Dari Abu Hurairah, ia
berkata,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa
berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya
yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim
no. 760).
Yang dimaksud berpuasa atas
dasar iman yaitu berpuasa karena meyakini akan kewajiban puasa. Sedangkan yang
dimaksud ihtisab adalah mengharap pahala dari Allah Ta’ala. (Lihat Fathul Bari, 4: 115).
Al Khottobi berkata, “Yang
dimaksud ihtisab adalah terkait niat yaitu berpuasa dengan
niat untuk mengharap balasan baik dari Allah. Jika seseorang berniat demikian,
ia tidak akan merasa berat dan tidak akan merasa lama ketika menjalani puasa.”
(Idem)
Hadits yang kita kaji di
atas menunjukkan itulah orang yang berpuasa dengan benar. Benarnya puasanya
jika didasari atas iman dan puasa tersebut dilakukan ikhlas karena Allah,
mengharap pahala-Nya, mengagungkan syari’at-Nya, bukan melakukannya atas dasar
riya’, cari pujian atau hanya sekedar mengikuti kebiasaan orang sekitar.
Kalau seseorang mendasari
puasanya karena dasar iman, mengharap pahala dan
ridho, maka tentu hatinya semakin tenang, lapang dan bahagia. Ia pun akan
bersyukur atas nikmat puasa Ramadhan yang ia dapati tahun ini. Hatinya tentu
tidak merasa berat dan susah ketika menjalani puasa. Sehingga ia pun terlihat berhati ceria dan berakhlak
yang baik. Lihat kitab Ramadhan karya
Dr. Muhammad bin Ibrahim Al Hamad, hal. 18.
Hadits di atas juga
menunjukkan bolehnya kita mengharap pahala atau balasan dari Allah ketika
menjalani suatu ibadah, itu tidak mengapa.
Dan itulah yang disebut ikhlas.
Keutamaan Ramadhan
Hadits di atas sekaligus
menjadi dalil bolehnya menyebut Ramadhan dengan penyebutan Ramadhan, walau
tidak menyebut dengan bulan Ramadhan (syahru Ramadhan).
Karena hadits yang melarang penyebutan Ramadhan
saja adalah hadits yang dho’if.
Hadits yang kita kaji kali
ini sekaligus menunjukkan keutamaan bulan Ramadhan. Siapa saja yang berpuasa kala itu, maka dosanya
yang telah lalu akan diampuni, walaupun banyak seperti buih di lautan.
Wallahu a’lam. Moga bermanfaat.
Referensi:
·
Romadhon Durusun wa ‘Ibarun –
Tarbiyatun wa Usrorun, Dr. Muhammad bin Ibrahim Al Hamad, terbitan
Dar Ibnu Khuzaimah, cetakan kedua, tahun 1424 H.
·
Bahjatun Nazhirin Syarh
Riyadhish Sholihin, Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilaliy,
terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H, 2: 328.
—
Siang hari selepas
Jum’atan, 3 Ramadhan 1434 H @ Pesantren
Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I.
Yogyakarta
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar