Kamis, 13 Juni 2013

Menahan Marah



Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah khulafaur rasyidin keempat yang sangat terkenal dengan keutamaan akhlak dan integritasnya. Pernah suatu hari beliau memanggil budak yang dimilikinya karena satu keperluan.

Tetapi, budak itu tidak menyahut. Amirul mukminin pun memanggilnya lagi. Sayang, budak itu belum pula menyahut. Bahkan, sampai panggilan yang ketiga.

Dengan sabar beliau mencari ke mana perginya budak itu. Akhirnya, ia ditemukan sedang santai berbaring. Anehnya lagi, ternyata ia tidak sedang terlelap.

Ali lalu bertanya, “Tidakkah kamu mendengar panggilanku tadi, hai Ghulam?” Budak itu menjawab, “Benar, saya mendengar.” Percakapan pun berlanjut. “Lalu, mengapa kamu sama sekali tidak menjawabnya?” tanya Ali heran.

Saya sangat yakin Anda tidak akan menghukum saya, jadi saya pura-pura malas,” jawabnya tanpa rasa bersalah. Tanpa marah sedikit pun, amirul mukminin akhirnya memutuskan, “Kalau begitu, dengan mengharap rahmat Allah, mulai sekarang kamu bebas.”

Luar biasa kesabaran Ali bin Abi Thalib. Kita mungkin tidak habis pikir bagaimana beliau menahan diri agar tidak marah.

Dalam kondisi umum, manusia biasa pasti tersulut emosinya. Atasan mana yang tidak meledak kemarahannya saat panggilannya diabaikan pembantu atau bawahannya secara sengaja.

Namun, hanya Ali orang yang mampu melakukannya. Bahkan, detik itu juga budak tersebut malah dimerdekakannya. Subhanallah.

Bila membandingkan sikap Ali dengan akhlak para bos atau atasan hari ini, tentu sangat jauh berbeda. Sehari-hari kita menonton di televisi tentang derita para pembantu rumah tangga (PRT) yang seolah tidak ada habis-habisnya.

Penderitaan yang mereka terima sungguh tidak manusiawi. Para PRT itu tidak melakukan kesalahan fatal. Tetapi, mereka disiksa kadang karena urusan sepele dan remeh.

Ada yang tidak diberi makan, diseterika badannya, disiram air panas, bahkan sampai dibunuh. Beberapa pekan lalu, kita kembali tersentak mendengar puluhan orang dipekerjakan bak budak, bahkan lebih kejam daripada budak.

Di Tangerang, Banten, tepatnya di sebuah pabrik kuali rumah tangga, beberapa anak manusia diperlakukan layaknya binatang.

Sayyidina Ali mengajarkan kita bagaimana memanusiakan manusia. Betapa pun rendah profesi budak —yang pada zaman itu masih ada— Sayyidina Ali tidak mengumbar marah menanggapi ulah budaknya.

Seandainya beliau marah pun, masih dibenarkan. Namun, ternyata beliau malah menahan diri, tidak melampiaskannya.

Mengapa marah menjadi pilihan utama saat ada yang tidak pas dalam penilaian kita? Padahal, masih ada opsi lain berupa teguran, nasihat, atau masukan.

Bagi sebagian orang, marah adalah teguran, nasihat, bahkan masukan itu sendiri. Padahal, antara marah dan teguran itu berbeda. Menegur atau menasihati seseorang mesti menggunakan bahasa pilihan yang santun.

Itu agar teguran bisa mudah diterima. Sedangkan marah, konotasinya nada tinggi dan bahasa yang menjurus kasar. Amarah juga sangat dekat dengan kekerasan.

Intimidasi yang kerap diterima bawahan umumnya berupa kekerasan verbal. Misalnya, kalimat sumpah serapah dan kekerasan fisik berupa pukulan atau siksaan.

Sebaiknya, para atasan menjaga diri dari intimidasi semacam ini. Karena, bagaimanapun bawahan adalah manusia. Mereka bekerja demi kepentingan atasannya.

Kita harus belajar bagaimana seharusnya menjadi seorang atasan. Jangan sampai marah menjadi menu sehari-hari yang kita hidangkan kepada bawahan kita. Kita menjadi cepat mendidih bila melihat pekerjaan kurang beres.

Selain itu, kita cepat naik darah melihat bawahan sedikit lambat menyahut panggilan. Kita ceplas-ceplos mengatakan goblok, tidak becus, dan bodoh kepada anak buah kita.

Mungkin saja, bawahan itu butuh bimbingan atau butuh waktu melakukan sesuatu yang kita inginkan. Semoga kisah Sayyidina Ali di atas bisa menginspirasi kita semua.


Oleh: Muhammad Shobri Azhari



Tidak ada komentar:

Posting Komentar