Dalam proses negosiasi antara panitia pengadaan lahan dengan masyarakat tak tercapai kesepakatan, dan untuk mengantisipasi masalah yang bisa menghambat pelaksanaan pembangunan dapat ditempuh upaya konsinyasi.
Konsinyasi atau ganti kerugian dari pemerintah yang dititipkan ke pengadilan negeri setempat, diatur di dalam Pasal 42 UU No. 2 Tahun 2012.
Konsinyasi berlaku bagi warga yang menolak ganti kerugian sesuai hasil musyawarah. Konsinyasi tidak berarti merampas hak atas tanah. .. Jadi, membutuhkan pendekatan lebih lanjut dari panitia agar tidak menjadi kendala,
Dalam pengadaan tanah untuk infrastruktur, aspek hukum menjadi faktor kesuksesan yang signifikan, setidaknya ada tiga aspek-aspek hukum yang harus diperhatikan dalam pengadaan tanah untuk infrastruktur.
1. Prinsip Keseimbangan
2. Keterlibatan Masyarakat
3. Pemberian Ganti Rugi
Sistem konsinyasi atau menitipkan ganti rugi di pengadilan menjadi solusi dari diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Penitipan ganti rugi di pengadilan, dilakukan bila ada pihak yang menolak besaran ganti rugi, pemilik tidak diketahui keberadaannnya, atau objek sedang menjadi objek perkara.
"Harapannya, agar tidak menghambat pelaksanaan pembangunan proyek untuk kepentingan umum,
————
Dimensi Keadilan Dalam Mekanisme
Konsinyasi Pengadaan Tanah
Oleh: HENNY HANDAYANI SIRAIT
A. Latar Belakang
Tanah dan pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tanah tanpa adanya pembangunan akan kehilangan nilai gunanya, sebaliknya pembangunan tanpa adanya tanah merupakan hal yang mustahil. Disisi lain, tanah yang digunakan oleh negara untuk menunjang proses pembangunan semakin sedikit dan jarang dijumpai. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya stagnasi dalam pembangunan, negara melalui hak menguasai oleh negara memiliki kewenangan untuk melakukan pengadaan tanah melalui mekanisme pencabutan hak atas tanah baik milik perseorangan maupun hak ulayat persekutuan hukum adat.
Pengadaan tanah demi kepentingan umum telah mengalami perkembangan seiring dengan unifikasi Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Lembaga pertama yang ditawarkan UU No. 20 tahun 1961 adalah lembaga pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya, tetapi dalam praktik ketentuan undang-undang ini tidak berjalan efektif. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah mengeluarkan ketentuan tentang pembebasan hak atas tanah, dalam praktik ketentuan ini juga tidak berjalan lancar. Selanjutnya pemerintah memberlakukan Peraturan Presiden No 36 tahun 2005 jo Peraturan Presiden No 65 tahun 2006, tetapi peraturan presiden ini tetap tidak efektif dalam praktiknya. Sebagai penggantinya pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah.
Dalam penerapannya, lembaga pencabutan, pembebasan, pelepasan maupun pengadaan hak atas tanah menimbulkan ekses yang berdampak besar terhadap stabilitas masyarakat. Berbagai ketegangan yang memicu konflik timbul dalam masyarakat, hal ini pada dasarnya disebabkan adanya ketidaksepakatan antara pemilik hak atas tanah terhadap mekanisme pengadaan tanah tersebut yang meliputi kriteria kepentingan umum yang dimaksud pemerintah, mekanisme musyawarah dan ganti kerugian serta praktik konsinyasi yang ditempuh pemerintah ketika kesepakatan tersebut tidak tercapai.
Disamping itu hukum positif yang melandasi pengadaan hak atas tanah tersebut belum berjalan sesuai dengan pancasila sebagai dasar hukum dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sehingga pada satu pihak timbul kesan seakan-akan hak dan kepentingan masyarakat pemegang hak atas tanah tidak mendapat perlindungan hukum berupa kepastian hukum yang berkeadilan. Secara faktual pengadaan tanah demi kepentingan umum bernuansa konflik, baik dari sudut peraturan dan paradigma hukum yang berbeda antara masyarakat dan pemerintah.[1] Selain itu, penerapan hukum dalam praktik konsinyasi oleh para hakim yang bernuansa positivis adakalanya mengabaikan kaedah-kaedah sosial lainnya dan hukum yang hidup (living law) serta moral dalam masyarakat dan cenderung bertentangan dengan nilai keadilan.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas masalah tersebut dengan judul: “DIMENSI KEADILAN DALAM MEKANISME KONSINYASI PENGADAAN TANAH”.
1.Landasan Yuridis Pengadaan Tanah
Dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 2 tahun 2012 memberikan difinisi pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Pada dasarnya pengadaan tanah tidak ada diatur dengan tegas dalam Undang-Undnag Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Tidak satupun regulasi dalam konstitusi tersebut yang memberikan landasan secara konstitusional untuk melakukan pengadaan tanah. Namun, kalau kita mengacu kepada Pasal 1 Aturan Peralihan UUD tahun 1945 yang menegaskan “segala peraturan perundang-undangan yang masih ada tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”
Berdasarkan aturan peralihan ini, maka sebagai dasar hukum pengadaan tanah yang dilakukan melalui pencabutan hak atas tanah berlakulah pasal 26 Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1950 yang menegaskan sebagai berikut: “pencabutan hak milik (onteigennings) untuk kepentingan umum atas suatu benda atau hak tidak dibolehkan kecuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan-aturan undang-undang.[2] Dengan demikian kekosongan hukum tentang pengadaan tanah secara yuridis formal telah terpenuhi dengan aturan tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya setelah keluarnya UUPA No. 5 Tahun 1960 sebagai induk dari semua peraturan tanah di Indonesia, telah mengatur tentang pengadaan tanah melalui pencabutan hak atas tanah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 18 UUPA yang menegaskan,
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberiri ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.”
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberiri ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.”
Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat apabila pencabutan hak atas tanah dilakukan. Pasal ini menegaskan bahwa pengadaan tanah dibenarkan untuk kepentingan bangsa dan negara, kepentingan rakyat, sebagai bagian dari kepentingan umum dan harus disertai dengan adanya ganti kerugian yang layak serta didasarkan kepada suatu undang-undang.
Sebagai pelaksanaan dari ketentuan ini telah dikeluarkan Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya. Dengan keluarnya undang-undang iniOnteigenning Ordonantie dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebagai penggantinya lahirlah dasar hukum pencabutan hak milik atas tanah untuk kepentingan umum yaitu Pasal 18 UUPA Tahun 1960 jo UU No. 20 Tahun 1961. Dalam perkembangannya pelaksanaan pencabutan hak atas tanah dimuat dalam Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 jo Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 jo Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 serta UU No. 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Banyaknya norma hukum yang mengatur tentang pengadaan tanah ini dapat menimbulkan konflik dalam penerapannya, oleh karena itu untuk mencegah tumpah tindih regulasi yang memuat pengadaan tanah maka diselesaikan melalui preferensi hukum berdasarkan asas Lex Superior derogate legi inferior, dimana peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya. Terkait subtansi pengaturannya berlaku juga asas Lex Spesialis Derogat Legi Generalis, dimana peraturan perundang-undangan yang lebih khusus memiliki kekuatan substansi untuk mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih umum, yang dalam hal ini peraturan presiden dapat mengenyampingkan UU pengadaan tanah. Dan untuk menyelesaikan konflik norma berdasarkan waktu diundangkannya, maka berlakulah asas Lex Posterior Derogat Lex Priori, dimana peraturan perundang-undangan yang terkini mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang terdahulu.
Oleh karena itu, segala peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengadaan tanah tetap dapat dijadikan acuan dalam implementasi hukum pertanahan di Indonesia dengan tetap mengacu kepada asas-asas tersebut untuk menghindari tumpang tindih pengaturan.
2.Hak Menguasai Oleh Negara
Hak menguasai oleh negara merupakan amanat konstitusi negara Indonesia tepatnya pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berisi perintah kepada negara agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya diletakkan dalam penguasaan negara untuk digunakan mewujudkan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, yang dikejawantahkan melalui pasal 2 ayat (2) UUPA No. 5 tahun 1960 dimana negara memiliki kewenangan untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Hubungan hukum tersebut dinamakan Hak Menguasai Negara. Hak ini tidak memberi kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakannya seperti hak atas tanah karena sifatnya semata-mata sebagai kewenangan publik sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA.[3]
Terkait hak menguasai oleh negara tersebut, Muhammad Bakri menyimpulkan bahwa penguasaan tanah oleh Negara dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:[4]
1. Penguasaan secara penuh yaitu, terhadap tanah-tanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak oleh suatu subyek hukum. Tanah ini dinamakan “tanah bebas/tanah negara” atau “tanah yang dikuasai langsung oleh Negara”. Negara dapat memberikan tanah ini kepada suatu subyek hukum dengan suatu hak.
2. Penguasaan secara terbatas/tidak penuh yaitu, terhadap tanah-tanah yang sudah dipunyai dengan suatu hak oleh suatu subyek hukum. Tanah ini dinamakan “tanah hak” atau “tanah yang dikuasai tidak langsung oleh Negara”. Kekuasaan Negara yang bersumber pada hak menguasai tanah oleh Negara terhadap tanah hak, dibatasi oleh isi dari hak itu. Artinya, kekuasan Negara tersebut dibatasi kekuasaan (wewenang) pemegang hak atas tanah yang diberikan oleh Negara untuk menggunakan haknya.
3. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah
Didalam masyarakat hukum adat dikenal adanya konsepsi komunalistis religious yang oleh Prof. Boedi Harsono konsep tersebut memungkinkan penguasaan tanah secara individu dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan.[5] Dalam unsur kebersamaan tersebut tidak dikenal adanyasubjectief recht, yang ada hanya fungsi sosial. Fungsi sosial inilah yang dijadikan negara sebagai dasar meletigimasi pengadaan tanah demi kepentingan umum di Indonesia.
Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan bahwa: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.” Hal tersebut menjelaskan bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan rugi bagi masyarakat luas. Dalam arti bahwa tanah tidak hanya berfungsi bagi pemegang hak atas tanahnya saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya, dengan konsekuensi bahwa penggunaan hak atas sebidang tanah juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat.
Pada dasarnya fungsi sosial yang dikehendaki oleh falsafah bangsa Indonesia adalah fungsi sosial yang tidak menciderai kepentingan-kepentingan minoritas. Dalam artian, fungsi sosial jangan dijadikan sebagai alasan untuk melakukan pelanggaran hak asasi setiap orang, tetapi fungsi sosial tersebut mampu mengakomodir semua kepentingan pihak dalam satu wadah yang bernafaskan keadilan untuk mencapai cita-cita negara Indonesia yang diamanatkan oleh konstitusi.
A. Unsur-Unsur Pengadaan Tanah
1. Kepentingan umum
Kepentingan umum yang dimaksud dalam pengadaan tanah adalah kepentingan yang harus didahulukan daripada kepentingan pribadi dalam hal adanya keadaan yang bersifat memaksa yang mengharuskan negara melakukan tindakan untuk mengambil tanah tersebut, yaitu adanya tuntutan tugas negara dalam mensejahterakan rakyatnya melalui pemenuhan kebutuhan yang bersifat publik (welfare state), dengan demikian terdapat kepentingan yang lebih tinggi dari semua lapisan dimasyarakat yang harus dipenuhi dari sekedar mempertahankan kepentingan pribadi dari warga negara.
Dalam Peraturan Presiden No 36 tahun 2005 Jo Peraturan Presiden No 65 tahun 2006 telah diperinci hal-hal yang menjadi kepentingan umum. oleh karena itu penting dibuat batasan kepentingan umum tersebut agar dapat dibedakan dengan kepentingan negara lainnya.
Ada tiga prinsip yang dapat dijadikan criteria bahwa suatu kegiatan benar-benar untuk kepentingan umum, yaitu :[6]
a. Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah. Mengandung batasan bahwa kegiatan kepentingan umum tidak dimiliki oleh perorangan atau swasta. Dengan kata lain, swasta dan perorangan tidak dapat memiliki jenis-jenis kegiatan kepentingan umum yang membutuhkan pembebasan tanah-tanah hak maupun negara.
b. Kegaiatan pembangunan terkait dilakukan oleh pemerintah, Memberikan batasan bahwa proses pelaksanaan dan pengelolaan suatu kegiatan untuk kepentingan umum hanya dapat diperankan oleh pemerintah.
c. Tidak mencari keuntungan. Membatasi fungsi suatu kegiatan untuk kepentingan umum sehingga benar-benar berbeda dengan kepentingan swasta yang bertujuan mencari keuntungan sehingga terkualifikasi bahwa kegiatan untuk kepentingan umum sama sekali tidak boleh mencari keuntungan.
Prinsip-prinsip kriteria kepentingan umum tersebut dapat diuraikan lebih rinci, yakni meliputi sifat kepentingan umum, bentuk kepentingan umum, dan ciri-ciri kepentingan umum. Demikian metode penerapan tiga aspek tersebut sehingga kriteria kepentingan umum dapat diformulasikan secara pasti, adil dan dapat diterima oleh masyarakat[7]
2. Mekanisme Musyawarah
Pada dasarnya musyawarah merupakan prinsip saling mendengar untuk mencapai kesepakatan bulat yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Musyawarah merupakan sarana yang digunakan negara untuk membuktikan itikad baik negara dalam menghormati hak milik masyarakat yang dijamin oleh konstitusi dalam pasal 28 H ayat (4) “hak milik perseorangan tidak dapat dirampas secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Garsansi yang diberikan kosntitusi itulah yang menjadi modal dalam melakukan pengadaan tanah yang mencermikan nilai luhur musyawarah untuk menghindari tindakan pelanggaran hak asasi pemegang hak atas tanah.
Dalam mekanisme musyawarah perlu didasarkan kepada prinsip-prinsip pengadaan tanah yang mencerminkan nilai keadilan, berupa prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh rakyat yang merupakan bagian dari penghormatan hak asasi warga negara, sehingga dalam pengadaan tanah dilakukan berdasarkan aspek kepentingan umum tanpa mengindahkan aturan hukum serta adanya prinsip kebersamaan dengan melibatkan pemegang hak atas tanah untuk duduk bersama dalam menentukan besaran ganti rugi pengadaaan tanah.
Menurut Soetandyo, sesungguhnya ada dua kemungkinan yang dapat ditempuh manakala pembangunan nasional yang banyak memerlukan tanah yang dapat dibebaskan, akan tetap dapat diharapkan bersifat kemanusiaan dan berdimensi kerakyatan yaitu:[8]
1. Menggunakan pendekatan sosiologik antropologik yang prosesnya harus ditunggui dengan penuh kesabaran. Mungkin pula dalam wujud kebijaksanaan untuk membuka peluang yang luas dan bebas kepada masyarakat awam agar secara bubbling up para warga ini dapat memutuskan sendiri secara bertanggung jawab kegunaan lahan-lahan mereka untuk kepentingan orang banyak.
2. Menggunakan pendekatan hukum (kalau memang ini yang dipilih), namun dengan memprioritaskan prosedur dan proses yang privaatrechtelijk yang pada hakekatnya adalah juga suatu proses yang demokratik dari pada mendahulukan yang publiekrechtelijk yang dalam masa-masa transisi di kebanyakan negeri-negeri yang tengah berkembang, umunya terkesan masih amat berwarna kekuasaan ekstralegal.
3. Mekanisme Ganti Kerugian
Masalah ganti rugi merupakan isu sentral yang paling rumit penanganannya dalam upaya pengadaan tanah oleh pemerintah dengan memanfaatkan tanah-tanah hak.[9] Dalam setiap pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan hampir selalu muncul rasa tidak puas, di samping tidak berdaya, dikalangan masyarakat yang hak atas tanahnya terkena proyek tersebut.
Bentuk ganti Kerugian yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 berupa :
1) Uang;
2) Tanah pengganti;
3) Pemukiman kembali;
4) Kepemilikan Saham;
5) Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan UU Pengadaan Tanah No. 2 tahun 2012, Pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan Ganti Kerugian. Pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan. Pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.
Dalam pasal 6 Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 1973 ditegaskan bahwa pembayaran ganti kerugian tersebut kepada yang berhak harus dilakukan secara tunai dan dibayarkan langsung oleh Pemerintah/instansi yang berkepentingan kepada pemilik tanah yang berhak. Dalam hal ini dapat ditafsirkan pembayaran ganti kerugian tersebut kepada pemilik tanah yang berhak tidak diperkenankan dilakukan melalui perantara atau kuasanya.
Pembayaran ganti rugi harus diberikan kepada orang yang berhak atas tanahnya, harus dilakukan secara tunai dan dibayarkan langsung kepada yang berhak.
4. Tinjauan tentang Konsinyasi
Secara garis besar Konsinyasi adalah penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penitipan di Pengadilan Negeri tempat di mana lokasi tanah untuk pembangunan tersebut berada, dan selanjutnya dilakukan Pencabutan Hak Atas Tanah.
Beberapa ketentuan mengenai praktik konsinyasi tertuang dalam pasal 1404-1412 KUH Perdata antara lainPasal 1404 KUH Perdata menyatakan :
“jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si berhutang dapat melakukan penawaran pembayaran tunai apa yang diutangkan, dan jika si berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau barangnya kepada penagdilan. Penawaran yang sedemikian, diikuti dengan penitipan, membebaskan si berhutang dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut undang-undang sedangkan apa yang dititipkan secara itu tetap atas tanggungan si berpiutang.”
Menurut pasal 42 UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan tanah bahwa penitipan ganti kerugian ke pengadilan negeri terjadi karena disebabkan oleh:
a. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui keberadaannya; atau
b. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:
1. sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
2. masih dipersengketakan kepemilikannya;
3. diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
4. menjadi jaminan di bank.
Pasal 1405 KUH Perdata menyatakan syarat sahnya konsinyasi antara lain:
a. Dilakukan seorang yang berpiutang kepada seorang yang berkuasa menerima;
b. Dilakukan seseorang yang berkuasa membayar;
c. Mengenai semua uang pokok dan bunga yang ditagih;
d. Ketetapan waktu telah tiba;
e. Terpenuhi syarat dengan mana utang telah dibuat;
f. Penawaran dilakukan ditempat menurut perjanjian;
g. Penawaran dilakukan notaris atau jurusita diserati dua orang saksi.
Terkait dengan kompetensi pengadilan negeri dalam memberikan ganti rugi berlaku sejak dikeluarkannya UU Nomor 7 tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan Land Reform maka masalah agraria diserahkan kepada pengadilan negeri. Kewenangan pengadilan negeri didasarkan kepada ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pasal 14 UU No. 4 tahun 2004 yang memuat klausul bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada yang atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadili.
Pembahasan
A. Aspek Keadilan dalam Kepentingan umum
Dalam pasal 18 UUPA bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan negara, bangsa dan kepentingan bersama dari rakyat. Dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 interpretasi kegiatan yang termasuk kategori kepentingan umum dibatasi dalam 5 unsur, yaitu:
a. Adanya kepentingan seluruh lapisan masyarakat.
b. Dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah.
c. Tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
d. Masuk dlaam daftar kegiatan yang telah ditentukan.
e. Perancanaan dan pelaksanaannya sesuai dengan RUTRW.
Sifat kepentingan umum yang melekat dalam suatu jenis kegiatan inilah yang menimbulkan ketidaksepahaman dalam masyarakat dan pemerintah. Tidak ada ukuran yang baku apakah sifat kepentingan umum itu melekat secara kuat dan dominan atau sekedar sebagai ukuran. Karena dalam praktiknya, suatu kegiatan yang hanya sedikit terlekati kepentingan umum, disimulasikan pemerintah sebagai kepentingan umum. oleh karena itu perlu penjelasan yang konkrit mengenai kriteria kepentingan umum tersebut.
Didalam pengadaan tanah ada tiga prinsip yang dapat dijadikan patokan bahwa suatu kegiatan benar-benar untuk kepentingan umum, yaitu:
a. Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah. Mengandung batasan bahwa kegiatan kepentingan umum tidak dimiliki oleh perorangan atau swasta. Dengan kata lain, swasta dan perorangan tidak dapat memiliki jenis-jenis kegiatan kepentingan umum yang membutuhkan pembebasan tanah-tanah hak maupun negara.
b. Kegiatan pembangunan terkait dilakukan oleh pemerintah, Memberikan batasan bahwa proses pelaksanaan dan pengelolaan suatu kegiatan untuk kepentingan umum hanya dapat diperankan oleh pemerintah.
c. Tidak mencari keuntungan Membatasi fungsi suatu kegiatan untuk kepentingan umum sehingga benar-benar berbeda dengan kepentingan swasta yang bertujuan mencari keuntungan sehingga terkualifikasi bahwa kegiatan untuk kepentingan umum sama sekali tidak boleh mencari keuntungan.
Selain itu presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainnya yang tidak termasuk sebagaimana yang tersebut di atas, jika menurut pertimbangan perlu bagi kepentingan umum. Proyek tersebut harus sudah termasuk dalam rencana pembangunan yang terlebih dahulu telah diberitahukan kepada masyarakat yang bersangkutan. Proyek tersebut sudah termasuk dalam Rencana Induk Pembangunan Daerah dan telah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat setempat. Dalam praktiknya rencana pembangunan tidak diberitahukan terlebih dahulu kepada masyarakat, tetapi masyarakat suka atau tidak suka harus melepaskan hak atas tanahnya sesuai dengan ganti rugi yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Dalam UU Pengadaan Tanah No. 2 tahun 2012 tidak ada penjelasan yang memuat kriteria kepentingan umum yang murni (non komersil) dan mana yang kepentingan umum yang ada unsur komersil. Seharusnya untuk kategori kepentingan umum yang memakai prosedur peraturan presiden no 36 tahun 2005 jo peraturan presiden no 65 tahun 2006 serta memakai bantuan panitia pengadaan tanah hanya untuk kepentingan umum yang murni, sedangkan untuk kepentingan umum yg tidak murni seperti pembangunan jalan tol yang banyak dibangun oleh pihak swasta dan dalam penggunaannya tidak untuk semua lapisan masyarakat sebab hanya kendaran tertentu yang bisa melintasinya dan harus terlebih dahulu membayar, tidak dapat memakai prosedur pengadan tanah dan menggunakn jsa panitia pengadaan tanah.
B. Aspek Keadilan dalam Ganti Rugi
Bahwa demi kepentingan umum, maka hak-hak atas tanah dapat dicabut. Pengadaan tanah tersebut tidak serta merta dilakukan penguasa tanpa kompensasi, sebab hak tersebut mendapat penetapan dan pengakuan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan.
Untuk itu, apabila hak-hak perseorangan maupun masyarakat hukum adat dicabut untuk kepentingan umum, maka disyaratkan harus diberi ganti kerugian kepada pemegang hak atas tanah, sebab saat penetapan tersebut pemegang hak atas tanah diwajibkan untuk menunjukkan bukti perolehan tanahnya juga membayar biaya-biaya tertentu baik berupa biaya administrasi maupun kewajiban perpajakan.
Bahkan dalam masyarakat hukum adat tertentu harga dari tanah yang dimiliki tidak saja dinilai secara material, namun juga secara immaterial karena dianggap sakral yang tidak saja diukur dengan harga jenis benda apapun karena terkandung aspek sosial budaya sebagai nilai tambah yang melekat pada hak-hak atas tanah dimaksud, yang apabila dicabut otomatis akar budaya pemegang hak atas tanah dengan tanahnya akan tercabut juga, sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan lingkungan masyarakat adatnya, dan nilai dari ketidakseimbangan yang ditimbulkan harus dipulihkan dengan kompensasi tertentu yang bisa memulihkan ketidakseimbangan tersebut.
Pengakuan terhadap hak pribadi warga negara atas pemilikan tanah disamping adanya hak negara diatasnya dalam hal mencabut hak tersebut dalam keadaan tertentu, merupakan implementasi dari nilai-nilai pancasila, yakni adanya keseimbangan antara lahir dan batin, antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi, antara aspk penguasaan dan aspek penggunaan tanah.
Untuk mencapai keseimbangan tersebut, maka setiap adanya pencabutan hak, harus diperhitungkan faktor yang akan menyeimbangkan kembali ketimpangan atau keguncangan pada seseorang yang diakibatkan oleh tindakan pencabutan hak atas tanahnya, dengan cara memberikan kompensasi atau ganti rugi sesuai dengan nilai yang dikehendaki para pihak.
Dalam pemberian kompensasi atau ganti rugi tersebut, hal-hal yang harus diperhatikan ganti rugi yang layak. Tentang ganti rugi yang layak ini patut diperdebatkan, karena bila diperhitungkan dengan harga perolehan tanahnya, maka nilainya relatif dapat diperoleh dengan angka tertentu berdasarkan perbandingan harga pasar yang berlaku, namun jika diperhitungkan nilai tambah lainnya dari hak atas tanah tersebut, maka akan ada pihak pemilik tanah yang tidak memberikan nilai dari hak atas tanahnyaa.
Untuk itu, perlu dirumuskan pengertian dari kata “layak” tersebut, yang secara awam dapat saja kita sebut dengan “harga yang wajar” atau titik tengah dari harga pasar dengan harga dalam tagihan pajak (nilai jual objek pajak (NOJP)). Namun demikian ada pendapat yang patut dipedomani dari pengertian layak ini, yakni sebagaimana yang ditegaskan oleh AP. Parlindungan:[10] “bahwa orang yang dicabut haknya itu tidak berada dalam keadaan lebih miskin ataupun akan menjadi miskin kelak karena uang ganti pembayaran rugi itu telah habis dikonsumsi, minimal dia harus dapat dalam situasi ekonomi yang sekurang-kurangnya sama seperti sebelum dicabut haknya, syukur kalau bertambah lebih baik, atau minimal harus dapatlah dia pengganti yang wajar, misalnya dengan pemberian ganti rugi tersebut yang bersangkutan dapat membeli tanah di tempat lain yang memungkinkan dia membanun rumah kembali dan melanjutkan kehidupannya di tempat yang baru.
Dalam menentukan besarnya ganti rugi, harus terdapat kata sepakat di antara anggota Panitia dengan memperhatikan kehendak dari para pemegang hak atas tanah. Apabila terjadi perbedaan tafsiran mengenai ganti rugi di antara anggota panitia pembebasan tanah, dipergunakan harga rata-rata dari masing-masing anggota. Perbedaan penaksiran bentuk dan besarnya ganti rugi diselesaikan menurut harga rata-rata dari masing-masing anggota panitia, adalah merupakan tindakan sepihak yang sangat merugikan masyarakat. Seharusnya dalam musyawarah ganti rugi masyarakat diikutsertakan dalam menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi tersebut.
C. Konsinyasi Dalam Persfektif Keadilan
Konsinyasi hanya bisa diterapkan untuk pembayaran ganti rugi untuk pengadaan tanah dilakukan oleh Instansi Pemerintah untuk kepentingan umum, dengan catatan memang telah ada kesepakatan diantara kedua belah pihak yang membutuhkan tanah dan pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman dan/atau benda-benda yang ada di atas tanah.
Mekanisme konsinyasi sebagai alternatif penyelesaian konflik pengadaan tanah, justru menimbulkan tindakan kesewenang-wenangan pemerintah dalam hal pengambilan hak atas tanah masyarakat. Kesewenangan ini terlihat dengan mengkonsinyasikan uang ganti rugi kepengadilan negeri dan menganggap kewajibannya dalam pengadan tanah sudah selesai dan memiliki kewenangan untuk melakukan pembangunan dilahat tersebut.
Bila ditinjau keberadaan lembaga konsinyasi ini dalam KUHPerdata bahwa telah terdapat pengaturannya dalam KUHPerdata konsinyasi adalah sutau cara yang dilakukan oleh debitur untuk melunasi hutang perjanjiannya dengan cara penawaran tunai yang diikuti oleh penitipan objek hutang tersebut ke pengadilan negeri. Hal ini terjadi karena kreditur lalai atau tidak untuk menerima jumlah pembayaran dengan mengakibatkan hapusnya perjanjian dnegan kreditur tersebut. Pengaturan ini sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 1381 KUHPerdata dimana konsinyasi atau penitipan uang ke pengadilan merupakan satu cara untuk menghapuskan perikatan. Penawaran tunai yang diikuti penitpan ini dmungkinkan juga terjadi untuk perjanjian yang objeknya berupa uang dan benda-benda yang bergerak.
Pasal 1408 KUH Perdata menyatakan: “selama apa yang dititipkan tidak diambil oleh si berpiutang, si berhutang dapat mengambilnya kembali dalam hal itu orang-orang yang turut berhutang dan para penanggung utang tidak dibebaskan.”
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain sebagai berikut:
a. Penawaran pembayaran tunai yang diikuti oleh penyimpanan (Konsinyasi) terjadi apabila dalam suatu perjanjian, kreditur tidak bersedia menerima prestasi yang dilakukan oleh debitur. Wanprestasi pihak kreditur ini disebut “mora kreditoris”.
b. Penawaran sah bilamana telah memenuhi syarat bahwa utang telah dibuat. Ini berarti bahwa penawaran hanya dikenal bila sudah adahubungan hutang-piutang. Jelaslah bahwa lembaga konsinyasi bersifat limitatif.
Pengaturan mekanisme konsinyasi dalam KUHPedata tersebutlah yang melatarbelakangi mekanisme pengaturan konsinyasi dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Dalam peraturan perundang-undangan negara Indonesia pengaturan mekanisme konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum tertuang dalam beberapa regulasi.
a. Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993, bahwa konsinyasi hanya dimungkinkan manakala yang akan diganti rugi dimiliki oleh beberapa orang sedangkan satu atau beberapa orang dari mereka tidak dapat ditemukan, bagiannya dikosinyasikan di pengadilan negeri setempat.
b. Peraturan Presiden Nmor 36 tahun 2005, apabila setelah diadakan musyawarah tidak tercapai kata sepakat atau terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan ganti rugi, ganti rugi dapat dititipkan ke pengadilan.
c. Presiden nomor 65 tahun 2006, memberlakukan konsinyasi sepanjang musyawarah tidak tercapai kesepakatan dan terjadi sengketa kepemilikan. Uang ganti rugi di konsinyasikan 100% ke pengadilan, setelah sengketa selesai baru dapat diambil oleh yang berhak.
d. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012, bahwa konsinyasi baru dapat dilakukan apabila masyarakat pemegang hak atas tanah menolak bentuk dan besrnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah. Dalam uu ini diberikan mekanisme peninjauan kembali kepengadilan negeri atau juga Mahkamah Agung.
Pengadaan tanah pada hakikatnya merupakan hubungan hukum jual beli yang masuk dalam ruang lingkup perdata. Dalam pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan musyawarah antar pemegang hak atas tanah dengan panitia pengadaan tanah. Mekanisme musyawarah ini juga murni perdata. Didalam hubungan keperdataan pada asasnya berintikan kesepakatan antar kedua belah pihak. Kesepakatan inilah yang menjadi undang-undang yang mengikat bagi pihak-pihak tersebut.
Dalam ketentuan undang-udang nomor 2 tahun 2012, bahwa musyawarah penetapan ganti kerugian dilakukan oleh lembaga petanahan yang berhak dalam jangka waktu paling lama 30 hati kerja sejak hasil penilaian dari penilai disampaikan kepada lembaga pertanahan untuk menetapkan bentuk dan atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian. Hasil kesepakatan dalam musyawarah inilah yang dijadikan dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak yang dimuat dalamberta acara kesepakatan.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan mengenai bentuk ganti kerugian atau besarnya ganti kerugian maka pihak yang keberatan dapat mengajukan keberatam kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan ganti kerugian dilakukan.
Berdasarkan klausul yang diatur dalam undang-undang tersebut tampak bahwa lembaga konsinyasi yang diterapkan dalam KUHperdata yang dijadikan acuan dalam penitipan uang kepengadilan dalam pengadaan tanah tidak dapat diterapkan untuk melakukan pengadaan tanah atas nama kepentingan umum. Hal ini disebabkan tidak adanya unsur kesepakatan sebagaimana yang dikehendaki oleh KUHPerdata. Ketidaksepakatan dalam musyawarah tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk meniadakan hak atas tanah masyarakat. Tindakan ini akan menimbulkan kesewenang-wenangan peemerintah sebagai elemen penting dalam pengadaan tanah.
Penitipan ganti kerugian kepengadilan ini pada dasarnya bertentangan dengan asas umum pengadaan tanah, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Boedi Harsono bahwa dengan adanya konsinyasi ini sekan-akan bagi rakyat yang bersangkutan hanya ada satu pilihan yaitu mengambil uang ganti rugi tersebut ke pengadilan, atau akan kehilangan tanahnya tanpa ganti rugi.[11]
Lebih lanjut, Prof.AP Parlindungan mengungkapkan bahwa tidak mungkin konsinyasi bagi orang yang tidak bersedia menerima uang ganti kerugian.[12] Sikap pemerintah yang menganggap dengan menitipkan uang ke pengadilan negeri berarti telah melakukan kewajibannya memberikan yang dinilai memadai. Tindakan pemerintah yang tidak mempedulikan apakah masyarakat akan mengambil ganti kerugian tersebut atau tidak mencerminkan tindakan yang tidak didasarkan kepada itikad baik. Pemerintah sebagai pemegang wewenang penguasaan tanah sesuai amanat konstitusi Indonesia pasal 33 ayat (3) seharusnya tidak melakukan tindakan sepihak yang dapat melemahkan struktur masyarakat. Karena hal ini akan memicu konflik dalam masyrakat, baik antar masyarakat maupun masyarakat dengan pemerintah. Hal ini secara otomatis melemahkan kedaulatan negara. Penggunaan lembaga konsinyasi ini pada dasarnya tidak dibenarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusannya menegaskan melalui putusannya Reg. No. 3757 PK/Pdt/1991 tanggal 6 Agustus 1991 yang menyatakan bahwa konsinyasi tidak dapat diterapkan dalam pengadaan tanah yang dilakukan oleh pemerintah. Tetapi dalam pelaksanaaannya putusan ini tidak dijadikan sebagai yurisprudensi oleh pengadilan negeri dalam menangani sengketa penitipan uang melalui pengadilan negeri. Hal ini disebabkan adanya kewenangan dari pengadilan negeri sesuai amanat pasal 14 uu nomor 4 tahun 2004 tentang ketentuan pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Dimana pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib memeriksa dan mengadili. Dalam klausul pasal ini juga dibenarkan dibukanya kemungkinan untuk penyelesaian perkara perdata secara perdamaian. Tetapi tindakan penitipan uang melaui pengadilan negeri ini pada dasarnya dapat ditolak oleh pengadian negeri dengan didasarkan kepada mekanisme pengadaan tanah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan negara Indonesia apabila berdasarkan pertimnagan hakim telah menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat. Untuk itu, pengadilan negeri menempatkan posisinya sebagai mitra masyarakat untuk memperoleh kepastian hukum bukan membiarkan masyarakat mendapat perlakuak yang tidak adil dari pemerintah.
Dalam pasal 36 UU No 2 tahun 2012 Tentang Pengadan Tanah bahwa pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
a. uang;
b. tanah pengganti;
c. permukiman kembali;
d. kepemilikan saham; atau
e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Ketika dilakukan ganti kerugian melalui lembaga konsinyasi bahwa bentuk yang diberikan hanya berupa klausul yang terdapat dalam pasal 36 ayat (a) yaitu hanya berupa uang. Sedangkan ganti kerugian dalam bentuk lainnya tidak diatur lebih lanjut ketika masyarakat melakukan penolakan terhadap besaran maupun bentuk ganti kerugian yang ditawarkan oleh pantia pengadaan tanah. Hal ini akan merugikan mayarakat karena masyarakat akan kehilangan fungsi yang melekat dalam tanah tersebut, baik itu fungsi sosialnya sebagai sarana pengikat kesatuan masyarakat hukum adat, serta fungsi kapital sebagai faktor modal dalam pembangunan ekonomi masyarakat pemegang hak atas tanah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dimana tanah tersebut langsung digunakan oleh pemerintah untuk melakukan pembangunan infrastruktur atau hal lain yang dikehendaki sesuai rencana awal pengadaan tanah tersebut.
Kerugian yang dialami pemegang hak atas tanah tersebut pada dasarnya bukan hanya bersifat fisik yaitu berupa tanah, bangunan atau benda-benda lain yang berada diatas tanah tersebut. Tetapi mencakup juga kerugian berupa non fisik, yaitu hilangnya kesempatan berusaha, pekerjaan, sumber penghasilan maupun sumber pendapatan lainnya. Serta yang terutama hilangnya ikatan batin dengan tanah yang dikuasainya itu. Kerugian fisik ini pada dasarnya dapat diganti dengan uang tunai yang dapat diberikan kepada pemegang hak atas tanah tersebut, tetapi kerugian dalam bentuk non fisik yang akan mengalami kesulitan apabila dilakukan penggantian.
Dampak musyawarah ganti kerugian yang tidak mencapai titik kesepakatan dalam penetapan ganti kerugian yang dilakukan oleh lembaga petanahan yang berhak dalam jangka waktu paling lama 30 hari ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang telah dijamin konstitusi berupa pengakuan terhadap hak milik perseorangan tersebut. Bagaimana mungkin hak yangtelah dihuni secara turun temurun selama bearatus ratus tahun akan hapus hanya dalam jangka waktu 30 hari.
Keberadaan lembaga konsinyasi ini juga bertentangan dnegan konstitusi negara Indonesia yaitu dalam pasal 23 ayat (1) UUD 1945 “Anggaran Pendapatan Belanja Negara sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan pelaksanaannya dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat”.
Dalam keputusan presiden nomor 42 tahun 2002 tentang pedoman pelaksanaan APBN, bahwa keberadaan lemabaga konsinyasi ini tidak dibutuhkan dan tidak dikenal dalam pengurusan pengeluaran negara, karena pengeluaran negara dilakukan atas dasar bukti yang sah dan benar serta jelas peruntukannya. Bukti yang sah yang dimaksud dalam kepres ini adalah bukti pengeluaran yang dilakuan oleh menteri keuangan. Perlu kita garis bawahi bahwa dalam mekanisme pembayaran atas belanja APBN khususnya pembayaran ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, pemabayaran langsung dilakukan oleh menteri keuangan selaku bendahara umum negara kepada pemegang hak atas tanah setelah tanah tersebut dianggap cleareance, dalam artian tanah tersebut tidak dalam sengketa, tanah tersebut tidak dijadikan jaminan utang serta telah melengkapi syarat yang diatur dalam Perpres no 65 tahun 2006.
Oleh karena itu penitipan uang kepengadilan negeri tidak dibenarkan, sebab bukti penitipan uang kepengadilan negeri bukanlah bukti pengeluaran yang sah oleh karena itu bertentangan dengan mekanisme pelaksanaan pembayaran atas beban APBN.
Ketidaksempurnaan dalam peraturan perundang-undangan pengadaan tanah yang telah ada selama ini masih membuka celah dilakukannya tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai keadilan dan penegakan hak asasi manusia. Oleh karena itu dibutuhkan adanya keinginan yang kuat untuk melakukan reformasi hukum pertanahan yang bersendikan kepada nilai-nilai keadilan, yang menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu tugas yang diemban bersama untuk dapat mewujudkan keadilan yang dikehendaki oleh semua kalangan tanpa menyebabkan proses pembangunan terhambat.
Upaya reformasi peraturan perundang-undangan pertanahan tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara.
a. Melakukan revisi UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, revisi terhadap UU No. 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah karena sudah tidak relevan lagi dengan dinamika sosial yang terjadi dimasyarakat serta tidak mencerminkan nilai keadilan.
b. Melakukan revisi terhadap Peraturan Presiden no 36 tahun 2005 dan Peraturan Presiden No 65 tahun 2006. Peraturan presiden ini telah menajdi arena pertarungan pemerintah dengan masyarakat yang saling bersikeras mempertahankan haknya. Padahal sebaliknya yang perlu disini adalah memperbaiki yang salah, apabila peraturan presidennya yang salah maka dapat dilakukan perbaikan, dan jika rakyat salah dalam mempertahankan hak atas tanahnya karena penerapan peraturan presiden tersebut, maka pemerintah harus berani untuk digugat kembali jika telah dibebaskan atas nama keaddilan rakyat.
c. Stuktur kepanitiaan pengadaan tanah perlu direformasi untukmenghasilkan musyawrah yang berlandaskan pancasila, dalam hal ini merupakan panitia pengadaan tanah jangan hanya yang berasal dari instansi pemerintah saja tetapi dari masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan juga pemerhati masalah pertanahan serta cendikiawan pertanahan.
d. Pembatasan waktu musyawarah hanya 120 hari telah menciderai nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dimana masyarakat akan kehilangan tanah yang telah dikuasainya secara turun temurun hanya dalamjangka waktu 120 hari tersebut.
e. Perlu dilakukan pembedaan kepentingan umum yang mengandung unsur komersil dengan kepentingan umum yang mengandung unsur non komersil, karena dalam kenyataannya pengadaan tanah tersebut terkadang mengandung unsur bisnis atau telah terjadi diskriminasi kepentingan umum yang tidak berorientasi kepada hakikat kepentingan umum yang mensejahterakan masyarakat Indonesia;
f. Ganti kerugian dalam penagdaan tanah harus layak dan adil, dengan pengertian bahwa penggantian itu tiak membuat kehidupannya semakin rendah setelah diganti untuk digunakan bagi kepentingan umum.
g. Lembaga konsinyasi yang dikenal selama ini sudah seharusnya dihapuskan, karena menimbulkan pelanggaran terhadap rasa keadialan dalm masyarakat yang telah dicabut hak atas tanahnya. Dan apabila msyawrah tidak juga dapat berjalan dengan baik, maka pemerintah dapat mengganti kawasan lain atau langsung melakukan pencabutan hak atas tanah.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses pengadaan tanah demi kepentingan umum yang dimuat dalam berbagai regulasi belum mencerminkan nilai keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi masyarakat pemegang hak atas tanah.
Hal ini bisa dilihat dari pasal-pasal yang mengatur tentang criteria kepentingan umum yang masih dimungkinkan terjadinya tindakan sewenang-wennag dalam menerapkan criteria kepentingan umum, dimana presiden juga diberi ruang untuk menentukan kriteria kepentingan umum tersebut yang memicu munculnya detournament de pavoir.
Dalam hal pemberian ganti kerugian, bahwa syarat layak yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak teraplikasi secara adil dalam kehidupan masyarakat, hal ini dapat kita lihat dalam proses musyawarah yang tidak tercapai maka ganti rugi yang diberikan hanya berupa uang, sedangkan bentuk ganti kerugian yang lain yang telah ditetapkan uu tidak diatur lebih lanjut. Dimana masyarakat bukan hanya menderita kerugian dalam bentuk materil tetapi juga immaterial.
Dalam hal musyawarah pengadaan tanah yang terjadi selama ini tidak mampu mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat, panitia perumus musyawrah yang ada selama ini hanya berasal dari pihak pemerintah, masyarakat dan pihak-pihak yang netral kurang dimasukkan untuk mengambil keputusan bersama.
Mekanisme konsinysi yang diterapkan selama ini tidak memberikan solusi yang baik bagi pengadaan tanah di Indonesia, tetapi sebaliknya yang terjadi timbul ketegangan antara masyaraka dan pemerintah yang berujung kepada konflik. Penitipan uang melalui penagdilan ini pada dasarnya tidak dibenarkan oleh konstitusi dalam hal pengeluaran negara melalui lembaga konsinyasi. Konsinyasi ini juga dipandang menciptakan tindakkan sewenang-wenang pemerintah terhadap hak milik rakyat yang dibebaskan, padahal hak milik tersebut dijamin oleh konstitusi negara kita.
B. Saran
Untuk mencapai tujuan bernegara sesuai amanat konstitusi yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang madani, perlu dilakukan upaya reformasi peraturan perundang-undangan pertanahan yang dapat dilakukan melalui berbagai cara.
1. Melakukan revisi UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, revisi terhadap UU No. 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah karena sudah tidak relevan lagi dengan dinamika sosial yang terjadi dimasyarakat serta tidak mencerminkan nilai keadilan.
2. Melakukan revisi terhadap Peraturan Presiden no 36 tahun 2005 dan Peraturan Presiden No 65 tahun 2006.
3. Stuktur kepanitiaan pengadaan tanah perlu direformasi untukmenghasilkan musyawrah yang berlandaskan pancasila, dalam hal ini merupakan panitia pengadaan tanah jangan hanya yang berasal dari instansi pemerintah saja tetapi dari masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan juga pemerhati masalah pertanahan serta cendikiawan pertanahan.
4. Pembatasan waktu musyawarah hanya 120 hari telah menciderai nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dimana masyarakat akan kehilangan tanah yang telah dikuasainya secara turun temurun hanya dalamjangka waktu 120 hari tersebut.
5. Perlu dilakukan pembedaan kepentingan umum yang mengandung unsur komersil dengan kepentingan umum yang mengandung unsur non komersil, karena dalam kenyataannya pengadaan tanah tersebut terkadang mengandung unsur bisnis atau telah terjadi diskriminasi kepentingan umum yang tidak berorientasi kepada hakikat kepentingan umum yang mensejahterakan masyarakat Indonesia;
6. Ganti kerugian dalam penagdaan tanah harus layak dan adil, dengan pengertian bahwa penggantian itu tiak membuat kehidupannya semakin rendah setelah diganti untuk digunakan bagi kepentingan umum.
7. Lembaga konsinyasi yang dikenal selama ini sudah seharusnya dihapuskan, karena menimbulkan pelanggaran terhadap rasa keadialan dalm masyarakat yang telah dicabut hak atas tanahnya. Dan apabila msyawrah tidak juga dapat berjalan dengan baik, maka pemerintah dapat mengganti kawasan lain atau langsung melakukan pencabutan hak atas tanah.
[1] Kalo, Syarifuddin. 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Medan. USU Library.
[2] Kalo, Syafruddin. 2004. Pengadaaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Medan: USU digited Library.
[3] Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), hal 23.
[4] Ibid, halaman 35.
[5] Harsono, Boedi.2005. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.
[6] Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Ed. 1, Cet. 2 (Jakarta : Sinar Grafika, 2008).
[7] Ibid, hal.76
[8]Soetandyo Wignjosoebroto, “Pembebasan Tanah”, Suara Pembaharuan, 7 November 1991,hal. 2.
[9] Maria S.W. Soemarjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2001).
[10] Parlindungan,AP. 1993. Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Studi Perbandingan. Bandung: Mandar Maju.
[11] Ibid, hal.135
Diposting 21st February 2014 oleh henny sirait
http://hennyhandays.blogspot.co.id/2014/02/konsinyasi-pengadaan-tanah-bagi.html
http://hennyhandays.blogspot.co.id/2014/02/konsinyasi-pengadaan-tanah-bagi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar