Kehidupan rumah tangga ibarat kapal yang
sedang berlayar, ibarat benih yang terus bertumbuh. Kapal yang terus berlayar
bisa aus, berlubang, dan mungkin karam bila tak dirawat. Benih unggul pun tak
akan tumbuh berkembang menghasilkan bunga yang sedap dipandang bila tak disiram
dan dipupuk.
Keharmonisan rumah tangga ibarat usaha yang
mengalami pasang surut. Kehidupan rumah tangga kadang terasa sangat harmonis
pada satu waktu, namun berada pada titik nadir di waktu yang lain. Belum lagi
karakteristik kehidupan modern yang membuat kuantitas dan kualitas interaksi
antar anggota keluarga menjadi kurang, menjadi sumber menurunnya keharmonisan
rumah tangga.
Bulan ramadhan adalah bulan yang sangat
istimewa. Bulan ramadhan adalah bulan tarbiyah, bulan yang mendidik kita
menjadi pribadi taqwa. Bulan ramadhan merupakan bulan peningkatan kualitas
keimanan dan ketaqwaan, termasuk meningkatkan keharmonisan rumah tangga.
Kebersamaan dan kehangatan rumah tangga bisa terkikis seiring dengan
berjalannya waktu. Ramadhan memberi momentum untuk mengembalikan dan
meningkatkan keharmonisan rumah tangga. Berikut ini beberapa momentum ramadhan
untuk mengembalikan kehangatan rumah tangga:
Pertama, momentum
saling memaafkan.
Sebenarnya tidak ada hadits (hadits doa malaikat jibril) yang mengharuskan
untuk saling meminta maaf memasuki bulan ramadhan seperti yang sering beredar
selama ini. Meminta dan memberi maaf merupakan perbuatan mulia dan lebih dekat
kepada taqwa, seperti termaktub dalam QS. Al-Baqarah: 237, “Dan memberi maaf itu lebih dekat kepada takwa”.
Perbuatan mulia tersebut alangkah baik bila dilakukan setiap waktu, atau
sesegera mungkin, tidak menunggu akan memasuki bulan ramadhan. Namun,
adakalanya perbuatan mulia meminta maaf antara suami-istri, orang tua-anak
justru terasa berat lantaran ego yang besar. Karena tujuan puasa di bulan
ramadhan adalah untuk mencapai derajat taqwa, maka bulan ramadhan memberi
momentum saling memaafkan sehingga meminta-memberi maaf menjadi lebih ringan
dilakukan.
Kedua, momentum kebersamaan.
Bila kita renungkan, kita akan menyimpulkan betapa bulan ramadhan
memberikan keteraturan melebihi bulan-bulan lainnya. Jam kantor biasanya lebih
pendek ketika bulan ramadhan sehingga suami-istri atau orang tua- anak bisa
berkumpul lebih awal. Bila pun pada saat buka puasa (saat makan malam pada
bulan di luar ramadhan) keluarga belum bisa berkumpul, masih ada momen sholat
tarawih, dan momen sahur yang kemungkinan besar tidak akan terlewatkan.
Artinya, bulan ramadhan memberi momentum kebersamaan yang lebih banyak. Momentum
kebersamaan ini dapat dimanfaatkan untuk saling berbagi cerita, saling
mengingatkan, dan memperbaiki komunikasi, yang mungkin sangat terbatas di luar
bulan ramadhan.
Ketiga, momentum menjaga amarah.
Pasang-surutnya keharmonisan keluarga banyak bersumber dari nafsu
amarah. Kesalahan sepele atau kesalahpahaman kecil antara suami-istri
adakalanya memicu amarah. Sikap amarah tersebut menjadi lebih mudah muncul
dalam rumah tangga modern karena beban hidup dan beban pekerjaan yang
menghimpit. Sikap pemarah menunjukkan kelemahan seseorang, karena Rasulullah
Shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Orang
kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat tetapi orang kuat adalah yang mampu
menahan nafsu amarahnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Rumah tangga yang senantiasa diwarnai amarah tentu bukan rumah tangga
yang sakinah, karena ketentraman rumah tangga tak bisa seiring sejalan dengan
amarah yang sering berkobar. Pada bulan ramadhan, kita sering mendengar
selorohan “eh..jangan marah-marah, nanti batal puasanya”.
Memang benar, puasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tapi juga
menahan segala perbuatan dan perkataan yang bisa mengurangi pahala puasa,
termasuk menahan nafsu amarah. Puasa sebulan penuh di bulan ramadhan memberi
momentum bagi pasangan suami-istri; orang tua-anak untuk belajar menahan amarah
sehingga rumah tangga akan terasa lebih tentram.
Keempat, momentum menjaga lisan.
Lisan itu ibarat pedang tajam yang mampu merobek-robek keharmonisan
rumah tangga. Banyak rumah tanga yang retak karena lisan yang tak terjaga.
Tidak terjaganya lisan bisa berupa ucapan yang menyakitkan dan merendahkan
pasangan, maupun membuka rahasia dan aib rumah tangga pada orang-orang yang
tidak seharusnya mengetahui. Ibarat telur yang sudah dipecahkan tanpa bisa
dimasukkan kembali ke cangkangnya, kata-kata menyakitkan yang telah keluar,
tidak dapat ditarik kembali. Perkataan yang baik dan lemah lembut akan
menguatkan jalinan kasih sayang diantara suami-istri, sebaliknya perkataan yang
menyakitkan dan merendahkan pasangan akan meretakkan hubungan.
Ahmad Zarrug seperti dikutip Zabrina A. Bakar (2008:124) pernah berkata:
“ Jika
kau ingin hidup dengan cara yang membuat agamamu terjaga dan bagianmu terpenuhi
dan martabatmu terpelihara, jagalah lidahmu, dan jangan menyebut-nyebut
kesalahan orang lain, karena ingat bahwa kau, kau sendiri, punya kesalahan dan
orang lain punya lidah”.
Kalimat bijak ini mengingatkan kita untuk memikirkan apa yang akan
diucapkan hingga yang keluar dari lisan kita hanya perkataan yang baik. Bukhari
dan Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka
hendaknya dia berkata yang baik atau diam”.
Ramadhan memberi momentum untuk belajar menjaga lisan dari
perkataan-perkataan yang menyakitkan, ghibah, dan menggantinya dengan perkataan
hikmah, dzikir dan doa. Bila suami-istri memanfaatkan momentum menjaga lisan
ini, maka Insya Allah keharmonisan rumah tangga akan terjaga.
Kelima, momentum kejujuran.
Kejujuran merupakan pondasi penting dalam kehidupan berumah tangga.
Sekalipun kejujuran adakalanya tidak mengenakkan, namun kebohongan pasti
menyakitkan. Kejujuran menimbulkan kepercayaan, sebaliknya kebohongan dan dusta
meruntuhkan kepercayaan. Keharmonisan hubungan suami-istri akan hilang bila
tidak ada lagi kepercayaan diantara keduanya.
Rasulullah bersabda: “Hendaklah kalian berlaku jujur
karena kejujuran itu menunjukan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukan jalan
menuju surga” (HR. Bukhari).
Kejujuran mengantarkan pelakunya pada kebaikan, pun kejujuran dalam
rumah tangga akan mengantarkan pada keharmonisan. Berbeda dengan ibadah shalat,
zakat, dan haji, yang bisa disaksikan orang lain, puasa adalah satu-satunya
ibadah yang hanya Allah SWT dan kita yang tahu. Puasa adalah ibadah yang
melatih kita berlaku jujur secara hakiki, yakni jujur pada diri sendiri. Kita
bisa bersembunyi makan dan minum untuk mengelabui orang lain seolah-olah
berpuasa, tapi hal tersebut tidak kita lakukan. Kejujuran adalah salah satu
hikmah puasa.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang tidak
meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya, maka Allah Ta’ala tidak peduli
dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari).
Bila momentum kejujuran di bulan ramadhan ini dihidupkan di bulan-bulan
lain, maka Insya Allah akan terwujud rumah tangga yang tentram.
Bulan ramadhan adalah bulan yang sangat
istimewa. Bulan ramadhan memberi momentum untuk berlatih menjaga amarah,
menjaga lisan, berkata dan berlaku jujur, saling memaafkan, dan meningkatkan
kebersamaan. Mari kita manfaatkan momentum tersebut sebaik-baiknya, agar
selepas bulan ramadhan, rumah tangga kita akan semakin harmonis. Wallahu a’lam
bish-shawab.
(Tulisan ini secara ringkas
telah dipublikasi di harian Republika, Selasa 9 Agustus 2011 hal 22 dalam kolom
Syiar Ramadhan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar