Di antara ciri orang mukmin adalah
berpendirian teguh, pantang menyerah, tidak kenal mundur, dan punya keinginan
yang kuat. Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah
orang-orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu.
(QS Al-Hujuraat: 15).
Sedangkan ciri orang munafik adalah: Karena
itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguan. (QS At-Taubah: 45). Keputusan
yang mereka buatpun tidak lurus. Ketika keputusan itu ada di belakang mereka
maka merekapun mengingkarinya, dan ketika mereka berjanji maka mereka akan
melanggarnya.
Wahai hamba Allah, ketika kilat kebenaran itu
menyala terang, zhann yang ada dibenakmu itu lebih kuat, dan manfaat-manfaat
yang bisa diraih jelas maka lakukanlah dengan tanpa mempertimbangkan ini itu
lagi dan jangan ditangguhkan. Buanglah kata "seandainya", "kelak
akan", dan "bisa jadi", melajulah seperti pedang di tangan
seorang pahlawan.
Ada seorang suami yang selalu ragu untuk
menceraikan isterinya yang telah membuatnya merasa tua dan miskin. Suami itu
pun mengadukan permasalahannya kepada hakim. Hakim bertanya, "Berapa tahun
engkau hidup bersama isterimu ini?" Jawab sang suami, "Empat
tahun." Hakim itu bertanya keheranan, "Selama empat tahun, dan engkau
mampu menelan pil kehidupan?"
Memang benar ada
yang disebut kesabaran, ketabahan, dan penantian. Tapi, sampai kapan? Hanya
orang yang peka yang tahu apakah sesuatu itu sempurna atau tidak, baik atau
tidak, bisa dilanjutkan atau tidak? Saat itulah dia akan segera mengambil
keputusan.
Seorang penyair
berkata: Obat penawar bagi yang tidak disukai adalah segera melepaskannya.
Dari cerita-cerita
tentang perjalanan hidup orang bisa ditarik garis besar bahwa keraguan dan
kebingungan itu menyerang umat manusia kapan saja. Namun umumnya umat manusia
itu mudah sekali ragu dan bingung.
Pertama, pada saat
menentukan tempat belajar dan spesialisasi yang akan diambil. Rata-rata calon
mahasiswa ketika harus masuk pendidikan tinggi, tidak tahu harus mengambil
jurusan apa, dan itu makan waktu lama untuk menimbang dan memilih.
Banyak mahasiswa
yang membuang-buang waktunya hingga bertahun-tahun karena ragu jurusan apa yang
harus dipilih dan fakultas mana yang harus dimasuki. Ada sebagian yang ragu
sebelum mendaftar, sampai akhirnya waktu pendaftaran habis. Dan, ada juga masuk
jurusan apa saja, dan hanya betah setahun dua tahun. Pertamanya, masuk fakultas
syariah, kemudian berpaling ke fakultas ekonomi, dan setelah beberapa semester
pindah ke kedokteran. Usianya pun habis terbuang untuk berpindah-pindah jurusan.
Seandainya dari
awal mau mempelajari kemampuan dirinya, bermusyawarah, dan sering melakukan
istikharah, kemudian tidak menoleh kanan kiri, niscaya akan bisa menghemat
umurnya dan akan memperoleh apa yang dia inginkan dari spesialisasi yang
diambilnya.
Kedua, pada saat
memilih pekerjaan yang sesuai. Sebagian orang ada yang tidak tahu apa profesi
yang cocok untuk dirinya. Saat sudah menjadi pegawai, ia masuk ke perusahaan.
Tak berapa kemudian ia keluar dari perusahaan itu untuk merintis usaha dagang.
Karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya dalam dagang maka ia pun
bangkrut, dan jatuhlah miskin. Dan, terakhir, malah luntang lantung tak punya
pekerjaan.
Saya tegaskan di
sini, siapa dibukakan pintu rezki, maka hendaklah ia menekuninya. Itu berarti,
rezkinya memang ada di pintu itu. Karena siapa pun menekuni satu bidang kerja
niscaya akan datang kepadanya kemudahan, pertolongan dan hikmah.
Ketiga, pada saat
menentukan untuk menikah. Banyak pemuda yang maju mundur dalam menentukan isteri. Terkadang pendapat
orang lain masuk mempengaruhi penentuan pilihan. Menurut bapak, ada seorang
wanita yang cocok untuk anaknya, namun itu bukan pilihan anak yang bersangkutan
dan tidak disetujui ibunya. Mungkin saja si anak (terpaksa) setuju dengan
pilihan bapaknya, tapi akhirnya rumah tangga anaknya tidak sesuai dengan yang
diharapkan dan dikehendaki.
Nasehat yang bisa
saya sumbangkan adalah bahwa Anda jangan maju, khususnya, dalam masalah
pernikahan kecuali dari sisi agama, kecantikan, dan kepribadian sudah bisa
diterima. Sebab masalah pernikahan adalah masalah kelangsungan hidup si wanita,
dan bukan sesuatu yang ketika tidak lagi berharga, lalu dengan bebas
dicampakkan begitu saja.
Keempat, pada saat
hendak menjatuhkan talak. Sehari berikutnya sudah bulat keinginannya untuk
berpisah, sehari kemudian ingin hidup bersama lagi, dan sehari berikutnya
berkeinginan untuk mengakhiri kebersamaannya, dan hari berikutnya berkeinginan
untuk memutuskan tali hubungannya. Dengan terlalu sering berubah pikiran
seperti itu, maka diapun dilanda keletihan, dirundung panas jiwa, dan rusak
cara berpikirnya. Semua itu, hanya Allah yang tahu.
Kesempitan jiwa
ini harus diakhiri dengan keputusan yang pasti. Manusia itu hidup hanya sekali,
hari-hari yang telah dilaluinya tidak akan berulang, jam-jam yang sudah lewat
tidak akan kembali lagi. Karenanya, ia harus berusaha menikmati waktu-waktu
yang tidak akan kembali itu dan agar waktu-waktu itu menghantarkan kita kepada
kebahagiaan dengan cara menetapkan keputusan.
Ketika orang
muslim itu telah menetapkan keinginannya, membulatkan tekad, dan bertawakal
kepada Allah setelah sebelumnya beristikharah dan meminta rekomendasi dari
sana-sini, maka ia sebagaimana dikatakan di muka, jika mau maka ia akan
meletakkan matanya di antara dua keinginannya, dan mau tahu apa akibat yang
mungkin terjadi.
Ia melaju bagaikan
aliran air, meluncur ke depan bagaikan sabetan pedang, kokoh bagaikan jaringan
waktu, dan memancar bagaikan pancaran fajar.
Sebagaimana
terbayang dalam ketegasan Nuh a.s. menghadapi kaumnya yang benci, ...karena
itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu
lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. (QS
Yunus: 71).
Dr. 'Aidh al-Qorny
Tidak ada komentar:
Posting Komentar