Apabila Narcissus (salah satu tokoh mitologi Yunani)
mencintai refleksi dirinya melalui pantulan bayangan yang dihasilkan oleh
permukaan air, kini, masyarakat kita tengah mengagumi dirinya melalui hasil
visualisasi kamera.
Selfie adalah suatu
kegiatan dimana individu mengambil visualisasi atas dirinya dengan memproduksi
makna akan tubuhnya. Tubuh menjadi objek teknologi media global tanpa terasa
(Raditya, 2014). Hasil visualisasi tubuhnya pun dibagikan ke akun media sosial
yang dimilikinya. Dengan alasan bahwa sang subjek seolah tidak ingin kehilangan
setiap momen dengan cara memotong bagian tubuhnya agar menjadi populer di era
media.
Berbagai macam
ekspresi dan pose dirinya dengan latar berbeda-beda seakan menunjukkan bagaimana
‘seni’ visualisasi tubuh itu didefinisikannya.Tapi, mereka tidak sadar bahwa
budaya selfie ini pun menjadi candu bagi mereka yang memiliki hasrat narsistik.
Lacan, membagi setiap fase perkembangan manusia dalam RIS (real, imajiner, simbolik). Menurut Lacan, pada saat memasuki fase cermin, mereka lantas ditunjukkan sebuah bayangan yang diidentifikasikan oleh objek di luar dirinya. Kesannya bayangan tersebut adalah dirinya. Padalah, bayangan tersebut hanyalah citra dari luar dirinya yang terbelah-belah. Dari sini, individu mulai menandai dirinya, mengkonstruksi gambaran dirinya yang tidak nyata.
Lacan, membagi setiap fase perkembangan manusia dalam RIS (real, imajiner, simbolik). Menurut Lacan, pada saat memasuki fase cermin, mereka lantas ditunjukkan sebuah bayangan yang diidentifikasikan oleh objek di luar dirinya. Kesannya bayangan tersebut adalah dirinya. Padalah, bayangan tersebut hanyalah citra dari luar dirinya yang terbelah-belah. Dari sini, individu mulai menandai dirinya, mengkonstruksi gambaran dirinya yang tidak nyata.
Mereka berusaha
keras untuk sepenuhnya mengaktualisasikan kualitas hasratnya. Efek ini
memberikan motivasi—yaitu, mereka selalu menanggapi keinginan untuk menjadi (want-of-being) (Bracher,
2009:33). Pada fase simbolik, subjek mulai menandai dirinya melalui bahasa. Dia
mulai menyadari atas ke-liyan-an realitas sosial di luarnya.
Tidak ada satupun
realitas sosial dan kediriannya yang tidak terjamah oleh penamaan kata-kata.
Jalan masuk menuju bahasa dengan sifat simboliknya membuka celah antara
kebutuhan akan ketercukupan menamai segala sesuatunya. Sekaligus juga, di
sanalah terdapat kegagalan bahasa yang tidak pernah tuntas dijabarkan makna
katanya. Kepuasan akan kecukupan pengetahuan itulah membuat celah-celah
kemunculan hasrat terus-menerus dalam momen kehidupan (Storey, 2007:77).
Hal itu juga yang
menjadi sumber budaya selfie. Mereka yang melakukan selfie seakan tidak pernah
berhenti pada titik kepuasan. Mereka selalu mencari cara dan gaya baru dalam
mengambil gambar yang menunjukkan eksistensi dirinya. Seolah-olah ingin
merayakan altruismenya, foto tersebut tak sekedar berhenti untuk kepemilikan
pribadi. Melainkan di-upload pada akun media sosial yang memberi ruang lebih
menyebarnya budaya populer selfie ini.
Tidak hanya itu,
handphone yang pada awalnya memiliki nilai guna sebagai alat komunikasi justru
mulai menawarkan keunggulan dan kecanggihan kameranya bagi konsumennya. Melihat
populernya budaya selfie ini, membuat rezim industri teknologi memanfaatkannya.
Sehingga, handphone, gadget, tablet, dan laptop yang diproduksi sekarang tidak
hanya memiliki kamera belakang sebagai konvensi sosial. Melainkan juga, sudah
membubuhkan kamera depan agar memudahkan individu mengambil gambar dirinya dari
segala sudut.
Dengan berselfie, seolah ada yang ingin mereka tunjukkan kepada penontonnya. Mereka hendak memanggil: “hey, lihatlah aku dengan polesan make-up”, “aku cantik bukan?” , “aku keren kan?", "fotoku memiliki nilai seni yang tinggi bukan?” dan lain-lain. Diri yang hendak mereka tunjukkan hanyalah sebuah partisi visual tubuhnya yang telah kehilangan makna otonominya. Meskipun di sana ada rasa kagum dan kenikmatan atas kehilangan diri yang sesungguhnya.
Dengan berselfie, seolah ada yang ingin mereka tunjukkan kepada penontonnya. Mereka hendak memanggil: “hey, lihatlah aku dengan polesan make-up”, “aku cantik bukan?” , “aku keren kan?", "fotoku memiliki nilai seni yang tinggi bukan?” dan lain-lain. Diri yang hendak mereka tunjukkan hanyalah sebuah partisi visual tubuhnya yang telah kehilangan makna otonominya. Meskipun di sana ada rasa kagum dan kenikmatan atas kehilangan diri yang sesungguhnya.
Padahal,
visualisasi tubuhnya itu adalah tipuan belaka, dan yang menontonnya juga sedang
tertipu. Aksi tipu-tipu menjadi budaya yang terus direproduksi dari hari ke
hari. Tubuh selfie dianggap lebih nyata dari tubuh aslinya. Tak ada lagi hak
kepemilikan atas tubuhnya. Semua orang bisa menyentuhnya dan
mengimajinasikannya secara tanpa batas. Ruang privasi atas tubuh menjadi tidak
otentik dan esensial, karena dikaburkan oleh teknologi media yang rentan
terhadap perubahan.
Ada semacam pengakuan atas kebebasan atas gerakan tubuhnya. Ketika subjek menemukan satu ekspresi yang dianggap pas dan menarik, mereka tinggal langsung memencet tombol kamera. Klik, foto pun tersimpan otomatis. Tidak hanya sekali dua kali, tapi bisa puluhan kali berselfie. Siang-malam pun jadi. Makna waktu akan sesuatu yang produktif menjadi ambruk terkena efek budaya selfie yang remeh-temeh. Seperti yang dikatakan Baudrillard bahwasanya kita semua mudah tergoda oleh bayangan kita sendiri. Sebab, aktivitas itu menyenangkan kita dengan kematian eksistensi asusila yang sudah dekat (Baudrillard, 2000: 108).
Budaya selfie umumnya bertujuan untuk eksis, dalam arti tak ketinggalan jaman. Eksis menurut kamus bahasa adalah kata sifat yang berarti ‘ada’. Self dari potongan kata selfie merujuk pada diri sendiri. Dengan demikian, selfie berarti menunjukkan eksistensi diri. Apakah semakin sering orang melakukan selfie dan kemudian men-share sebuah gambar yang ia tandai sebagai dirinya justru akan menguatkan eksistensinya?
Ada semacam pengakuan atas kebebasan atas gerakan tubuhnya. Ketika subjek menemukan satu ekspresi yang dianggap pas dan menarik, mereka tinggal langsung memencet tombol kamera. Klik, foto pun tersimpan otomatis. Tidak hanya sekali dua kali, tapi bisa puluhan kali berselfie. Siang-malam pun jadi. Makna waktu akan sesuatu yang produktif menjadi ambruk terkena efek budaya selfie yang remeh-temeh. Seperti yang dikatakan Baudrillard bahwasanya kita semua mudah tergoda oleh bayangan kita sendiri. Sebab, aktivitas itu menyenangkan kita dengan kematian eksistensi asusila yang sudah dekat (Baudrillard, 2000: 108).
Budaya selfie umumnya bertujuan untuk eksis, dalam arti tak ketinggalan jaman. Eksis menurut kamus bahasa adalah kata sifat yang berarti ‘ada’. Self dari potongan kata selfie merujuk pada diri sendiri. Dengan demikian, selfie berarti menunjukkan eksistensi diri. Apakah semakin sering orang melakukan selfie dan kemudian men-share sebuah gambar yang ia tandai sebagai dirinya justru akan menguatkan eksistensinya?
Eksistensi hanya
muncul ketika seseroang memiliki kesadaran yang utuh akan suatu hal yang
dilakukannya. Seperti yang dikatakan Descrates “Cogito, Ergo Sum”. Atau,
berprinsip“Eligo, Ergo Sum” (“aku memilih, maka aku ada”) (Borgias, 2013).
Tetapi, benarkah budaya selfie itu secara sadar dilakukan jika popularitasnya
saja mulai menggema sejak merebaknya media sosial dan teknologi komunikasi
mutakhir saat ini ? Bukankah semakin banyak selfie dilakukan semakin dia
kehilangan penamaan atas diri dan tubuhnya sendiri ? Silahkan direnungkan !
Daftar
Pustaka :
Baudrillard, Jean.
2000. BeRAHi. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Bracher, Mark.
2009. Jacques Lacan, Diskursus, dan Perubahan Sosial. Yogyakarta:
Jalasutra.
M. Borgias,
Fransiskus. 2013. Manusia Pengembara: Refleksi Filosofis Tentang
Manusia. Yogyakarta: Jalasutra. Hlm.77
Storey, John. 2007. Cultural
Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar