Kamis, 27 Agustus 2009

Puasa Mendorong Lahirnya Peradaban

Terbentuknya peradaban dalam sejarah umat manusia ditentukan, paling tidak, oleh tiga hal. Yaitu stabilitas sosial, kesejahteraan ekonomi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Ini ditegaskan Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam perbincangan dengan Republika di Jakarta, Rabu (26/8).

''Stabilitas sosial adalah kondisi di mana masyarakat memiliki komitmen bersama terhadap pemenuhan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Bahkan dalam kondisi yang lebih ideal lagi manusia rela menunda kepentingan pribadinya karena mendahulukan kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan masyarakat secara bersama (Q.S. Al Hasyr [59]:9),'' papar kiai Ridwan.

Karena menurutnya, dengan menolong masyarakat berarti seseorang telah membuat investasi untuk menolong masa depannya. Persoalan abadi yang dihadapi dalam sejarah umat manusia adalah pilihan antara berpikir hanya untuk dirinya sendiri atau hanya untuk masyarakatnya. Kepercayaan dan agama-agama kuno telah memberikan jawaban masing-masing terhadap hal ini.

Dikatakan kiai Ridwan, ada agama yang hanya menekankan aspek spritualitas (spritual enrichment) dengan meniadakan tuntutan kebutuhan fisik ragawi. Sementara itu ada pula kepercayaan yang mengatasnamakan agama namun hanya menonjolkan kebutuhan fisik semata. Dua pendekatan uang sama-sama ekstrim ini ternyata gagal yang mengakibatkan manusia mengabaikan agama yang tidak siap untuk berjalan bersama kemoderenan. Keunggulan Islam ialah jawabannya yang komprehensif tentang keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan masyarakat.

''Kesejahteraan ekonomi adalah kebutuhan nyata dimana setiap orang memiliki kecenderungan untuk memiliki secara pribadi sebagaimana hal ini menjadi idiom kapitalisme. Pendekatan lain, secara teoritis ingin melihat kepentingan masyarakat dengan menafikan kepentingan pemilikan pribadi sebagaimana yang menjadi jargon sosialisme. Namun dua pandangan yang sama-sama ekstrim ini akan gagal karena tidak sesuai dengan bakat (malakah) manusia,'' paparnya.

Ditambahkan kiai Ridwan, kepemilikan pribadi harus di dalam kesadaran sosial dan kesadaran sosial juga di dalam kepentingan pribadi. Oleh karena itu, kepemilikan manusia terhadap harta tidak pernah mencapai milik paripurna (milk al taam) namun tetap dalam kepemilikan sementara (milk al naqish).

''Sejarah keilmuan yang menghasilkan peradaban ideal adalah keilmuan yang bersumber dari dua pendekatan yaitu dari ide dan hasil pengalaman. Akan tetapi dua pendekatan ini juga tidak mampu mengantarkan manusia kepada ilmu yang membahagiakan dan bermanfaat sebelum manusia menyadari bahwa fungsi ilmu itu adalah untuk menikmati kesyahduan dalam hubungan yang abadi (al ittisal) dengan Maha Pencipta,'' tegasnya.

Ketika taraf keilmuan telah mencapai peringkat ilmuwan paripurna (ulul albab), menurut Kiai Ridwan, maka pada saat itulah seluruh wacana keilmuan membawa maslahat bagi alam semesta karena telah mampu menangkap arti-arti (quwwat al mustafad) dari realitas hasil pengalaman manusia (Q.S. Ali ‘Imran [3]:190-191).

Sejarah Islam telah menorehkan dalam catatan kehidupan umat manusia sebuah peradaban paripurna selama lebih kurang 600 tahun yang belum ada taranya sampai kepada masa kita sekarang ini. ''Semangat yang melandasinya adalah berakar dari ibadah puasa dengan berdasar kepada keyakinan tauhid dimana setiap orang rela menunda untuk meraih kenikmatan sementara untuk meraih kenikmatan yang abadi karena mengharap ridla Allah SWT. Oleh karena itu, selayaknya umat Islam dapat memaknai ibadah puasa tidak hanya sekedar motivasi pekerjaan rutinitas tahunan akan tetapi didasari sebuah cita-cita membangun peradaban baru umat manusia,'' tutur Kiai Ridwan. osa/taq

By Republika Newsroom
Rabu, 26 Agustus 2009 pukul 08:30:00

http://www.republika.co.id/berita/71930/Puasa_Mendorong_Lahirnya_Peradaban

Tidak ada komentar:

Posting Komentar