KONSEP LAND CAPPING: KEPASTIAN INVESTASI DAN RISK SHARING
Land capping telah banyak digunakan oleh negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, untuk
mengatasi persoalan pembebasan lahan sekaligus mengakselerasi penyelesaian proyek-proyek
jalan tol. Sementara itu di Indonesia land capping lahir sebagai bagian dari reformasi
penyelenggaraan pembangunan jalan tol pasca UU No. 38/2004, dimana pembebasan lahan
menjadi tanggungjawab Pemerintah.
Filosofi dasar dari land capping ini adalah pembagian resiko yang adil antara Pemerintah dan
investor (operator) yang bertujuan untuk memberikan kepastian investasi. Dalam hal ini
Pemerintah telah memutuskan untuk menerapkan instrumen land capping dimana Pemerintah
akan menanggung perubahan harga tanah di atas 110% dari nilai yang disepakati dalam
Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT).
Sasaran pemberlakuan land capping adalah untuk realisasi perjanjian proyek-proyek jalan tol
lama yang terhenti (halted projects) pada saat krisis ekonomi berlangsung (pasca 1998),
sedangkan proyek-proyek baru telah memasukkan harga wajar tanah aktual ke dalam kontrak
PPJT sehingga tidak terjadi kenaikan harga tanah yang ekstrim.
Selain land capping terdapat instrumen lain yang dapat digunakan oleh Pemerintah secara
simultan dengan land capping, seperti: land freezing (pembekuan lahan sepanjang koridor tol
pasca penetapan kebijakan pembangunan dilakukan pemerintah); land price (penetapan harga
tanah oleh auditor independen); dan land fund (dana talangan bergulir yang dikelola Badan
Layanan Umum/BLU untuk membantu kerja investor pada tahap awal investasi/bilamana terjadi
kelambatan (delay). Dengan model ’prepaid’ ini, dana talangan harus dikembalikan secara
bertahap kepada Pemerintah pada saat jalan tol telah beroperasi).
Namun demikian, dalam menerapkan instrumen land capping ini, terdapat beberapa persoalan
yang tidak sederhana, antara lain:
1.
Besarnya resiko yang harus dibagi antara Pemerintah dan investor. Sampai berapa %
Pemerintah akan menanggung kelebihan biaya tanah dalam pembebasan lahan?
Besaran prosentase land capping tersebut menunjukkan tingkat accepted risks sehingga tidak
terlalu membebani anggaran Pemerintah;
2.
Apakah Pemerintah memiliki keleluasaan anggaran untuk memenuhi komitmen yang
diberikan pada investor tersebut? Sejauh ini, Departemen Keuangan belum memberikan
alokasi yang pasti mengenai besaran anggaran dalam APBN untuk penggunaan
instrumen land capping ;
3.
Metode ini dapat memicu terjadinya moral hazard yang lebih besar (kolusi antara aparat
pemerintah dan spekulan, bahkan mungkin juga melibatkan investor jalan tol) yang akan
’menguji’ sejauh mana daya tahan keuangan Pemerintah.
Kolusi ini sangat berbahaya, karena mereka pun sangat memahami keinginan besar Pemerintah untuk mewujudkan
pembangunan jalan tol (sebagai salah satu program prioritas setidaknya hingga 2009), di
samping adanya harapan besar masyarakat terhadap layanan infrastruktur ini.
Apabila tidak berhati-hati, Pemerintah hanya akan menjadi obyek dari money game yang akan
menguntungkan sekelompok kecil orang saja.
PENENTUAN HARGA TANAH: ANTARA TEORI DAN PRAKTEK
Pemerintah seringkali menyampaikan hipotesa bahwa praktek profiteering dan spekulasi lahan
tidak dapat dibenarkan secara moral dan hukum, karena praktek ini jelas-jelas menghambat
pembangunan infrastruktur untuk kepentingan masyarakat luas (kepentingan nasional).
Namun dalam era demokrasi dewasa ini, Pemerintah perlu lebih mencermati dengan seksama serta
memahami alasan mengapa harga tanah meningkat antara 100% hingga 500% kali dari NJOP
saat investor hendak merealisasikan rencana investasi sesuai dengan kontrak PPJT.
Sebagai gambaran, komponen biaya pembebasan tanah (land acquisition cost) dalam keseluruhan
investasi awal (capital investment) jalan tol berkisar antara 20-25%, namun akibat spekulasi
lahan biaya pembebasan tanah bisa membengkak hingga 30-40%.
Beberapa teori berupaya menjelaskan penentuan harga tanah oleh pemegang hak atas tanah
sebagai berikut: (1) harga tanah didasarkan atas kesuburan tanah (teori Ricardo-Marx); (2) harga
tanah didasarkan atas jarak metrik ke pusat kegiatan sosial-ekonomi (teori von Thunen); dan (3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar