Sungguh, di bulan Ramadhan
banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik. Pelajaran tersebut sulit
didapati titik ujungnya. Pelajaran yang bisa kita ambil yang paling besar
adalah pelajaran takwa. Bahkan setiap amalan yang ada di bulan Ramadhan bertujuan untuk meraih takwa.
Ketahuilah bahwa takwa
adalah sebaik-baiknya bekal. Takwa adalah sebaik-baik pakaian yang dikenakan
seorang muslim. Takwa inilah yang jadi wasiat orang terdahulu dan belakangan.
Takwa itulah jalan keluar ketika seseorang berada dalam kesulitan. Takwa itulah
sebab mendapatkan pertolongan ketika mati. Takwa itulah jalan menuju
ketenangan.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Intinya, takwa adalah
wasiat Allah pada seluruh makhluk-Nya. Takwa pun menjadi wasiat Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada umatnya. Ketika
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan,
beliau pun menasehati mereka untuk bertakwa. Itu semua bertujuan supaya dengan
takwa manusia meraih kebaikan.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam,
1: 404).
Lalu apa yang dimaksud takwa? Takwa
sebagaimana kata Tholq bin Habib rahimahullah,
التَّقْوَى : أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللَّهِ
عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَرْجُو رَحْمَةَ اللَّهِ وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ
اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَخَافَ عَذَابَ اللَّهِ
“Takwa adalah engkau
melakukan ketaatan pada Allah atas petunjuk dari Allah dan mengharap rahmat
Allah. Takwa juga adalah engkau meninggalkan maksiat yang Allah haramkan atas
petunjuk dari-Nya dan atas dasar takut pada-Nya.” (Lihat Majmu’atul Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 163 dan Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam karya Ibnu Rajab Al
Hambali, 1: 400).
Kata Ibnu Rajab Al Hambali,
وأصلُ التقوى : أنْ يعلم العبدُ ما يُتَّقى ثم
يتقي.
“Takwa asalnya adalah
seseorang mengetahui apa yang mesti ia hindari lalu ia tinggalkan.”
‘Aun bin ‘Abdillah berkata,
تمامُ التقوى أنْ تبتغي علمَ ما لم يُعلم منها
إلى ما عُلِمَ منها
“Takwa yang sebenarnya
adalah jika seseorang ingin tahu sesuatu yang tidak ia ketahui hingga ia pun
akhirnya jadi tahu.”
Ma’ruf Al Karkhi berkata,
dari Bakr bin Khunais, ia berkata,
كيف يكون متقياً من لا يدري ما يَتَّقي ؟
“Bagaimana seseorang bisa
dikatakan bertakwa sedangkan ia tidak mengetahui apa yang mesti dijauhi?”
Lalu Ma’ruf kemudian
berkata,
إذا كنتَ لا تُحسنُ تتقي أكلتَ الربا ، وإذا
كنتَ لا تُحسنُ تتقي لقيتكَ امرأةٌ فلم تَغُضَّ بصرك
“Jika engkau tidak baik
dalam takwa, maka pasti engkau
akan terjerumus dalam memakan riba. Kalau engkau tidak hati-hati dalam takwa,
maka pasti engkau akan memandang seorang wanita lantas pandanganmu tidak kau tundukkan.” (Lihat Jaami’ ‘Ulum wal Hikam, 1: 402).
Ramadhan pun disebut oleh para ulama dengan bulan takwa.
Sifat takwa inilah yang nanti akan diraih dari amalan puasa. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan
pada orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al Baqarah: 183).
Syaikh ‘Abdurrahman bin
Nashir As Sa’di rahimahullah menyebutkan,
“Allah Ta’ala menyebutkan dalam ayat di atas mengenai
hikmah disyari’atkan puasa yaitu agar kita bertakwa. Karena dalam puasa, kita
mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Yang meliputi takwa dalam puasa
adalah seorang muslim meninggalkan apa yang Allah haramkan saat itu yaitu
makan, minum, hubungan intim sesama pasangan dan semacamnya. Padahal jiwa begitu
terdorong untuk menikmatinya. Namun semua itu ditinggalkan karena ingin
mendekatkan diri pada Allah dan mengharap pahala dari-Nya. Inilah yang disebut
takwa.
Begitu pula orang yang
berpuasa melatih dirinya untuk semakin dekat pada Allah. Ia mengekang hawa
nafsunya padahal ia bisa saja menikmati berbagai macam kenikmatan. Ia
tinggalkan itu semua karena ia tahu bahwa Allah selalu mengawasinya.
Begitu pula puasa semakin
mengekang jalannya setan dalam saluran darah. Karena setan itu merasuki manusia
pada saluran darahnya. Ketika puasa, saluran setan tersebut menyempit.
Maksiatnya pun akhirnya berkurang.
Orang yang berpuasa pun
semakin giat melakukan ketaatan, itulah umumnya yang terjadi. Ketaatan itu
termasuk takwa.
Begitu pula ketika puasa,
orang yang kaya akan merasakan lapar sebagaimana yang dirasakan fakir miskin.
Ini pun bagian dari takwa.” Demikian perkataan Syaikh As Sa’di dalam Taisir Al Karimir Rahman, hal. 86.
Moga puasa kita semakin mendekatkan kita pada sifat takwa.
Hanya Allah yang memberikan kemudahan dan taufik.
—
Referensi:
·
Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, tahqiq: Syu’aib Al Arnauth dan
Ibrahim Yajus, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kesepuluh, tahun 1432 H.
·
Romadhon Durusun wa ‘Ibarun –
Tarbiyatun wa Usrorun, Dr. Muhammad bin Ibrahim Al Hamad, terbitan
Dar Ibnu Khuzaimah, cetakan kedua, tahun 1424 H.
·
Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Mannan,
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan
pertama, tahun 1423 H.
—
Dari artikel 'Kajian Ramadhan 2: Puasa untuk Meraih Takwa — Muslim.Or.Id'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar