Jumat, 17 September 2010

Prestasi Bukan Prestise

Sewaktu Nabi Ibrahim AS diangkat (dipilih) sebagai pemimpin (imam), beliau bertanya kepada Tuhan tentang (nasib) anak-anak dan keturunannya. Lalu, Allah SWT menjawab, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 124).

Ayat ini mengajarkan kepada kita dua hal penting.

Pertama, bahwa kedudukan dan pangkat tidak didasarkan pada keturunan (darah) dan kesukuan (etnik).
Kedua, bahwa pemimpin selain harus adil (tidak zalim), ia harus berorientasi pada prestasi kerja (amal saleh), bukan prestise.

Inilah letak perbedaan antara kepemimpinan model jahiliyah dengan kepemimpinan Islam. Dalam masyarakat jahiliyah, seperti sering dikemukakan oleh ulama besar dunia, Syekh Islam Ibn Taimiyah, kemuliaan seseorang ditentukan oleh keturunan, sedangkan dalam Islam ditentukan oleh kualitas iman dan takwa alias prestasi kerja.

Prestasi, bukan prestise, bisa kita upayakan melalui setidak-tidaknya tiga hal:

Pertama, membangun etos kerja yang baik dengan menyadari sepenuhnya bahwa kerja adalah ibadah. Sebagai ibadah, kerja harus dilakukan dengan niat yang tulus dan motif yang tinggi.

Kerja harus dilakukan sebaik mungkin dan menjauhkan diri dari kerja asal jadi. Dalam kaitan ini, kita disuruh meneladani Allah yang telah menciptakan segala sesuatu serba sempurna dan berkualitas. (QS. As-Sajadah [32]: 7).

Kedua, menumbuhkan sikap dan rasa tanggung jawab dengan menghilangkan kebiasaan mencari ‘kambing hitam’ dalam setiap kegagalan. Dalam surah An-Najm, secara beruntun Allah SWT mengingatkan kita tentang tanggung jawab ini.

Firman-Nya, “Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian, akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.” (QS. An-Najm [53]: 38-41).

Ketiga, menyadari bahwa kerja dan apa pun yang kita lakukan dilihat dan diawasi oleh Allah SWT. Kesadaran tentang adanya pengawasan Tuhan ini, selain pengawasan oleh manusia sendiri, diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan prestasi kerja, di samping untuk mencegah dari perbuatan dosa dan berbagai tindak kejahatan lainnya. (QS At-Taubah [9]: 105).

Kualitas dan prestasi kerja yang dalam bahasa agama disebut amal shalih tak pelak lagi merupakan pangkal kebaikan manusia tak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Firman Allah, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 110).

Penulis : A Ilyas Ismail
http://mimbarjumat.com/archives/973

Tidak ada komentar:

Posting Komentar