“Aku bukan Malaikat,” kata si Fulan penuh nada yakin. Memang, siapa bilang
engkau mahkluk Allah yang sangat patuh dan bersih dari dosa? Kita manusia
biasa. Sejauh tak ada percikan niat ingin menjadi pendosa dan bersahabat dengan
syaitan, mengapa mesti galau?
Manusia, siapa pun dia bisa salah dan khilaf. Manusia menjadi manusiawi karena
dalam dirinya ada ruang untuk keliru.
Adam sang khalifah fil-ardh dan istrinya Hawa mengalami tahbith, dikeluarkan
dari surga karena memakan buah khuldi. Keduanya menjalani hidup di dunia
sebagai manusia biasa. Adam alaihissalam (AS) kemudian diberi tugas mulia
sebagai nabi penyebar risalah pertama di muka bumi.
Masalahnya, tidak sedikit manusia berpakaian angkuh ketika salah. Alih-alih
jujur akan kekhilafan, lalu memperbaiki diri ke jalan benar dan berlari kencang
menuju ampunan Tuhan malah sibuk mencari kambing hitam. Diri seolah tetap
bersih dan tak merasa berada di persimpangan jalan buntu.
Isyarat tubuh pun masih tampak pongah dalam keperkasaan semu. Jauh dari sikap
tawadhu' (rendah hati). Ketika salah dan berbelok arah dari idealisme awal,
masih pula merasa lurus.
Tak ada rona sesal untuk bermuhasabah diri. Keangkuhan itulah yang menjadikan
anak cucu Adam tersandera dalam sangkar besi kesalahan, lalu menjadi cibiran
nyinyir khalayak publik.
Menjauhi kicuh
Muslim yang autentik berani jujur meski ketika salah. Ibda
bi-nafsika, orang jujur akan selalu berkonsultasi kepada hatinya. Pihak lain
akan mudah dikelabui dengan 1.001 cara. Tetapi manakala diri salah maka nurani
tak pernah dusta.
Kejujuran itu mahal. Kejujuran merupakan mutiara paling berharga yang membuat
siapa pun dihargai dan dipercaya. Tuhan mencintai orang-orang yang berhati
jujur, berkata dan berbuat jujur.
Muhammad di usia muda sebelum diangkat menjadi Nabi memperoleh tempat mulia di
hati bangsa Arab karena kejujurannya. Dia bahkan digelari al-Amin, sang
terpercaya. Bangsa kafir dan jahiliyah sekalipun masih menjujung tinggi nilai
kejujuran.
Kejujuran itu universal. Di belahan dunia manapun sejauh hati masih bicara,
pasti mencintai kejujuran. Pesepak bola ternama dari negeri Samba, Neymar, juga
mencintai kejujuran.
“Saya orang Brasil dan saya mencintai negara saya. Saya ingin Brasil yang lebih
aman, lebih sehat, dan lebih jujur,” tulis Neymar di akun Facebook-nya ketika
mereaksi maraknya demonstrasi di negerinya beberapa saat sebelum kick off pertandingan
Piala Konfederasi 2013 melawan Meksiko.
Bagi orang Islam kejujuran harus menjadi bagian utuh dari kemusliman. Kisah
Imam Al-Bukhari tatkala melacak kebenaran sebuah hadis sungguh penting
dijadikan mutiara kehidupan.
Suatu kali periwayat hadis ternama itu pergi menelusuri kebenaran sebuah hadis
dari seseorang. Ia melihat orang yang dicari itu sedang mengejar kudanya yang
terlepas. Untuk menangkap kudanya, orang itu menunjukkan bungkusan seolah di
dalamnya ada gandum. Kuda terkecoh dan akhirnya ditangkap kembali.
Al-Bukhari mendekat dan bertanya kepada si pemilik kuda. “Apakah engkau
sertakan gandum dalam bungkusan itu?” Orang itu menjawab, “Tidak, aku hanya
mengelabui kudaku agar mudah kutangkap.”
Imam Bukhari dengan tegas berkata, “Kalau begitu, aku tidak akan mencari hadis
dari orang yang bohong terhadap hewan.” Dusta dan bersiasat kepada hewan saja
tercela, apalagi terhadap sesama manusia.
Kisah Al-Bukhari menurut Jabir al-Jazairi merupakan contoh agung tentang
hakikat kejujuran atau kebenaran. Kejujuran merupakan nilai, sikap, dan
tindakan paling utama, lebih dari segalanya. Hidup jujur itu mulia, sedangkan
dusta itu hina.
Lawan jujur ialah kicuh, yakni dusta dan suka mengelabui. Dalam hadis disebut
nifaq. Yakni, jika bicara atau memberi pernyataan berbohong, manakala berjanji
tidak ditepati, dan bila diberi amanat berhianat.
Barang halal dan baik dicampuradukkan dengan yang haram dan subhat. Lain di
kata, lain pula tindakan. Jargon dan tindakan lahir tampak indah demi rakyat,
tetapi motif dan tujuan penuh siasat bulus. Kicuh perilaku yang antagonis
seperti itulah musuh kejujuran dan kebenaran sekaligus perangai yang paling
dibenci Tuhan. (QS ash-Shaff [61]: 4).
Kehormatan diri
Perilaku kicuh sering membuat pelaku bebal diri. Bertipu muslihat
dianggap lumrah dan bukan dosa. Boleh jadi perbuatan muslihat bagi sementara
orang dipandang sebagai cara hidup demi meraih tujuan.
Dusta menjadi perilaku berjamaah yang didukung para pengikut setia. Ukuran
moral dinisbikan demi siasat, yang penting nilai guna dan kemenangan. Hati nan
jernih (qalbu salim) akhirnya menjadi mati rasa. Agama pun tak sungkan
dijadikan alat mengicuh dalam aroma sakral.
Insan beriman pun bisa roboh ketangguhan akidahnya. Keimanan hanya gemerlap
dari luar, tetapi kering di dalam karena tingginya hasrat menguasai dunia
melampaui takaran.
Tatkala perjuangan hidup masih merayap senyap, kejujuran dan nilai-nilai luhur
masih dapat dirawat dengan baik. Setelah roda kehidupan berputar ke atas, api
kejujuran dan sikap hidup utama pun luruh dan terkikis habis karena tertipu
dengan pesona dunia. (QS Ali Imran [3]: 14).
Kejujuran digadaikan. Idealisme ditukar murah dengan kursi, materi, dan
kesenangan indera yang diraih dengan jalan pintas. Perangai berubah drastis
dari sosok-sosok yang tulus hati dan tawadhu' yang menjadi para pencari pamrih
dalam pakaian diri serba angkuh, pemarah, ambisius, dan terjangkiti virus
apologia.
Begitulah ketika pesona dan kejayaan duniawi mengerangkeng hidup bani Adam.
Dalam sangkar besi kehidupan dunia yang sarat gemerlap tidak sedikit manusia
beriman akhirnya jatuh dalam kubangan kesalahan diri dan kolektif. Maksud
meraih sukses dunia melampaui pihak lain, segala cara syubhat dan haram pun
dilakukan.
Nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan kepatutan diterabas tanpa rasa sungkan.
Martabat atau kehormatan diri pun dibanting harga hingga ke titik terendah,
yang penting menang dalam meraih tujuan.
Kaum beriman pun kehilangan kehormatan diri demi kejayaan hidup berlebih. Mata
batinnya lumpuh dan tidak lagi sensitif akan nilai-nilai kebajikan yang utama.
Nasihat sekaligus kritik orang tak lagi mempan, bahkan bebal ibarat pepatah
anjing menggonggong kafilah berlalu.
Kian larut dalam permainan duniawi, semakin jauh dirinya dari segala sesuatu
yang bernilai hakiki, yang ada hasrat dan keasyikan mengejar kedigdayaan.
Akhirnya, berlakulah titah Tuhan, tsuma radadnahu asfala safilin, “Kemudian
Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya” (QS at-Tin [95]: 5).
Iman dan ilmu tinggi tidak lagi menjadi energi pencerahan hidup. Keberimanan
pun berhenti sekadar menjadi aksesori keagamaan yang kelihatan bening dari
luar, tetapi jorok di dalam. “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci,
Dia-lah yang paling mengetahui tentang perangai orang bertaqwa.”(QS an-Najm [53]:
32).
Oleh Haedar Nashir
A
“Aku bukan Malaikat,” kata si Fulan penuh nada yakin. Memang, siapa bilang engkau mahkluk Allah yang sangat patuh dan bersih dari dosa? Kita manusia biasa. Sejauh tak ada percikan niat ingin menjadi pendosa dan bersahabat dengan syaitan, mengapa mesti galau?
Manusia, siapa pun dia bisa salah dan khilaf. Manusia menjadi manusiawi karena dalam dirinya ada ruang untuk keliru.
Adam sang khalifah fil-ardh dan istrinya Hawa mengalami tahbith, dikeluarkan dari surga karena memakan buah khuldi. Keduanya menjalani hidup di dunia sebagai manusia biasa. Adam alaihissalam (AS) kemudian diberi tugas mulia sebagai nabi penyebar risalah pertama di muka bumi.
Masalahnya, tidak sedikit manusia berpakaian angkuh ketika salah. Alih-alih jujur akan kekhilafan, lalu memperbaiki diri ke jalan benar dan berlari kencang menuju ampunan Tuhan malah sibuk mencari kambing hitam. Diri seolah tetap bersih dan tak merasa berada di persimpangan jalan buntu.
Isyarat tubuh pun masih tampak pongah dalam keperkasaan semu. Jauh dari sikap tawadhu' (rendah hati). Ketika salah dan berbelok arah dari idealisme awal, masih pula merasa lurus.
Tak ada rona sesal untuk bermuhasabah diri. Keangkuhan itulah yang menjadikan anak cucu Adam tersandera dalam sangkar besi kesalahan, lalu menjadi cibiran nyinyir khalayak publik.
Kejujuran itu mahal. Kejujuran merupakan mutiara paling berharga yang membuat siapa pun dihargai dan dipercaya. Tuhan mencintai orang-orang yang berhati jujur, berkata dan berbuat jujur.
Muhammad di usia muda sebelum diangkat menjadi Nabi memperoleh tempat mulia di hati bangsa Arab karena kejujurannya. Dia bahkan digelari al-Amin, sang terpercaya. Bangsa kafir dan jahiliyah sekalipun masih menjujung tinggi nilai kejujuran.
Kejujuran itu universal. Di belahan dunia manapun sejauh hati masih bicara, pasti mencintai kejujuran. Pesepak bola ternama dari negeri Samba, Neymar, juga mencintai kejujuran.
“Saya orang Brasil dan saya mencintai negara saya. Saya ingin Brasil yang lebih aman, lebih sehat, dan lebih jujur,” tulis Neymar di akun Facebook-nya ketika mereaksi maraknya demonstrasi di negerinya beberapa saat sebelum kick off pertandingan Piala Konfederasi 2013 melawan Meksiko.
Bagi orang Islam kejujuran harus menjadi bagian utuh dari kemusliman. Kisah Imam Al-Bukhari tatkala melacak kebenaran sebuah hadis sungguh penting dijadikan mutiara kehidupan.
Suatu kali periwayat hadis ternama itu pergi menelusuri kebenaran sebuah hadis dari seseorang. Ia melihat orang yang dicari itu sedang mengejar kudanya yang terlepas. Untuk menangkap kudanya, orang itu menunjukkan bungkusan seolah di dalamnya ada gandum. Kuda terkecoh dan akhirnya ditangkap kembali.
Al-Bukhari mendekat dan bertanya kepada si pemilik kuda. “Apakah engkau sertakan gandum dalam bungkusan itu?” Orang itu menjawab, “Tidak, aku hanya mengelabui kudaku agar mudah kutangkap.”
Imam Bukhari dengan tegas berkata, “Kalau begitu, aku tidak akan mencari hadis dari orang yang bohong terhadap hewan.” Dusta dan bersiasat kepada hewan saja tercela, apalagi terhadap sesama manusia.
Kisah Al-Bukhari menurut Jabir al-Jazairi merupakan contoh agung tentang hakikat kejujuran atau kebenaran. Kejujuran merupakan nilai, sikap, dan tindakan paling utama, lebih dari segalanya. Hidup jujur itu mulia, sedangkan dusta itu hina.
Lawan jujur ialah kicuh, yakni dusta dan suka mengelabui. Dalam hadis disebut nifaq. Yakni, jika bicara atau memberi pernyataan berbohong, manakala berjanji tidak ditepati, dan bila diberi amanat berhianat.
Barang halal dan baik dicampuradukkan dengan yang haram dan subhat. Lain di kata, lain pula tindakan. Jargon dan tindakan lahir tampak indah demi rakyat, tetapi motif dan tujuan penuh siasat bulus. Kicuh perilaku yang antagonis seperti itulah musuh kejujuran dan kebenaran sekaligus perangai yang paling dibenci Tuhan. (QS ash-Shaff [61]: 4).
Kehormatan diri
Dusta menjadi perilaku berjamaah yang didukung para pengikut setia. Ukuran moral dinisbikan demi siasat, yang penting nilai guna dan kemenangan. Hati nan jernih (qalbu salim) akhirnya menjadi mati rasa. Agama pun tak sungkan dijadikan alat mengicuh dalam aroma sakral.
Insan beriman pun bisa roboh ketangguhan akidahnya. Keimanan hanya gemerlap dari luar, tetapi kering di dalam karena tingginya hasrat menguasai dunia melampaui takaran.
Tatkala perjuangan hidup masih merayap senyap, kejujuran dan nilai-nilai luhur masih dapat dirawat dengan baik. Setelah roda kehidupan berputar ke atas, api kejujuran dan sikap hidup utama pun luruh dan terkikis habis karena tertipu dengan pesona dunia. (QS Ali Imran [3]: 14).
Kejujuran digadaikan. Idealisme ditukar murah dengan kursi, materi, dan kesenangan indera yang diraih dengan jalan pintas. Perangai berubah drastis dari sosok-sosok yang tulus hati dan tawadhu' yang menjadi para pencari pamrih dalam pakaian diri serba angkuh, pemarah, ambisius, dan terjangkiti virus apologia.
Begitulah ketika pesona dan kejayaan duniawi mengerangkeng hidup bani Adam. Dalam sangkar besi kehidupan dunia yang sarat gemerlap tidak sedikit manusia beriman akhirnya jatuh dalam kubangan kesalahan diri dan kolektif. Maksud meraih sukses dunia melampaui pihak lain, segala cara syubhat dan haram pun dilakukan.
Nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan kepatutan diterabas tanpa rasa sungkan. Martabat atau kehormatan diri pun dibanting harga hingga ke titik terendah, yang penting menang dalam meraih tujuan.
Kaum beriman pun kehilangan kehormatan diri demi kejayaan hidup berlebih. Mata batinnya lumpuh dan tidak lagi sensitif akan nilai-nilai kebajikan yang utama. Nasihat sekaligus kritik orang tak lagi mempan, bahkan bebal ibarat pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu.
Kian larut dalam permainan duniawi, semakin jauh dirinya dari segala sesuatu yang bernilai hakiki, yang ada hasrat dan keasyikan mengejar kedigdayaan. Akhirnya, berlakulah titah Tuhan, tsuma radadnahu asfala safilin, “Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya” (QS at-Tin [95]: 5).
Iman dan ilmu tinggi tidak lagi menjadi energi pencerahan hidup. Keberimanan pun berhenti sekadar menjadi aksesori keagamaan yang kelihatan bening dari luar, tetapi jorok di dalam. “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dia-lah yang paling mengetahui tentang perangai orang bertaqwa.”(QS an-Najm [53]: 32).