Janganlah kalian
saling mendengki, saling menfitnah (untuk suatu persaingan yang tidak sehat),
saling membenci, saling memusuhi dan jangan pula saling menelikung transaksi
orang lain. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah
saudara muslimnya yang lain, ia tidak menzhaliminya, tidak mempermalukannya,
tidak mendustakannya dan tidak pula melecehkannya. Takwa tempatnya adalah di
sini -seraya Nabi SAW menunjuk ke dadanya tiga kali. Telah pantas seseorang
disebut melakukan kejahatan, karena ia melecehkan saudara muslimnya. Setiap
muslim atas sesama muslim yang lain adalah haram darahnya, hartanya dan
kehormatannya. ” (HR. Muslim dari Abu Hurairah ra)
Jika didiagnosa
dengan pendekatan iman, maka sebab dan sumber segala penyakit sosial umat
adalah penyakit hati. Dan salah satu penyakit hati yang sangat ganas serta
berbahaya bagi kesehatan hati adalah penyakit dengki. Bahayanya lagi, penyakit
dengki ini tidak bekerja sendirian, tetapi -untuk memperparah penyakit hati
yang diserangnya- ia melahirkan penyakit-penyakit turunan, sebagaimana disebutkan
Nabi SAW di atas, yaitu saling menfitnah, saling membenci, saling memusuhi dan
seterusnya.
Secara umum dengki
atau iri hati bisa diartikan kebencian terhadap orang lain yang memiliki
kenikmatan atau keutamaan yang melebihi dirinya.
Dengki itu bertingkat-tingkat.
Pertama, ada pendengki yang
berusaha menghilangkan nikmat yang diperoleh orang yang didengkinya, dengan
ucapan seperti fitnah dan perbuatan, meskipun dia tidak mengharapkan nikmat
tersebut pindah kepada dirinya.
Kedua, ada pendengki yang
selain berusaha menghilangkan nikmat dari orang yang didengkinya, ia juga
berusaha memindahkan nikmat tersebut kepada dirinya. Kedua macam dengki
tersebut adalah dengki yang sangat tercela. Dan dosa dengki itulah yang
merupakan dosa iblis. Iblis dengki kepada Adam karena Allah memberi keutamaan
kepada Adam atas segenap malaikat dengan menyuruh para malaikat sujud (sebagai
penghormatan) kepada Adam, mengajarkannya nama segala sesuatu dan
menempatkannya di Surga. Demikianlah lalu iblis dengan kedengkiannya berusaha
mengeluarkan Adam dari Surga.
Ketiga, ada orang yang bila
mendengki orang lain, ia tidak melanjutkan dengki itu dalam bentuk ucapan
maupun perbuatan. Dan demikian itulah tabiat yang sekaligus kelemahan manusia;
hampir selalu menginginkan memiliki apa yang dimiliki orang lain. Menurut
riwayat dari Al-Hasan, selama tidak dibuktikan dengan ucapan dan perbuatan, iri
hati jenis ini tidak berdosa. Namun tentu, sebaiknya ia hilangkan perasaan
dengki dan iri tersebut dari dalam hatinya, hingga tidak menjadi penyakit.
Keempat, ada lagi iri hati
yang tidak menginginkan nikmat itu hilang dari kawannya, tetapi ia berusaha
keras bagaimana mendapatkan nikmat semacam itu. Jika nikmat tersebut bersifat
duniawi, maka tidak ada kebaikannya sama sekali. Iri hati seperti inilah yang
juga ditunjukkan oleh orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia, seperti
yang dilakukan orang-orang kepada Qarun. Allah berfirman:”(Mereka berkata),
‘Duhai seandainya kami memiliki sebagaimana yang diberikan kepada Qarun.”
(Al-Qashash: 79).
Jika nikmat itu
bersifat ukhrawi, maka ia adalah kebaikan. Sebagaimana disebutkan oleh Nabi
SAW: “Tidak boleh dengki dan iri hati kecuali dalam dua hal; yaitu iri hati
terhadap orang yang dikaruniai harta dan dia selalu menginfakkannya pada malam
dan siang hari. (juga iri) kepada orang yang diberi kepandaian membaca
Al-Qur’an, dan dia membacanya setiap malam dan siang.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Dan inilah yang dinamakan ghibthah (keinginan). Disebut dengan hasad/iri
(tetapi yang baik) sebagai bentuk
Sebab-sebab Dengki
Pertama: Karena kecintaan kepada dunia
Rasa dengki pada dasarnya tidak timbul kecuali karena kecintaan kepada dunia. Dan dengki biasanya banyak terjadi di antara orang-orang terdekat; antarkeluarga, antarteman sejawat, antartetangga dan orang-orang yang berdekatan lainnya. Sebab rasa dengki itu timbul karena saling berebut pada satu tujuan.
Rasa dengki pada dasarnya tidak timbul kecuali karena kecintaan kepada dunia. Dan dengki biasanya banyak terjadi di antara orang-orang terdekat; antarkeluarga, antarteman sejawat, antartetangga dan orang-orang yang berdekatan lainnya. Sebab rasa dengki itu timbul karena saling berebut pada satu tujuan.
Kedua: adalah ta’azzuz (merasa paling mulia).
Ia keberatan bila ada orang lain melebihi dirinya. Ia takut bila koleganya mendapatkan kekuasaan, pengetahuan atau harta yang bisa mengungguli dirinya.
Ia keberatan bila ada orang lain melebihi dirinya. Ia takut bila koleganya mendapatkan kekuasaan, pengetahuan atau harta yang bisa mengungguli dirinya.
Ketiga: takabbur atau sombong.
Ia memandang remeh orang lain dan karena itu dia ingin agar dipatuhi dan diikuti perintahnya. Ia takut bila orang lain memperoleh nikmat, berbalik dan tidak mau tunduk padanya. Termasuk dalam sebab ini adalah kedengkian orang-orang kafir Quraisy kepada Nabi SAW, yang seorang anak yatim tapi kemudian dipilih Allah untuk menerima wahyuNya. Kedengkian orang-orang kafir Quraisy itu dilukiskan Allah dalam firmanNya: “Dan mereka berkata:’Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekkah dan Thaif) ini?” (Az Zukhruf: 31) Maksudnya, orang-orang kafir Quraisy itu tidak keberatan mengikuti Muhammad, andai saja beliau itu keturunan orang besar, tidak dari anak yatim atau orang biasa.
Ia memandang remeh orang lain dan karena itu dia ingin agar dipatuhi dan diikuti perintahnya. Ia takut bila orang lain memperoleh nikmat, berbalik dan tidak mau tunduk padanya. Termasuk dalam sebab ini adalah kedengkian orang-orang kafir Quraisy kepada Nabi SAW, yang seorang anak yatim tapi kemudian dipilih Allah untuk menerima wahyuNya. Kedengkian orang-orang kafir Quraisy itu dilukiskan Allah dalam firmanNya: “Dan mereka berkata:’Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekkah dan Thaif) ini?” (Az Zukhruf: 31) Maksudnya, orang-orang kafir Quraisy itu tidak keberatan mengikuti Muhammad, andai saja beliau itu keturunan orang besar, tidak dari anak yatim atau orang biasa.
Keempat: merasa ta’ajub dan heran terhadap kehebatan dirinya.
Hal ini sebagaimana yang biasa terjadi pada umat-umat terdahulu saat menerima dakwah para rasul Allah. Mereka heran manusia yang sama dengan dirinya, bahkan yang lebih rendah kedudukan sosialnya, lalu menyandang pangkat kerasulan, karena itu mereka mendengkinya dan berusaha menghilangkan pangkat kenabian tersebut, sehingga mereka berkata: “Adakah Allah mengutus manusia untuk menjadi Rasul?” (Al Mu’minun: 34).
Hal ini sebagaimana yang biasa terjadi pada umat-umat terdahulu saat menerima dakwah para rasul Allah. Mereka heran manusia yang sama dengan dirinya, bahkan yang lebih rendah kedudukan sosialnya, lalu menyandang pangkat kerasulan, karena itu mereka mendengkinya dan berusaha menghilangkan pangkat kenabian tersebut, sehingga mereka berkata: “Adakah Allah mengutus manusia untuk menjadi Rasul?” (Al Mu’minun: 34).
Allah menjawab
keheranan mereka dengan firmanNya: “Dan apakah kamu (tidak percaya) dan heran
bahwa datang kepada kamu peringatan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang
laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu dan
mudaha-mudahan kamu bertakwa dan supaya kamu mendapat rahmat?” (Al A’raaf: 63)
Kelima: takut mendapat saingan.
Bila seseorang menginginkan atau mencintai sesuatu maka ia khawatir kalau mendapat saingan dari orang lain, sehingga tidak terkabullah apa yang ia inginkan. Karena itu, setiap kelebihan yang ada pada orang lain selalu ia tutup-tutupi. Bila tidak, dan persaingan terjadi secara sportif, ia takut kalau dirinya tersaingi dan kalah.
Bila seseorang menginginkan atau mencintai sesuatu maka ia khawatir kalau mendapat saingan dari orang lain, sehingga tidak terkabullah apa yang ia inginkan. Karena itu, setiap kelebihan yang ada pada orang lain selalu ia tutup-tutupi. Bila tidak, dan persaingan terjadi secara sportif, ia takut kalau dirinya tersaingi dan kalah.
Keenam, ambisius dalam hal kepemimpinan (hubbur riyasah).
Hubbur riyasah dengan hubbul jah (senang pangkat-kedudukan) adalah saling berkaitan. Ia tidak menoleh terhadap kelemahan dirinya, seolah-olah dirinya tak ada tolok bandingnya. Jika ada orang di pojok dunia yang ingin menandinginya, tentu itu menyakitkan hatinya, ia akan mendengkinya dan menginginkan lebih baik orang itu mati saja atau paling tidak hilang pengaruhnya.
Hubbur riyasah dengan hubbul jah (senang pangkat-kedudukan) adalah saling berkaitan. Ia tidak menoleh terhadap kelemahan dirinya, seolah-olah dirinya tak ada tolok bandingnya. Jika ada orang di pojok dunia yang ingin menandinginya, tentu itu menyakitkan hatinya, ia akan mendengkinya dan menginginkan lebih baik orang itu mati saja atau paling tidak hilang pengaruhnya.
Ketujuh, kikir dalam hal kebaikan terhadap sesama hamba Allah.
Ia gembira jika disampaikan kabar padanya bahwa si fulan tidak berhasil dalam usahanya. Sebaliknya, ia merasa sedih jika diberitakan, si fulan telah berhasil mencapai kesuksesan dan kepangkatan yang dicarinya. Orang semacam ini senang bila orang lain terbelakang dari dirinya, seakan-akan orang lain itu mengambil dari milik dan simpanannya. Ia ingin meskipun nikmat itu tidak jatuh pada dirinya sendiri, agar ia tidak jatuh pada orang lain. Ia tidak saja kikir dengan hartanya sendiri, tetapi kikir dengan harta orang lain. Ia tidak rela Allah memberi nikmat kepada orang lain. Dan inilah sebab kedengkian yang banyak terjadi. Selain hal-hal di atas, mungkin masih ada sebab-sebab kedengkian lain, tapi paling tidak, inilah sebab yang banyak terjadi.
Ia gembira jika disampaikan kabar padanya bahwa si fulan tidak berhasil dalam usahanya. Sebaliknya, ia merasa sedih jika diberitakan, si fulan telah berhasil mencapai kesuksesan dan kepangkatan yang dicarinya. Orang semacam ini senang bila orang lain terbelakang dari dirinya, seakan-akan orang lain itu mengambil dari milik dan simpanannya. Ia ingin meskipun nikmat itu tidak jatuh pada dirinya sendiri, agar ia tidak jatuh pada orang lain. Ia tidak saja kikir dengan hartanya sendiri, tetapi kikir dengan harta orang lain. Ia tidak rela Allah memberi nikmat kepada orang lain. Dan inilah sebab kedengkian yang banyak terjadi. Selain hal-hal di atas, mungkin masih ada sebab-sebab kedengkian lain, tapi paling tidak, inilah sebab yang banyak terjadi.
Terapi Mengobati Dengki
Hasad atau dengki adalah penyakit hati yang paling berbahaya. Dan hati tidak
bisa diobati kecuali dengan ilmu dan amal. Ilmu tentang dengki yaitu hendaknya
kita ketahui tentang hakekat hasad yang sangat membahayakan kita, baik dalam
hal agama maupun dunia.
Kedengkian itu
setitikpun tidak membahayakan orang yang kita dengki, baik dalam hal agama
maupun dunianya, bahkan ia malah memetik manfaat darinya. Dan nikmat itu tidak
akan hilang dari orang yang kita dengki hanya karena kedengkian kita. Bahkan
seandainya ada orang yang tidak beriman kepada hari Kebangkitan, tentu lebih
baik baginya meninggalkan sifat dengki daripada harus menanggung sakit hati
yang berkepanjangan dengan tiada manfaat sama sekali, apatah lagi jika kemudian
siksa akhirat yang sangat pedih menanti?
Bahkan kemenangan itu
ada pada orang yang didengki, baik untuk agama maupun dunia. Dalam hal agama, orang
itu teraniaya oleh si pendengki, apalagi jika kedengkian itu tercermin dalam
kata-kata, umpatan, penyebaran rahasia, kejelekan, fitnah dsb. Dan balasan itu
akan dijumpainya di akhirat. Adapun manfaatnya di dunia, orang pendengki itu
tujuannya yang terpenting ialah kesusahan orang yang didengkinya.
Bagaimana dengan
orang yang didengki? Konon, bila ulama salaf mendengar ada orang yang iri pada
mereka, mereka segera memberi kepada orang tersebut berbagai macam hadiah.
Akhirnya
mari kita renungkan kata-kata Ibnu Sirin: ‘Saya tidak pernah mendengki kepada
seorangpun dalam urusan dunia, sebab jika dia penduduk Surga maka bagaimana aku
menghasudnya dalam urusan dunia sedangkan dia berjalan menuju Surga. Dan jika
dia penduduk Neraka, bagaimana mungkin aku menghasud dalam urusan dunianya
sementara dia sedang berjalan menuju ke neraka.” Rasulullah SAW
bersabda:”Jauhilah dengki, karena dengki itu memakan kebaikan sebagaimana api
makan kayu bakar.” (HR. Abu Daud).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar