Sabtu, 04 Desember 2010

Perlukah Mempertimbangkan Lagi Bila Sudah Menempuh Jalan Lurus?

Hingga kini, tentu sudah berulang kali Anda menempuh berbagai “jalan lurus”. Mungkin Anda menempuhnya setelah meyakini kebenarannya. Mungkin pula Anda meyakininya sesudah menimbangnya. Apakah dengan demikian, Anda merasa puas? Dengan kata lain, apakah kita tak perlu menimbang-nimbang lagi bila sudah menempuh “jalan lurus” yang kita yakini kebenarannya?

Perlu! Seraya menempuh jalan itu, menimbanglah lagi dan lagi! Marilah kita bersikap rendah hati seperti Ibnu Hazm. Beliau mengakui, “Salah satu kesalahanku adalah bahwa aku condong kepada rasa puas diri yang berlebihan jika aku [merasa] berada dalam kebenaran. …. Kutinggalkan segala kebanggaan yang diharamkan, dan aku menderita karena beban berat yang diakibatkan oleh keputusan ini. Aku cukup bersabar menahan derita berat yang nyaris membuatku sakit. Namun, aku tak mampu mengendalikan hasratku untuk senantiasa [merasa] berada di dalam kebenaran. Nyaris saja aku sungguh-sungguh lupa bahwa ini pun merupakan kesalahan. Nyaris saja aku benar-benar lupa bahwa aku [juga] harus meninggalkan sikap semacam ini.” (Bijak dan Bahagia, hlm. 58)

Mengapa kita harus meninggalkan sikap “senantiasa merasa benar”? “Karena tak ada makhluk yang suci dari kesalahan,” jawab Ibnu Hazm. “Mahasuci Allah yang telah merancangnya untuk menunjukkan kepada umat manusia ketakberdayaan manusia dan kebutuhannya kepada Penciptanya Yang Mahakuasa.” (Bijak dan Bahagia, hlm. 66)

Sikap “senantiasa merasa benar” itu dapat membuat kita “tenggelam”. Ingatlah riwayat maut Qanaan, putra Nabi Nuh a.s. Dia berkata, “Aku akan naik ke puncak gunung [yang sebelumnya tak pernah kebanjiran], tempat yang dapat melindungiku dari air [yang membanjir] ini.” … Kemudian gelombang [tsunami setinggi gunung] itu memisahkan mereka, dan anak itu pun termasuk orang-orang yang tenggelam.” (QS Hūd [11]: 42-43)

Berada di “puncak gunung” memang nyaman. Namun, ini bisa membuat kita terlena. Hanya karena “tak pernah kebanjiran”, itu bukan berarti kita takkan “tenggelam” di puncak tersebut.


http://muhshodiq.wordpress.com/2008/05/02/perlukah-mempertimbangkan-lagi-bila-sudah-menempuh-jalan-lurus/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar