JAKARTA. utang luar negeri Indonesia terus bertambah. Hingga jatuh tempo pada 2018-2019 mendatang, nominalnya diperkirakan mencapai Rp 810 triliun. Jumlah tersebut merupakan yang tertinggi jika dibandingkan beban pokok utang di tahun-tahun sebelumnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai jumlah utang Indonesia saat jatuh tempo tersebut sangat mungkin menjadi ancaman bagi pemerintah baru pada tahun 2019 mendatang. Alasannya, beban pembayaran pokok dan bunga utangnya menjadi semakin besar.
Pembayaran jatuh tempo utang akan jadi beban bagi APBN di pemerintahan yang baru. “Kalau terus dibiarkan pola utang yang tidak berkelanjutan akan merugikan keuangan negara di 2019 dan ke depannya," ungkapnya.
Menurut Bhima, apabila pola ini terus diterapkan, tidak menutup kemungkinan pada 2019 nanti, pokok utang Indonesia bisa di atas 3% dari PDB.
"Kalau sudah begitu, imbasnya banyak, mulai dari berkurangnya kredibilitas fiskal yang berakibat turunnya kepercayaan investor sampai ke ancaman crowding out alias rebutan likuiditas antara pemerintah dan pelaku pasar," jelas Bhima kepada KONTAN, Senin (3/7).
Apabila hal tersebut terjadi, untuk menutup jatuh tempo pembayaran utang, Bhima berpendapat, pemerintahan yang baru dari partai mana pun akan dipaksa untuk menerbitkan surat utang. Jika tidak dilakukan defisit menjadi semakin lebar. “Sekarang saja 2017 defisit jadi sekitar 2.6%, ungkapnya.
Menurut Bhima, salah satu hal yang dapat dilakukan pemerintah saat ini untuk meminimalisir ancaman penumpukan utang tersebut adalah dengan renegosiasi utang. Lewat renegosiasi, bunga dan tempo utang bisa diatur kembali.
"Kasus Argentina, salah satunya, bisa jadi contoh. Memang prosesnya lama tapi harus dimulai dari sekarang," katanya.
Di samping itu, pemerintah juga wajib menggenjot pendapatan negara. Bhima mengatakan, dari sisi penerimaan pajak harus dioptimalkan. Sehingga, kemampuan membayar utangnya menjadi lebih baik.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai jumlah utang Indonesia saat jatuh tempo tersebut sangat mungkin menjadi ancaman bagi pemerintah baru pada tahun 2019 mendatang. Alasannya, beban pembayaran pokok dan bunga utangnya menjadi semakin besar.
Pembayaran jatuh tempo utang akan jadi beban bagi APBN di pemerintahan yang baru. “Kalau terus dibiarkan pola utang yang tidak berkelanjutan akan merugikan keuangan negara di 2019 dan ke depannya," ungkapnya.
Menurut Bhima, apabila pola ini terus diterapkan, tidak menutup kemungkinan pada 2019 nanti, pokok utang Indonesia bisa di atas 3% dari PDB.
"Kalau sudah begitu, imbasnya banyak, mulai dari berkurangnya kredibilitas fiskal yang berakibat turunnya kepercayaan investor sampai ke ancaman crowding out alias rebutan likuiditas antara pemerintah dan pelaku pasar," jelas Bhima kepada KONTAN, Senin (3/7).
Apabila hal tersebut terjadi, untuk menutup jatuh tempo pembayaran utang, Bhima berpendapat, pemerintahan yang baru dari partai mana pun akan dipaksa untuk menerbitkan surat utang. Jika tidak dilakukan defisit menjadi semakin lebar. “Sekarang saja 2017 defisit jadi sekitar 2.6%, ungkapnya.
Menurut Bhima, salah satu hal yang dapat dilakukan pemerintah saat ini untuk meminimalisir ancaman penumpukan utang tersebut adalah dengan renegosiasi utang. Lewat renegosiasi, bunga dan tempo utang bisa diatur kembali.
"Kasus Argentina, salah satunya, bisa jadi contoh. Memang prosesnya lama tapi harus dimulai dari sekarang," katanya.
Di samping itu, pemerintah juga wajib menggenjot pendapatan negara. Bhima mengatakan, dari sisi penerimaan pajak harus dioptimalkan. Sehingga, kemampuan membayar utangnya menjadi lebih baik.
http://nasional.kontan.co.id/news/utang-jadi-ancaman-pemerintah-baru-di-2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar