Jumat, 21 Agustus 2009

Hikmah Dibalik Krisis


Oleh: Palgunadi T. Setyawan *)

USA atau Amerika adalah bangsa yang gemar berhutang.
Ya negaranya, ya rakyatnya. Saya masih ingat “billboard” besar dimana-mana di kota-kota besar di Amerika di tahun 90an yang memampangkan angka defisit perdagangan mereka.

Dalam angka digital yang hampir sepuluh digit yang berdetak seperti layaknya detak jam digital, beberapa digit akhir angka itu berdetak. Bertambah detik demi detik. Saya sempat tertegun didepan salah satu billboard itu sambil bergumam: gila.. Kapan berhentinya. Yang terpikir oleh saya, berapa tabungan bangsa saya ikut membiayai defisit itu.

Ironinya kita semua tahu bahwa lebihan atau surplus atau reserve negara-negara lainlah yang dipakai untuk membiayai defisit atau hutang itu. Surplus yang terakumulasi dalam reserve negara-negara itu, tabungan hasil kerja mereka, termasuk kita dan yang paling besar saat ini barangkali Cina, yang didapat dari mana-mana biasanya kembali ke Amerika untuk dibelikan “treasury bond” atau surat hutang lainnya. Uang itulah yang kemudian dipakai untuk dipinjamkan secara berantai dari satu lembaga peminjam kepeminjam lainnya dan berakhir pada peminjam perorangan yang kemudian menggunakan hutang itu untuk membiayai keperluan mereka, beli makanan, pakaian, mobil, bahan baker dan antara lain rumah. Dan itu dilakukan dengan ringan dan mudah.

Hal ini merangsang pertumbuhan kebutuhan dan membumbungnya harga dari barang dan jasa yang dibutuhkan itu. Yang sempat menggila waktu itu, sebagai contoh adalah harga minyak bumi. Ibarat balon, balon ekonomi itu menggelembung semakin besar, sampai akhirnya meletus. Pada suatu titik tertentu gelembung hutang itu, khususnya pada orang perorangan sebagai peminjam terakhir melampaui batas kemampuannya mengembalikan. Besar pasak dari tiang. Maka meletuslah balon itu.

Kali ini diawali disektor perumahan dan properti di Amerika. Mudah dimengerti kemudian hal ini merembet ke sektor lainnya. Orang panik karena butuh uang tunai untuk kebutuhan sehari-hari maupun bayar hutang. Bank juga kekeringan tunai walau lalu kebanjiran aset. Aset agunan yang disita yang juga susah dijual. Yang paling dahsyat orang kehilangan kepercayaan. Maka bertumbanganlah harga semua barang dan jasa yang tadinya dengan uang pinjaman itu mereka dibeli. Dimulai dengan kebangrutan orang per orang, merembet ke perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Dan terjadilah Lehman Brothers yang telah berusia 185thn akhirnya ambruk juga.

Dan ini tidak berhenti, akhirnya akan sampai pada pemberi hutang pertama yaitu kita semua didunia ini. Seperti gelombang tsunami gelombang itu akan dan sedang merambat keseluruh dunia.

Amerika itu suatu ekonomi yang luar biasa besarnya dan luar biasa rakusnya.
Ini menjadi pemicu dan perangsang bagi seluruh dunia untuk menyuapinya. Barang dan jasa apa saja pasti akan mereka telan. Namun bila raksasa rakus ini sedang tersedak kerongkongannya, sedang tidak bisa menelan seperti sekarang maka arus suapan itupun terhambat dan dibeberapa sektor terhenti. Produksi barang dan jasa suplai terhenti, PHK dimana-mana. Pengangguran meningkat. Masalah dan nestapa dimana-mana. Inilah krisis dalam skala global yang sedang dan akan kita hadapi. Entah untuk berapa lama dan bagaimana berakhirnya.

Lalu hikmah apa yang bisa diambil dari cerita diatas. Ternyata, berkali-kali telah ditunjukan, segala petaka yang terjadi dan harus dihadapi umat manusia itu diawali dengan kerakusan yang tidak terkendali, disusul dengan kebodohan karena malas berfikir, dilanjutkan dengan kehilangan kepercayaan dan diakhiri dengan membuang kemuliaan dan kehormatan yang seharusnya dijaga.

Masing-masing lalu memikirkan keselamatan sendiri-sendiri, bukan memikirkan keselamatan orang lain dan orang banyak. Maka terjadilah kepanikan, pertarungan kepentingan pribadi dan kelompak. Dan mulailah proses kehancuran dan azab. Saya teringat sebuah plakat dikebun binatang Singapura yang tertulis:

“ Bila binatang terakhir selesai diburu, ikan terakhir selesai dipancing, sungai terakhir selesai diracuni dan pohon terakhir selesai ditebang, barulah kita sadar bahwa uang tidak bisa dimakan”

Semoga semua ini menyadarkan kita akan fungsi dan amanah kita sebagai khalifah dimuka bumi ini, yang tugasnya adalah memakmurkannya dan dengan demikian memakmurkan diri kita.

http://www.palgunadi.com/artikel13.html

*) Ir. Palgunadi Tatit Setyawan,
Is an Independent Commissioner and Chairman of Audit Committee of PT. Pembangunan Jaya Ancol ,Tbk and was Executive Vice President and Chief Advisor to the Chairman of Raja Garuda Mas International until his recent retirement last April 2003. He was the Regional Director for Asia – GIBB Ltd. UK from 1998 to 1999. He spent 15 years with PT Astra International and assumed numerous positions including as Manager, Director and Member of Supervisory Board of several industries within the Astra Group and, later, as Senior Vice President for Environmental Affairs. Palgunadi popularly known as Pak Pal also served at the Indonesian Army Industrial Command. He retired as Lieutenant Colonel of the Army in October 1983. Palgunadi earned his degree in Mechanical Engineering from the Bandung Institute of Technology and in Balistic Engineering fromthe Yugoslavian Military Science and Industry Institute of the University of Belgrade . He completed the Special Advance Program in Industrial Engineering at the Institute of Manufacturing Engineering of the University of Leuven, Belgium. His areas of specialization include industrial engineering and economics.He was also former member of APEC Business Advisory Council ( ABAC ) Indonesia from year 2001 - 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar