Selasa, 25 Agustus 2009

Perusahaan Separo Abad: Berpacu Menuju Keabadian


Indonesia telah mengalami berbagai cobaan, mulai dari perang kemerdekaan hingga krisis finansial global. Serangkaian masa suram itu menjadi seleksi alam eksistensi perusahaan-perusahaan lokal. Banyak yang gagal, tetapi banyak juga yang berhasil bertahan hingga menembus usia setengah abad.

Ketika mendapatkan tugas dari sang mertua, Lim Khe Tjie, untuk mengambil alih manajemen Bank NISP pada 1963, Karmaka Surjaudaja tak pernah menyangka perusahaan itu bakal tumbuh besar. Padahal, sebelum pria yang kerap disapa Nyao oleh para cucunya itu memangku jabatan sebagai direktur operasional, ia pernah ditentang untuk bergabung dengan manajemen. Sebab, ia hanya lulusan SMA dan masih berstatus warga negara asing (WNA). Namun, siapa nyana, di bawah kepemimpinan dia, bank yang berdiri sejak 4 April 1941 ini terus bertumbuh.

Sejak awal berdiri, Bank NISP, yang kala itu masih bernama NV Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank ini telah fokus pada pembiayaan segmen usaha kecil dan menengah (UKM). Bank dengan modal awal 500 gulden itu baru mendapatkan status sebagai bank umum pada 1964. Akan tetapi, setahun sesudahnya, perbankan Indonesia mengalami nasib buruk, pasca-kebijakan pemerintah melakukan sanering. Kebijakan moneter itu “menggunting” nilai uang, dari semula Rp1.000 menjadi hanya Rp1. Kontan, banyak orang, termasuk nasabah Bank NISP, marah besar.

Pihak perusahaan pun mengurangi jumlah kantor cabang karena tak lagi mendapatkan kepercayaan nasabah. “Saya sangat depresi dan sedih karena harus merumahkan 3.000 karyawan tak bersalah, hingga tinggal 362 orang saja,” kenang Karmaka, seperti ditulis situs resmi ocbcnisp.com. Menariknya, atas nama dedikasi kepada perusahaan, ratusan karyawan itu rela tak digaji selama bertahun-tahun. Menurut sang putra, Pramukti Surjaudaja, dedikasi karyawan itu adalah hasil dari kedekatan manajemen dengan karyawan.

Pada masa sulit itu, Karmaka sempat menerima bantuan dari seorang investor yang berniat membeli 43% saham NISP lewat lelang. Namun, bak keluar dari mulut macan dan masuk mulut buaya, si investor tadi ternyata berniat menguasai 100% saham NISP. Beruntung, rencana tersebut tak terjadi. Baru pada 1968 kondisi Bank NISP kembali pulih, seiring dengan pulihnya ekonomi Indonesia.

Pada awal 1990-an, saat Karmaka menjabat sebagai presiden direktur PT Bank NISP Tbk., ia begitu ekspansif. Di antaranya, membangun 22 cabang baru di seluruh Indonesia dan mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI, dahulu Bursa Efek Jakarta/BEJ) pada 1994. Tiga tahun kemudian, Karmaka mengalihkan tongkat estafet kepada putranya, Pramukti Surjaudaja, yang saat itu sudah duduk di kursi managing director. Sejarah pun kembali terulang. Baru setahun memimpin, Pramukti sudah dihadapkan pada krisis moneter 1998. Namun, perusahaan berhasil melewati krisis. “Tanpa perlu menerima bantuan dari pemerintah sepeser pun,” tegas Pramukti. Bahkan, Bank NISP menjadi bank pertama yang memberikan pinjaman konsumer secara intensif melalui kredit pemilikan rumah, KPR Merdeka, pada 1999. Inisiatif tersebut membuka jalan bagi perusahaan untuk tumbuh lebih besar.

Pada akhir 2008, OCBC Overseas Investment Pte. Ltd., Singapura, menguasai 74,73% saham Bank NISP lewat beberapa akuisisi yang sudah dilakukan selama empat tahun terakhir. Walhasil, Bank NISP pun mengubah nama menjadi PT Bank OCBC NISP Tbk. “Dengan masuknya OCBC, ketergantungan NISP pada kepemilikan founder menjadi lebih ringan,” tutur Pramukti. Jika kelak perusahaan menghadapi krisis, sambung dia, OCBC yang berada di luar Indonesia diharapkan bisa membantu. Hal ini sesuai dengan value yang sudah dicanangkan founder.

Menurut Pramukti Surjaudaja, presiden komisaris PT Bank OCBC NISP Tbk., perusahaan yang dirintis sang kakek sudah mencanangkan nilai-nilai perusahaan, seperti tidak tergantung pada figur seseorang, tetapi pada sistem. Selain itu, kata Pramukti, sang kakek sudah menciptakan value bahwa pengambilan keputusan harus secara kolektif (bottom up) serta membabat jenjang birokrasi. “Nilai-nilai yang ditanamkan founder menjadi infrastruktur perusahaan yang terus bertumbuh hingga kini,” kata Pramukti. Per akhir 2008, total aktiva mencapai Rp34,25 triliun, meningkat dari setahun sebelumnya yang Rp28,97 triliun.

Peninggalan Belanda

Masa krisis 1998 dan 2008, tak ubahnya masa perang kemerdekaan, yang menjadi ajang seleksi eksistensi perusahaan Indonesia. Banyak yang gagal dan terpaksa melepaskan kepemilikan ke pihak lain. Beberapa mengalami pergantian nama dan status. Namun, sebagian lainnya bisa terus melenggang dengan citra dan kebesarannya. Mereka unggul tak hanya karena ukuran, tetapi memiliki tata kelola perusahaan, budaya yang mumpuni, keteguhan usaha, dan merek yang kuat.

Dari penelusuran Warta Ekonomi, negeri ini ternyata memiliki lebih dari 150 perusahaan swasta nasional plus BUMN yang mampu eksis lebih dari 50 tahun. Sepertiganya bahkan sudah menembus satu abad. Tentu saja, yang berhak ditahbiskan sebagai perusahaan legendaris adalah mereka yang unggul, baik dari sisi usia maupun kinerja. Selain itu, mereka memiliki keunggulan pada sisi inovasi maupun strategi bertahan, terutama pada saat krisis; memerhatikan kepentingan shareholder dan stakeholder; serta didirikan oleh tokoh yang memiliki visi jauh ke depan (visioner). Beberapa perusahaan yang layak disebut legendaris, di antaranya, BRI, Telkom, HM Sampoerna, Astra International, BCA, Semen Gresik, dan Djarum.

Perusahaan yang telah melangkah di usia lebih dari satu abad, mayoritas menyandang status BUMN. Sebab, perusahaan berdiri sebagai hasil menasionalisasi perusahaan yang berdiri sejak zaman Belanda. Seperti Kimia Farma (1817) yang semula berupa perusahaan perdagangan obat dengan nama NV Chemicaliend Handle Rathkamp & Co., atau Bank Rakyat Indonesia (BRI, 1895) yang dulu merupakan Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren alias Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi. “Sebenarnya, Kimia Farma beruntung didesain oleh Belanda yang memiliki visi bisnis jauh ke depan, sehingga kami tinggal menyempurnakannya sesuai perkembangan zaman,” tutur M. Sjamsul Arifin, presdir PT Kimia Farma Tbk.

Tidak bisa dimungkiri, pasca-Kemerdekaan RI, banyak pengusaha lokal mendirikan perusahaan. Bahkan, dari 100 perusahaan yang masuk dalam daftar, hampir separonya didirikan pada atau setelah 1945. Mayoritas perusahaan pun bermula dari perusahaan keluarga. Kini, ada yang masih memegang teguh status perusahaan keluarga, sementara yang lain sudah memberikan porsi pengelolaan kepada kaum profesional.

Dus, jangan terlalu terpesona dengan langkah para raksasa. Dari deretan perusahaan yang tetap bisa bertahan hingga lebih dari 50 tahun, banyak yang berasal dari perusahaan skala menengah. Misalnya, Bank NISP (kini menjelma menjadi raksasa Bank OCBC NISP), Optik Seis, Nyonya Meneer, serta Nojorono.

Setidaknya, ada benang merah pada karakter perusahaan-perusahaan legendaris ini, yakni fokus pada core business dan core competence. Kalaupun harus melebarkan sayap, biasanya tak jauh dari bisnis ini. Selain itu, mereka mampu melewati masa suram dengan mencetuskan serangkaian inovasi, termasuk di antaranya inovasi di sisi finansial. Sementara itu, menurut Sofjan Wanandi, pemilik kelompok usaha Gemala sekaligus ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), perusahaan yang mampu menembus usia kritis 50 tahun adalah mereka yang sanggup menciptakan suksesi yang mulus di antara pemilik dan eksekutif. Maksud dari suksesi mulus ini bukan sekadar pengalihan kepemimpinan tanpa keributan, tetapi pada kemampuan pemilik perusahaan mewariskan nilai dan budaya perusahaan kepada generasi berikutnya.

Lima Jurus Menggapai Keabadian

Setidaknya, ada lima jurus sakti bagi perusahaan untuk menggapai keabadian. Dalam buku The Living Company: Habits for Survival in A Turbulent Business Environment (1997), Arie de Geus menyatakan bahwa jurus pertama adalah respek terhadap inovasi. Dalam goresan penanya, de Geus menuturkan bahwa tak ada posisi pesaing yang selamat dari kemungkinan untuk ditiru (replication) atau digantikan (replacement). Oleh sebab itu, agar terus bertahan, perusahaan harus adaptif dan terus mengembangkan diri dan produk hasil karyanya. “Perusahaan tak ubahnya organisme. Mereka yang mampu bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi,” kata A.B. Susanto, managing partner The Jakarta Consulting Group.

Jurus kedua adalah respek terhadap pembelajaran. Menurut James Collins dan Jerry Porras dalam Built to Last (1994), hanya perusahaan yang visioner yang bakal berjaya sepanjang masa. “Perusahaan-perusahaan ini mampu membedakan dirinya sebagai institusi yang sangat istimewa dan elite,” tulis Collins. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa manajemen perusahaan-perusahaan itu pernah mengalami kemunduran dan berbuat kesalahan. Namun, mereka memiliki kelenturan yang memungkinkan keadaan berbalik, dari kondisi tidak menguntungkan menjadi menguntungkan. Kondisi ini terpotret pada Nyonya Meneer, yang sempat mengalami pergolakan internal sebelum masuknya generasi ketiga, Charles Saerang. Kini, perusahaan tersebut melaju pesat di tangan profesional.

Seharusnya, bertambahnya usia organisasi berbanding lurus dengan kemampuan organisasi untuk berinovasi. “Adanya akumulasi pengetahuan dan pengalaman, organisasi yang lebih tua relatif lebih mampu mengenali dan mengasimilasikan gagasan baru,” kata Susanto. Termasuk juga kemampuan mengubah informasi, gagasan, dan pengetahuan untuk menjadi informasi. Kata dia, dengan akumulasi pengalaman dalam produksi, hubungan lebih lama dengan para pemasok dan pelanggan, serta tenaga kerja yang lebih berpengalaman, membuat posisi perusahaan legendaris ini makin dominan.

Jurus ketiga adalah tidak mengultuskan founder atau pemilik perusahaan. Kendati beberapa di antara perusahaan legendaris ini masih berstatus perusahaan keluarga, ternyata yang mampu bertahan adalah mereka yang sudah menyerahkan pengelolaan organisasi kepada para profesional. Kalaupun masih dipegang oleh keluarga, biasanya yang terpilih adalah mereka yang sudah mengenyam pengalaman dan pendidikan profesional. Mulusnya alih generasi ini menjadi menarik untuk disimak karena tidak banyak perusahaan profesional berskala besar di Indonesia awet bertahan sampai lima generasi. Beberapa megabisnis di negeri ini bubar pada alih generasi kedua dan ketiga.

Menurut catatan de Geus, perusahaan legendaris umumnya tidak melakukan pemusatan kekuasaan (sentralisasi) di tangan satu tokoh, entah itu founder, owner, ataupun eksekutif. Sofjan menegaskan bahwa agar menjadi perusahaan yang tahan menghadapi tantangan zaman, perusahaan harus menggunakan sebanyak mungkin tenaga profesional. “Tidak mungkin perusahaan bisa bertahan tanpa campur tangan kaum profesional karena persaingan yang begitu ketat,” tandas Sofjan.

Jurus keempat adalah mengelola keuangan secara konservatif. “Perusahaan legendaris adalah mereka yang prudent dan, bila perlu, tak menaruh risiko pada keuangan,” tulis de Geus. Sementara itu, menurut Collins dan Porras, perusahaan legendaris tidak terlalu mengagungkan maksimalisasi kekayaan pemegang saham. Kendati demikian, profitabilitas adalah suatu keharusan sebagai sarana agar perusahaan tetap eksis. “Bagi mereka, laba bukan segalanya. Laba hanya satu tujuan,” tegas Collins. Adapun bisnis itu sendiri bukan sekadar kegiatan ekonomi untuk shareholder saja, tetapi ada bagian bagi stakeholder, termasuk karyawan dan lingkungan sekitar.

Jurus kelima adalah menciptakan kultur perusahaan yang kuat. Menurut A.B. Susanto, kendati PT Astra International Tbk. sudah beralih pengelolaan dari keluarga Soeryadjaya ke tangan profesional, Astra masih tetap langgeng dan jaya. “Ini karena founder Astra mampu menciptakan budaya perusahaan yang adiluhung dan kuat, bahkan tetap bisa dijalankan hingga generasi selanjutnya,” kata Susanto.

ARI WINDYANINGRUM, EVI RATNASARI, ISNO USNODO, IRWANSYAH, YOHANA NOVIANTI H., D. UTAMI WARDHANI, MARTHAPURI DWI UTARI, DAN FEKUM ARIESBOWO W.

( redaksi@wartaekonomi.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya )

Selasa, 14 Juli 2009 12:04

http://www.wartaekonomi.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2541:perusahaan-separo-abad-berpacu-menuju-keabadian&catid=43:wuumum&Itemid=62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar