Jumat, 01 Maret 2013

TOLERANSI


 (Kultum oleh Prof. Dr. Quraisy Shihab, 2009)*

Ada istilah yang sering kita dengar yaitu toleransi, “tasamuh” dalam istilah agama. Toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih dapat diterima. Toleransi adalah penyimpangan dari yang tadinya harus dilakukan, penyimpangan yang dapat dibenarkan.
Mengapa manusia harus bertoleransi? Agama menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, pasti berbeda-beda, itu bukan saja keniscayaan tetapi itu adalah kebutuhan. Namun dalam saat yang sama, Tuhan menghendaki juga agar kita bersama. Bersama dengan Tuhan, bersama dengan seluruh manusia. Karena kita semua berasal dari ayah dan ibu yang sama. Keniscayaan perbedaan dan keharusan persatuan itulah yang mengantar manusia harus bertoleransi.
Sekali lagi kita bertanya, mengapa kita bertoleransi? Karena semua manusia mendambakan kedamaian, tanpa toleransi tidak mungkin ada kedamaian. Semua kita mendambakan kemaslahatan, tanpa toleransi tidak akan ada kemaslahatan. Semua kita menginginkan kemajuan, tanpa toleransi kemajuan tidak akan tercapai.
Dari sini, agamapun memberikan toleransi, bukan saja dalam kehidupan kemasyarakatan tetapi juga dalam kehidupan beragama. Saya akan memberikan beberapa contoh dari ayat-ayat al-Quran, bahkan dari sejarah Nabi S.A.W. Bagaimana kita bisa melihat tingginya toleransi beliau, bagaimana tingginya toleransi yang diajarkan oleh al-Quran, guna menghadirkan kedamaian dan kesejahteraan. Bukan saja bagi umat Islam, tetapi bagi seluruh rakyat, seluruh masyarakat, bahkan seluruh manusia.
Kita sama-sama tahu, Nabi menyatakan bahwa “aku diutus untuk membawa agama yang penuh dengan toleransi.” Ketika terjadi Perjanjian Hudaibiyah, saat itu, dalam konsepnya Nabi menuliskan kalimat Bismillahi ar-Rahmani ar-Rahim. Namun oleh kaum Musyrik tidak disetujui. Mereka meminta agar ditulis menjadi Bismikallahumma. Nabi berkata kepada Ali bin Abi Thalib “hapus basmalah dan tulisbismikallahumma sesuai usul mereka!” Nabi menyusun dan menyatakan: “inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah dan wakil dari kaum musyrik Mekkah.” Pemimpin delegasi kaum musyrik berkata “seandainya kami mengakui engkau sebagai rasul Allah, maka kami tidak akan memerangimu. Tulis “perjanjian ini antara Muhammmad putra Abdullah!” Rasul pun berkata “hapus kata Rasulullah dan ganti dengan Muhammad putra Abdillah!”  Sayidina Ali dan sahabat-sahabatnya tidak ingin bertoleransi dalam hal ini, mereka enggan menghapusnya. Tetapi Nabi yang penuh dengan toleransi itu menghapus 7 kata demi kemaslahatan, demi perdamaian.
Kita memang tidak boleh mengorbankan aqidah demi toleransi, tetapi dalam saat yang sama kita tidak boleh mengorbankan toleransi atas nama aqidah.
Karena itu terdapat sekian banyak ayat al-Quran yang berbicara atau menganjurkan kita bertoleransi. Bacalah surat Saba’ (34) ayat 25 dan 26. Anda akan menemukan di situ Nabi diajarkan untuk menyampaikan kepada kaum musyrik, kepada non muslim, bahwa kami atau anda yang berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata. Yakni, mungkin kami yang benar, mungkin juga kami yang salah. Tetapi nanti Allah akan menghimpun kita, dan Dia-lah yang akan memberi putusan siapa yang benar, siapa yang salah. Ini bukan berarti mengorbankan aqidah dengan dengan berkata bahwa kita salah. Tetapi demi kehidupan bermasyarakat yang penuh kedamaian, jangan mempersalahkan siapapun. Katakanlah boleh jadi anda benar, boleh jadi anda salah.
(Dan kuliah singkat ini ditutup oleh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dengan sebuah doa):

Bismillahi ar-rahmani ar-rahim…
“Ya Allah…
Kami bermohon kepadaMu. Dengan “La ilaha illallah” tidak ada Tuhan selain Engkau,  yang Maha Pengampun dan Maha Mulia. Lapangkanlah dada kami, bukalah pintu-pintu hati kami, singkirkanlah kemarahan dan fanatisme yang ada di dalam hati kami. Anugerahilah kami kemampuan untuk menerapkan agamamu yang penuh dengan toleransi ini.”
Aamiin…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar