Firman Allah : “Apa yang kamu
berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia betambah, maka hal itu
tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39)
Menurut pandangan kebanyakan manusia,
pinjaman dengan sistem bunga akan dapat membantu ekonomi masyarakat yang pada
gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat. Anggapan
tersebut telah menjadi keyakinan kuat hampir setiap orang, baik ekonom,
pemeritah maupun praktisi. Keyakinan kuat itu juga terdapat pada
inetelektual muslim terdidik yang tidak berlatar belakang pendidikan ekonomi.
Karena itu tidak aneh, jika para pejabat negara dan direktur
perbankan seringkali bangga melaporkan jumlah kredit yang dikucurkan
untuk pengusaha kecil sekian puluh triliun rupiah. Begitulah pandangan dan
keyakinan hampir semua manusia saat ini dalam memandang sistem kredit dengan
instrumen bunga. Itulah pandangan material (zahir) manusia yang seringkali
terbatas.
Pandangan umum di atas dibantah oleh
Allah dalam Al-quran surah Ar-Rum : 39, “ Apa “Apa yang kamu berikan (berupa
pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia bertambah, maka hal itu tidak
bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39).
Ayat ini menyampaikan pesan
moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem bunga tidak akan membuat
ekonomi masyarakat tumbuh secara agregat dan adil. Pandangan Al-quran ini
secara selintas sangat kontras dengan pandangan manusia kebanyakan.
Manusia menyatakan bahwa pinjaman dengan sistem bunga akan meningkatkan ekonomi
masyarakat, sementara menurut Allah, pinjaman dengan sistem bunga tidak membuat
ekonomi tumbuh dan berkembang.
Mengapa Allah mengatakan pinjaman
kredit dengan sistem bunga tidak menumbuhkan ekonomi ?. Di sinilah keterbatasan
akal (pemikiran) sebagian besar manusia. Mereka hanya memandang secara dangkal,
kasat mata dan material (zahir) belaka. Dari sinilah muncul konsep meta-ekonomi
Islam, yaitu, sebuah pandangan ekonomi yang berada di luar akal material
manusia yang dangkal.
Dampak Bunga.
Harus dicatat, bahwa Al-quran
membicarakan riba (bunga) dalam ayat tersebut dalam konteks ekonomi makro,
bukan ”hanya” ekonomi mikro. Bahkan sisi ekonomi makro jauh lebih besar.
Kesalahan manusia kapitalis, termasuk ahli agama Islam yang tak berlatar
belakang ekonomi, adalah menempatkan dan membahas riba dalam konteks ekonomi
mikro semata. Membicarakan riba dalam konteks ekonomi makro adalah mengkaji
dampak riba terhadap ekonomi masyarakat secara agregat (menyeluruh), bukan
individu atau perusahaann (institusi). Sedangkan membicarakan riba dalam
lingkup mikro, adalah membahas riba hanya dari sisi hubungan kontrak antara
debitur dan kreditur. Biasanya yang dibahas berapa persen bunga yang harus
dibayar oleh si A atau perusahaan X selaku debitur kepada kreditur. Juga,
apakah bunga yang dibayar debitur sifatnya memberatkan atau menguntungkan. Ini
disebut kajian dari perspektif ekonomi mikro.
Padahal dalam ayat, Al-Quran menyoroti
praktek riba yang telah sistemik, yaitu riba yang telah menjadi sistem di
mana-mana, riba yang telah menjadi instrumen ekonomi, sebagaimana yang
diyakini para penganut sistem ekonomi kapitalisme.Dalam sistem
kapitalis ini, bunga bank (interest rate) merupakan jantung dari sistem
perekonomian. Hampir tak ada sisi dari perekonomian, yang luput dari mekanisme
kredit bunga bank (credit system). Mulai dari transaksi lokal pada semua
struktur ekonomi negara, hingga perdagangan internasional.
Jika riba telah menjadi sistem yang
mapan dan telah mengkristal sedemikian kuatnya, maka sistem itu akan dapat
menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian secara luas. Dampak sistem ekonomi
ribawi tersebut sangat membahayakan perekonomian.
Pertama, Sistem ekonomi
ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang sejarah,
sejak tahun 1930 sampai saat ini. Sistem ekonomi ribawi telah membuka peluang
para spekulan untuk melakukan spekulasi yang dapat mengakibatkan volatilitas
ekonomi banyak negara. Sistem ekonomi ribawi menjadi punca utama penyebab
tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena uang
senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke
negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin
memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga riel
relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah
ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini
dimaksudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi.
Kedua, di bawah
sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin
terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin
miskin. Data IMF berikut menunjukkan bagaimana kesenjangan tersebut terjadi.
Ketiga, Suku bunga juga
berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran. Semakin
tinggi suku bunga, maka investasi semakin menurun. Jika investasi menurun,
produksi juga menurun. Jika produksi menurun, maka akan meningkatkan angka
pengangguran.
Keempat, Teori ekonomi juga
mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan inflasi.
Inflasi yang disebabkan oleh bunga adalah inflasi yang terjadi akibat ulah
tangan manusia. Inflasi seperti ini sangat dibenci Islam, sebagaimana ditulis
Dhiayuddin Ahmad dalam buku Al-Quran dan Pengentasan Kemiskinan. Inflasi akan
menurunkan daya beli atau memiskinkan rakyat dengan asumsi cateris paribus.
Kelima, Sistem ekonomi ribawi juga
telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt trap (jebakan
hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka kesulitan,
apalagi bersama pokoknya.
Keenam, dalam konteks
Indonesia, dampak bunga tidak hanya sebatas itu, tetapi juga berdampak terhadap
pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani APBN untuk membayar bunga obligasi
kepada perbakan konvensional yang telah dibantu dengan BLBI. Selain bunga
obligasi juga membayar bunga SBI. Pembayaran bunga yang besar inilah yang
membuat APBN kita defisit setiap tahun. Seharusnya APBN kita surplus setiap
tahun dalam mumlah yang besar, tetapi karena sistem moneter Indonesia
menggunakan sistem riba, maka tak ayal lagi, dampaknya bagi seluruh
rakyat Indonesia sangat mengerikan .
Dengan fakta tersebut, maka
benarlah Allah yang mengatakan bahwa sistem bunga tidak menumbuhkan ekonomi
masyarakat, tapi justru menghancurkan sendi-sendi perekonomian negara, bangsa
dan masyarakat secara luas. Itulah sebabnya, maka lanjutan ayat tersebut pada
ayat ke 41 berbunyi :”Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena
ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian
perilaku mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah”
Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan
dengan dampak sistem moneter ribawi yang dijalankan oleh manusia.
Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis saat ini adalah akibat ulah
tangan manusia yang menerapkan riba yang bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan.
Berdasarkan kenyataan itu, maka sekali
lagi, maha benarlah firman Allah yang mengatakan bahwa riba tidak menumbuhkan
ekonomi masyarakat. Inilah meta ekonomi Islam yang terdapat dalam ayat 39 Surah
Ar-Rum.
Dalam pendangan seorang banker atau
debitur, sistem bunga yang mereka terapkan yang dilandasai saling ridha dan
terkesan tidak ada saling menzalimi di antara mereka, dianggap sebagai sebuah
sistem yang wajar dan tidak menjadi masalah. Bahkan bersifat
positif-konstruktif bagi masyarakat. Inilah pandangan ekonomi mikro yang sering
menjerumuskan banyak orang yang akalnya terbatas.Begitulah, akal manusia sering
kali tidak bisa menjangkau apa yang dibalik realitas ekonomi. Padahal sistem
riba itu justru merusak dan sama sekali tidak membawa pertumbuhan ekonomi yang
sebenarnya. Inilah yang dijelaskan Al-Quran dalam surah Ar-Rum ayat 39 di
atas. Inilah konsep meta ekonomi Islam dalam larangan riba.
Namun, bagi para ekonom Islam, hal tersebut bukan lagi meta, tapi
fakta, karena mereka telah melihat fakta riil kerusakan ekonomi masyarakar,
negara dan dunia akibat riba (bunga). Mereka telah melihat secara nyata bahwa
riba tidak akan menumbuhkan perekonomian masyarakat. Metaekonomi Islam
dalam larangan riba hanya relevan bagi para penganut dan pengamal ekonomi ribawi
yang mayoritas di negeri ini. Tugas pakar ekonomi syari’ah untuk menjelaskan
meta ekonomi Islam itu kepada penganut dan pengamal kapitalisme ribawi yang
masih mayoritas di negeri ini.
Oleh : Agustianto, Sekretaris Umum
DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Pengajar pada Program
Pascasarjana PSTTI UI
http://www.agustiantocentre.com/?p=304
Tidak ada komentar:
Posting Komentar