Minggu, 30 Agustus 2009

Modernitas


DI kesunyian Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer menonton wayang. Atau ia memperhatikan orang menonton wayang.

Saya bayangkan malam itu. Di koloni tahanan politik itu, di sepetak lapangan, layar dipasang dan batang pisang dibaringkan. Deretan wayang kulit tertancap. Sebuah blencong (atau bola lampu 100 watt?) menyala di atasnya.

Orang berkerumun. Juga prajurit yang berjaga. Dalang siap, tanpa beskap, tanpa keris. Para pangrawit mulai memainkan gamelan yang seadanya. Dan semua orang tahu, di balik kebersahajaan itu ada ambisi dan proses kerja yang luar biasa: di pengasingan itu para tahanan menatah sendiri wayang mereka dari kulit sapi yang mereka ternakkan, dengan pahat kecil yang diraut dari besi sisa peralatan. Selebihnya: imajinasi.

Saya tak tahu apa lakonnya. Tapi Pramoedya tak begitu bergembira.

Di catatan di Pulau Buru bertanggal akhir Januari 1973, yang dimuat dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid I, ia anggap wayang—juga gamelan dan tembang—”membawa orang tertelan oleh dunia ilusi yang menghentikan segala gerak….”

Bagi Pramoedya, dalam wayang, kahyangan terlampau dominan. Padahal manusia-lah yang harus mengambil peran, bukan para dewa:

Jam tujuh pagi baru selesai: tancep kayon.

Pukulan gong penghabisan. Selesai segala-galanya!

Para dewa, brahmana dan satria kembali masuk ke

kampus ki dalang. Akal dan perasaan bertambah

jenuh dengan pengalaman ulang. Dengan bersinarnya

matahari kembali terhalau para dewa, brahmana dan

satria dalam perspektif bentuknya sendiri.


Lakon memang tak layak dilanjutkan. Khayal wayang ”memukau, memesonakan, mensihir, mematikan kesadaran, mematikan akal, membebalkan”. Dan setelah itu tak ada pembebasan.

Seorang buruh tani yang ikut menonton mungkin akan masygul seandainya tahu pandangan sastrawan besar itu. Tapi Pramoedya tak sendiri; ia seperti lazimnya cendekiawan Indonesia yang tumbuh ketika gagasan kemajuan dan emansipasi sosial (dengan Marxisme) bergema keras bersama cita-cita kemerdekaan nasional.

Pada 1943, Tan Malaka juga mencemooh cerita Sri Rama. Baginya, telah tiba zaman yang mengharuskan bangsanya memasuki dunia ilmu empiris (”Ilmu Bukti”). Tan Malaka menganggap kisah anak panah Sri Rama ”yang bisa menjelma jadi Naga” hanya ”menggelikan hati”. Bahkan bisa membuat marah. Sebab,

”…kepercayaan pada kesaktian semacam itu,

yang bisa diperoleh manusia, pada urat akarnya

memadamkan semua hasrat dan minat terhadap

Ilmu Bukti.”


Tan Malaka berseru untuk teknologi. ”Ciptakan teropong 100 inci,” katanya dalam Madilog, ”yang bisa melihat kesemua penjuru alam 500.000.000 tahun sinar jauhnya…!”

Kini, 2009, kita bisa sedikit mengejek iman yang begitu kuat kepada modernitas itu. Pramoedya dan Tan Malaka begitu saja menyamakan imajinasi dengan takhayul yang meremehkan rasionalitas. Seakan-akan sejarah tak dibangun juga oleh kerja dan fantasi penatah wayang, energi dalang yang berkisah, hasrat tubuh dan kesepian, yang membuat riwayat manusia dari abad ke abad tak lurus, tak tunggal, tak konsisten—tapi juga selalu bisa tak terduga-duga, tak pernah kering.

Di Indonesia yang ingin meninggalkan ”keterbelakangan”, sikap Pramoedya dan Tan Malaka sikap yang lumrah. Mereka tak mengalami sebuah situasi ketika ”kemajuan” justru tampak sebagai gerak yang merusak dan meninggalkan unggunan puing, seperti dalam gambaran ”Malaikat Sejarah” Walter Benjamin.

Benjamin, yang bunuh diri di Eropa menjelang Perang Dunia II, menyaksikan modernitas yang muram: hidup yang melangkah dengan blueprint dan perhitungan, akal yang hanya jadi instrumen untuk menaklukkan alam & dunia kehidupan.

Dengan itu prestasi modernitas memang dahsyat. Tapi orang bisa juga melihatnya sebagai progresi ke arah hidup yang bak disekap ”kerangkeng besi”, tunduk kepada kalkulasi dan tuntutan efisiensi.

Kaum kiri menganggap semua ini akibat kapitalisme. Mereka benar. Tapi kaum Marxis-Leninis kemudian juga ikut pola ”kemajuan” itu: mereka ubah waktu jadi ruas-ruas homogen dan terukur. ”Rencana Lima Tahun” dilaksanakan dengan gemuruh. Mereka bentang ruang jadi bidang yang abstrak agar bisa diformat apa saja. Akal ditentukan oleh hasil, bahkan seni dan imajinasi harus ikut rancangan. Masyarakat sosialis dibangun bagaikan alam semesta dijadikan dalam Genesis baru—tapi bersama itu, sebuah ”kerangkeng besi” mengungkung semuanya.

Kritik kepada modernitas berangkat dari sini. Bahkan sejak dua abad sebelumnya. ”Postmodernisme” hanya memberinya tenaga baru. Tapi sementara kritik ini dimamah-biak berkali-kali, dengan kutipan dari Benjamin atau Adorno, Derrida atau Foucault, belum ada yang menjawab: bisakah kita mengalahkan dorongan yang melahirkan modernitas ala Eropa itu—yang menjanjikan kemajuan yang mempesona, meskipun gawat?

Jangan-jangan riwayat manusia tak bisa mengelakkan itu. Jangan-jangan yang bisa dilakukan hanya memulihkan kembali pengalaman sebagai sesuatu yang utuh dan berdegup—seperti ketika kita membaca puisi—dan menebusnya sejenak dari cengkeraman rasionalitas sang penakluk.

Atau kita bekerja tanpa ilusi bisa lepas dari arus keras modernitas, namun terus dengan (dalam kata-kata Benjamin) ”daya messianik yang lemah”, schwache messianische Kraft. Di sana kita sesekali menemukan harapan pembebasan, dan kita pun berjuang kembali, meskipun tak bisa selamanya kukuh….

Dan kita pun pergi menonton wayang, menemui Karna yang terbelah, Kunti yang tak setia tapi ibu yang teguh, Bhisma yang membuang Amba tapi berbuat sesuatu yang luhur: serpihan kisah penebusan, ketika Messiah tak juga datang. Meskipun Pramoedya tak menyukainya.

Goenawan Mohamad

Senin, 31 Agustus 2009

http://www.tempointeraktif.com/hg/caping//2009/08/31/mbm.20090831.CTP131282.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar