Ada baiknya sejenak kita tundukkan hati dan pikiran untuk merenungkan keagungan lailatul qadar. Lailatul qadar adalah peristiwa luar biasa dan penuh misteri. Banyak kejadian mahadahsyat yang berlangsung di malam itu. Salah satunya yang paling fenomenal adalah proses penurunan Al-Quran kepada Nabi Muahammad Saw.
Data-data teologis dan historis merekam kejadian itu (lihat misalnya QS. Al-Qadr [97]:1-5; QS. Ad-Dukhân [44]: 4-5), sehingga tak ada tempat bagi umat manusia untuk meragukan atau bahkan mendustakannya.
Kemahadahsyatan malam seribu bulan itu terlihat secara tekstual misalnya pada katalailatul qadr yang diulang sampai tiga kali dalam surat Al-Qadr. Karena status dan kedudukannya yang begitu agung, tak berlebihan bila Rasul Saw kerap memerintahkan kepada diri, keluarga dan umatnya agar selalu memperbanyak amal saleh dan ibadah pada malam itu.
عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر الأواخر شدَّ مئزره، وأحيا ليله، وأيقظ أهله. رواه البخاري مسلم
Dari Aisyah, ia berkata bahwa Nabi Saw ketika memasuki sepuluh malam terakhir [di bulan Ramadhan], beliau mengencangkan perutnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Apa yang dilakukan Rasul Saw ini menunjukkan betapa banyak hikmah dan rahasia di balik malam seribu bulan. Sehingga tidak saja dirinya yang diajak untuk menghidupkan sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, tapi juga keluarganya. Hanya saja daya tangkap atas rahasia dan hikmah itu tentu berbeda antara satu dengan yang lain, tergantung dari tingkat kejernihan pikiran dan kesucian hati seseorang.
Hikmah Kekinian Lailatul Qadar
Dalam konteks kekinian, sejatinya banyak hikmah, pesan dan pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa lailatul qadar.
Pertama, lailatul qadar mengajarkan kepada kita tentang pentingnya fungsi manajeman hidup yang -menurut Henri Fayol (1841–1925 M)- meliputi perencaan (planning), pengorganisasian (organizing), dan pengawasan (controlling) dan evaluasi (evaluating).
Pesan ini terinspirasi dari pemahaman atas makna dasar term lailatul al-Qadr yang berarti malam penentuan/ketetapan (takdir).
Menurut pemahaman ini, maka pada malam itulah Allah “merencanakan”, “mengorganisasikan”, “mengawasi” sekaligus “mengevaluasi” tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) serta hak seluruh umat manusia. Inilah kesan yang tersirat dari firman Allah;fîhâ yufraqu kullu amrin hakîm (di malam itu, dijelaskan [kepada malaikat] tiap-tiap perkara yang mengandung hikmah) (QS. Ad-Dukhan [44]: 4), dan kalimat min kulli amr (dari tiap-tiap perkara) dalam QS. Al-Qadr [97]: 4.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pesan pertama ini memberikan wejangan kepada para penguasa untuk mengatur bangsa ini secara serius dalam semua lini kehidupan; pendidikan, lapangan pekerjaan, kesehatan, keamanan dan kebudayaan.
Fungsi manajemen juga harus dilakukan dengan baik dan maksimal, tidak sekadar formalitas dan dalam konteks menghabiskan anggaran. Jika pesan pertama ini dilakukan dengan baik, niscaya huru-hara dan carut marut kehidupan berbangsa dan bernegara tidak akan pernah terjadi di negeri ini.
Kedua, mengatur (memanage) hidup harus dilakukan secara periodik –minimal setahun sekali- dan berkesinambungan. Pesan ini tersirat dari ayat tanazzalul malâ’ikatu (QS. Al-Qadr [97]: 3). Menurut para mufasir, bentuk asli kata tanazzalu (turun temurun) adalah tatanazzalu, namun huruf tâ’ yang pertama dibuang untuk memudahkan bacaan. Jika demikian, maka tatanazzaluadalah fi’il mudhâri’ (present continuous tense), yang dalam kaedah bahasa Arab mengandung makna kekinian (al-hâdhir) dan kontinuitas (al-istimrâr).
Dari pemahaman semacam ini, maka umat Islam dan seluruh lapisan bangsa, sejatinya diajak untuk terus serius dan komitmen mengatur kehidupan umat dan bangsa ini.
Ketiga, aturan, sistem dan manajemen yang ditetapkan harus berorientasi jangka panjang dan untuk kebaikan bersama. Ini adalah kesan dari ayat khairun min alfi syahrin (lebih baik dari seribu bulan) (QS. Al-Qadr [97]: 2). Jadi selama sistem yang digunakan masih berbasis pada kepentingan sesaat; kini-saat ini dan di sini, apalagi kepentingan kelompok dan orang perorang, maka sistem itu tidak akan membawa dampak signifikan bagi perbaikan kehidupan ini.
Keempat, peristiwa yang terjadi pada lailatul qadar –khususnya nuzulul Qur’an- mengajak kepada kita untuk me-nuzul-kan (menurunkan) Al-Qur’an ke dalam relung jiwa dan seluruh aspek kehidupan, baik pribadi maupun sosial kenegaraan. Kata anzalnâ di awal surat Al-Qadr -yang menggunakan diksi anzala, yang berbentuk fi’il mâdhî (past tense)- menunjukkan bahwa penurunan Al-Qur’an ke dalam diri manusia itu harus dilakukan secara totalitas dan sungguh-sungguh.
Dengan demikian, Al-Quran tidak lagi sekadar dirapal secara kuantitatif, tapi jauh di atas itu adalah bagaimana Al-Quran dapat berfungsi secara kualitatif pada hidup dan kehidupan ini. Berfungsi secara kualitatif mengandaikan pembacaan dan pengkajian yang begitu mendalam, kontinyu, terprogram dan pengejawantahan secara maksimal dalam keseharian.
Sementara me-nuzul-kan Al-Quran dalam konteks sosial kenegaraan berarti menjadikannya sebagai basis utama dalam menentukan regulasi dan kebijakan. Regulasi yang berbasis pada Al-Quran berarti regulasi yang pro rakyat, pro kepentingan bangsa, pro kaum dhu’afa, fakir miskin dan kaum marginal. Kebijakan yang Qur’ani berarti kebijakan yang berorienstasi dan mengedepankan nilai-nilai dasar, karakter dan jati diri kebangsaan, bukan pro asing, apalagi tunduk dan patuh pada keinginan mereka.
Kelima, peristiwa lailatul qadar juga mengajak kita untuk menyebarkan perdamaian dan kedamaian (salâm). Perdamaian dan kedamaian itu harus terus disebarkan umat Islam dan seluruh lapisan bangsa ini, hingga benar-benar mewujud dalam kehidupan seru sekalian alam. Secara sufistik, term hattâ mathla’il fajr (hingga terbit fajar) (QS. Al-Qadr [97]: 5) berarti hingga (perdamaian dan kedamaian) itu termanifestasi dalam seluruh semesta alam, bagi semua makhluk ciptaan Tuhan, tanpa melihat perberdaan latarbelakang dan status sosial.
Kata fajr di akhir ayat itu juga mengisyaratkan kedamian, kesejukan, keindahan dan kesentosaan. Carut marut kehidupan di berbagai belahan bumi Islam, khususnya di Indonesia belakangan ini, adalah bentuk penodaan terhadap visi salâm (perdamaian dan kedaiaman) yang dititahkan Tuhan dalam Al-Quran.
Dengan demikian, lailatul qadar bukanlah sekadar peristiwa biasa yang layak diperingati secara seremonial, tapi jauh di atas itu, lailatul qadar adalah peristiwa adiluhung dimana masa depan hidup dan kehidupan manusia ditentukan. Maka tak ada pilihan lain bagi kita semua, khususnya umat Islam Indonesia, kecuali menyebarkan perdamaian dan kedamaian di negeri ini. Tentu harus diawali dengan pemahaman yang mendalam dan semangat mencari serta mengisi malam lailatul qadar dengan amal saleh dan ibadah-ibadah individual maupun sosial. Wallahu A’lam.
by M. Ulinnuha Husnan, Asdir Program Pascasarjana STAINU Jakarta Kajian Islam Nusantara
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,50-id,60633-lang,id-c,esai-t,Hikmah+Terkini+Lailatul+Qadar-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar