Pengertian, Syarat dan Hukumnya
(Kajian Normatif dengan pendekatan tekstual-literer)
Pendahuluan
Salah satu
aspek terpenting dalam kehidupan manusia dan masyarakat pada umumnya adalah
yang berkaitan dengan harta. Manusia dan masyarakat, apapun alasannya, tidak
mungkin dilepaskan dari aspek tersebut. Harta, menjadi salah satu dari apa-apa
yang digeluti manusia. Oleh karena manusia dilengkapi hawa nafsu, maka
Al-Qur'an mengingatkan bahwa harta kekayaan adalah fitnah atau cobaan. Amat
banyak sekali masalah-masalah yang timbul akibat dari harta tersebut.
Menurut
ajaran Islam, pemilikan seseorang terhadap harta tidak terlepas dari
hubungannya dengan kepentingan-kepentingan sosial. Oleh karena itu berkaitan
dengan harta, Islam membawa seperangkat hukum syari'at, yakni antara lain
syari'at tentang Kewarisan, Zakat, Infaq, Shadaqah, Hibah, Wakaf dan Wasiat. Adanya
syari'at Islam tentang Kewarisan, Zakat, Infaq, Shadaqah, Hibah, Wakaf dan
Wasiat merupakan hal yang tidak terpisahkan dari iman dan akhlak. Hal ini
menunjukkan bahwa Islam telah siap dengan sebuah konsep untuk menghadapi
problema-problema dalam masyarakat, terutama yang bersangkutan dengan masalah
kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Wasiat
adalah satu dari bentuk-bentuk penyerahan atau pelepasan harta dalam syari'at
Islam. Wasiat memiliki dasar hukum yang sangat kuat dalam syari'at Islam.
Pengertian Wasiat
Kata wasiat ( الوصية ) diambil
dari وصيت الشيئ,أصيه artinya : أوصلت (aku menyampaikan sesuatu).
Maka orang yang berwasiat disebut al-Muushii. Dalam Al-Qur'an kata wasiat dan
yang seakar dengan itu mempunyai beberapa arti di antaranya berartimenetapkan, sebagaimana dalam surat al-An'am :
144أم كنتم شهداء إذ وصاكم الله) ),memerintahkan sebagaimana dalam surat Luqman:
14, (ووصينا الإنسان بولديه) dan Maryam: 31 وأوصانى
بالصلاة) , mensyari'atkan
(menetapkan) sebagaimana
dalam surat An-Nisa' ayat 12 (وصية من الله).[1]
Berdasarkan
kata-kata di atas dapat dipahami bahwa kata wasiat mengandung makna perintah yang
harus dijalankan oleh pihak lain.
Menurut para
fuqaha, wasiat adalah
pemberian hak milik secara sukarela
yang dilaksanakan setelah pemberinya
meninggal dunia. Pemberian hak milik ini bisa berupa barang, piutang atau
manfaat.[2]
Dari
pengertian-pengertian wasiat di atas kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnyawasiat
ialah pesan seseorang ketika masih hidup agar hartanya
diberikan/disampaikan/diserahkan kepada orang tertentu atau kepada suatu
lembaga, yang harus dilaksanakan setelah ia (orang yang berwasiat) meninggal
dunia yang jumlahnya tidak lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggalkannya.
Syarat,
Rukun, dan Hukum Wasiat
a.
Syarat-Syarat Wasiat
Syarat-syarat
wasiat menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairi adalah sebagai berikut[3]:
- Penerima wasiat harus Muslim, berakal, dan
dewasa, sebab non-Muslim dikhawatirkan menyia-nyiakan wasiat yang
diserahkan kepadanya untuk diurusi; menunaikan hak, atau mengurusi
anak-anak kecil.
- Pemberi wasiat harus berakal, bisa membedakan
antara kebenaran dengan kebatilan, dan memiliki apa yang diwasiatkan.
- Sesuatu yang diwasiatkan harus merupakan
sesuatu yang diperbolehkan. Jadi, berwasiat pada sesuatu yang diharamkan
tidak boleh dilaksanakan. Contohnya, seseorang mewasiatkan uangnya untuk
disumbangkan ke gereja, atau ke bid'ah yang makruh, atau ke tempat
hiburan, atau ke kemaksiatan.
4. Penerima wasiat disyaratkan
menerimanya dan jika ia menolaknya maka wasiat tidak sah, kemudian setelah itu
ia tidak mempunyai hak di dalamnya.
Sedangkan
syarat-syarat bagi orang yang menerima wasiat, dalam mazhab Hanafi disebutkan
sebagai berikut:
- orang ang akan menerima wasiat itu harus
sudah ada ketika wasiat itu diikrarkan;
- sudah ada ketika orang yang berwasiat itu
meninggal dunia;
- bukan orang yang menjadi sebab meninggalnya
orang yang berwasiat dengan cara pembunuhan; dan
- bukan ahli waris pemberi wasiat.
b. Rukun Wasiat
Adapun rukun
wasiat itu ada empat, yaitu:
1. redaksi
wasiat (shighat),
2. pemberi
wasiat (mushiy),
3. penerima
wasiat (mushan lahu),
4. barang yang diwasiatkan (mushan
bihi).
1. Redaksi
Wasiat (shighat)
Tidak ada
redaksi khusus untuk wasiat. Jadi, wasiat sah diucapkan dengan redaksi
bagaimanapun, yang bisa dianggap menyatakan pemberian hak pemilikan secara
sukarela sesudah wafat. Jadi, jika si pemberi wasiat berkata, “Aku mewasiatkan
barang anu untuk si Fulan,” maka ucapan itu sudah menyatakan adanya wasiat,
tanpa harus disertai tambahan(qayd) “sesudah
aku meninggal”. Tetapi jika si pemberi wasiat mengatakan, “Berikanlah” atau
“Kuperuntukkan” atau “Barang ini untuk si Fulan”, maka tak dapat tidak mesti
diberi tambahan “setelah aku meninggal”, sebab kata-kata tersebut semuanya
tidak menyatakan maksud berwasiat, tanpa adanya tambahan kata-kata tersebut.
2. Pemberi
Wasiat (mushiy)
Orang yang
berwasiat itu haruslah orang yang waras (berakal), bukan orang yang gila, balig
dan mumayyiz. Wasiat anak yang berumur sepuluh tahun penuh diperbolehkan (ja’iz), sebab Khalifah Umar
memperbolehkannya. Tentu saja pemberi wasiat itu adalah pemilik barang yang sah
hak pemilikannya terhadap orang lain.
Sayyid Sabiq
mengemukakan bahwa orang yang lemah akal (idiot), orang dungu dan orang yang
menderita akibat sakit ayan yang kadang-kadang sadar,
wasiat
mereka diperbolehkan sekiranya mereka mempunyai akal yang dapat mengetahui apa
yang mereka wasiatkan.[4]
Menurut
Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 194 dinyatakan bahwa orang yang berwasiat itu
adalah orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya
paksaan, dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain. Harta
benda yang diwasiatkan itu harus merupakan hak dari pewasiat. Pemilikan barang
yang diwasiatkan itu baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Dikemukakan pula batasan minimal orang yang boleh berwasiat adalah yang
benar-benar telah dewasa secara undangundang, jadi berbeda dengan batasan
baligh dalam kitab-kitab fiqih tradisional.
3. Penerima
Wasiat (mushan lahu)
Penerima
wasiat bukanlah ahli waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli waris
lainnya. Seorang dzimmi boleh berwasiat untuk sesama dzimmi, juga untuk seorang
Muslim, sesuai dengan firman Allah:
Artinya:
Allah tidak
melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.(Q.S. Al-Mumtahanah:
8)
Wasiat bagi
anak yang masih dalam kandungan adalah sah dengan syarat bahwa ia lahir dalam
keadaan hidup, sebab wasiat berlaku seperti berlakunya pewarisan. Dan menurut ijma’, bayi dalam kandungan
berhak memperoleh warisan. Karena itu ia juga berhak menerima wasiat.
4. Barang
yang Diwasiatkan (mushan bihi)
Barang yang
diwasiatkan haruslah yang bisa dimiliki, seperti harta atau rumah dan
kegunaannya. Jadi, tidak sah mewasiatkan benda yang menurut kebiasaan lazimnya
tidak bisa dimiliki, seperti binatang serangga, atau tidak bisa dimiliki secara syar’i, seperti minuman keras, jika
pemberi wasiat seorang Muslim, sebab wasiat identik dengan pemilikan, maka jika
pemilikan tidak bisa dilakukan, berarti tidak ada wasiat. Sah juga mewasiatkan
buah-buahan di kebun untuk tahun tertentu atau untuk selamanya.
Hukum
Wasiat
Wasiat
disyari'atkan dengan dalil-dalil sebagai berikut:
Allah SWT
berfirman:
Artinya:
" Hai
orang-orang yang beriman, apabila salah seorang dari kalian menghadapi
kematian, sedang ia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh
dua orang yang adil di antara kalian." (Al-Maidah: 106).
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ
أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ
فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ
دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ
فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ
وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Artinya :
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri- sterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu
itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.” (QS. An Nisaa : 12)
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا
حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ
وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf.” (QS. Al
Baqoroh : 180)
Melihat dari tekstualitas ayat di atas, kita dapat menarik
kesimpuan bahwa wasiat tersebut wajib hukumnya bagi mayit yang berharta banyak,
dan wasiat tersebut bagi kedua orang tua dan karib kerabat.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan-menafsirkan ayat di atas-
bahwa wasiat itu hukumnya wajib menurut dua pendapat.[5] Begitupula
ath-Thabari dalam tafsirnya mengatakan juga-menafsirkan ayat di atas-bahwa
wasiat itu adalah wajib hukumnya.[6]
Sebagian ulama lainnya juga berpendapat bahwa wasiat adalah
sebuah kewajiban berdasarkan ayat 180 surat al-Baqarah.
Penutup
Dari uraian singkat tentang wasiat
di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa wasiat adalah pesan seseorang
ketika masih hidup agar hartanya diberikan/disampaikan/diserahkan kepada orang
tertentu atau kepada suatu lembaga, yang harus dilaksanakan setelah ia (orang
yang berwasiat) meninggal dunia.
Wasiat itu
merupakan salah satu sarana untuk bertaqarrub kepada Allah swt guna mendapatkan
kebaikan di dunia dan pahala di akherat. Wasiat juga merupakan sarana untuk
memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan, menguatkan silaturahim
dan hubungan kekerabatan yang bukan ahli warisnya.
Hukum wasiat
jika menilik surat al-Baqarah ayat 180 adalah wajib sesuai dengan tekstualitas
ayat tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’anul
Karim
Al-Jazairi,
Abu Bakar Jabir, 2003. Minhajul
Muslim (Edisi Indonesia, Ensiklopedi Muslim,Penerj.
Fadhli Bahri, Lc.). Jakarta: Darul Falah, cet. VI.
Ath-Thobari,
Muhammad ibn Jarir, 2000. Jami’ul
Bayan fi Ta’wil al-Qur’an juz 3 (tahqiq:
Muhammad Syakir). Riyad:
Mu’assasah ar-Risalah cet. I.
Dirjen
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998. Analisa
Hukum Islam Bidang Wasiat.Jakarta: Departemen Agama.
Ibnu
Kastir, 1999. Tafsir al-Qur’an
al-‘Adhim juz 1( tahqiq: Sami ibn Muhammad Salamah). Riyad: Dar thayyibah
li an-Nasyr wa at-Tawzi’, cet. 2.
[1] Dirjen
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998. Analisa
Hukum Islam Bidang Wasiat. Jakarta:
Departemen Agama, hal 49.
[3] Abu Bakar
Jabir Al-Jazairi, 2003. Minhajul
Muslim (Edisi Indonesia, Ensiklopedi Muslim, Penerj. Fadhli Bahri, Lc.).
Jakarta: Darul Falah, cet. VI, hal. 564.
[4] Dirjen
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998. Analisa
Hukum Islam ….., hal 88. (lihat Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah Jilid III, Penerbit Maktabah Dar al Turas
tanpa tahun, Kairo, hal. 415.
[5] Ibnu Kastir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim juz 1(
tahqiq: Sami ibn Muhammad Salamah), (Riyad:
Dar thayyibah li an-Nasyr wa at-Tawzi’, 1999), cet. 2, hal. 492.
[6] Muhammad ibn
Jarir th-Thobari, Jami’ul
Bayan fi Ta’wil al-Qur’an juz 3 (tahqiq:
Muhammad Syakir), (Riyad:
Mu’assasah ar-Risalah, 2000) cet. I, hal. 396.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar