Senin, 10 Agustus 2009

LENTERA HATI



Allah adalah pemberi cahaya alam raya ini. Cahaya segala sesuatu di alam raya ini bersumber dari-Nya. Karena segala sesuatu yang dikaitkan dengan Allah selalu identik dengan "kebaikan", maka upaya mendapatkan cahaya-Nya adalah melalui kebaikan (amal shaleh).

Apabila kita merujuk kepada al-Qur’an salah satu ayat yang berbicara menyangkut tema lentera hati adalah firman Allah: Allâhu nûr as-samâwâti wa al-ardh, matsalu nûrihî ka misykâtin fîhâ mishbâh, al-mishbâhu fî zujâjah az-zujâjatu ka annahâ kawkabun durriyyun yûqadu min syajaratin mubârakatin zaytûnatin lâ syarqiyyatin wa lâ gharbiyyah, yakâdu zaytuhâ yudhî’u wa law lam tamsashu nâr, nûrun alâ nûr, yahdil-lâhu li nûrihî man yasyâ’u



Allah adalah pemberi cahaya alam raya ini
, langit dan bumi, semua cahaya, semua lampu, semua penerang yang ada ini, bersumber dari-Nya. Dialah yang memberikan cahaya itu. Karena itu, di dalam al-Qur’an kata nûr (cahaya) selalu berbentuk tunggal. Berbeda dengan zhulumât yakni kegelapan yang berbentuk jamak, karena kegelapan itu sumbernya bermacam-macam; bisa dari hawa nafsu, setan, lingkungan yang buruk, dan lain sebagainya. Tetapi, kalau nûr (cahaya) hanya bersumber dari Allah Swt. Siapa yang tidak mendapat cahaya dari Allah, maka famâ lahû min nûr (dia tidak mendapat cahaya sama sekali).



Cahaya menjadikan mata kita menjadi mampu melihat, tetapi ada juga orang yang matanya rabun dan buta tetapi bisa melihat, yaitu dengan hatinya. Hati kita juga dipenuhi cahaya-Nya. Ada hati yang tidak punya cahaya, itulah hati yang buta, sebagaimana disebutkan firman Allah swt.: Fa innahâ lâ ta‘mâ al-abshâr walâkin ta‘mâ al-qulûb al-ladzî fî ash-shudûr (bukanlah yang buta itu mata kepala tetapi yang buta itu mata hati yang berada di dalam dada).

Ada orang yang buta mata kepalanya tetapi mata hatinya tidak buta, ada juga orang yang melek matanya tetapi mata hatinya yang buta. Hati atau kalbu memerlukan penerang. Ada orang yang berkata bahwa, “bisikan hati itu selalu benar.” Ungkapan ini tidak sepenuhnya benar, karena ada bisikan hati yang bersumber dari setan, ada bisikan hati yang bersumber dari hawa nafsu, sebagaimana ada pula bisikan hati yang bersumber dari malaikat. Kalau bisikan ini bersumber dari nafsu atau setan, maka niscaya itu bisikan kepada kejahatan, sedangkan malaikat diciptakan dari cahaya, karena itu ajakan malaikat selalu menuju kepada kebaikan.

Ayat yang saya bacakan tadi menggambarkan bahwa cahaya lampu dengan cahaya manusia, apalagi jika dibandingkan dengan cahaya Allah, berbeda-beda kualitasnya masing-masing. Cahaya manusia yang ada di dalam hatinya tidak ubahnya seperti bohlam-bohlam, ada yang 10 watt, ada yang 100 watt, ada yang 1000 watt, ada juga orang yang lampu di dalam hatinya itu bukan listrik, akan tetapi boleh jadi lilin.

Allah memberikan perumpamaan tentang petunjuk-Nya yang merupakan lentera hati itu dengan firman-Nya: Allâhu nûr as-samâwâti wa al-ardh (Allah Pemberi cahaya langit dan bumi), matsalu nûrihi (perumpamaan cahaya) yang dicampakkan ke dalam hati orang sehingga menjadi lentera hatinya adalah kita lihat, ka misykâtin fîhâ mishbâh (seperti suatu tembok yang tidak tembus, di situ diletakkan lampu), lampu ini al-mishbâhu fî zujâjah (lampu ini di dalam suatu tempat yang terbuat dari kaca), jadi seperti lampu semprong, az-zujâjatu ka annahâ kawkabun durriyy (kaca itu bening sekali sehigga dia bagaikan bintang yang gemerlapan), yûqadu min syajaratin mubârakah (dia itu dinyalakan dengan minyak yang sangat jernih).

Ada lampu semprong yang minyaknya adalah minyak tanah atau sisa-sisa minyak. Dia akan berasap. Kalau dia berasap, maka kacanya jadi kabur. Kalau cahaya Allah, kita ilustrasikan lampunya di dalam semprong, semprongnya sudah demikian jernih kemudian dinyalakan dengan minyak yang penuh berkah yaitu minyak zaytûn. Yûqadu min syajaratin mubârakatin zaitûnatin la syarqiyyatin wa lâ gharbiyyatin (pohonnya itu tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak disebelah barat), minyak itu selalu diterpa oleh cahaya matahari dan itulah minyak zaytûn yang paling bagus, “Yakâdu zaytûhâ yudhî’u walaw lam tamsashu nâr” (minyaknya itu sendiri sudah hampir-hampir menerangi walalupun belum ada apinya).

Nah, saya beri gambaran sekarang: Ada orang mempunyai lentera tetapi tidak mempunyai lampu, hanya tembok yang tembus. Ada yang mempunyai lampu lilin tetapi tidak menggunakan semprong. Orang yang lampu berupa lilin, sedikit saja angin menerpa akan menyebabkan lilinnya padam. Ada juga yang mempunyai lampu, ditutup oleh semprong, sehingga lampu itu baru mati kalau ditiup dari atas, berbeda dengan lilin yang dapat dengan mudah padam apabila ditiup dari atas dan berbagai arah. Ada orang cahayanya dilindungi oleh lampu semprong, tetapi kacanya buram; mengapa buram? karena minyaknya bukan minyak yang baik. Seseorang yang memiliki lentera atau lampu di dalam hatinya, memiliki kaca yang begitu jernih, minyaknya yang digunakan untuk menyalakan begitu jernih, sehingga dia seakan-akan cahaya di atas cahaya, sangat terang benderang. Inilah puncak lentera hati seorang mukmin.

Dengan demikian, kualitas kejernihan hati kita bermacam-macam. Ada yang seperti lampu lilin, lampu semprong, dan lain-lain. Bagaimana caranya memperoleh cahaya itu? Cahaya itu adalah petunjuk Ilahi yang kita amalkan. Itu sebabnya Rasulullah Saw. menganjurkan, salah satu contoh bagaimana memperoleh cahayanya, apabila kita selesai berwudhu maka air yang tersisa pada anggota wudhu ini jangan dibasuh, karena air wudhu akan menjadi cahaya bagi yang bersangkutan. Amal-amal shaleh juga merupakan cahaya bagi hati kita. Semakin banyak amal shaleh yang kita kerjakan, semakin terang lampu (hati) kita. Semakin sedikit amal kita, semakin buram lentera hati kita, sehingga akhirnya padam sama sekali, seperti dilukiskan al-Qur’an: kallâ bal râna alâ qulûbihim mâ kânû yaksibûn (hati mereka dipenuhi karat disebabkan amalan-amalan yang mereka lakukan).

Bulan puasa ini adalah salah satu usaha kita untuk menambah kualitas cahaya hati itu. Dengan amalan-amalan yang kita lakukan pada bulan ini, Allah menjanjikan bahwa hati kita akan semakin terang. Apabila semakin terang hati Anda, maka semakin senang malaikat berkunjung ke sana dan semakin gelap hati Anda, maka semakin senang setan berada di sana.

Ada orang yang sepak terjangnya silih berganti, sekali ke Masjid sekali ke mall, satu kali bersahabat dengan setan di kali lain bertemankan iman. Saya ingin bertanya, pada awal ramadhan, saya selalu mengingatkan kaum muslimin, ada di antara kita yang ingin mendapatkan lailatul qadr tetapi dia baru siap malam pada tanggal 27 Ramadhan. Pada malam lailatul qadr malaikat turun, dia tidak mau masuk ke rumah yang cahayanya gelap. Dia tidak akan masuk ke kalbu yang tidak siap menyambutnya. Saya sering kali memberi contoh menyangkut lailatul qadr, ibarat tamu agung. Seorang tamu negara yang tiba di airport, banyak orang yang datang menyambutnya. Kita bertanya, apa semua yang menyambutnya dilihat oleh tamu agung itu? Tentu jawabannya tidak.

Apakah dia tersenyum kepada semua yang menyambutnya? Tentu tidak. Apakah dia mengunjungi rumah mereka yang menyambutnya? Tidak, dia hanya mengunjungi rumah yang dianggap siap untuk menyambutnya. Lailatul qadr persis seperti itu. Boleh jadi lailatul qadr melihat ada di antara kita yang sudah siap, tetapi persiapan kita belum dinilainya cukup sehingga dia mungkin melihat kita dengan senyum, sambil berkata insya Allah tahun depan saya datang kepadamu. Tetapi, orang yang tidak siap hatinya dan tidak siap lenteranya karena tidak benderang, dia tidak akan dikunjungi.

Karena itu, seharusnya kita sudah mempersiapkan hati kita mulai awal Ramadhan, bahkan Rasulullah mulai dari bulan Sya’ban sudah berpuasa untuk mempersiapkan hatinya guna menyambut malaikat-malaikat itu. Kalau Anda sudah mendapatkan lailatul qadr dan ditemani oleh malaikat, pasti hidup Anda berubah 180 derajat. Semua amalan Anda itu akan menjadi amalan-amalan yang baik yang diarahkan oleh malaikat-malaikat dan diterangi oleh lentera hati Anda. Wa al-hamdu lillâhi rabb al-‘âlamîn.

Sumber :
Disunting dari Ceramah Keliling Ramadhan ke-2 Ustadz Quraish Shihab di Masjid Agung Sunda Kelapa (30/10/2003).

http://www.psq.or.id/artikel_detail.asp?mnid=43&id=17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar