Shalat
tarawih adalah shalat yang hukumnya sunnah berdasarkan kesepakatan para ulama.
Shalat tarawih merupakan shalat malam atau di luar Ramadhan disebut dengan
shalat tahajud. Shalat malam merupakan ibadah yang utama di bulan Ramadhan
untuk mendekatkan diri pada Allah Ta’ala. Ibnu Rajab rahimahullah dalam Lathoif
Al Ma’arif berkata, “Ketahuilah bahwa seorang mukmin di bulan Ramadhan memiliki
dua jihadun nafs (jihad pada jiwa) yaitu jihad di siang hari dengan puasa dan jihad di
malam hari dengan shalat malam. Barangsiapa yang menggabungkan dua ibadah ini,
maka ia akan mendapati pahala yang tak hingga.”
Keutamaan
Shalat Tarawih
Pertama: Shalat tarawih mengampuni dosa yang telah lewat. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
قَامَ
رَمَضَانَ
إِيمَانًا
وَاحْتِسَابًا
غُفِرَ
لَهُ
مَا
تَقَدَّمَ
مِنْ
ذَنْبِهِ
“Barangsiapa
melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang
telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).
Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan
oleh Imam Nawawi (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:39). Hadits ini
memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat
dilakukan karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan
mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya (Lihat Fathul
Bari, 4:251). Imam Nawawi menjelaskan, “Yang sudah ma’ruf di kalangan fuqoha
bahwa pengampunan dosa yang dimaksudkan di sini adalah dosa kecil, bukan dosa
besar. Dan mungkin saja dosa besar ikut terampuni jika seseorang benar-benar
menjauhi dosa kecil.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:40).
Lebih
Semangat di Akhir Ramadhan
Selayaknya bagi setiap mukmin
untuk terus semangat dalam beribahadah di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan
lebih dari lainnya. Di sepuluh hari terakhir tersebut terdapat lailatul qadar.
Allah Ta’ala berfirman,
لَيْلَةُ
الْقَدْرِ
خَيْرٌ
مِنْ
أَلْفِ
شَهْرٍ
“Malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan” (QS. Al Qadar: 3).
Telah terdapat keutamaan yang besar bagi orang yang menghidupkan malam
tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
قَامَ
لَيْلَةَ
الْقَدْرِ
إِيمَانًا
وَاحْتِسَابًا
غُفِرَ
لَهُ
مَا
تَقَدَّمَ
مِنْ
ذَنْبِهِ
“Barangsiapa
melaksanakan shalat pada lailatul qadar karena iman dan
mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”
(HR. Bukhari no. 1901)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam terlihat lebih rajin di akhir Ramadhan lebih dari hari-hari lainnya,
sebagaimana disebutkan dalam hadits,
كَانَ
رَسُولُ
اللَّهِ
-صلى
الله
عليه
وسلم-
يَجْتَهِدُ
فِى
الْعَشْرِ
الأَوَاخِرِ
مَا
لاَ
يَجْتَهِدُ
فِى
غَيْرِهِ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.”
(HR. Muslim no. 1175)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi contoh dengan memperbanyak ibadahnya saat sepuluh hari terakhir Ramadhan. Untuk maksud tersebut beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menjauhi istri-istri beliau dari berhubungan intim. Beliau pun tidak lupa mendorong keluarganya dengan membangunkan mereka untuk melakukan ketaatan pada malam sepuluh hari terakhir Ramadhan. ‘Aisyah mengatakan,
كَانَ
النَّبِىُّ
– صلى
الله
عليه
وسلم
– إِذَا
دَخَلَ
الْعَشْرُ
شَدَّ
مِئْزَرَهُ
،
وَأَحْيَا
لَيْلَهُ
،
وَأَيْقَظَ
أَهْلَهُ
“Apabila
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan
Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau
dari berjima’), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.”
(HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174).
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
“Disunnahkan untuk memperbanyak ibadah di akhir Ramadhan dan
disunnahkan pula untuk menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8:71)
Semangat
Tarawih Berjama’ah
Sudah sepantasnya setiap
muslim mendirikan shalat tarawih tersebut secara berjama’ah dan terus
melaksanakannya hingga imam salam. Karena siapa saja yang shalat tarawih hingga
imam selesai, ia akan mendapat pahala shalat semalam penuh. Padahal ia hanya
sebentar saja mendirikan shalat di waktu malam. Sungguh inilah karunia besar
dari Allah Ta’ala. Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ
قَامَ
مَعَ
الْإِمَامِ
حَتَّى
يَنْصَرِفَ
كُتِبَ
لَهُ
قِيَامُ
لَيْلَةٍ
“Barangsiapa
yang shalat bersama imam hingga imam selesai, maka ia dicatat seperti melakukan
shalat semalam penuh.” (HR. Tirmidzi no. 806, shahih menurut Syaikh
Al Albani)
Imam Nawawi rahimahullah
berkata, “Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih itu sunnah. Namun mereka
berselisih pendapat apakah shalat tarawih itu afdhol dilaksanakan sendirian
atau berjama’ah di masjid. Imam Syafi’i dan mayoritas ulama Syafi’iyah, juga Imam
Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa yang
afdhol adalah shalat tarawih dilakukan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan
oleh ‘Umar bin Al Khottob dan sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kaum muslimin pun
terus ikut melaksanakannya seperti itu.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:39).
11
ataukah 23 Raka’at?
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah
mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at
tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan
dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang
mau juga boleh mengerjakan dengan jumlah raka’at yang banyak.” (At Tamhid,
21/70).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam,
beliau menjawab,
صَلاَةُ
اللَّيْلِ
مَثْنَى
مَثْنَى
،
فَإِذَا
خَشِىَ
أَحَدُكُمُ
الصُّبْحَ
صَلَّى
رَكْعَةً
وَاحِدَةً
،
تُوتِرُ
لَهُ
مَا
قَدْ
صَلَّى
“Shalat malam itu dua
raka’at-dua raka’at. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu
shubuh, maka kerjakanlah satu raka’at. Dengan itu berarti kalian menutup shalat
tadi dengan witir.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749). Padahal ini dalam
konteks pertanyaan. Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya.
Al Baaji rahimahullah
mengatakan, “Boleh jadi ‘Umar memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan
shalat malam sebanyak 11 raka’at. Namun beliau memerintahkan seperti ini di
mana bacaan tiap raka’at begitu panjang, yaitu imam sampai membaca 200 ayat
dalam satu raka’at. Karena bacaan yang panjang dalam shalat adalah shalat yang
lebih afdhol. Ketika manusia semakin lemah, ‘Umar kemudian memerintahkan para
sahabat untuk melaksanakan shalat sebanyak 23 raka’at, yaitu dengan raka’at
yang ringan-ringan. Dari sini mereka bisa mendapat sebagian keutamaan dengan
menambah jumlah raka’at.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27/142)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata, “Semua jumlah raka’at di atas (dengan 11, 23 raka’at atau
lebih dari itu, -pen) boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan
berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah
melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan
senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat
malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini
dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan
dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik. Namun
apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang,
maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama.
Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan
20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang
sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam
dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh
sedikit pun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini
semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di
bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan
tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih
atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.”
(Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Tuntunan
Lain Shalat Tarawih
Shalat tarawih lebih afdhol
dilakukan dua raka’at salam, dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat malam adalah dua raka’at
dua raka’at.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749). Ulama besar
Syafi’iyah, An Nawawi ketika menjelaskan hadits “shalat
sunnah malam dan siang itu dua raka’at, dua raka’at”, beliau rahimahullah
mengatakan, “Yang dimaksud hadits ini
adalah bahwa yang lebih afdhol adalah mengerjakan shalat dengan setiap dua
raka’at salam baik dalam shalat sunnah di malam atau siang hari. Di sini
disunnahkan untuk salam setiap dua raka’at. Namun jika menggabungkan seluruh
raka’at yang ada dengan sekali salam atau mengerjakan shalat sunnah dengan
satu raka’at saja, maka itu dibolehkan menurut kami.” (Al Minhaj Syarh Shahih
Muslim, 6:30)
Para ulama sepakat tentang
disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat tarawih empat raka’at.
Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa
kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca
do’a tertentu ketika istirahat. (Lihat Al Inshof, 3/117)
Tidak ada riwayat mengenai
bacaan surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan
keadaan. Imam dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai membuat jama’ah
bubar meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan bacaan surat yang
panjang-panjang, maka itu lebih baik. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1:420)
Menutup
Shalat Malam dengan Witir
Shalat witir adalah shalat
yang dilakukan dengan jumlah raka’at ganjil (1, 3, 5, 7 atau 9 raka’at). Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اجْعَلُوا
آخِرَ
صَلاَتِكُمْ
بِاللَّيْلِ
وِتْرً
“Jadikanlah
akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.”
(HR. Bukhari no.
998 dan Muslim no. 751). Jika shalat witir dilakukan dengan tiga raka’at, maka
dapat dilakukan dengan dua cara: (1) tiga raka’at, sekali salam [HR. Al
Baihaqi], (2) mengerjakan dua raka’at terlebih dahulu kemudian salam, lalu
ditambah satu raka’at kemudian salam [HR. Ahmad 6:83].
Dituntunkan pula ketika witir
untuk membaca do’a qunut. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, ”
Apa hukum membaca do’a qunut setiap malam ketika (shalat sunnah) witir?”
Jawaban beliau rahimahullah, “Tidak masalah mengenai hal ini. Do’a qunut
(witir) adalah sesuatu yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
biasa membaca qunut tersebut. Beliau pun pernah mengajari (cucu beliau) Al
Hasan beberapa kalimat qunut untuk shalat witir
(Allahummahdiini
fiiman hadait, wa’aafini fiiman ‘afait, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik
lii fiima a’thait, waqinii syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho
‘alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata’aalait, -pen)
[HR. Abu Daud no.
1425, An Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464, shahih kata Syaikh Al Albani].
Ini
termasuk hal yang disunnahkan. Jika engkau merutinkan membacanya setiap
malamnya, maka itu tidak mengapa. Begitu pula jika engkau meninggalkannya suatu
waktu sehingga orang-orang tidak menyangkanya wajib, maka itu juga tidak
mengapa. Jika imam meninggalkan membaca do’a qunut suatu waktu dengan tujuan
untuk mengajarkan manusia bahwa hal ini tidak wajib, maka itu juga tidak
mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan do’a qunut pada
cucunya Al Hasan, beliau tidak mengatakan padanya: “Bacalah do’a qunut tersebut
pada sebagian waktu saja”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut
witir terus menerus adalah sesuatu yang dibolehkan. (Fatawa Nur ‘alad Darb,
2:1062)
Setelah witir dituntunkan
membaca, “Subhaanal malikil qudduus”, sebanyak tiga kali dan
mengeraskan suara pada bacaan ketiga (HR. An Nasai no. 1732 dan Ahmad 3/406,
shahih menurut Syaikh Al Albani). Juga bisa membaca bacaan
“Allahumma
inni a’udzu bika bi ridhooka min sakhotik wa bi mu’afaatika min ‘uqubatik, wa
a’udzu bika minka laa uh-shi tsanaa-an ‘alaik, anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik”
[Ya Allah, aku berlindung
dengan keridhoan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari
hukuman-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu
menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang
Engkau sanjukan kepada diri-Mu sendiri]
(HR. Abu Daud no. 1427, Tirmidzi no.
3566, An Nasai no. 1100 dan Ibnu Majah no. 1179, shahih kata Syaikh Al Albani)
Kekeliruan
Seputar Shalat Tarawih
Berikut beberapa kekeliruan
saat pelaksanaan shalat tarawih berjama’ah dan tidak ada dasarnya dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
1. Dzikir berjama’ah di
antara sela-sela shalat tarawih. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
berkata, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dzikir secara berjama’ah.
Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa
dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama)
adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini”.
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11:190)
2. Melafazhkan niat selepas
shalat tarawih. Imam Nawawi berkata, “Tidaklah sah puasa seseorang
kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk
diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”
(Rowdhotuth Tholibin, 1:268).
3. Memanggil jama’ah dengan
‘ash sholaatul jaami’ah’. Tidak ada tuntunan untuk memanggil jama’ah dengan
ucapan ‘ash sholaatul jaami’ah’. Ini termasuk perkara yang diada-adakan (Lihat
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27:140).
4. Mengkhususkan dzikir atau
do’a tertentu antara sela-sela duduk shalat tarawih, apalagi dibaca secara
berjama’ah. Karena ini jelas tidak ada tuntunannya (Lihat Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 27:144).
Semoga Allah memberikan kita
kekuatan dan keistiqomahan untuk menghidupkan malam-malam kita dengan shalat tarawih. Wallahu waliyyut taufiq.
Panggang-Gunung Kidul, 28
Sya’ban 1432 H (30/07/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Dari artikel 'Tuntunan Shalat Tarawih — Muslim.Or.Id'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar