Semua manusia ingin keselamatan. Karenanya di mana-mana dipancang slogan “Safety is our Priority”. Dalam slogan lain kadang berbunyi ”Safety First”. Apapun semua ungkapan itu intinya sama, menyerukan keselamatan. Namun ingat bahwa hakikat keselamatan sebenarnya bukan selamat di dunia. Sebab dunia dirancang bukan untuk menjadi tempat selamanya. Karenanya, sehebat apapun manusia memproteksi dirinya, ujung-ujungnya ia pasti mati. Oleh karena itu setiap kita berbicara tentang keselamatan, sebenarnya itu maksudnya bukan sekadar selamat di dunia, tetapi juga di akhirat. Apa saja yang harus kita lakukan supaya kita selamat di dunia dan akhirat:
Pertama,
Utamakan Allah
Allah
Pencipta manusia dan pencipta segala makhluk di alam semesta. Dialah Pemilik
langit dan bumi. Pun Dialah yang mengurus dan menyediakan segala fasilitas yang
dibutuhkan manusia untuk bisa hidup di muka bumi. Lebih dari itu Dialah yang
memiliki dunia dan akhirat. Semua manusia kelak akan kembali kepadaNya. Maka
sungguh bahagia manusia yang selama hidup di dunia mematuhi aturanNya, di mana
ia kelak setelah kembali kepadaNya, membawa amal-amal yang disukaiNya.
Sebaliknya sungguh celaka manusia yang lalai. Diberi kesempatan hidup sekali
malah disia-siakan. Segala kesempatan itu hanya diisi dengan dosa-dosa dan
kesia-siaan. Bayangkan bagaimana penderitaan manusia semacam ini, di saat kelak
menghadap Allah, dengan dosa-dosa dan perbuatan yang paling Allah benci.
Bayangkan
jika Anda sedang menghadap bos Anda dengan membawa laporan kerja yang isinya
kegiatan sia-sia atau merusak perusahaan. Padahal Anda telah mendapatkan
fasilitas lengkap dari bos Anda. Namun semua fasilitas itu Anda gunakan bukan
untuk melakukan tugas-tugas kantor Anda. Melainkan justru digunakan untuk
merusak program perusahaan itu sendiri. Apa yang Anda bayangkan tentang ancaman
yang akan ditimpakan bos Anda kepada Anda? Lalu bayangkan jika ini terjadi di
hadapan Allah yang Mahatahu. Kalau kepada bos Anda, mungkin Anda masih bisa
berbohong, tetapi kepada Allah, Anda tidak mungkin bisa berbasa-basi, atau
bersembunyi atau berpura-pura.
Kedua,
Contoh Rasulullah
Untuk
mentaati Allah butuh contoh. Dan contoh terbaik adalah Rasulullah SAW.
Karenanya predikat yang Allah berikan kepada Rasulullah adalah sebagai hamba.
Dari kepribadian Rasulullah SAW minimal ada dua hal penting untuk kita tiru:
(1) Tiru Cara Ibadahnya kepada Allah.
(2) Tiru Akhlaqnya yang mulia.
Dalam hal
ibadah, Rasulullah SAW Sangat sungguh-sungguh. Maksudnya ibadah ritual. Setiap
datang waktu shalat Rasulullah SAW segera ke masjid. Bahkan pernah suatu hari
bersabda bahwa beliau akan membakar rumah seseorang yang tidak mau melaksanakan
shalat di masjid. Tidak hanya shalat yang wajib, melainkan juga shalat-shalat
sunnah. Bila Rasulullah SAW shalat malam, seringkali berdiri terlalu lama
karena membaca surah yang panjang sampai bengkak kakinya. Lidahnya tidak pernah
kering dari dzikir. Setiap hari selalu mengucapkan istighfar minimal tujuh
puluh kali, dalam riwayat lain seratus kali. Tidak hanya shalat puasa juga
demikian. Dalam banyak hadits, selalu kita temukan contoh-contoh puasa yang
dilakukan Rasulullah SAW. Tidak saja puasa wajib melainkan juga puasa sunnah.
Adapun
dalam segi akhlaq, Rasulullah SAW adalah contoh yang paling baik. Allah swt
telah memuji akhlaqnya dalam surat Al Qalam:4
Allah berfirman: “Dan
Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Ini pujian
bukan ucapan manusia.
Seandainya yang mengucapkan manusia, mungkin kita bisa
menyangkalnya, sebab boleh jadi pujian itu datang karena kepentingan tertentu
atau ada tujuan-tujuan subjektif tersembunyi. Namun pujian itu datang dari
Allah yang Maha objektif. Allah maha tahu. Maka tidak ada dalam pujian itu yang
ditutup-tutupi. Itu pujian paling mewakili hakikat kepribadian Rasulullah SAW. Dan
benar, bahwa Rasulullah SAW berakhlaq mulia. Bagi istrinya beliau adalah suami
terbaik. Aisyah RA Menceritakan bahwa Rasulullah SAW tidak menyakiti istrinya,
pun tidak pernah memukul benda. Kepada anak dan cucunya Rasulullah SAW adalah
contoh ayah yang baik. Seringkali dikisahkan bahwa Rasulullah SAW selalu
menyempatkan diri bermain dengan cucunya Hasan-Husein. Kepada
sahabat-sahabatnya Rasulullah adalah guru sekaligus sahabat yang baik. Begitu
hijrah ke Madinah, beliau segera bangun persaudaraan antara Muhajirin dan
Anshar. Kepada non Muslim Rasulullah SAW melindungi mereka, memberikan hak-hak
mereka, tidak ada seorang pun yang dizhalimi, pun tidak satu tempat ibadah pun
milik mereka yang dirusak apalagi dihancurkan.
Ketiga,
Selamatkan Kemanusiaan
Islam
diturunkan untuk keselamatan manusia. Tidak ada dalam ajaran Islam satu ayat
atau satu hadits pun yang mengajarkan kezhaliman terhadap kemanusiaan. Dalam
perang pun tuntunan Islam sangat jelas. Yang boleh dilawan hanya yang menyerang
saja. Sementara anak-anak dan kaum wanita serta para rahib yang sedang
beribadah tidak boleh disakiti apalagi dibunuh. Segala yang merusak kemanusiaan
diharamkan. Khamer diharamkan karena merusak akal. Zina haram karena merusak
nasab dan harga diri. Riba diharamkan karena merusak harta, dan di dalamnya ada
kezhaliman dan seterusnya.
Ajaran
ibadah ritual dalam Islam, semua bertujuan agar jiwa manusia hidup. Bahwa
manusia tidak cukup hanya hidup dengan fisiknya saja. Manusia harus hidup fisik
dan jiwanya. Karenanya Allah bekalkan iman. Maka sungguh tidak akan selamat
manusia yang mati jiwanya. Inilah makna ayat: qad aflaha man zakkahaa wa qad
khaaba mandassaahaa (QS 91:9-10).
Perhatikan apa yang di alami
manusia-manusia kafir. Mereka meronta-ronta jiwanya. Sekalipun segala kesenangan
dunia dimudahkan tetapi mereka masih saja merasakan dalam dirinya ada sesuatu
yang hilang. Karenanya mereka lari ke tempat-tempat maksiat. Itupun tidak
cukup, mereka di saat yang sama harus mabuk, untuk menghindari ketercekaman
jiwa. Namun semua itu bukan jawaban. Sebab jawabannya hanya iman yang jujur.
Lebih
jauh, ajaran membantu fakir miskin, menyenangkan anak yatim, menjenguk orang
sakit, membantu yang lemah, menghormati yang lebih tua, mengabdi kepada kedua
orang tua, itu semua sangat tegas dalam Al Qur’an dan As sunnah. Maka seorang
muslim tidak cukup hanya baik secara ibadah ritual melainkan lebih dari itu
harus juga baik secara sosial. Tetapi maksudnya bukan seperti yang dikatakan
sebagian orang: bahwa yang penting baik sosialnya kepada orang lain, sekalipun
tidak patuh dalam ibadah ritualnya. Tidak, tidak demikian pengertian dalam hal
ini. Islam mengajarkan keseimbangan: keseimbangan antara jasmani dan rohani,
keseimbangan antara ritual dan sosial, pun keseimbangan antara dunia dan
akhirat. Wallahu a’lam bishsawab.
Oleh:
DR.
Amir Faishol Fath
Tidak ada komentar:
Posting Komentar