Tidak sedikit yang berpuasa
namun masih bermaksiat. Lihat saja para wanita ada yang sengaja membuka auratnya ketika puasa,
padahal hal itu tidak dibolehkan bahkan termasuk dosa besar. Namun pamer aurat
itu masih terus dilakukan meskipun di bulan suci Ramadhan.
Sebagian ulama salaf
berkata,
أهون الصيام ترك الشراب و الطعام
“Puasa yang jelek adalah
jika saat puasa hanya meninggalkan minum dan makan saja.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 277).
Maksudnya, puasa yang
dilakukan hanya menahan lapar dan dahaga, namun maksiat masih terus jalan.
Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata,
إذا صمت فليصم سمعك و بصرك و لسانك عن الكذب و
المحارم و دع أذى الجار و ليكن عليك وقار و سكينة يوم صومك و لا تجعل يوم صومك و
يوم فطرك سواء
“Jika engkau berpuasa, maka
puasakanlah pendengaran, penglihatan dan lisanmu dari dusta dan perkara yang
diharamkan. Jangan sampai engkau menyakiti tetanggamu. Juga bersikap tenanglah
di hari puasamu. Jangan jadikan puasamu seperti hari-hari biasa.” (Idem)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ
وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ
“Betapa banyak orang
yang berpuasa hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga saja. Betapa banyak pula
yang melakukan shalat malam, hanya
begadang di malam hari” (HR. Ahmad 2: 373. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid).
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Mendekatkan diri pada Allah Ta’ala dengan meninggalkan perkara yang asalnya
mubah[1] tidaklah
sempurna sampai seseorang meninggalkan keharaman. Barangsiapa yang melakukan
yang haram disertai mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan yang mubah,
maka ini sama halnya dengan seseorang meninggalkan yang wajib lalu beralih
mengerjakan yang sunnah. Walaupun puasa
orang yang bermaksiat tetap dianggap sah dan tidak diperintahkan untuk
mengqodho’ puasanya menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama). Alasannya karena
amalan itu batal jika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang karena sebab
khusus (seperti makan, minum dan jima’) dan tidaklah batal jika melakukan
perbuatan yang dilarang yang bukan karena sebab khusus. Inilah pendapat mayoritas
ulama.” (Latho’iful Ma’arif, hal. 277-278)
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Menjauhi berbagai hal
yang dapat membatalkan puasa, hukumnya wajib. Sedangkan menjauhi hal-hal selain
itu yang tergolong maksiat termasuk penyempurna puasa.” (Fathul Bari, 4: 117)
Mula ‘Ali Al Qori rahimahullah berkata, “Ketika berpuasa begitu
keras larangan untuk bermaksiat. Orang yang berpuasa namun melakukan maksiat
sama halnya dengan orang yang berhaji lalu bermaksiat, yaitu pahala pokoknya
tidak batal, hanya kesempurnaan pahala yang tidak ia peroleh. Orang yang
berpuasa namun bermaksiat akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena
maksiat yang ia lakukan.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, 6: 308).
Dalam Al Qur’an setelah
Allah melarang dari makan dan minum di siang hari saat puasa, disebutkan pula
setelah itu keharaman memakan harta orang lain tanpa lewat jalan yang benar.
Padahal memakan harta orang lain dengan jalan keliru adalah terlarang di setiap
waktu. Sedangkan larangan untuk makan dan minum hanyalah saat puasa. Ini adalah isyarat bahwa siapa yang mendekatkan diri
pada Allah dengan menjauhi makan dan minum, maka ia juga diharuskan untuk
menjauhi memakan harta orang lain dengan jalan yang batil. Namun memakan harta
seperti itu berlaku setiap waktu, bukan ketika Ramadhan saja atau waktu
tertentu saja. Lihat penjelasan Ibnu Rajab Al Hambali dalam Lathoiful Ma’arif, hal. 278.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Puasa yang telah Allah
syari’atkan adalah jalan yang Dia jadikan untuk kita belajar menjaga anggota
badan dari perkara-perkara yang Dia haramkan dan hendaklah anggota tubuh ini
digunakan hanya pada jalan ketaatan. Juga semoga hal ini semakin mengingatkan
pada nikmat Allah.”
Lihat Syarh Samahatusy Syaikh Al
‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz ‘ala Kitab Wazhoif Ramadhan, hal. 77.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
·
Lathoif Al Ma’arif fii Maa
Limawasimil ‘Aam minal Wazhoif, Ibnu
Rajab Al Hambali, terbitan Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, tahun 1428 H.
·
Syarh Samahatusy Syaikh Al
‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz ‘ala Kitab Wazhoif Ramadhan (kitab ringkasan dari Lathoiful Ma’arif Ibnu Rajab
dan tambahan dari ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim, terbitan Muassasah
‘Abdul ‘Aziz bin Baz, cetakan pertama, tahun 1432 H.
—
Di pagi penuh berkah, 7 Ramadhan 1434 H @ Pesantren
Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I.
Yogyakarta
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar