Fikih Puasa (1): Syarat Wajib Puasa
Al Qodhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Abi Syuja’ mengatakan: Ada
empat syarat wajib puasa: (1) islam, (2)
baligh, (3) berakal, (4) mampu menunaikan puasa
Fikih Puasa (2): Rukun dan Niat Puasa
Sungguh, di bulan Ramadhan
banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik. Pelajaran tersebut sulit
didapati titik ujungnya. Pelajaran yang bisa kita ambil yang paling besar
adalah pelajaran takwa. Bahkan setiap amalan yang ada di bulan Ramadhan bertujuan untuk meraih takwa.
Ketahuilah bahwa takwa
adalah sebaik-baiknya bekal. Takwa adalah sebaik-baik pakaian yang dikenakan
seorang muslim. Takwa inilah yang jadi wasiat orang terdahulu dan belakangan.
Takwa itulah jalan keluar ketika seseorang berada dalam kesulitan. Takwa itulah
sebab mendapatkan pertolongan ketika mati. Takwa itulah jalan menuju
ketenangan.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Intinya, takwa adalah
wasiat Allah pada seluruh makhluk-Nya. Takwa pun menjadi wasiat Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada umatnya. Ketika
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan,
beliau pun menasehati mereka untuk bertakwa. Itu semua bertujuan supaya dengan
takwa manusia meraih kebaikan.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam,
1: 404).
Lalu apa yang dimaksud takwa? Takwa
sebagaimana kata Tholq bin Habib rahimahullah,
التَّقْوَى : أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللَّهِ
عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَرْجُو رَحْمَةَ اللَّهِ وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ
اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَخَافَ عَذَابَ اللَّهِ
“Takwa adalah engkau
melakukan ketaatan pada Allah atas petunjuk dari Allah dan mengharap rahmat
Allah. Takwa juga adalah engkau meninggalkan maksiat yang Allah haramkan atas
petunjuk dari-Nya dan atas dasar takut pada-Nya.” (Lihat Majmu’atul Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 163 dan Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam karya Ibnu Rajab Al
Hambali, 1: 400).
Kata Ibnu Rajab Al Hambali,
وأصلُ التقوى : أنْ يعلم العبدُ ما يُتَّقى ثم
يتقي.
“Takwa asalnya adalah
seseorang mengetahui apa yang mesti ia hindari lalu ia tinggalkan.”
‘Aun bin ‘Abdillah berkata,
تمامُ التقوى أنْ تبتغي علمَ ما لم يُعلم منها
إلى ما عُلِمَ منها
“Takwa yang sebenarnya
adalah jika seseorang ingin tahu sesuatu yang tidak ia ketahui hingga ia pun
akhirnya jadi tahu.”
Ma’ruf Al Karkhi berkata,
dari Bakr bin Khunais, ia berkata,
كيف يكون متقياً من لا يدري ما يَتَّقي ؟
“Bagaimana seseorang bisa
dikatakan bertakwa sedangkan ia tidak mengetahui apa yang mesti dijauhi?”
Lalu Ma’ruf kemudian
berkata,
إذا كنتَ لا تُحسنُ تتقي أكلتَ الربا ، وإذا
كنتَ لا تُحسنُ تتقي لقيتكَ امرأةٌ فلم تَغُضَّ بصرك
“Jika engkau tidak baik
dalam takwa, maka pasti engkau
akan terjerumus dalam memakan riba. Kalau engkau tidak hati-hati dalam takwa,
maka pasti engkau akan memandang seorang wanita lantas pandanganmu tidak kau tundukkan.” (Lihat Jaami’ ‘Ulum wal Hikam, 1: 402).
Ramadhan pun disebut oleh para ulama dengan bulan takwa.
Sifat takwa inilah yang nanti akan diraih dari amalan puasa. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan
pada orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al Baqarah: 183).
Syaikh ‘Abdurrahman bin
Nashir As Sa’di rahimahullah menyebutkan,
“Allah Ta’ala menyebutkan dalam ayat di atas mengenai
hikmah disyari’atkan puasa yaitu agar kita bertakwa. Karena dalam puasa, kita
mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Yang meliputi takwa dalam puasa
adalah seorang muslim meninggalkan apa yang Allah haramkan saat itu yaitu
makan, minum, hubungan intim sesama pasangan dan semacamnya. Padahal jiwa
begitu terdorong untuk menikmatinya. Namun semua itu ditinggalkan karena ingin
mendekatkan diri pada Allah dan mengharap pahala dari-Nya. Inilah yang disebut
takwa.
Begitu pula orang yang
berpuasa melatih dirinya untuk semakin dekat pada Allah. Ia mengekang hawa
nafsunya padahal ia bisa saja menikmati berbagai macam kenikmatan. Ia
tinggalkan itu semua karena ia tahu bahwa Allah selalu mengawasinya.
Begitu pula puasa semakin
mengekang jalannya setan dalam saluran darah. Karena setan itu merasuki manusia
pada saluran darahnya. Ketika puasa, saluran setan tersebut menyempit.
Maksiatnya pun akhirnya berkurang.
Orang yang berpuasa pun
semakin giat melakukan ketaatan, itulah umumnya yang terjadi. Ketaatan itu
termasuk takwa.
Begitu pula ketika puasa,
orang yang kaya akan merasakan lapar sebagaimana yang dirasakan fakir miskin.
Ini pun bagian dari takwa.” Demikian perkataan Syaikh As Sa’di dalam Taisir Al Karimir Rahman, hal. 86.
Semoga puasa kita semakin mendekatkan kita pada sifat takwa.
Hanya Allah yang memberikan kemudahan dan taufik.
—
Referensi:
·
Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, tahqiq: Syu’aib Al Arnauth dan
Ibrahim Yajus, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kesepuluh, tahun 1432 H.
·
Romadhon Durusun wa ‘Ibarun –
Tarbiyatun wa Usrorun, Dr. Muhammad bin Ibrahim Al Hamad, terbitan
Dar Ibnu Khuzaimah, cetakan kedua, tahun 1424 H.
·
Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Mannan,
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan
pertama, tahun 1423 H.
Fikih Puasa (3): Pembatal Puasa
Yang membatalkan puasa ada 10 hal: (1) segala sesuatu yang sampai ke
jauf (dalam rongga tubuh), (2) segala sesuatu yang masuk lewat kepala, (3)
segala sesuatu yang masuk lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau dubur,
(4) muntah dengan sengaja, (5) menyetubuhi
dengan sengaja di kemaluan, (6) keluar mani karena bercumbu, (7) haidh, (8)
nifas, (9) gila, (10) keluar dari Islam (murtad)
Fikih Puasa (4): Pembatal Puasa
Serial kali ini,
kita akan melanjutkan mengenai pembatal puasa lainnya yang sebelumnya telah
sampai pada pembatal keempat. Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Al Ghoyah wat
Taqrib menyebutkan sebelumnya, Yang membatalkan puasa ada 10 hal: (1) segala
sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh), (2) segala sesuatu yang masuk
lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau dubur,
(4) muntah dengan sengaja, (5) menyetubuhi dengan sengaja di kemaluan, (6)
keluar mani karena bercumbu, (7) haidh, (8) nifas, (9) gila, (10) keluar dari
Islam (murtad).
Fikih Puasa (5): Sunnah Puasa
Setelah sebelumnya dibahas mengenai syarat, rukun dan pembatal puasa,
kali ini Muslim.Or.Id melanjutkan dengan pembahasan sunnah puasa atau hal-hal yang dianjurkan
saat puasa.
Fikih Puasa (6): Hari Dilarang Puasa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari puasa pada dua hari:
Idul Fithri dan Idul ‘Adha. (HR. Muslim no. 1138)
Fikih Puasa (7): Akibat
Hubungan Seks di Siang Hari Ramadhan
Barangsiapa yang melakukan hubungan seks di siang hari Ramadhan secara sengaja di kemaluan, maka ia
punya kewajiban menunaikan qadha’ dan kafarah. Bentuk kafarah-nya adalah
memerdekakan 1 orang budak beriman. Jika tidak didapati, maka berpuasa dua
bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka memberi makan kepada 60 orang
miskin yaitu sebesar 1 mud
Fikih Puasa (8): Masih Memiliki
Utang Puasa Ketika Meninggal Dunia
“Barangsiapa
memiliki utang puasa ketika meninggal dunia, hendaklah dilunasi dengan cara
memberi makan (kepada orang miskin), satu hari tidak puasa dibayar dengan satu
mud”
Fikih Puasa (9): Yang Mendapat
Keringanan Tidak Puasa
Orang yang sudah tua renta (sepuh) ketika tidak mampu berpuasa, maka ia
tidak berpuasa. Setiap hari tidak puasa, hendaklah ia memberi makan (kepada
orang miskin) seukuran satu mud. Adapun wanita hamil dan menyusui, jika mereka berdua
khawatir pada dirinya, maka boleh tidak puasa dan mereka berdua punya kewajiban
qodho’
Fikih Puasa (10): Amalan I’tikaf
Di antara yang disunnahkan di bulan Ramadhan adalah melakukan i’tikaf, yaitu
berdiam diri di masjid dengan tujuan supaya bisa berkonsentrasi dalam ibadah. Berikut
keterangan Al Qodhi Abu Syuja’ mengenai i’tikaf. Kata Abu Syuja’ rahimahullah,
“I’tikaf itu sunnah yang dianjurkan. Namun disebut i’tikaf
jika memenuhi dua syarat yaitu (1) berniat, (2) berdiam di masjid.
Tidak boleh keluar dari
i’tikaf yang dinadzarkan kecuali jika ada kebutuhan atau ada udzur semisal
haidh atau sakit yang tidak mungkin berdiam di masjid.
I’tikaf itu batal dengan
berhubungan intim (bersenggama).”
Pengertian I’tikaf
I’tikaf berarti tetap
atau menetap pada suatu tempat. Sedangkan secara istilah berarti berdiam di
masjid yang dilakukan oleh orang tertentu dengan niat khusus. (Lihat Al Iqna’, 1: 424).
Hukum I’tikaf
Hukum i’tikaf
adalah sunnah muakkad dan dianjurkan dilakukan di setiap
waktu di Ramadhan atau selain Ramadhan. Namun di sepuluh hari terakhir dari
bulan Ramadhan lebih
utama dari hari lainnya karena dicarinya lailatul qadar pada malam tersebut.
Lailatul qadar hendaklah dihidupkan dengan shalat, membaca Al Qur’an, dan
memperbanyak do’a karena malam tersebut adalah malam yang utama dalam setahun.
Allah Ta’ala berfirman,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ
خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. ”
(QS. Al Qadar: 3).
Maksudnya adalah
amalan pada malam lailatul qadar lebih baik adari amalan di 1000 bulan yang
tidak terdapat lailatul qadar. Sebagaimana kata Imam Syafi’i dan mayoritas
ulama, malam ini diperoleh pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan.
Lihat pembahasan dalam Al Iqna’, 1: 424-425.
Syarat I’tikaf
Syarat i’tikaf
sebagaimana disebutkan oleh Abu Syuja’ ada dua:
1- Niat
Niat cukup dalam hati
sebagaimana dalam ibadah lainnya. Dituntut berniat jika
dengan niatan nadzar sunnah. Jika i’tikafnya mutlak, yaitu tidak
dibatasi waktu
tertentu, maka cukup
diniatkan.
2- Berdiam
Yang dimaksud di sini adalah
i’tikaf mesti berdiam di mana waktunya lebih dari waktu yang dikatakan
thuma’ninah dalam ruku’ dan lainnya. Imam Syafi’i menganjurkan untuk melakukan
i’tikaf sehari agar terlepas dari khilaf atau perselisihan para ulama.
Ditambahkan oleh
Muhammad Al Khotib dalam Al Iqna’ yaitu syarat ketiga dan keempat.
3- Berdiam di masjid
Hal ini berdasarkan
ayat dan ijma’ (kesepakatan para ulama). Adapun ayat adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”
(QS. Al Baqarah: 187).
Masjid jami’ yang
ditegakkan shalat Jum’at di dalamnya lebih utama daripada masjid lainnya supaya
yang melaksanakan i’tikaf tidak keluar untuk melaksanakan shalat Jum’at
di masjid lainnya. Akan tetapi, jika seseorang sudah berniat i’tikaf di
Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjidil Aqsho, maka tidak bisa diganti
dengan masjid lainnya karena keutamaan besar dari masjid tersebut.
4- Syarat yang
berkaitan dengan orang yang beri’tikaf yaitu Islam, berakal, suci dari hadits besar
Tidak Keluar dari
Masjid Selama I’tikaf
Yang menjalani i’tikaf
tidak boleh keluar dari masjid selama i’tikafnya adalah i’tikaf nadzar, atau
i’tikaf yang sudah diniatkan selama waktu tertentu. Hanya boleh keluar dari
masjid jika ada kebutuhan mendesak seperti kencing, buang hajat, dan keperluan
lainnya yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Di antara udzur lagi adalah
karena haidh -menurut ulama yang tidak membolehkan wanita haidh
diam di masjid- dan orang yang sakit yang juga tidak bisa berdiam di masjid.
Pembatal I’tikaf
Yang membatalkan
i’tikaf adalah dengan bersenggama atau bersetubuh. Dalilnya adalah ayat,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”
(QS. Al Baqarah: 187).
I’tikafnya jadi batal
jika dilakukan dalam keadaan tahu dan ingat sedang beri’tikaf baik dilakukan di
dalam atau di luar masjid. Adapun bercumbu (mubasyaroh) selain di kemaluan
seperti saling menyentuh dan mencium bisa membatalkan i’tikaf jika keluar mani.
Lihat Al Iqna’, 1: 427-428.
Selesai sudah kajian fikih
dari kitab Matan Abi Syuja’. Semoga bermanfaat untuk amalan kita di bulan Ramadhan. Hanya Allah yang memberi taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan
nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Referensi:
1. Mukhtashor Abi Syuja’, Ahmad bin Al Husain Al Ashfahani Asy Syafi’i,
terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428
2. At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, terbitan Darul
Musthofa, cetakan kesebelas, tahun 1428 H.
3. Al Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’, Syamsudin Muhammad bin Muhammad Al Khotib,
terbitan Al Maktabah At Tauqifiyah.
4. Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul
Mu’min Al Hishni, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar