http://wahdahmakassar.org/wp-content/uploads/2012/11/Syukur-Sabar-dan-Istighfar1-351x185.jpg
Dalam kehidupan, kata syukur, sabar dan
istighfar merupakan hal yang tidak asing. Setiap orang mampu mengaplikasikannya
meski terkadang belum sempurna dengan hakikat sebenarnya. Dalam mukadimah kitab
Al Waabilush Shayyib, Imam Ibnu Qayyim mengulas tiga hal di atas dengan sangat
mengagumkan.
Beliau mengatakan bahwa kehidupan manusia berputar pada tiga poros dan seseorang tidak akan lepas dari salah satunya. Ketiga poros tersebut adalah syukur, sabar, dan istighfar. Allah menciptakan setiap makhluk di muka dengan jaminan rezeki. Allah juga membekali manusia dengan akal pikiran. “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya… .” (QS Hud, [11] : 6).
Hal inilah seharusnya melatarbelakangi kita kita bersyukur terhadap nikmat yang telah Allah berikan. Syukur memiliki tiga rukun, yang jika ketiganya diamalkan, maka seorang hamba dianggap telah mewujudkan hakikat syukur tersebut. Pertama, mengakui dalam hati bahwa nikmat tersebut asalnya dari Allah. Kedua, mengucapkan kalimat syukur dengan lisan. Ketiga, menggunakan nikmat tersebut untuk menggapai ridha Allah.
Setelah kita bersyukur terhadap nikmat yang telah Allah berikan, Allah pun menguji kita dengan kebaikan dan keburukan agar hambanya bersabar. Sebagaimana Allah tegaskan “…Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenarbenarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” ( QS al-Anbiya [21]: 35 ).
Kesabaran seorang hamba terhadap ketentuan yang telah Allah berikan tecermin dalam tiga hal. Pertama, menahan hati dari perasaan marah dan kesal terhadap ketentuan Allah. Kedua, menahan lisan dari berkeluh kesah dan menggerutu akan takdir Allah. Ketiga, menahan anggota badan dari melakukan sikap tidak terima terhadap keputusan Allah, seperti menyakiti diri sendiri.
Perlu kita pahami bahwa Allah menguji hamba-Nya bukan karena Dia ingin membinasakan hamba-Nya, melainkan untuk menguji sejauh mana penghambaan kita terhadap-Nya. Sebagaimana Allah gambarkan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu (iblis) tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Rabb-mu (Hai Muhammad) sebagai wakil (penolong).“ (QS. al-Isra [17]: 65).
Menyadari tidak ada manusia yang terbebas dari godaan setan, maka suatu saat tatkala kondisi ketakwaan seorang hamba lemah dan lengah akan terjerumus terhadap godaan setan dan dia melakukan perbuatan dosa atau pelanggaran. Pada saat kondisi inilah seorang hamba harus segera memohon ampun dan beristighfar kepada Allah.
Ibnul Qayyim menukil ucapan Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harawi yang mengatakan bahwa konon para salaf mengatakan, “Seseorang mungkin melakukan suatu dosa, yang karenanya ia masuk jannah; dan mungkin ia melakukan ketaatan, yang karenanya ia masuk neraka.” Bagaimana bisa begitu?
Maksudnya adalah jika seseorang tersebut hamba yang bertakwa, ia akan selalu dibayangi oleh dosa yang ia lakukan sehingga ia akan menjadi takut kepada-Nya, mengharap rahmat dan maghfirah-Nya, serta bertobat kepada-Nya. Hal ini yang kemudian akan berdampak terhadap amalnya. Ia akan menghindari perbuatan dosa.
Sebaliknya, seseorang yang berbuat kebaikan dan ketaatan akan berakibat memasukkannya ke dalam neraka jika amal yang ia lakukan membuatnya ujub dan kagum terhadap diri sendiri. Sehingga kekaguman akan dirinya melupakannya terhadap Allah dan ini akan membatalkan amalnya dan menjadikannya lupa diri. Maka, bila Allah tidak mengujinya dengan suatu dosa yang mendorongnya untuk tobat, niscaya orang ini akan celaka dan masuk neraka. Wallahu a’lam bisshawab.
Beliau mengatakan bahwa kehidupan manusia berputar pada tiga poros dan seseorang tidak akan lepas dari salah satunya. Ketiga poros tersebut adalah syukur, sabar, dan istighfar. Allah menciptakan setiap makhluk di muka dengan jaminan rezeki. Allah juga membekali manusia dengan akal pikiran. “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya… .” (QS Hud, [11] : 6).
Hal inilah seharusnya melatarbelakangi kita kita bersyukur terhadap nikmat yang telah Allah berikan. Syukur memiliki tiga rukun, yang jika ketiganya diamalkan, maka seorang hamba dianggap telah mewujudkan hakikat syukur tersebut. Pertama, mengakui dalam hati bahwa nikmat tersebut asalnya dari Allah. Kedua, mengucapkan kalimat syukur dengan lisan. Ketiga, menggunakan nikmat tersebut untuk menggapai ridha Allah.
Setelah kita bersyukur terhadap nikmat yang telah Allah berikan, Allah pun menguji kita dengan kebaikan dan keburukan agar hambanya bersabar. Sebagaimana Allah tegaskan “…Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenarbenarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” ( QS al-Anbiya [21]: 35 ).
Kesabaran seorang hamba terhadap ketentuan yang telah Allah berikan tecermin dalam tiga hal. Pertama, menahan hati dari perasaan marah dan kesal terhadap ketentuan Allah. Kedua, menahan lisan dari berkeluh kesah dan menggerutu akan takdir Allah. Ketiga, menahan anggota badan dari melakukan sikap tidak terima terhadap keputusan Allah, seperti menyakiti diri sendiri.
Perlu kita pahami bahwa Allah menguji hamba-Nya bukan karena Dia ingin membinasakan hamba-Nya, melainkan untuk menguji sejauh mana penghambaan kita terhadap-Nya. Sebagaimana Allah gambarkan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu (iblis) tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Rabb-mu (Hai Muhammad) sebagai wakil (penolong).“ (QS. al-Isra [17]: 65).
Menyadari tidak ada manusia yang terbebas dari godaan setan, maka suatu saat tatkala kondisi ketakwaan seorang hamba lemah dan lengah akan terjerumus terhadap godaan setan dan dia melakukan perbuatan dosa atau pelanggaran. Pada saat kondisi inilah seorang hamba harus segera memohon ampun dan beristighfar kepada Allah.
Ibnul Qayyim menukil ucapan Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harawi yang mengatakan bahwa konon para salaf mengatakan, “Seseorang mungkin melakukan suatu dosa, yang karenanya ia masuk jannah; dan mungkin ia melakukan ketaatan, yang karenanya ia masuk neraka.” Bagaimana bisa begitu?
Maksudnya adalah jika seseorang tersebut hamba yang bertakwa, ia akan selalu dibayangi oleh dosa yang ia lakukan sehingga ia akan menjadi takut kepada-Nya, mengharap rahmat dan maghfirah-Nya, serta bertobat kepada-Nya. Hal ini yang kemudian akan berdampak terhadap amalnya. Ia akan menghindari perbuatan dosa.
Sebaliknya, seseorang yang berbuat kebaikan dan ketaatan akan berakibat memasukkannya ke dalam neraka jika amal yang ia lakukan membuatnya ujub dan kagum terhadap diri sendiri. Sehingga kekaguman akan dirinya melupakannya terhadap Allah dan ini akan membatalkan amalnya dan menjadikannya lupa diri. Maka, bila Allah tidak mengujinya dengan suatu dosa yang mendorongnya untuk tobat, niscaya orang ini akan celaka dan masuk neraka. Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh: Taufik Ismail
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/15/06/08/npm5wz-tiga-poros-kehidupan-manusia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar