengandalkan teknik bertinju dan kelincahan kaki, sebagai petinju Foreman memang bertumpu pada kekuatan fisik.
Tak heran banyak yang menjagokan Foreman untuk menang dalam pertarungan yang diselenggarakan oleh diktator Zaire tersebut. Apalagi Foreman sempat mengalahkan dua petinju yang mampu mengalahkan Ali, Jor Frazier dan Ken Norton, sebelum ia datang ke Zaire.
Menjelang pertandingan, Kilroy sang manajer bisnis sempat datang ke kamar ganti Foreman, hanya untuk disambut dengan ucapan bahwa Foreman akan membuat anak-anak Ali kehilangan ayahnya.
"Saat itu saya mencium bau darah," ujar Archie Moore, pelatih Foreman.
Seusai Rumble In The Jungle, George Foreman mengagumi Muhammad Ali(Getty Images/Evening Standard)
|
Masyarakat Afrika tak pernah sekalipun berpaling untuk mendukung Ali. Mereka seolah tak mau peduli dengan logika, bahwa secara hitungan matematis, seharusnya Ali terkapar di tangan Foreman.
Bagi mereka, Ali adalah sesama. Petinju yang terkenal membela hak-hak kaum kulit hitam ini tak pernah sekalipun menolak rakyat Zaire yang datang kepadanya hanya sekedar untuk menyapa.
Pada 1974, tiga bulan sebelum pertarungan berlangsung, Ali dan Foreman sendiri menghabiskan musim panas mereka di Zaire untuk berlatih dan menyesuaikan diri dengan cuaca Afrika.
Ali tak pernah menolak rakyat Zaire yang datang kepadanya. Ia bahkan pernah mendatangi koloni yang terkena kusta untuk datang berbicara dan memeluk mereka.
"Sepulang dari sana, saya mandi 10 kali, sementara Ali dengan tenang percaya bahwa ia tidak akan terkena penyakit kulit itu," tutur Kilroy.
Tak heran ketika Ali naik ke atas ring di tengah-tengah hutan Kinshasha itu, enam puluh ribu orang bersorak untuknya dan bukan untuk sang juara dunia, Foreman:
"Ali....bomaye! Ali....bomaye!" (Ali...bunuh dia! Ali....bunuh dia!), ujar mereka.
Hari itu Ali adalah raja Afrika.
Membalikkan Kemustahilan
Sejarah mencatat Ali tak menyerah meski berkali-kali menerima pukulan Foreman. Hingga ronde ketujuh, Ali mampu membuat Foreman kehabisan tenaga, meski pada ronde kedua dan ketiga Ali terlihat akan dibantai oleh Foreman.
"Hanya ini saja, George?"
"Ini tidak sakit, George."
"Coba lagi George, saya bahkan tak merasakannya. Pukul saya lebih keras!" ujar Ali untuk menteror mental sang lawan sembari menahan pukulan demi pukulan.
Ali, sang petinju kharismatik yang mampu membuat dunia terbius baik dengan kemampuan mengendalikan massa maupun kehandalan bertarung, pun lalu membangkitkan gairah penonton dengan meminta mereka untuk bersorak.
"Ali....bomaye! Ali....bomaye!" (Ali...bunuh dia! Ali....bunuh dia!)
Kekuatan mental Ali ini yang kemudian dikatakan membuat Foreman menyerah.
Ketika pada ronde kedelapan Ali bertanya sekali lagi pada Foreman, "Hanya ini saja, George?", ia pun menjawab lunglai:
"Ya," kata Foreman. "Hanya sampai di sini."
Yang terjadi selanjutnya adalah Ali mendaratkan pukulan tangan kanannya di muka Foreman. Pukulan yang dikatakan sebagai pukulan pamungkas Ali, yang telah ia simpan bertahun-tahun untuk membalas sakit hati karena masa-masa terbaik kariernya dihabiskan dengan menjalani hukuman.
Pukulan yang akhirnya menumbangkan seorang juara dunia, George Foreman. Pukulan yang mampu membalikkan kemustahilan.
Pukulan Terbaik
Bertahun-tahun kemudian, dalam sebuah film dokumenter bertajuk Facing Ali, Foreman pernah ditanyai tentang pertarungan paling dramatis dalam sejarah tinju ini.
Menurutnya, pukulan terbaik Ali malam itu bukanlah pukulan yang membuatnya terkapar, tapi justru pukulan yang tak pernah dikeluarkan Ali.
Foreman berujar, ketika ia terhuyung-huyung setelah menerima pukulan Ali, sang lawan bisa saja mendaratkan satu kali pukulan yang membuatnya benar-benar terkapar. Pada masa itu, memang menjadi suatu kelaziman petinju menghabisi lawan hingga mereka pingsan.
Namun tidak untuk Ali. Tangannya teracung seolah ingin memukul, namun ia tak pernah menghantarkan hantaman tersebut. Dalam dunia tinju yang demikian brutal dan kadang tak mengenal belas kasihan, Ali, sang petinju terbaik sepanjang massa mampu mengantarkan keindahan berupa ketahanan diri untuk tidak mempermalukan lawan.
Bagi Foreman, sang lawan yang semula ingin menghabisi Ali, ini adalah pukulan terbaik Ali sepanjang masa.
http://www.cnnindonesia.com/olahraga/20141030215213-178-9023/empat-dekade-pukulan-terbaik-muhammad-ali/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar