Jumat, 01 Desember 2017

Maulid Nabi dan Spirit Reuni 212


Masih teringat dalam benak kita, momentum berkumpulnya 7 juta umat Islam di Jakarta pada 2 Desember tahun lalu. Kerinduan masyarakat terhadap suasana persatuan umat Islam dalam Aksi Damai inilah yang menggerakkan umat untuk kembali berkumpul dalam tajuk reuni 212.

Menariknya, peringatan setahun aksi damai 212 pada Sabtu ini bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada hari sebelumnya. Dua peristiwa besar khususnya bagi umat Islam Indonesia ini tentunya menjadi spirit yang kuat di dalam keragaman untuk kebersamaan. Semangat mengenang kembali 212 ini pada hakikatnya merupakan perwujudan kecintaan umat Islam kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa wahyu Allah (Alquran) dan penerima misi dakwah dalam rangka memperbaiki kondisi masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.
Kelahiran Aksi Damai 212, yang dipelopori oleh para ulama dan tokoh-tokoh Islam serta melibatkan begitu banyaknya umatIslam saat itu, terbingkai dalam satu tujuan, yakni menjaga kemuliaan agamanya. Masih teringat di benak kita kala itu seorang pejabat publik berlaku dan berkata tidak pantas melakukan penistaan terhadap kitab suci umat Islam. Wajar bila kejadian itu membuat umat Islam geram dan akhirnya melakukan protes kepada pihak yang berwenang.

Bukan perkara politik

Sangat tepat rasanya bila ditegaskan bahwa kelahiran aksi 212 ini bukan karena motivasi kepentingan politik. Apa yang dilakukan oleh umat Islam merupakan hal yang wajar sebagai bentuk usaha menjaga kemuliaan wahyu Allah (Alquran) yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Bukti dari hal tersebut ialah bersatunya umat Islam dari berbagai mazhab Ahlussunah waljamaah, ormas, profesi dari berbagai daerah di seluruh wilayah NKRI untuk bersama menjaga kemuliaan yang telah dinodai oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Dan yang menjadi tuntutan hanya satu, yaitu adanya penegakan hukum yang adil. Hal ini membuktikan bahwa apa yang dilakukan umat Islam merupakan aksi yang murni dijiwai oleh kekuatan spiritual dan semangat menjaga kemuliaan Alquran.

Adapun bila Aksi 212 saat itu berpengaruh pada kepentingan politik, itu merupakan akibat dari masalah penistaan agama itu sendiri. Terlepas dari kepentingan tersebut, kejadian serupa tentang penistaan terhadap agama telah beberapa kali terjadi sebelumnya di negeri ini. Sebut saja kasus penistaan agama yang terjadi pada tabloid Monitor tahun 1990 yang membuat Arswendo Atmowiloto dijatuhi hukuman selama empat tahun enam bulan.
Juga kasus Lia Eden divonis dua tahun enam bulan penjara. Artinya, reaksi umat Islam yang tergambarkan dalam Aksi 212 adalah keinginan umat yang tidak berhubungan dengan politik. Kebetulan saja momentumnya bertepatan dengan Pilkada DKI Jakarta sehingga arus opini mengarah ke sana.

Peristiwa ini sejatinya merupakan pelajaran penting kepada seluruh komponen bangsa, khususnya politisi atau siapa pun untuk berhati-hati dan menjaga toleransi beragama karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang seluruhnya tunduk pada nilai agama.

Negeri Indonesia adalah negeri yang berdasarkan Pancasila, dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, diperkuat dengan Pasal 29 Ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mencantumkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Artinya, bentuk pelecehan dan penistaan dalam bentuk apa pun terhadap agama manapun merupakan tindakan yang melanggar konstitusi dan layak untuk dijatuhi hukuman.
Kontribusi umat Islam

Momentum peringatan 212 yang bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan keberkahan tersendiri. Spirit umat dalam menyambut seruan reuni 212 ini merupakan bentuk kerinduan dalam kebersamaan dan kekokohan dalam beragama. Bukan hanya sekadar seremonial belaka, melainkan juga pengimplementasian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keberadaan umat Islam di negeri ini hakikatnya ialah untuk memperkuat NKRI. 
Hal ini tergambar dalam sejarah pergerakan kemerdekaan kita ketika tokoh Masyumi, Mohammad Natsir, menyampaikan mosi integral Republik Indonesia. Dalam pidatonya pada 1950 itu, Mohammad Natsir menekankan kepada pemerintah yang pada saat itu mengikuti arus tanpa keputusan yang jelas bahwa Indonesia harus disatukan dalam bentuk unitarisme, bukan federalisme.

Politisi Islam pendahulu tersebut menyampaikan bahwa Republik Indonesia Serikat (RIS) akan membuat NKRI ini terpisah-pisah dan akhirnya bercerai-berai. Keinginan rakyat untuk satu tubuh kembali ditanggapi serius oleh Partai Islam Masyumi.
Sementara, pada saat itu partai lain cenderung kepada keputusan untuk tetap pada negara federasi. Oleh karena itu, para politisi Islam tersebut menentang keberlangsungan RIS dengan federasinya dan mempertahankan bentuk negara sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang itu merupakan kehendak langsung oleh rakyat Indonesia.
Tanpa campur tangan umat Islam, dalam hal ini Mohammad Natsir sebagai politisi Islam, maka NKRI yang kita rasakan hari ini boleh jadi tidak akan pernah kita nikmati.

Menjaga kebinekaan dan toleransi

Hajat besar reuni 212 hari ini menjadi contoh bentuk penjagaan persatuan dan kesatuan NKRI. Melalui reuni ini, pesan yang disampaikan sangat jelas, yakni menjaga toleransi beragama serta memaknai kebinekaan sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa.
Reuni 212 sebagai bentuk semangat keagamaan ini juga harus disikapi secara positif dan bijak oleh pemerintah. Melalui momentum ini, masyarakat menjadi semakin religius yang berimplikasi pada kondusivitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Terbukti bahwa pada era modern ini kita menjumpai perusahaan-perusahaan maupun institusi profesional yang meletakkan kualifikasi attitude yang tinggi sebagai buah dari ketaatan beragama sebagai bagian paling penting dalam seleksi karyawannya.
Mengapa demikian? Hal ini disebabkan kinerja karyawan yang memiliki ketaatan agama baik berbanding lurus dengan produktivitas yang tinggi. Sehingga banyak perusahaan yang memfasilitasi kehidupan beragama karyawannya, apalagi jika konteksnya kita perluas menjadi konteks kenegaraan.
Produktivitas yang tinggi ini merupakan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan menjadi nilai yang merasuk ke dalam hati setiap pemeluk agama Islam. Karena dakwah Islam yang diembannya merupakan rahmatan lil ‘alamin yang dapat dinikmati oleh seluruh alam dan bersifat universal, bagi apa pun dan siapa pun.
Sebagaimana sejarah yang menggambarkan serta mencontohkan bagaimana Nabi Muhammad dengan sukses memimpin negara Madinah, membuat Piagam Madinah yang isinya merangkul seluruh kalangan baik lintas suku maupun lintas agama.
Madinah dijadikan sebagai negara bersama yang terus dikembangkan dan dipertahankan secara bersama-sama, sebagaimana halnya konsep NKRI yang berdasar Pancasila.

Akhlak yang baik tercermin pula dalam kisah saat beliau dan umat Islam menaklukkan Kota Makkah. Mereka tidak melakukan pembalasan dendam terhadap orang-orang yang mengusirnya dari kampung halaman, melainkan dengan melakukan pembebasan dan membangun negara secara bersama-sama karena Islam mengajarkan bagaimana umat agama lain bisa menikmati indahnya Islam meski berada di luar Islam.
Inilah nilai penting dari semangat Maulid Nabi Muhammad SAW dan reuni aksi 212. 
Wallahu a'lam.


REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nurhasan Zaidi, Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PUI, anggota DPD RI



Tidak ada komentar:

Posting Komentar