Rabu, 17 Juli 2013

Momentum Ramadhan untuk Meningkatkan Keharmonisan Rumah Tangga


Kehidupan rumah tangga ibarat kapal yang sedang berlayar, ibarat benih yang terus bertumbuh. Kapal yang terus berlayar bisa aus, berlubang, dan mungkin karam bila tak dirawat. Benih unggul pun tak akan tumbuh berkembang menghasilkan bunga yang sedap dipandang bila tak disiram dan dipupuk.
Keharmonisan rumah tangga ibarat usaha yang mengalami pasang surut. Kehidupan rumah tangga kadang terasa sangat harmonis pada satu waktu, namun berada pada titik nadir di waktu yang lain. Belum lagi karakteristik kehidupan modern yang membuat kuantitas dan kualitas interaksi antar anggota keluarga menjadi kurang, menjadi sumber menurunnya keharmonisan rumah tangga.
Bulan ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa. Bulan ramadhan adalah bulan tarbiyah, bulan yang mendidik kita menjadi pribadi taqwa. Bulan ramadhan merupakan bulan peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan, termasuk meningkatkan keharmonisan rumah tangga. Kebersamaan dan kehangatan rumah tangga bisa terkikis seiring dengan berjalannya waktu. Ramadhan memberi momentum untuk mengembalikan dan meningkatkan keharmonisan rumah tangga. Berikut ini beberapa momentum ramadhan untuk mengembalikan kehangatan rumah tangga:
Pertama, momentum saling memaafkan.

Sebenarnya tidak ada hadits (hadits doa malaikat jibril) yang mengharuskan untuk saling meminta maaf memasuki bulan ramadhan seperti yang sering beredar selama ini. Meminta dan memberi maaf merupakan perbuatan mulia dan lebih dekat kepada taqwa, seperti termaktub dalam QS. Al-Baqarah: 237, “Dan memberi maaf itu lebih dekat kepada takwa”. Perbuatan mulia tersebut alangkah baik bila dilakukan setiap waktu, atau sesegera mungkin, tidak menunggu akan memasuki bulan ramadhan. Namun, adakalanya perbuatan mulia meminta maaf antara suami-istri, orang tua-anak justru terasa berat lantaran ego yang besar. Karena tujuan puasa di bulan ramadhan adalah untuk mencapai derajat taqwa, maka bulan ramadhan memberi momentum saling memaafkan sehingga meminta-memberi maaf menjadi lebih ringan dilakukan.

Kedua, momentum kebersamaan.

Bila kita renungkan, kita akan menyimpulkan betapa bulan ramadhan memberikan keteraturan melebihi bulan-bulan lainnya. Jam kantor biasanya lebih pendek ketika bulan ramadhan sehingga suami-istri atau orang tua- anak bisa berkumpul lebih awal. Bila pun pada saat buka puasa (saat makan malam pada bulan di luar ramadhan) keluarga belum bisa berkumpul, masih ada momen sholat tarawih, dan momen sahur yang kemungkinan besar tidak akan terlewatkan. Artinya, bulan ramadhan memberi momentum kebersamaan yang lebih banyak. Momentum kebersamaan ini dapat dimanfaatkan untuk saling berbagi cerita, saling mengingatkan, dan memperbaiki komunikasi, yang mungkin sangat terbatas di luar bulan ramadhan.

Ketiga, momentum menjaga amarah.

Pasang-surutnya keharmonisan keluarga banyak bersumber dari nafsu amarah. Kesalahan sepele atau kesalahpahaman kecil antara suami-istri adakalanya memicu amarah. Sikap amarah tersebut menjadi lebih mudah muncul dalam rumah tangga modern karena beban hidup dan beban pekerjaan yang menghimpit. Sikap pemarah menunjukkan kelemahan seseorang, karena Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan nafsu amarahnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Rumah tangga yang senantiasa diwarnai amarah tentu bukan rumah tangga yang sakinah, karena ketentraman rumah tangga tak bisa seiring sejalan dengan amarah yang sering berkobar. Pada bulan ramadhan, kita sering mendengar selorohan “eh..jangan marah-marah, nanti batal puasanya”.

Memang benar, puasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tapi juga menahan segala perbuatan dan perkataan yang bisa mengurangi pahala puasa, termasuk menahan nafsu amarah. Puasa sebulan penuh di bulan ramadhan memberi momentum bagi pasangan suami-istri; orang tua-anak untuk belajar menahan amarah sehingga rumah tangga akan terasa lebih tentram.

Keempat, momentum menjaga lisan.

Lisan itu ibarat pedang tajam yang mampu merobek-robek keharmonisan rumah tangga. Banyak rumah tanga yang retak karena lisan yang tak terjaga. Tidak terjaganya lisan bisa berupa ucapan yang menyakitkan dan merendahkan pasangan, maupun membuka rahasia dan aib rumah tangga pada orang-orang yang tidak seharusnya mengetahui. Ibarat telur yang sudah dipecahkan tanpa bisa dimasukkan kembali ke cangkangnya, kata-kata menyakitkan yang telah keluar, tidak dapat ditarik kembali. Perkataan yang baik dan lemah lembut akan menguatkan jalinan kasih sayang diantara suami-istri, sebaliknya perkataan yang menyakitkan dan merendahkan pasangan akan meretakkan hubungan.

Ahmad Zarrug seperti dikutip Zabrina A. Bakar (2008:124) pernah berkata: “ Jika kau ingin hidup dengan cara yang membuat agamamu terjaga dan bagianmu terpenuhi dan martabatmu terpelihara, jagalah lidahmu, dan jangan menyebut-nyebut kesalahan orang lain, karena ingat bahwa kau, kau sendiri, punya kesalahan dan orang lain punya lidah”.

Kalimat bijak ini mengingatkan kita untuk memikirkan apa yang akan diucapkan hingga yang keluar dari lisan kita hanya perkataan yang baik. Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”.

Ramadhan memberi momentum untuk belajar menjaga lisan dari perkataan-perkataan yang menyakitkan, ghibah, dan menggantinya dengan perkataan hikmah, dzikir dan doa. Bila suami-istri memanfaatkan momentum menjaga lisan ini, maka Insya Allah keharmonisan rumah tangga akan terjaga.

Kelima, momentum kejujuran.

Kejujuran merupakan pondasi penting dalam kehidupan berumah tangga. Sekalipun kejujuran adakalanya tidak mengenakkan, namun kebohongan pasti menyakitkan. Kejujuran menimbulkan kepercayaan, sebaliknya kebohongan dan dusta meruntuhkan kepercayaan. Keharmonisan hubungan suami-istri akan hilang bila tidak ada lagi kepercayaan diantara keduanya.

Rasulullah bersabda: “Hendaklah kalian berlaku jujur karena kejujuran itu menunjukan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukan jalan menuju surga” (HR. Bukhari).

Kejujuran mengantarkan pelakunya pada kebaikan, pun kejujuran dalam rumah tangga akan mengantarkan pada keharmonisan. Berbeda dengan ibadah shalat, zakat, dan haji, yang bisa disaksikan orang lain, puasa adalah satu-satunya ibadah yang hanya Allah SWT dan kita yang tahu. Puasa adalah ibadah yang melatih kita berlaku jujur secara hakiki, yakni jujur pada diri sendiri. Kita bisa bersembunyi makan dan minum untuk mengelabui orang lain seolah-olah berpuasa, tapi hal tersebut tidak kita lakukan. Kejujuran adalah salah satu hikmah puasa.

Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya, maka Allah Ta’ala tidak peduli dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari).

Bila momentum kejujuran di bulan ramadhan ini dihidupkan di bulan-bulan lain, maka Insya Allah akan terwujud rumah tangga yang tentram.

Bulan ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa. Bulan ramadhan memberi momentum untuk berlatih menjaga amarah, menjaga lisan, berkata dan berlaku jujur, saling memaafkan, dan meningkatkan kebersamaan. Mari kita manfaatkan momentum tersebut sebaik-baiknya, agar selepas bulan ramadhan, rumah tangga kita akan semakin harmonis. Wallahu a’lam bish-shawab.
(Tulisan ini secara ringkas telah dipublikasi di harian Republika, Selasa 9 Agustus 2011 hal 22 dalam kolom Syiar Ramadhan)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar