Cingcangkeling adalah
lagu permainan sunda yang ditujukan untuk
berhitung sebelum anak-anak melakukan permainan kucing-kucingan atau permainan sentuh
berlarian dengan cara ketika ada salah satu anak yang tersentuh oleh anak
yang terhitung, maka anak tersebut yang tersentuh kalah dan harus menyentuh
temannya yang lain yang tak terhitung. Sebelum
melakukan permainan ini, salah satu anak yang ikut bermain menyanyikan dulu
lagu cing cangkeling:
PANTASKAH “CING CANG KELING” PADA
PERMAINAN ANAK – ANAK?
Latar
belakang masalah
Sunda adalah satu daerah budaya yang kaya akan kesenian, apalagi tentang tembang
atau lagu-lagunya. Sampai detik ini jenis tembang sunda yang paling
pesat perkembangan serta eksistensinya ialah pop sunda. Pop sunda menjadi
demikian dikarenakan kandungan lagu serta ritmis-ritmisnya bersifat easy
listening sehingga mudah dicerna oleh gendang telinga penikmat musik. Satu
level dibawah pop sunda yang juga masih terjaga eksistensinya ialah tembang
cianjuran dan kekawih. Kedua jenis tembang tersebut bersifat sama karena
dilihat dari struktur musikalnya masih sangat kental dengan musik tradisi sunda
yang berlaras pelog, salendro dan madenda. Otomatis dengan
demikian jenis tembang ini akan tetap ada dan masih sering dipakai
karena bersifat tradisi dan tradisi tersebut tak mungkin luput dari sebuah
kebudayaan atau adat. Maksudnya adalah sudah barang tentu jika tembang ini
adalah bagian dari kebudayaan masyarakat yang akan tetap dipakai pada setiap
upacara adat, seperti misal pernikahan. Jika kita berbicara kenyataan hanya
itulah sekarang tembang yang masih hidup di sunda. Mungkin juga masih
ada jenis tembang lain yang terekspose, namun itu pasti hanya dalam
kegiatan festival budaya. Tengok pada jenis tembang yang digunakan pada
permainan anak-anak tradisional. Hampir tidak ada lagi anak-anak zaman sekarang
yang memainkan hal tersebut.
Jika melihat dari sudut pandang kekinian yang modern, kita pasti hampir
melupakan dan menyampingkan tentang keberadaan permainan anak-anak yang
sifatnya tradisional. Permainan tradisional adalah bentuk kegiatan permainan
dan atau olahraga yang berkembang dari suatu kebiasaan masyarakat tertentu.
Pada perkembangan selanjutnya permainan tradisional sering dijadikan sebagai
jenis permainan yang memiliki ciri kedaerahan asli serta disesuaikan dengan
tradisi budaya setempat. Kegiatannya dilakukan baik secara rutin maupun
sekali-kali dengan maksud untuk mencari hiburan dan mengisi waktu luang setelah
terlepas dari aktivitas rutin seperti bekerja mencari nafkah, sekolah, dsb.
Dalam pelaksanaannya permainan tradisional dapat memasukkan unsur-unsur
permainan rakyat dan permainan anak ke dalamnya. Bahkan mungkin juga dengan
memasukkan kegiatan yang mengandung unsur seni seperti yang lajim disebut
sebagai seni tradisional[1].
Seni tradisional yang dimaksud antara lain adalah iringan musiknya dan lagu
atau tembang sesuai ide permainan. Contohnya di sunda ialah lagu cing
cang keling. Lagu itu sering digunakan dalam sebuah permainan anak
kucing-kucingan dan sentuh berlarian. Permainan ini dilakukan dengan cara
ketika ada salah satu anak yang tersentuh oleh anak yang terhitung, maka anak
tersebut yang tersentuh kalah dan harus menyentuh temannya yang lain yang tak
terhitung. Sebelum melakukan permainan ini, salah satu anak yang ikut bermain
menyanyikan dulu lagu cing cang keling[2].
Namun apakah lagu cing cang keling tersebut sesuai dengan tema permainan ini?
dan apakah pantas lagu ini jika ditempatkan pada permainan anak-anak seperti
ini.
Rumusan
masalah
Melihat dari latar belakang masalah, akan banyak pertanyaan mengenai cing cang
keling. Karena masih dipertanyakan tentang kelayakan dan kepantasan tentang
lagu ini terhadap permainan anak-anak. Selain itu juga menarik dan masih dalam
konteks permasalahan yang sama jika kita mengkaji tentang unsur tekstual dan
kontekstual dari lagu cing cang keling. Satu lagi mungkin tentang unsur
musikalnya karena akan membantu dalam pengkajian terhadap tekstualnya. Untuk
itu pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dirumuskan kedalam perumusan masalah
seperti berikut:
1.
Bagaimana struktur musik cing cang keling ?
2.
Apa makna sebenarnya yang terkandung dari syair lagu cing cang keling?
3.
Tepatkah lagu caing cang keling jika dipakai dalam permainan anak-anak?
4.
Dimanakah tempat yang tepat bagi penempatan cing cang keling?
Struktur
musik disertai makna syair cing cang keling
Cing cang keling seperti sudah
dipaparkan adalah satu bentuk lagu anak-anak. Tentu struktur musiknya akan
bersifat easy listening. Maksudnya ringan dan mudah diterima oleh
khalayak. Biasanya struktur musiknya diawali dengan melodi kemudian masuk bait
lagu A-B. Seperti itu terus struktur urutan musiknya yang di ulang-ulang.
Seperti misal cing cang keling yang dibawakan oleh penyanyi cilik Cut
Mandasari, Celika, Diana, Jeje, dan Cherry. Cing cang keling disini dibawakan
dengan struktur urutan musik seperti yang sudah dipaparkan dan tema atau genre
musiknya adalah ritmis disco 4/4[3].
Tentu jika hanya piur musik disco tidak akan cocok untuk usia anak-anak
yang membawakan maupun yang mendengarkan ini. Oleh sebab itu disco disini
dihasilkan oleh alat musik keyboard yang menggunakan fasilitas midi. Menurut
peneliti seharusnya lagu yang seperti ini kurang layak jika menggunakan style
musik seperti itu. Mengkin sebaiknya musik yang digunakan adalah alunan musik
folk yang easy listening karena dengan menggunakan style musik berikut
akan sangat pas dengan kehidupan anak. Apa lagi Cing cang keling sendiri adalah
lagu yang sering digunakan dalam permainan anak-anak.
Mungkin jika untuk kepentingan dunia
industri munggunakan style musik disco karena dinilai energic dan lebih
semangat ini akan semakin menarik bagi anak-anak yang kehidupannya masih pada
karakteristik ceria. Namun perlu dikaji kembali bagaimana eksistensi dari musik
disco[4]
tersebut yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan anak-anak. Disinilah
tugas para komposer dan produser muda yang nantinya akan memproduksikan banyak
karya, harus lebih teliti dan lebih bisa mengkonsep sebuah lagu terlebih dahulu
sebelum memasarkannya. Seperti ujar Sigit astono seorang kepala jurusan
Etnomusikologi pada waktu pentas mahasiswa dosen bahwa selain sebagai
etnomusikolog, nantinya mahasiswa etnomusikologi akan dapat menjadi seorang
produser yang hebat. Jadi siapkan dari sekarang konsep dan materi-materi yang
matang dari sekarang (trankrip pidato Sigit Astono pada 12 Desember 2012).
Lagu cing cang keling ini secara
struktur musik dalam konteks stylenya tidak pas jika diterapkan. Namun tidak
hanya cing cang keling banyak lagu anak-anak lain yang juga menggunakan style
yang sama dan ini sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat Indonesia.
Padahal pemilihan stlye disco tersebut kurang pas jika kita melihat eksistensi
dari musik disco tersebut.
Makna
syair Cing cang keling
Untuk memudahkan dalam pengkajian syair dan teks dari cing cang keling yang
berbahasa sunda, penulis mencoba untuk mentranskrip terlebih dahulu seperti
gambar berikut:
Gambar
1. Notasi cing cang keling, transkrip oleh Nurseto Bayu Aji
Syair
lagu Cing cang keling tersebut menurut Sanghyang Mughni Pancaniti diartikan
sebagai berikut. “Cing cangkeling, cing-cing eling manusia semua. Manuk (Burung)
bisa digunakan sebagai perlambang hati. apa sebabnya? sebab hati seperti manuk
yang bisa terbang kemana saja semau dirinya. Silahkan kamu rasakan sendiri.
Hati kita bisa terbang ke Jakarta umpamanya. Hati tak bisa dipenjara oleh apa
pun, walau pun orang yang sedang dipenjara. Apakah hati orang yang dipenjara
selalu ada di penjara? tidak.! sering hati mereka ada dirumah, rindu anak
istri. Manuk cingkleung cineten, hati yang suka melirik-lirik ke sekitarnya itu
harus tenang. Kalu hati sudah tenang, hati akan masuk ke kolong langit. Blos ka
kolong, dan akan mendapatkan Bapa satar. Satar artinya dunia. satar berasal
dari bahasa sunda kuno, artinya rendah. Silahkan tanya Kiai, dalam bahasa Arab
dunia artinya rendah, adyan. Jadi, satar jeung dunia merupakan kata yang
maksudnya sama. Kalau hati kita sudah tenang, maka kita akan mendapat dunia
yang Bulendeung, yaitu penuh rahmat dan berkah Tuhan.”[5]
Pengartian makna menurut pancaniti tersebut memang berarti sangat dalam. Ia
melihat Cing cang keling sebagai lagu sunda yang memiliki pesan moral tinggi
dan beraspek keagamaan. Bahkan ada satu konsep tentang hati yang muncul dalam
Cing cang keling ini. Burung di analogikan sebagai hati, hal ini bisa di
kuatkan bila kita melihat salah satu hadits dari Abu Hurairoh radiyallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Akan masuk surga suatu kaum, hati mereka
seperti hati burung” (HR. Muslim) maknanya adalah dalam merealisasikan tawakal.
Lantas bagaimana Hati burung tersebut dapat kita lihat pada hadits pula dari
sahabat Umar bin khotob radiyallahu’anhu, bahwasannya beliau mendengar
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Andaikan kalian tawakal kepada Allah dengan sebenarnya,
niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian seperti memberi rizki kepada
burung. Mereka pergi pagi hari dengan perut kosong dan pulang sore hari dengan
perut kenyang” (shahih
Tirmidzi, beliau berkata, ‘hadits hasan sohih).[6]
Berarti Pancaniti ini memiliki latar belakang agama yang kuat sehingga ia
sampai sedemikian mengartikan makna Cing cang keling. Sehingga dapt disimpulkan
bahawa makna lagu cing cang keling menurut pancaniti adalah sebuah lagu yang
memiliki pesan moral dan religius yang tinggi terutama dalam membahas perasaan
atau hati.
Jika menurut pancanita makna syair lagunya sedemikian rupa, maka cing cang
keling merupakan lagu yang beresensi tinggi. Namun pada kenyataan lagu ini
hanya digunakan dalam permainan anak-anak, tepatkah jika posisi begini? Mungkin
bagi anak-anak kecil sendiri makna syair tidak terlalu dihairaukan karena bagi
mereka yang terpenting adalah permainan petakumpet mereka tetap seru dan
resep.
Lain lagi pengartian makna Cing cang keling menurut seorang etnomusikolog musik
sunda yaitu Denis setiaji. Di dalam ungkapan etnomusikolog yang paham bahasa
sunda ini, ia memaparkan bahwa makna syair Cing cang keling sedikit berbau
pornografi. Kleung ndengdek buah kopi raranggayan keun anu dewek ulah pati
di heureuyan merupakan satu kesatuan bentuk paparikan yang berarti “ini
miliku sendiri, jangan lah kamu ganggu”. Pengartian tersebut menurut ia dalam
lagu Cing cang keling dapat di analogikan seperti layaknya kekasih atau pacar
sendiri dan tidak bolaeh di rebut orang lain. Cing cang keling menurut
ia adalah sebuah kata yang tidak bermakna namun sudah mendaerah. Manuk
cingkleung menurut ia bukan nama sebuah burung dan ini mungkin hanya sebuah
kiasan. Ketika menuju syair selanjutnya yakni cindeten menurut ia ini
berarti burung dalam konteks kelamin laki-laki yang mengalami ereksi. Plos
kakolong berarti masuk ke dalam kolong, burung ereksi yang masuk ke dalam
kolong, kolong yang dimaksud adalah kolong kaki seorang wanita. Sedangkan di
kolong kaki wanita sendiri terdapat kelamin wanita. Ini berarti burung ereksi
yang masuk ke dalam kelamin wanita, maksudnya adalah hubungan intim. Bapak
satar buleneng, buleneng yang dimaksud jidatnya lebar. Jidat adalah
sebagian dari daerah kepala, jika kita tarik kesimpulan maka pastilah kepalanya
besar pula. Kepala besar identik dengan metafora yang memiliki arti sombong.
Orang yang sombong disini adalah laki-laki yang memiliki burung ereksi tadi
yang dimasukan ke dalam kelamin wanita. Dengan pernyataan tersebut dapat
ditarik pada satu garis bahwa orang yang melakukan hubungan intim ini adalah
orang sombong, sangat dimungkinkan jika hubungan intim yang dimaksudkan adalah
perzinahan. Jika kita melihat pengartian makna Cing cang keling menurut denis
seperti demikian, akan muncul kembali pertanyaan “Pantaskah lagu Cing cang
keling pada permainan anak-anak?”.
Penyikapan terhadap budaya warisan
Cing cang keling merupakan lagu permainan anak-anak yang diciptakan oleh
masyarakat atau orang-orang pendahulu dengan tanpa menghiraukan pemaknaannya.
Mereka hanya asal menciptakan kata-kata yang penting mudah diucapkan dan mudah
diingat oleh anak-anak. Begitulah kehidupan masyarakat primitif atau masyarakat
pendahulu kita yang menciptakan sebuah syair lagu dengan banyak makna tersirat.
Tidak mungkin kita akan menyalahkan mereka, karena mau disalahkan pun sudah
tidak mungkin bisa ketemu. Sekarang yang bisa kita lakukan hanyalah
melestarikan tradisi kebudayaan yang mereka wariskan dengan cara menata dengan
baik budaya-budaya tersebut. Cing cang keling jika menuruti arti dari Denis
Setiaji sangat tidak patut digunakan pada permainan anak-anak. Namun kita
kembali pada kenyataan sekarang dimana anak-anak pada setiap permainan petaak
umpet yang menggunakan lagu Cing cang keling tidak terlalu menghiraukan makna
syairnya. Jadi masalah pemaknaan tersebut tidak menjadi masalah yang besar yang
perlu diperdebatkan.
Nurseto
Bayu Aji
[5]
Sanghyang Mughni Pancaniti dalam http://menjawabdenganhati.wordpress.com di
unduh pada 19/12/12 pukul 23:55
[6]
Dari artikel 'Seperti Hati Burung — http://muslim.or.id/aqidah/seperti-hati-burung.html
di unduh pada 15 Januari 2013 pukul 19:52
Diposkan
oleh Nurseto Bayu di 1/19/2013 06:01:00 AM
Tidak ada komentar:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar