Kamis, 23 Juli 2009
Akal Masa Depan
“The empires of the future will be the empires of the mind,” demikian prediksi Winston Churchill, PM Inggris pada Era Perang Dunia Kedua. Ketika dunia memasuki era ledakan informasi seperti saat ini, di mana dunia telekomunikasi dan informasi mencapai perkembangan yang luar biasa cepat, keunggulan pemikiran menjadi sangat vital. Pada stadium tertentu, menjadi lebih vital dari keunggulan materi.
Howard Gardner, profesor dari Universitas Harvard, menyodorkan sebuah perspektif menarik tentang peranan akal di masa depan. Dalam buku terbarunya, Five Minds for the Future, beliau memprediksikan bahwa lima jenis akal akan menjadi sangat diminati dan sangat berpengaruh di masa depan, paling tidak dalam 20 tahun ke depan, yaitu: disciplined mind, synthesising mind, creating mind, respectful mind and ethical mind.
Sebuah kenyataan besar menghantam kesadaran saya. Sejak memasuki milenium ketiga awal abad ini, saya sangat concern dengan studi keislaman dengan semangat perspektif masa depan. Hal yang tidak menggembirakan yang tampaknya harus saya sadari adalah bahwa hampir seluruh tulisan dan studi keislaman selalu mengarahkan teropong ke belakang, melihat masa lalu… Tidak salah sama sekali. Bahkan hukumnya fardhu. Menggali khazanah kebudayaan dan peradaban Islam masa lalu adalah modal untuk membangun masa depan. Tetapi persoalannya adalah modal khazanah keislaman itu ternyata belum menemukan proyeksi masa depan yang jelas.
Kajian umat Islam mengenai masa depan masih sangat minim. Padahal, ketika saya menulis tesis saya yang berjudul, Istisyroful Mustaqbal fil Qur’an was Sunnah (Perspektif Masa Depan dalam Bahasan al-Qur’an dan as-Sunnah), saya menemukan kekayaan yang luar biasa dalam teks-teks Qur’an dan Sunnah. Begitu melimpahnya, sampai saya sangat kesulitan membatasi tesis saya agar kurang dari 500 halaman. (Sampai saat ini saya masih dalam usaha meringkasnya sehingga penerbit tidak kesulitan dalam biaya percetakannya). Sebuah kenyataan yang membuktikan bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah memang entitas yang berasal dari luar kemampuan manusia yang terbatas. Keterbatasan umat Islam dalam memandang masa depan sama sekali tidak ada korelasinya dengan kekayaan informasi yang ada dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW.
Persoalannya adalah umat Islam selalu terjebak pada keagungan masa lalu sehingga terlena dari kewajiban membangun masa depan, atau terkungkung pada problema kekinian dan masalah-masalah harian sehingga tidak sempat berfikir tentang ufuk masa depan yang lebih jauh.
The Disciplinary Mind
Kembali ke buku Five Minds, tanpa melupakan perbedaan latar belakang penulis yang mendeskripsikan seluruh pembahasaannya berdasarkan kultur dan setting Amerika Serikat, kelima akal yang disodorkan profesor Gardner tersebut memang akal-akal yang sangat strategis dan berharga di setiap waktu dan keadaan.
Akal pertama yang beliau nominasikan adalah disciplined mind. Yang dimaksud dengan disciplined mind adalah, akal yang mahir menggunakan minimal satu cara berpikir (has mastered at least one way of thinking), yaitu akal yang menguasai spesialisasi tertentu secara sangat baik, akal yang terampil menggunakan disiplin ilmu tertentu. Latar belakang penulis yang berasal dari kalangan akademisi membuat beliau banyak menekankan pada disiplin-disiplin ilmu seperti, sains, matematika, sejarah juga kesenian. Meskipun beliau juga menyinggung keterampilan praktis (professional craft).
Orang-orang yang tidak memiliki spesialisasi atau terampil dalam hal-hal yang spesifik di masa kini dan masa datang mesti sangat tertinggal, dan akan sulit menemukan posisi yang terhormat. Mereka yang keahliannya di bidang IKIK (Ini Kagak Itu Kagak) akan semakin mendapatkan kesulitan untuk mengaktualisasi diri.
Bagaimanapun hal tersebut adalah kenyataan universal di semua komunitas. Akan tetapi di Dunia Ketiga, terjadi realitas yang menyedihkan, di mana bukan saja kemahiran dalam spesialisasi yang dibutuhkan tidak terpenuhi. Bahkan hal-hal esensial dan vital dalam masyarakat tidak banyak yang menguasai. Hal itu mendorong terjadinya kondisi-kondisi darurat di mana yang bukan ahlinya ‘terpaksa’ menutupi tuntutan realitas yang ada. Pada stadium yang lebih jauh kondisi tersebut menjadikan banyak urusan yang vital diserahkan kepada yang bukan ahlinya.
Warning dari Nabi Muhammad SAW begitu relevan pada konteks ini. Beliau bersabda,
إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ. رواه البخاري
“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat (kehancuran).” HR al-Bukhari
Betapa kita menyaksikan di Dunia Ketiga, dan umat Islam ada di dalamnya, tanggung jawab, posisi dan jabatan yang dipegang oleh orang yang kompetensinya sulit diandalkan. Hal seperti ini tidak boleh terus berlangsung. Kehancuran bangsa dan umat adalah harga yang mesti dibayar, jika keahlian dan kompetensi tidak menjadi barang yang mudah didapatkan.
Spesialisasi tidak melulu berkaitan dangan latar belakang pendidikan. Dia lebih terkait pada kemampuan dan kapasitas riil yang dihasilkan seseorang. Tidak semua yang lulus dari Fakultas Dakwah, misalnya, punya kapasitas dan kemampuan berdakwah jika yang bersangkutan tidak berperan aktif di dunia dakwah yang sebenarnya. Dan berapa banyak lulusan Fakultas Hukum yang tidak bisa berbuat apa-apa dalam masalah hukum, karena memang tidak concern dengan masalah-masalah hukum. Di sisi lain, ditemukan orang-orang yang sukses ketika menyeberang ke bidang lain. Minat, bakat, ketekunan, kesabaran dan keseriusan adalah modal sebenarnya untuk menguasai sebuah keahlian.
Di negara yang kultur ilmiah dan iklim profesionalisme belum matang, simpang siur spesialisasi menjadi hal yang sering terjadi. Ditambah dengan lapangan kerja yang tidak mudah didapat, seseorang harus dengan cepat mempelajari sesuatu yang diperlukan masyarakat. Yang paling cepat menguasai keahlian dan memenuhi tuntutan, dialah yang lebih dapat memantapkan perjalanan masa depannya.
Tidak semua keahlian dapat dengan mudah mendapatkan perhargaan masyarakat. Sehingga siapa pun yang memilih bidang berdasarkan minat dan concern semata, bukan berdasarkan permintaan pasar, perlu mengemas out put keahlian meraka dalam kemasan yang menarik minat masyarakat dan menyentuh kesadaran akan kebutuhan mereka terhadap produk tersebut. Terkadang beberapa keahlian tertentu perlu waktu lebih panjang agar masyarakat menyadari nilainya, dan akhirnya memberikan penghargaan yang layak. Meskipun sebenarnya penghargaan masyarakat tidak selalu mencerminkan nilai sebuah keahlian yang sebenarnya. Banyak keahlian dan karya yang bermanfat dan berharga yang belum mendapatkan perhargaan yang layak dari masyarakat.
Howard Gardner menulis Five Minds-nya sekitar tahun 2006, sebelum krisis keuangan melanda Amerika. Saya kira, meskipun disciplined mind tetap diminati, tetapi dengan sempitnya kesempatan kerja di AS sekarang ini, masyarakat AS, terutama lapisan menengah ke bawah, tidak semuanya dapat dengan mudah mengembangkan diri dalam satu garis spesialisasi. Sesuatu yang dalam kadar lebih tinggi, terjadi di Dunia Ketiga.
Tetapi bagaimanapun kondisinya, keahlian, kapasitas, kompetensi dan spesialisasi di masa datang adalah kartu yang wajib dipegang.
Secara khusus, sebagai umat Islam, kita perlu menekankan hal tersebut. Karena umat Islam saat ini, sedang dalam tahap membangun sebuah era baru, di mana pelaksanaan ajaran agama Islam sudah menuntut adanya keahlian dan spesialisasi. Ambil ekonomi Islam sebagai contoh. Di masa datang, sangat dituntut ahl-ahli fiqh yang disamping penguasaan terhadap dalil-dalil diharuskan, dituntut juga penguasaan terhadap ilmu ekonomi. Para ahli ekonomi juga perlu mendapatkan penguasaan yang baik terhadap ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi.
Di dunia dakwah, tuntutan spesialisasi juga sangat penting. Akan terjadi kekacauan yang sangat rumit jika para juru dakwah yang tampil di masyarakat, hanya berbekal pengetahuan sederhana tentang beberapa ayat dan hapalan yang minim dari beberapa hadits, ditambah ketidaktahuan dalam masalah-masalah fiqh. Kebutuhan masyarakat terhadap agama di masa depan semakin komplek, sehingga para aktivis dakwah perlu menambah kapasitas pengetahuannya. Diriwayatkan bahwa Hasan al-Bashri berkata, “Seseorang tetap menjadi ‘alim’ selama dia terus belajar. Ketika dia merasa telah menjadi ‘alim’ maka dia sudah menjadi jahil.”
Lebih jauh bahkan Imam Syafi’I menyimpulkan bahwa kematangan akal justru mengantarkan pada kesadaran pada kekurangan akal itu sendiri. Beliau berkata dalam sya’irnya:
كلـما أدبني الـدهر أراني نقص عقلـي
أو أراني ازددت علما زادني علمي بجهلي
Setiap kali jaman mengajariku,
dia memperlihatkan kekurangan akalku
Atau ketika aku merasa bertambah ilmuku,
Bertambahlah pengetahuan tentang kebodohanku
Di sisi lain, diharapkan dari lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga dakwah Islam agar memperhatikan tuntutan masa depan ini. Agar mereka membuka program-program yang mempermudah para aktivis dakwah untuk mendalam spesialisasi yang dibutuhkan seperti ilmu fiqh, ilmu hadits dan keterampilan bahasa Arab. Dan saya mengusulkan agar digalakkan daurah-daurah dengan tema spesifik, seperti daurah Ilmu Fiqh, daurah Ilmu Hadits, dan seterusnya. Dan sebaiknya dirancang bertingkat, mulai tingkat dasar, menengah sampai tingkat ahli. Bahkan daurah-daurah untuk spesialisasi seperti ilmu politik, ekonomi, komunikasi dan jurnalistik juga penting diadakan. Lebih ideal lagi kala hal itu semua terintegrasi dalam sistem long live education, di mana setiap aktivis dakwah dapat selalu memperdalam keilmuannya tanpa dihalangi oleh sekat-sekat pendidikan formal.
The Synthesizing Mind… kemudian the Constructing Mind
Yang dimaksud dengan synthesizing mind adalah akal yang mengambil informasi dari berbagai sumber dan meletakkannya sesuai dengan suatu kesatuan dan komposisi yang dirasakan bermanfaat atau menarik. Di era di mana informasi begitu berlimpah dan mudah didapatkan, pendapat, sikap dan kejadian banyak diungkap. Dalam kondisi seperti ini, kemampuan membuat sintesa yang bijak dan cerdas adalah kemampuan yang sangat berharga. Hemat saya, untuk kondisi Indonesia akal seperti ini menempati ranking pertama sebagai akal yang paling dibutuhkan bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia sekarang sudah menjadi bangsa yang kritis, dan terbiasa menganalisa. Bagaimanapun kualitas analisa tersebut, tidak akan menjadi sebuah konklusi yang bermanfaat apabila tidak menghasilkan sintesa yang adil dan bijak. Variasi pendapat bahkan kontradiksi sikap sebenarnya dapat menjadi bahan yang cukup baik untuk mendapatkan sintesa-sintesa dan solusi-solusi bersama.
Yang menjadi persoalan umum adalah bahwa kita lebih sering mengkritik atau sekedar menganalisa tanpa dapat menghasilkan sesuatu yang akhirnya bermanfaat untuk kepetingan bersama. Seringkala fanatisme, kepentingan atau sikap-sikap emosional tertentu mengalihkan kita dari tindakan-tindakan atau pikiran-pikiran yang lebih produktif. Sepuluh tahun terakhir bangsa Indonesia hampir-hampir tidak menemukan sebuah masalah yang tidak diperdebatkan.
Synthesizing Mind berarti kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru dari berbagai informasi, pengetahuan, penemuan, ataupun karya seni di mana pun dan dari siapa pun. Tetapi saya melihat bangsa kita, tanpa mengurangi nilai penting synthesising mind, memerlukan sesuatu yang lebih maju dari synthesizing mind. Hemat saya, bangsa ini amat sangat membutuhkan constructing mind. Akal yang selalu bekerja mengkonstruksi hal-hal yang kita perlukan. Kita perlu banyak ide-ide konstruktif yang matang.
Saya perlu berterus terang bahwa saya sangat kecewa mengikuti pandangan tokoh-tokoh politik kita yang selalu bersemangat mengkritik bahkan mengecam kebijakan-kebijakan yang ada, sementara ketika dikejar lebih jauh, ternyata mereka juga tidak mempunya ide-ide alternatif yang matang. Mereka fasih berkata ini salah, itu salah. Tetapi mereka tidak pernah tuntas ketika harus bicara bagaimana yang benar.
Saya rasa harus dibangun iklim baru dalam berpikir dan berpendapat. Euphoria kebebasan sudah mengantarkan anak bangsa ini pada keberanian mengemukakan pendapat yang berbeda. Untuk dapat mewujudkan sesuatu yang berarti, kita tidak bisa berpikir setengah-setengah. Kita memerlukan gambaran atau minimal imajinasi yang cukup lengkap, dari mana pangkalnya dan ke mana ujungnya; apa kita inginkan dan bagaimana sarananya.
Berpikir konstruktif selain lawan dari berpikir destruktif, juga lawan dari berpikir kabur. Betapa banyak orang yang panjang lebar mampu bercerita tentang persoalan bangsa ini. Tetapi ketika diminta bicara tentang solusi dan konsep pembangunan terpadu, tidak kita temukan satupun mampu bicara dengan fasih.
Dalam berpikir konstruktif memerlukan imajinasi yang kaya, serta optimisme yang cukup. Kita tidak dapat mengkonstruksi konsep masa depan kita jika tidak terjadi percakapan yang intens antara optimisme dan imajinasi. Optimisme mengajak untuk membangun masa depan, sedangkan imajinasi memberikan ilustrasi praktis dan alternatif-alternatif.
Constructing mind juga memerlukan kelapangan dada, karena sering kali solusi yang kita perlukan ada pada ide orang-orang yang tidak kita setujui. Constructing mind berarti menjadikan keragaman sebagai modal, dan bukan persoalan. Tetapi constructing mind juga memerlukan keberanian untuk membuang hal-hal yang tidak bermanfaat. Tetapi itu semua harus terjadi dalam proses yang rasional dan ilmiah.
Creating Mind, Creative Mind
Mencipta, berkarya, berinovasi, berinisiatif, dan proaktif… Kata-kata yang begitu banyak memberikan harapan dan membuka jalan. Betapa berkahnya sebuah bangsa yang dipenuhi dengan akal-akal kreatif, tangan-tangan penuh karya, dan jiwa-jiwa inovatif. Creating mind akan menjadi akal yang memimpin di mana saja, terutama di masa ketika sebuah bangsa giat membangun dirinya.
Ketika menulis artikel ini, di kepala saya berseliweran sinyal-sinyal dari sembarang nukleus-nukleus yang nongkrong di otak saya. Cukup membingungkan mana yang harus saya tulis dulu. Materi ini begitu menggairahkan. Tetapi juga cukup rumit dan sangat bercabang. Banyak hal yang perlu dibicarakan; tentang nilai kreatifitas, bagaimana mendorong kreatifitas, ruang-ruang kreatifitas, prioritas-prioritas, batasan-batasan, dlll.
Tetapi saya harus memilih untuk membatasi artikel ini hanya sebagai stimulan bagi kita semua untuk membangun akal kita menjadi akal yang efektif dan unggul di masa depan. Hanya stimulan, dan jangan dijadikan patokan final. Dan untuk tema kreatifitas memang tidak ada dan tidak boleh ada kata final. Apalagi kita yang hidup dan tumbuh di Dunia Timur, yang cenderung serba konservatif. Orang-orang terbiasa meniru tidak mencipta. Senang mengekor dan tidak mampu memimpin.
Mengapa kreatifitas penting? Dan bahkan wajib? Karena kita hidup di jaman di mana perkembangan teknologi, derasnya arus informasi dan dinamisnya perkembangan dunia. Bangsa mana pun yang tidak berinovasi pasti akan menjadi ekor.
Apa masalahnya menjadi ekor? (Sebagian kita masih ada yang merasa tidak bermasalah mencukupkan diri dengan hanya mengikuti perkembangan jaman, mengikuti mode, dan menjadi pengikut setia budaya Barat). Jawabannya bisa panjang. Tapi masalah yang paling fatal adalah kita akan selalu menjadi korban kesalahan orang lain. Salah satu contohnya adalah pemanasan global. Negara yang paling banyak memproduksi gas CO2 adalah Amerika. Tetapi yang paling dirugikan dari global warming justru negara-negara dunia ketiga. Masalah lain dari posisi ekor adalah kita selalu dipecundangi dalam percaturan dunia. Contoh paling dekat adalah sumber daya alam kita yang dikelola perusahaan-perusahaan asing karena ketertinggalan teknologi kita. Negara kita kaya kekayaannya sebagian besar lari keluar, karena kita memposisikan diri sebagai ekor.
Bangsa Indonesia perlu akal-akal cerdas dan kreatif. Generasi muda jangan puas hanya dengan mampu menguasai teori-teori modern. Kepuasan kita haruslah dengan kemampuan menciptakan sesuatu yang baru yang minimal selangkah lebih maju. Jangan ada anggapan bahwa bangsa lain lebih hebat. Otak yang Allah berikan kepada kita sama dengan otak bangsa lain. Yang berbeda adalah cara menggunakannya. Ketika kita mampu menggunakan otak kita lebih baik dari orang lain, kita pasti akan lebih unggul. Yang membaca lebih banyak akan lebih banyak tahu. Yang lebih pandai memilih bacaan akan lebih cerdas. Dan yang lebih kritis terhadap apa yang dibaca akan lebih kreatif.
Kreatifitas bukan asbed (asal beda). Kreatifitas harus dimulai dari penghargaan terhadap karya-karya berharga. Yang tidak mampu menghargai karya-karya besar tidak akan menghasilkan karya besar.
Seringkali kreatifitas menghadapi tantangan sikap-sikap konservatif. Itu hal yang wajar. Karya kreatif harus membuktikan keunggulannya terhadap karya-karya konservatif, karena barangkali yang konservatif masih lebih baik. Dalam kondisi ini karya kreatif memiliki banyak pilihan. Pilihan pertama mundur selangkah untuk maju beberapa langkah, dengan mengkoreksi dan memperbaiki diri. Pilihan kedua menghindari konfrontasi dengan membuat pasar tersendiri yang masih kosong. Pilihan ketiga berkompetisi. Pilihan keempat bersinergi. Dan masih ada seribu satu pilihan-pilihan lain selain berhenti dari berkreasi.
The Respectful Mind
Akal yang mampu respek dan menghargai pihak lain. Akal ini begitu penting di masa depan karena kehidupan dan indentitas manusia akan semakin komplek. Tanpa mampu memberikan respek terhadap perbedaan yang terjadi pasti akan berupa konflik.
Setengah abad pertama dari abad dua puluh yang lalu dunia menyaksikan alam yang penuh konflik berdarah. Semuanya berakar pada akal-akal yang tidak mampu menghargai perbedaan. Bangsa-bangsa Eropa dengan kesombongannya tidak menghargai kemanusiaan bangsa-bangsa Timur, sehingga mereka merasa berhak menjajah bangsa lain. Penyakit yang lebih parah kemudian menjangkiti bangsa Jerman yang merasa lebih baik, bahkan di atas bangsa Eropa tetangganya, lalu merasa sah untuk menguasai semuanya. Setelah saling menghancurkan, semuanya kapok. Tetapi muncul penyakit lain yang tadinya laten, yaitu bangsa Yahudi. Muncul sebagai kekuatan ekonomi non geografis dan lobi-lobi politik internasional, bangsa ini bukan hanya mendikte kepala para politikus Barat, tetapi juga memaksa mereka mengasihani bangsa itu dengan membuat negara apatheid baru di Palestina. Menebus kezhaliman dengan kezhaliman baru.
Howard Gardner berasal dari keluarga Yahudi Jerman, di samping beliau mengalami kekejaman Nazi terhadap bangsa Yahudi, beliau juga mengakui fanatisme bangsa Yahudi juga problem serius. Khazanah nilai beliau tidak cukup kaya untuk memberikan nilai yang cukup tinggi terhadap respectful mind sebagaimana seharusnya. Meskipun beliau sangat menghargai respectful mind, beliau tidak bisa menunjukkan akar ideologis yang cukup untuk akal yang terhormat ini. Apa iya?
Bagi mereka yang hanya membaca karya-karya dari Barat tentang kemanusiaan, mungkin sulit untuk menerima penilaian saya ini. Tetapi bagi yang mempelajari al-Qur’an dan sajarah hidup Nabi Muhammad SAW, semua tesis Barat tentang kemanusiaan menjadi begitu dangkaldan kerdil. Perhatikan teks deklarasi berikut yang memuat tentang kesamaan semua manusia: We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty and the pursuit of Happiness.
Deklarasi tersebut menyatakan bahwa persamaan derajat manusia adalah pemberian dari Tuhan. Sebuah prestasi yang luar biasa bagi pemikiran kemanusiaan. Tetapi apa legitimasinya? Terutama mereka menyandarkan persamaan tersebut kepada Tuhan. Saya teringat dengan pidato Obama di Universitas Kairo dua bulan yang lalu. Beliau menyatakan bahwa semua agama menyatakan bahwa manusia diciptakan sederajat. Beliau lalu berusaha mendukung pernyataannya tersebut dengan teks kitab-kitab suci. Tetapi beliau hanya mampu menyebutkan ayat al-Qur’an (yaitu surat al-Hujurat ayat 13).
Beliau menyebut bahwa agama Yahudi dan juga Masehi memiliki prinsip yang sama, tanpa bisa menyebutkan satu teks pun dari Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru. Saya tentu saja tidak ingin mengatakan bahwa agama lain tidak mengakui persamaan derajat manusia. Saya yakin seluruh pemeluk agama mesti menyatakan hal yang sama. Tetapi akar persamaan derajat yang paling tegas adalah agama Islam. Kalau bukan khawatir tulisan ini jadi terlalu panjang, bisa saya sebut rentetan ayat Qur’an dan hadits-hadits Nabi Muhammad yang secara eksplisit menyatakan persamaan derajat manusia.
Sebagai orang yang beriman kepada al-Qur’an sejatinya umat Islam adalah umat yang paling dapat menghormati umat lain. Dan orang Islam sejatinya adalah orang yang paling baik memberikan penghargaan kepada orang lain. Setiap muslim tahu betapa Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk berbuat baik kepada tetangga, kepada tamu; menyebarkan salam kepada semua orang; berbuat baik kepada siapa pun termasuk orang non muslim. Hal ini mengantarkan kita kepada kesimpula bahwa orang yang beragama Islam secara baik dalam pergaulan akan lebih mendapatkan tempat di masa kini dan masa datang.
Kecenderungan konflik bukanlah kecenderungan yang dipilih di masa depan. (Walaupun konflik tetap akan ada kapan pun, tetapi dalam waktu dekat bukan pilihan populer). Fenomena Obama menunjukkan bahwa secara umum dunia lebih memilih berdamai dibanding berkonflik. Tesis Samuel Huntington dan Fransisco Fukuyama yang memprediksi bahwa dua puluh tahun terakhir akan menjadi ajang pertempuran dua peradaban besar yaitu Islam dan Barat, tidak menguat. Tesis itu dipercaya oleh Bush dan pendukungnya. Tetapi ternyata tidak bertahan lama. Munculnya kekuatan baru seperti Cina, Rusia dan India melemahkan orientasi tersebut.
Meskipun saya tidak mengatakan bahwa kita tidak perlu memiliki kekuatan dan kesiapan berperang, tetapi saya melihat prioritas dua puluh tahun ke depan bukanlah bagaimana unggul dalam konflik. Tetapi bagaimana kita menjadi terhormat dengan menghormati orang lain, tanpa menjadi lemah dan tidak memiliki kesiapan mempertahankan kepentingan dan kehormatan.
Dalam konteks berbangsa, keunggulan di masa depan dan kepemimpinan akan berada di tangan orang yang paling mampu memberikan harga diri kemanusiaan bangsa.
By Fahmi Islam Jiwanto, mengenyam pendidikan dasar sampai menengah di Indonesia, kemudian melanjutkan studi ke Universitas Islam Madinah, hingga menyelesaikan S1 fakultas Syariah, kemudian menimba ilmu dari ulama Azhar Mesir. Dilanjutkan dengan merantau ke negeri Yaman, hingga mendapatkan “Syahadah Masy-yakhoh” (disejajarkan dengan magister) dari Universitas al-Iman. Saat ini yang bersangkutan sedang menyelesaikan program S3 di Maroko.
[1] “Imperium masa depan akan berupa Imperium Akal”
[2] Bagi pembaca yang memahami bahasa Arab, silahkan membaca konten sebagian tesis saya dalam blog saya: afaqmostaqbal.wordpress.com. Insya Allah secara bertahap semua kontennya dapat dimuat.
Perkembangan terakhir, Islam On Line memberitakan banyak para pimpinan dan direktur-direktur bank-bank yang kehilangan pekerjaan mereka karena bank-bank mereka bangkrut. Mereka mengajukan lamaran kerja ke CIA untuk menjadi agen.
[3] Kami memegang teguh hakekat-hakekat berikut yang aksiomatis, bahwa setiap manusia diciptakan sejajar, yang mana mereka dapatkan hal itu dari Sang Pencipta bersama hak-hak yang tidak dapat diganggu gugat, di antarnya adalah hak hidup, kemerdekaan dan hak mencari kebahagiaan.
[4] Saya punya dugaan kuat bahwa Deklarasi yang dikonsep oleh Thomas Jefferson itu, terinspirasi oleh al-Qur’an karena Thomas Jefferson satu-satunya presiden AS yang memiliki dan menyimpan baik mushhaf al-Qur’an dan masih tersimpan baik sampai sekarang.
Lentera Hidup, Agar Akal dan Hati Terus Bersinar
Copyright © 2009 Lentera Hidup
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
salam kenal, semoga kita bisa berhubungan, nomer hp saya, 085235807140, salam keberakalan Guntur Bisowarno S.Si., Apt
BalasHapussalam kenal, semoga kita bisa berhubungan, nomer hp saya, 085235807140, salam keberakalan Guntur Bisowarno S.Si., Apt
BalasHapus