Jumat, 28 Agustus 2009

Budaya Betawi, Kapan Terangkat ?





Kompas/Riza Fathoni
Tarian Nyai Kembang, salah satu tarian khas Betawi.







BEBERAPA waktu lalu, Warta Kota sudah menyinggung beberapa kesenian yang pernah memberi warna pada Batavia. Sebut saja Keroncong Batavia, Wayang Senggol, dan Ubruk. Mempertanyakan bagaimana bisa, folklor Betawi tak pernah terangkat lagi. Tentu saja yang tersebut di atas tak seberapa, karena sebagai kota, Batavia yang berkembang hingga Jakarta ini mewariskan berbagai jenis kebudayaan. Kekayaan yang tak akan habis digali, kemudian dikelola, dipertahankan, diperkenalkan kembali pada khalayak, kepada generasi penerus.

Berbagai jenis warisan tak berwujud itu (intangible), jika disadari dengan sepenuh hati oleh pihak berwenang, merupakan kekayaan dan kekuatan Jakarta dalam rangka menemukan kembali akarnya, kemudian mengangkat kembali semua yang terlupakan, semua yang nyaris mati obor bahkan yang sudah benar-benar tertelan oleh apa yang disebut pembangunan dan perkembangan kota.

Upaya mencak kaki (mencari sesuatu yang hilang) sudah tak bisa lagi ditunda dengan alasan apapun jika warga dan pemerintah tak mau disebut sebagai warga yang "kosong", warga yang tak lagi mengenal keterikatannya dengan budaya asli Jakarta - kita menyebutnya sebagi budaya Betawi. Lantas tanggungjawab siapakah urusan keberlangsungan folklor Betawi? Biasanya, saling tunjuk hidung akan mulai terjadi begitu pihak terkait merasa tersinggung.

Tepat sekali, ini tanggungjawab pemerintah, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta, tentu saja bersama DPRD DKI sebagai pihak yang biasanya menentukan anggaran tanpa memahami makna sebuah program. Sehingga jika menurut mereka tidak penting buat mereka, bukan buat warga, maka dicoretlah usulan yang datang.

Di bulan peringatan dan perayaan 482 tahun yang lalu embrio Jakarta mulai terbentuk, yang jatuh pada Juni ini, agaknya Pemprov DKI masih saja tak peka akan hal ini. Dalam kegiatan HUT Jakarta pun, tipis sekali peringatan akan ke-Jakartaan- itu sendiri. Perayaaan hari jadi Jakarta hendaknya lebih memperlihatkan, mempertontonkan, memperkenalkan, merayakan berbagai warisan budaya yang menjadikan Jakarta seperti sekarang ini. Lebih semacam introspeksi, ya sebuah perayaan instrospeksi tentang arah Jakarta selanjutnya berkaca dari masa lampau.

Pameran budaya Betawi seperti sulit mendapat tempat. Seingat Warta Kota di tahun 2007 ada program dari Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI yang patut diacungi jempol sebagai upaya mengangkat budaya Betawi - yang seringkali dilirik sebelah mata. Sebuah pergelaran Komedi Betawi digelar di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), sebuah tempat pergelaran yang biasanya hanya menampilkan kesenian dari kebudayaan Eropa atau pergelaran yang dinilai sebagai seni yang punya kasta tinggi (high art). Angka pergelaran yang pelit itu malah makin tak ada di tahun 2008 demikian pula di tahun ini, belum terdengar rencana pergelaran itu di GKJ.

Siapa yang bisa memberi jawab pada khalayak atas pertanyaan, bagaimana lenong terbentuk, bagaimana prosa rakyat Betawi berkembang - kisah tentang Jampang, Pitung, Singa Betina dari Marunda, Tuan Tanah Kedawung, Macan Kemayoran, dll; bagaimana Ubruk, Wayang Senggol, atau Ledek Batavia berkembang, pengaruh mana yang masuk di dalamnya, seperti apa bentuknya? Sebuah penyia-nyiaan budaya yang tak hanya bisa dijual tapi juga jadi bahan penelitian lebih lanjut.

WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

Sabtu, 13 Juni 2009 | 15:10 WIB

http://www.kompas.com/readkotatua/xml/2009/06/13/15100716/budaya.betawi.kapan.terangkat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar