Jumat, 10 Juli 2009

APAKAH MEMAKAI CADAR ITU WAJIB?









Dr. Yusuf Qardhawi

PERTANYAAN

Saya telah membaca tulisan Ustadz yang membela cadar dan
menyangkal pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa cadar
itu bid'ah, tradisi luar yang masuk ke dalam masyarakat
Islam, dan sama sekali bukan dari ajaran Islam. Ustadz juga
menjelaskan bahwa pendapat yang mewajibkan cadar bagi
wanita itu terdapat dalam fiqih Islam. Anda bersikap moderat
terhadap persoalan cadar dan wanita-wanita bercadar,
meskipun kami tahu Anda tidak mewajibkan cadar

Sekarang kami mengharap kepada Anda - sebagaimana Anda telah
bersikap moderat mengenai wanita bercadar ini dari wanita
yang suka buka-bukaan, yang suka membuka aurat - agar Anda
bersikap moderat terhadap kami yang berjilbab (tetapi tidak
bercadar) dan saudara-saudara kami yang bercadar, termasuk
terhadap kawan-kawan mereka yang selalu menyerukan cadar.
Mereka yang dari waktu ke waktu tidak henti-hentinya
menjelek-jelekkan kami, karena kami tidak menutup wajah.
Mereka beranggapan bahwa yang demikian itu mengundang fitnah
karena wajah merupakan pusat keindahan (kecantikan). Oleh
sebab itu, mereka berpendapat bahwa kami telah menentang
Al-Qur'an dan As-Sunnah serta petunjuk salaf karena kami
membiarkan wajah terbuka.

Kadang-kadang celaan ini dialamatkan kepada Anda sendiri,
karena Anda membela hijab (jilbab) dan tidak membela cadar.
Demikian pula yang dialamatkan kepada Fadhilah asy-Syekh
Muhammad al-Ghazali. Beberapa ulama mengemukakan sanggahan
terhadap beliau melalui beberapa surat kabar di
negara-negara Teluk.

Kami harap Anda tidak menyuruh kami untuk membaca kembali
tulisan Anda dalam kitab al-Halal wal-Haram fil-lslam dan
kitab Fatawi Mu'ashirah meskipun dalam kedua kitab tersebut
sudah terdapat keterangan yang memadai. Namun, kami masih
menginginkan tambahan penjelasan lagi untuk memantapkan
hujjah, menerangi jalan, menghilangkan udzur, menghapuskan
keraguan dengan keyakinan, serta untuk menghentikan polemik
dan perdebatan yang terus berlangsung mengenai masalah ini.

Semoga Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan tulisan
Anda.

JAWABAN

Tidak ada alasan bagi saya untuk diam dan merasa cukup
dengan apa yang pernah saya tulis sebelumnya.

Saya tahu bahwa perdebatan mengenai masalah-masalah
khilafiyah itu tidak akan selesai dengan adanya
makalah-makalah dan tulisan-tulisan lepas, bahkan dalam
bentuk sebuah buku (kitab) sekalipun.

Selama sebab-sebab perbedaan pendapat itu masih ada, maka
ikhtilaf (perbedaan pendapat) itu akan senantiasa ada
diantara manusia, meskipun mereka sama-sama muslim, patuh
pada agamanya, dan ikhlas.

Bahkan kadang-kadang komitmen dan keikhlasan terhadap agama
menyebabkan perbedaan pendapat itu semakin tajam.
Masing-masing pihak ingin mengunggulkan dan memberlakukan
pendapat yang diyakininya benar sebagai ajaran agama yang
akan diperhitungkan dengan mendapatkan pahala (bagi yang
melaksanakannya) atau mendapatkan hukuman (bagi yang
melanggarnya).

Perbedaan pendapat itu akan terus berlangsung selama
nash-nashnya sendiri - yang merupakan sumber penggalian
hukum - masih menerima kemungkinan perbedaan pendapat
tentang periwayatan dan petunjuknya, selama pemahaman dan
kemampuan manusia untuk mengistimbath (menggali dan
mengeluarkan) hukum masih berbeda-beda, dan sepanjang masih
ada kemungkinan untuk mengambil zhahir nash atau
kandungannya, yang tersurat atau yang tersirat, yang
rukhshah (merupakan keringanan) ataupun yang 'azimah (hukum
asal), yang lebih hati-hati atau yang lebih mudah.

Perbedaan pendapat akan senantiasa muncul selama manusia
masih ada yang bersikap ketat seperti Ibnu Umar dan ada yang
bersikap longgar seperti Ibnu Abbas; dan selama diantara
mereka masih ada orang yang menunaikan shalat ashar di
tengah jalan dan ada yang tidak menunaikannya melainkan di
perkampungan Bani Quraizhah (setelah sampai di sana).

Adalah merupakan rahmat Allah bahwa perbedaan pendapat
seperti ini tidak terlarang dan bukan perbuatan dosa, dan
orang yang keliru dalam berijtihad ini dimaafkan bahkan
mendapat pahala satu. Bahkan ada orang yang mengatakan,
"Tidak ada yang salah dalam ijtihad-ijtihad furu'iyah ini,
semuanya benar."

Para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik juga sering berbeda pendapat antara yang satu dengan
yang lain mengenai masalah-masalah furu' (cabang) dalam
agama, namun mereka tidak menganggap hal itu sebagai bahaya.
Mereka tetap bersikap toleran, dan sebagian mereka shalat di
belakang sebagian yang lain, tanpa ada yang mengingkari.

Dengan menyadari bahwa perbedaan pendapat itu akan
senantiasa ada, maka saya harus menjawab pertanyaan ini, dan
saya akan mengulangi tema tersebut dengan menambahkan
penjelasan. Mudah-mudahan Allah memberi taufik kepada saya
hingga mampu mengungkapkan perkataan yang benar, yang dapat
memutuskan perselisihan atau - minimal - mengurangi
ketajamannya, yang melunakkan kekerasannya sehingga hati
wanita yang berhijab (tetapi tidak bercadar) merasa riang
dan memudahkan urusan bagi yang mengumandangkan cadar (untuk
memakainya).

MEMPERLIHATKAN MUKA DAN TANGAN MENURUT PENDAPAT JUMHUR ULAMA

Ingin segera saya tegaskan disini tentang suatu hakikat yang
sebenarnya sudah tidak perlu penegasan, karena di kalangan
ahli ilmu hal itu sudah terkenal dan tidak samar lagi, sudah
masyhur dan tidak asing lagi, yaitu bahwa pendapat tentang
tidak wajibnya memakai cadar serta bolehnya membuka wajah
dan kedua telapak tangan bagi wanita muslimah di depan
laki-laki lain yang bukan muhrimnya adalah pendapat jumhur
fuqaha umat semenjak zaman sahabat r.a..

Karena itu tidak perlu dipertengkarkan, sebagaimana yang
ditimbulkan oleh sebagian yang ikhlas tetapi tidak berilmu
dan oleh sebagian pelajar dan ilmuwan yang bersikap ketat
terhadap pendapat yang dikemukakan seorang da'i kondang
Syekh Muhammad al-Ghazali dalam beberapa buku dan
makalahnya. Mereka beranggapan seakan-akan beliau membawa
bid'ah atau pendapat baru, padahal sebenarnya apa yang
beliau kemukakan itu merupakan pendapat imam-imam yang
mu'tabar dan fuqaha yang andal, sebagaimana yang akan saya
jelaskan kemudian. Selain itu, apa yang beliau kemukakan
merupakan pendapat yang didukung oleh dalil-dalil dan atsar,
disandarkan pada penalaran dan i'tibar, dan didukung pula
oleh realitas dalam beberapa zaman.

MAZHAB HANAFI

Dalam kitab al-Ikhtiyar, salah satu kitab Mazhab Hanafi,
disebutkan: Tidak diperbolehkan melihat wanita lain kecuali
wajah dan telapak tangannya, jika tidak dikhawatirkan timbul
syahwat. Dan diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa beliau
menambahkan dengan kaki, karena pada yang demikian itu ada
kedaruratan untuk mengambil dan memberi serta untuk mengenal
wajahnya ketika bermuamalah dengan orang lain, untuk
menegakkan kehidupan dan kebutuhannya, karena tidak adanya
orang yang melaksanakan sebab-sebab penghidupannya.

Beliau berkata: Sebagai dasarnya ialah firman Allah, "Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang
biasa tampak daripadanya." (an-Nur: 31 )

Para sahabat pada umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud
ayat tersebut ialah celak dan cincin, yaitu tempatnya
(bagian tubuh yang ditempati celak dan cincin). Hal ini
sebagaimana telah saya jelaskan bahwa celak, cincin, dan
macam-macam perhiasan itu halal dilihat oleh kerabat maupun
orang lain. Maka yang dimaksud disini ialah 'tempat
perhiasan itu,' dengan jalan membuang mudhaf dan menempatkan
mudhaf ilaih pada tempatnya.

Beliau berkata, adapun kaki, maka diriwayatkan bahwa ia
bukanlah aurat secara mutlak, karena bagian ini diperlukan
untuk berjalan sehingga akan tampak. Selain itu, kemungkinan
timbulnya syahwat karena melihat muka dan tangan itu lebih
besar, maka halalnya melihat kaki adalah lebih utama.

Dalam satu riwayat disebutkan, kaki itu adalah aurat untuk
dipandang, bukan untuk shalat.1

MAZHAB MALIKI

Dalam syarah shaghir (penjelasan ringkas) karya ad-Dardir
yang berjudul Aqrabul Masalik ilaa Malik, disebutkan:

"Aurat wanita merdeka terhadap laki-laki asing, yakni yang
bukan mahramnya, ialah seluruh tubuhnya selain wajah dan
telapak tangan. Adapun selain itu bukanlah aurat."

Ash-Shawi mengomentari pendapat tersebut dalam Hasyiyah-nya,
katanya, "Maksudnya, boleh melihatnya, baik bagian luar
maupun bagian dalam (tangan itu), tanpa maksud
berlezat-lezat dan merasakannya, dan jika tidak demikian
maka hukumnya haram."

Beliau berkata, "Apakah pada waktu itu wajib menutup wajah
dan kedua tangannya?" Itulah pendapat Ibnu Marzuq yang
mengatakan bahwa ini merupakan mazhab (Maliki) yang masyhur.

Atau, apakah wanita tidak wajib menutup wajah dan tangannya
hanya si laki-laki yang harus menundukkan pandangannya? Ini
adalah pendapat yang dinukil oleh al-Mawaq dari 'Iyadh.

Sedangkan Zurruq merinci dalam Syarah al-Waghlisiyah antara
wanita yang cantik dan yang tidak, yang cantik wajib
menutupnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab.2

MAZHAB SYAFI'I

Asy-Syirazi, salah seorang ulama Syafi'iyah, pengarang kitab
al-Muhadzdzab mengatakan:

"Adapun wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat,
kecuali wajah dan telapak tangan - Imam Nawawi berkata:
hingga pergelangan tangan - berdasarkan firman Allah 'Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang
biasa tampak daripadanya.' Ibnu Abbas berkata, 'Wajahnya dan
kedua telapak tangannya.'3

APAKAH MEMAKAI CADAR ITU WAJIB? Dr. Yusuf Qardhawi (2/6)

Disamping itu, karena Nabi saw. 'melarang wanita yang sedang
ihram mengenakan kaos tangan dan cadar'.4 Seandainya wajah
dan telapak tangan itu aurat, niscaya beliau tidak akan
mengharamkan menutupnya. Selain itu, juga karena dorongan
kebutuhan untuk menampakkan wajah pada waktu jual beli,
serta perlu menampakkan tangan untuk mengambil dan
memberikan sesuatu, karena itu (wajah dan tangan) ini tidak
dianggap aurat.

Imam Nawawi menambahkan dalam syarahnya terhadap
al-Muhadzdzab, yaitu al-Majmu', "Diantara ulama Syafi'iyah
ada yang menceritakan atau mengemukakan suatu pendapat bahwa
telapak kaki bukanlah aurat. Al-Muzani berkata, 'Telapak
kaki itu bukan aurat.' Dan pendapat mazhab adalah yang
pertama."5

MAZHAB HAMBALI

Dalam mazhab Hambali kita dapati Ibnu Qudamah mengatakan
dalam kitabnya al-Mughni (1: 601) sebagai berikut: Tidak
diperselisihkan dalam mazhab tentang bolehnya wanita membuka
wajahnya dalam shalat, dan dia tidak boleh membuka selain
wajah dan telapak tangannya. Sedangkan mengenai telapak
tangan ini ada dua riwayat.

Para ahli ilmu berbeda pendapat, tetapi kebanyakan mereka
sepakat bahwa ia boleh melakukan shalat dengan wajah
terbuka. Dan mereka juga sepakat bahwa wanita merdeka itu
harus mengenakan tutup kepalanya jika melakukan shalat, dan
jika ia melakukan shalat dalam keadaan seluruh kepalanya
terbuka, maka ia wajib mengulangmya.

Imam Abu Hanifah berkata, "Kaki itu bukan aurat, karena
kedua kaki itu memang biasanya tampak. Karena itu, ia
seperti wajah."

Imam Malik, al-Auza'i, dan Imam Syafi'i berkata, "Seluruh
tubuh wanita itu adalah aurat kecuali muka dan tangannya,
dan selain itu wajib ditutup pada waktu shalat, karena dalam
menafsirkan ayat ,dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya,"
Ibnu Abbas berkata, 'Yaitu wajah dan telapak tangan."

Selain itu, karena Nabi saw. melarang wanita berihram
memakai kaus tangan dan cadar. Andaikata wajah dan tangan
itu aurat niscaya beliau tidak akan mengharamkan menutupnya.
Selain itu, karena diperlukan membuka wajah dalam urusan
jual beli, begitupun kedua tangan untuk mengambil (memegang)
dan memberikan sesuatu.

Sebagian sahabat kami berkata, "Wanita itu seluruhnya adalah
aurat, karena diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa wanita itu
aurat." Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan beliau berkata,
"Hadits hasan sahih." Tetapi beliau memberinya rukhshah
(keringanan) untuk membuka wajah dan tangannya karena jika
ditutup akan menimbulkan kesulitan. Dan diperbolehkan
melihatnya pada waktu meminang karena wajah itu merupakan
pusat kecantikan. Dan ini adalah pendapat Abu Bakar
al-Harits bin Hisyam, beliau berkata, "Wanita itu seluruhnya
adalah aurat hingga kukunya."

Demikian keterangan dalam kitab al-Mughni.

MAZHAB-MAZHAB LAIN

Dalam menjelaskan berbagai pendapat ulama tentang masalah
aurat, Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya al-Majmu':

Aurat wanita itu ialah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan
telapak tangannya. Disamping Imam Syafi'i, yang berpendapat
demikian adalah Imam Malik, Abu Hanifah, al-Auza'i, Abu
Tsaur, dan segolongan ulama, serta satu riwayat dari Imam
Ahmad.

Selain itu, Imam Abu Hanifah, Tsauri, dan al-Muzani berkata
"Kedua kakinya juga bukan aurat."

Imam Ahmad berkata, "Seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali
wajahnya saja"6

Ini juga merupakan pendapat Daud sebagaimana dikemukakan
dalam Nailul Authar (2: 55).

Adapun Ibnu Hazm, maka beliau mengecualikan wajah dan
telapak tangan, sebagaimana disebutkan dalam al-Muhalla, dan
akan kami kemukakan alasan-alasan yang beliau berikan.

Ini juga merupakan pendapat jamaah sahabat dan tabi'in
sebagaimana yang tampak jelas dalam penafsiran mereka
terhadap ayat "apa yang bisa tampak daripadanya" (an-Nur:
31).

DALIL-DALIL GOLONGAN YANG MEMPERBOLEHKAN
MEMBUKA WAJAH DAN TELAPAK TANGAN

Saya akan kemukakan beberapa dalil syar'iyah terpenting yang
dijadikan dasar oleh golongan yang berpendapat tidak wajib
memakai cadar serta boleh membuka wajah dan telapak tangan -
yaitu jumhur ulama - seperti berikut ini, dan insya Allah
hal ini sudah memadai.

1. Penafsiran sahabat terhadap ayat "kecuali apa yang biasa
tampak daripadanya."

Jumhur ulama dari kalangan sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik (para tabi'in) menafsirkan
firman Allah dalam surat an-Nur ayat 31 ("Dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak
daripadanya") bahwa yang dimaksud adalah "wajah dan telapak
tangan, atau celak dan cincin, serta perhiasan-perhiasan
yang serupa dengannya."

Al-Hafizh as-Suyuthi menyebutkan sejumlah besar pendapat
mengenai masalah ini dalam kitabnya Ad-durrul Mantsur fit
Tafsir bil Ma'tsur.

Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Anas mengenai firman Allah
"dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa
yang biasa tampak daripadanya," yang maksudnya adalah "celak
dan cincin."

Sa'id bin Manshur, Ibnu Jarir, Abdullah bin Humaid, Ibnul
Mundzir, dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.
mengenai bunyi ayat tersebut dengan "celak, cincin,
anting-anting, dan kalung."

Abdur Razaq dan Abd bin Humaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas
mengenai "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya," yaitu
"pemerah kuku dan cincin."

Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim
meriWayatkan dari Ibnu Abbas mengenai "apa yang biasa tampak
daripadanya," yaitu "wajah, telapak tangan, dan cincin."

Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim juga
meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah "kecuali
apa yang biasa tampak daripadanya," yaitu "raut wajah dan
telapak tangan."

Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan
al-Baihaqi dalam sunan-nya, meriwayatkan dari Aisyah r.a.
bahwa beliau pernah ditanya mengenai perhiasan yang biasa
tampak itu, lalu beliau menJawab, "gelang dan cincin."
Beliau mengatakan demikian sambil mengatupkan ujung lengan
bajunya.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ikrimah mengenai firman
Allah "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya." Menurut
beliau yang dimaksud adalah "wajah dan lingkar leher (antara
dua tulang selangka)."

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Sa'id bin Jubair mengenai ayat
tersebut dengan penafsiran "wajah dan telapak tangan." Ibnu
Jarir juga meriwayatkan dari 'Atha mengenai ayat yang sama
dengan penafsiran "kedua telapak tangan dan wajah."

Abdur Razaq dan Ibnu Jarir, dari Qatadah, menasirkan ayat
tersebut dengan "kedua gelang, cincin, dan celak." Menurut
Qatadah, "Telah sampai berita kepadaku bahwa Nabi saw.
bersabda:

"Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari
akhir (untuk menampakkan tangannya) kecuali hingga ini,
seraya beliau memegang separo lengannya."

Abdur Razaq dan Ibnu Jarir, dari Ibnu Juraij, yang mengutip
perkataan Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud bunyi ayat "dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang
biasa tampak daripadanya" adalah "cincin dan gelang."

Menurut Ibnu Juraij, Aisyah pernah berkata, "Anak perempuan
dari saudara laki-lakiku seibu, yaitu Abdullah bin Thufail,
pernah masuk ke tempatku dengan mengenakan perhiasan. Dia
masuk ke tempat Nabi saw., kemudian beliau berpaling." Lalu
Aisyah berkata "Sesungguhnya dia adalah anak perempuan
saudara laki-lakiku dan dia seorang pembantu." Kemudian
beliau bersabda:

"Apabila seorang wanita telah dewasa, ia tidak boleh
menampakkan selain wajahnya dan selain yang di bawah ini."

Seraya beliau memegang lengannya sendiri, lalu beliau
biarkan antara pegangannya itu dengan telapak tangan
sepanjang segenggam tangan."7

Namun, dalam hal ini Ibnu Mas'ud berbeda pendapat dengan
Ibnu Abbas, Aisyah, dan Anas radhiyallahu 'anhum. Ibnu
Mas'ud berkata, "Apa yang biasa tampak itu ialah pakaian dan
jilbab."

Menurut pendapat saya, penafsiran Ibnu Abbas dan yang
sependapat dengannya itu merupakan penafsiran yang rajih
(kuat), karena pengecualian dalam ayat "kecuali apa yang
biasa tampak daripadanya" itu datang setelah larangan
menampakkan perhiasan, yang hal ini menunjukkan semacam
rukhshah (keringanan) dan pemberian kemudahan, sedangkan
tampaknya selendang, jilbab, dan pakaian-pakaian luar
lainnya sama sekali bukan rukhshah atau kemudahan, atau
menghilangkan kesulitan, karena tampak atau terlihatnya
pakaian luar itu sudah otomatis. Oleh karena itu, pendapat
ini dikuatkan oleh ath-Thabari, al-Qurthubi, ar-Razi,
al-Baidhawi, dan lain-lainnya, dan ini merupakan pendapat
jumhur ulama.

Adapun al-Qurthubi menguatkan pendapat ini karena sudah
lumrah wajah dan tangan itu tampak baik dalam adat maupun
dalam ibadah, seperti dalam shalat dan haji. Oleh karena
itu, tepatlah apabila istitsna' (pengecualian) itu kembali
kepadanya.

Pendapat ini dimantapkan dengan hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Daud bahwa Asma binti Abu Bakar pernah menghadap
Nabi saw. dengan mengenakan pakaian yang tipis, lalu Nabi
saw. berpaling seraya berkata:

"'Wahai Asma, apabila wanita telah mengeluarkan darah haid
(sudah dewasa), maka tidak boleh tampak dari tubuhnya selain
ini dan ini,' dan beliau berisyarat kepada wajah dan kedua
tangannya."

Memang, kalau hanya hadits ini saja tidak dapat dijadikan
hujjah karena kemursalannya dan kelemahan perawinya dari
Aisyah, sebagaimana yang sudah dimaklumi, tetapi ia
mempunyai syahid (pendukung) dari hadits Asma binti Umais
sehingga kedudukannya menjadi kuat, ditambah lagi dengan
praktek kaum wanita pada zaman Nabi saw. dan para
sahabatnya. Oleh karena itu, pakar hadits al-Albani
menghasankannya dalam kitab-kitabnya, seperti: Hijab
al-Mar'ah al-Muslimah, al-Irwa', Shahih al-Jam'i
ash-Shaghir, dan Takhrij al-Halal wal-Haram.

2. Perintah Mengulurkan Kerudung ke Dada, bukan ke Wajah
Allah berfirman:

"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya
..." (an-Nur: 31 )

Lafal al-khumuru adalah bentuk jamak dari kata khimaaru,
yaitu tutup kepala, sedangkan lafal al-juyuubu adalah bentuk
jamak dari kata jaibu, yaitu belahan dada pada baju atau
lainnya. Maka wanita-wanita mukminah diperintahkan
menutupkan dan mengulurkan penutup kepalanya sehingga dapat
menutupi leher dan dadanya, dan jangan membiarkannya
terlihat sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliah.

Seandainya menutup muka itu wajib, niscaya dijelaskan dengan
tegas oleh ayat itu dengan memerintahkan wanita menutup
wajahnya, sebagaimana dengan tegas ayat itu memerintahkan
mereka menutup dadanya. Karena itu, setelah mengemukakan
ayat ini Ibnu Hazm berkata, "Maka Allah Ta'ala memerintahkan
mereka (kaum wanita) menutupkan kerudungnya ke dadanya, dan
ini merupakan nash untuk menutup aurat, leher, dan dada, dan
ini juga merupakan nash yang memperbolehkan membuka wajah,
dan tidak mungkin dapat diartikan selain itu."8

3. Perintah kepada Laki-laki untuk Menahan Pandangan

Al-Qur'an dan As-Sunnah menyuruh laki-laki menahan
pandangannya. Firman Allah:

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."
(an-Nur: 30)


Sabda Nabi saw.:

"Jaminlah untukku enam perkara, niscaya aku menjamin untuk
kamu surga, yaitu jujurlah bila kamu berbicara, tunaikanlah
jika kamu diamanati, dan tahanlah pandanganmu ...?"9

"Janganlah engkau ikuti pandangan (pertama) dengan pandangan
(berikutnya), karena engkau hanya diperbolehkan melakukan
pandangan pertama itu dan tidak diperbolehkan pandangan yang
kedua."10

"Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang telah
mampu kawin, maka kawinlah, karena kawin itu lebih dapat
menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan..." (HR
al-Jama'ah dari Ibnu Mas'ud)

Kalau seluruh wajah itu harus tertutup dan semua wanita
harus memakai cadar, maka apakah arti anjuran untuk menahan
pandangan? Dan apakah yang dapat dilihat oleh mata jika
wajah itu tidak terbuka yang memungkinkan menarik minat dan
dapat menimbulkan fitnah? Dan apa artinya bahwa kawin itu
dapat lebih menundukkan pandangan jika mata tidak pernah
dapat melihat sesuatu pun dari tubuh wanita?

4. Ayat "meskipun kecantikannya menarik hatimu"

Hal ini diperkuat lagi oleh firman Allah:

"Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah
itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan
istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik
hatimu..." (al-Ahzab: 52)

Maka dari manakah laki-laki akan tertarik kecantikan wanita
kalau tidak ada kemungkinan melihat wajah yang sudah
disepakati merupakan pusat kecantikan wanita?

5. Hadits: "Apabila salah seorang di antara kamu melihat
wanita lantas ia tertarik kepadanya."

Nash-nash dan fakta-fakta menunjukkan bahwa umumnya kaum
wanita pada zaman Nabi saw. jarang sekali yang memakai
cadar, bahkan wajah mereka biasa terbuka.

Diantaranya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Muslim, dan Abu Daud dari Jabir bahwa Nabi saw. pernah
melihat seorang wanita lalu beliau tertarik kepadanya,
kemudian beliau mendatangi Zainab - istrinya - yang waktu
itu sedang menyamak kulit, kemudian beliau melepaskan
hasratnya, dan beliau bersabda:

"Sesungguhnya wanita itu datang dalam gambaran setan dan
pergi dalam gambaran setan. Maka apabila salah seorang
diantara kamu melihat seorang wanita lantas ia tertarõk
kepadanya, maka hendaklah ia mendatangi istrinya, karena
yang demikian itu dapat menghalangkan hasrat yang ada dalam
hatinya itu." (HR Muslim)11

Hadits ini juga diriwayatkan oleh ad-Darimi dari ibnu
Mas'ud, tetapi istri Nabi saw. yang disebutkan di situ ialah
"Saudah," dan beliau bersabda:

"Siapa saja yang melihat seorang wanita yang menarik
hatinya, maka hendaklah ia mendatangi istrinya, karena apa
yang dimiliki wanita itu ada pula pada istrinya."

Imam Ahmad meriwayatkan kisah itu dari hadits Abi Kabsyah
al-Anmari bahwa Nabi saw. bersabda:

"Seorang wanita (si Fulanah) melewati saya, maka timbullah
hasrat hatiku terhadap wanita itu, lalu saya datangi salah
seorang istri saya, kemudian saya campuri dia. Demikianlah
hendaknya yang kamu lakukan, karena diantara tindakanmu yang
ideal ialah melakukan sesuatu yang halal."12

Peristiwa yang menjadi sebab atau latar belakang timbulnya
hadits ini menunjukkan bahwa Rasul yang mulia melihat
seorang wanita tertentu, lantas timbul hasratnya terhadap
wanita itu, sebagaimana layaknya manusia dan seorang
laki-laki. Tentu saja, hal ini tidak mungkin terjadi tanpa
melihat wajahnya, sehingga dapat dikenal si Fulanah atau si
Anu. Dalam hal ini, pandangannya itulah yang menimbulkan
hasratnya selaku manusia, sebagaimana sabda beliau: "Apabila
salah seorang diantara kamu melihat seorang wanita lantas
hatinya tertarik kepadanya ..." Maka menunjukkan bahwa hal
ini mudah terjadi dan biasa terjadi.

6. Hadits: "Lalu beliau menaikkan pandangannya dan
mengarahkannya."

Diantaranya lagi ialah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Muslim dari Sahl bin Sa'ad bahwa seorang wanita datang
kepada Nabi saw. lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, saya
datang hendak memberikan diri saya kepadamu." Lalu
Rasulullah saw. melihatnya, lantas menaikkan pandangannya
dan mengarahkannya terhadapnya, kemudian menundukkan
kepalanya. Ketika wanita itu tahu bahwa Rasulullah saw.
tidak berminat kepadanya, maka ia pun duduk.

Seandainya wanita itu tidak terbuka wajahnya, niscaya Nabi
saw. tidak mungkin dapat melihat kepadanya, dan memandangnya
agak lama, dengan menaikkan dan mengarahkan pandangannya
(memandang ke atas dan ke bawah, dari atas sampai bawah).

Wanita itu berbuat demikian bukanlah untuk keperluan
pinangan. Kemudian dia menutup wajahnya setelah itu, bahkan
disebutkan bahwa dia lantas duduk dalam kondisi seperti pada
waktu dia datang. Maka sebagian sahabat yang hadir dan
melihat wanita tersebut meminta kepada Rasulullah saw. agar
menikahkannya dengan wanita itu.

7. Hadits al-Khats'amiyah dan al-Fadhl bin Abbas

Imam Nasa'i meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa seorang
wanita dari Khats'am meminta fatwa kepada Rasulullah saw.
pada waktu haji wada' dan al-Fadhl bin Abbas pada waktu itu
membonceng Rasulullah saw. Kemudian Imam Nasa'i menyebutkan
kelanjutan hadits itu, "Kemudian al-Fadhl melirik wanita
itu, dan ternyata dia seorang wanita yang cantik. Rasulullah
saw. lantas memalingkan wajah al-Fadhl ke arah lain."

lbnu Hazm berkata, "Andaikata wajah itu aurat yang harus
ditutup, sudah barang tentu Rasulullah saw. tidak mengakui
(tidak membenarkan) wanita itu membuka wajahnya di hadapan
orang banyak, dan sudah pasti beliau menyuruhnya melabuhkan
pakaiannya dari atas. Dan seandainya wajahnya tertutup
niscaya putra Abbas itu tidak akan tahu apakah wanita itu
cantik atau jelek. Dengan demikian, secara meyakinkan
benarlah apa yang kami katakan. Segala puji kepunyaan Allah
dengan sebanyak-banyaknya."

Imam Tirmidzi meriwayatkan cerita ini dari hadits Ali r.a.
yang di situ disebutkan: "Dan Nabi saw. memalingkan wajah
al-Fadhl. Lalu al-Abbas bertanya, 'Wahai Rasulullah, mengapa
engkau putar leher anak pamanmu?' beliau menjawab, 'Aku
melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, dan aku tidak
merasa aman terhadap gangguan setan kepada mereka.'"

Tirmidzi berkata, "Hadits (di atas) hasan sahih."13

Al-Allamah asy-Syaukani berkata:

"Dari hadits ini Ibnu Qudamah mengistimbath hukum akan
bolehnya melihat wanita ketika aman dari fitnah, karena Nabi
saw. tidak menyuruhnya menutup wajah. Seandainya al-Abbas
tidak memahami bahwa memandang itu boleh, niscaya ia tidak
akan bertanya, dan seandainya apa yang dipahami Abbas itu
tidak boleh niscaya Nabi saw. tidak akan mengakuinya."

Selanjutnya beliau berkata:

"Hadits ini dapat dijadikan dalil untuk mengkhususkan ayat
hijab yang disebutkan sebelumnya, yakni (yang artinya):
"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir."
(al-Ahzab: 53).

Ayat tersebut khusus mengenai istri-istri Nabi saw., sebab
kisah al-Fadhl itu terjadi pada waktu haji wada', sedangkan
ayat hijab itu turun pada waktu pernikahan Zainab, pada
tahun kelima hijrah,14 (yang berarti ayat ini lebih dulu
turun daripada peristiwa al-Fadhl itu; penj.).

8. Hadits-hadits Lain

Diantara hadits-hadits lain yang menunjukkan hal ini ialah
yang diriwayatkan dalam ash-Shahih dari Jabir bin Abdullah,
dia berkata: Saya hadir bersama Rasulullah saw. pada hari
raya (Id), lalu beliau memulai shalat sebelum khutbah ....
Kemudian beliau berjalan hingga tiba di tempat kaum wanita,
lantas beliau menasihati dan mengingatkan mereka seraya
bersabda: "Bersedekahlah kamu karena kebanyakan kamu adalah
umpan neraka Jahanam." Lalu berdirilah seorang wanita yang
baik yang kedua pipinya berwarna hitam kemerah-merahan, lalu
ia bertanya, "Mengapa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab:

"Karena kamu banyak mengeluh dan mengkufuri pergaulan
(dengan suami)."

Jabir berkata, "Lalu mereka menyedekahkan perhiasan mereka,
melemparkan anting-anting dan cincin mereka ke pakaian
Bilal."

Maka, dari manakah Jabir mengetahui bahwa pipi wanita itu
hitam kemerah-merahan kalau wajahnya tertutup dengan cadar?

Selain itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan kisah shalat Id
dari Ibnu Abbas, bahwa dia menghadiri shalat Id bersama
Rasulullah saw., dan beliau berkhutbah sesudah shalat,
kemudian beliau datang kepada kaum wanita bersama Bilal
untuk menasihati dan mengingatkan mereka serta menyuruh
mereka bersedekah. Ibnu Abbas berkata, "Maka saya lihat
mereka mengulurkan tangan mereka ke bawah dan melemparkan
(perhiasannya) ke pakaian Bilal."

Ibnu Hazm berkata, "Ibnu Abbas di sisi Rasulullah saw.
melihat tangan wanita-wanita itu. Maka benarlah bahwa tangan
dan wajah wanita itu bukan aurat."15

Hadits itu juga diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud dan
lafal ini adalah lafal Abu Daud dari Jabir:

"Bahwa Nabi saw. berdiri pada hari raya Idul Fitri, lalu
beliau melakukan shalat sebelum kbutbah, kemudian beliau
mengkhutbahi orang banyak. Setelah selesai kbutbah, Nabi
saw. turun, lalu beliau mendatangi kaum wanita seraya
mengingatkan mereka, sambil bertelekan pada tangan Bilal,'
dan Bilal membentangkan pakaiannya tempat kaum wanita
melemparkan sedekah." Jabir berkata "Seorang wanita
melemparkan cincinnya yang besar dan tidak bermata, dan
wanita-wanita lain pun melemparkann sedekahnya."16

Abu Muhammad bin Hazm berkata, "Al-Fatakh ialah
cincin-cincin besar yang biasa dipakai oleh kaum wanita pada
jari-jari mereka seandainya mereka tidak membuka
tangan-tangan mereka maka tidak mungkin mereka dapat melepas
dan melemparkan cincin-cincin itu."17

Diantaranya lagi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim dari Aisyah r.a., ia berkata, "Wanita-wanita mukminah
menghadiri shalat subuh bersama Nabi saw. sambil
menyelimutkan selimut mereka. Kemudian mereka pulang ke
rumah masing-masing setelah selesai menunaikan shalat,
sedangkan mereka tidak dikenal (satu per satu) karena hari
masih gelap."

Mafhum riwayat ini menunjukkan bahwa wanita-wanita itu dapat
dikenal jika hari tidak gelap, dan mereka itu hanya dapat
dikenal apabila wajah mereka terbuka.

Diantaranya lagi ialah riwayat Muslim dalam Shahih-nya bahwa
Subai'ah binti al-Harits menjadi istri Sa'ad bin Khaulah,
salah seorang yang turut serta dalam Perang Badar. Sa'ad
meninggal dunia pada waktu haji wada' ketika Subai'ah sedang
hamil. Tidak lama setelah kematian Sa'ad itu dia pun
melahirkan kandungannya. Maka ketika telah berhenti
nifasnya, dia bersolek untuk mencari pinangan, lalu
datanglah Abus Sanabil bin Ba'kuk kepadanya seraya bertanya
"Mengapa aku lihat engkau bersolek, barangkali engkau ingin
kawin? Demi Allah, sesungguhnya engkau belum boleh kawin,
sehingga berlalu atasmu tenggang waktu selama empat bulan
sepuluh hari." Subai'ah berkata, "Setelah dia berkata begitu
kepadaku, maka aku kumpulkan pakaianku pada sore harinya,
lalu aku datang kepada Rasulullah saw. dan aku tanyakan hal
itu kepada beliau, lalu beliau memberi fatwa kepadaku bahwa
aku telah halal untuk kawin lagi setelah aku melahirkan
kandunganku, dan beliau menyuruhku kawin apabila sudah ada
calon yang cocok untukku."

Hadits ini menunjukkan bahwa Subai'ah muncul dengan bersolek
di hadapan Abus Sanabil, padahal Abus Sanabil itu bukan
mahramnya, bahkan ia termasuk salah seorang yang melamarnya
setelah itu. Seandainya wajahnya tidak terbuka, sudah tentu
Abus Sanabil tidak tahu apakah dia bersolek atau tidak.

Dan diriwayatkan dari Ammar bin Yasir r.a. bahwa seorang
laki-laki dilewati oleh seorang wanita dihadapannya, lalu
dia memandangnya dengan tajam, kemudian dia melewati suatu
dinding lantas wajahnya terbentur dinding, lantas dia datang
kepada Rasulullah saw. sedangkan mukanya berdarah, lalu dia
berkata, Wahai Rasulullah, saya telah berbuat begini dan
begini." Lalu Rasulullah saw saw. bersabda:

"Apabila Allah menghendakõ kebaikan bagi seseorang, maka
disegerakannya hukuman dosanya di dunia, dan jika Dia
menghendaki yang lain untuk orang itu, maka ditunda-Nya
hukuman atas dosa-dosanya sehingga dibalasnya secara penuh
pada hari kiamat seakan-akan dia itu himar."18

Ini menunjukkan bahwa wanita-wanita itu menampakkan atau
terbuka wajahnya, dan diantaranya ada yang wajahnya menarik
pandangan laki-laki sehingga yang bersangkutan terbentur
dinding karena memandangnya dan berdarah mukanya.

9. Para Sahabat Memandang Aneh Memakai Cadar

Diperoleh keterangan dalam Sunnah yang menunjukkan bahwa
apabila pada suatu waktu ada wanita yang memakai cadar, maka
hal itu dianggap aneh, menarik perhatian, dan menimbulkan
pertanyaan,

Abu Daud meriwayatkan dari Qais bin Syamas r.a., ia berkata,
"Seorang wanita yang bernama Ummu Khalad datang kepada Nabi
saw. sambil memakai cadar (penutup muka) untuk menanyakan
anaknya yang terbunuh. Lalu sebagian sahabat Nabi berkata
kepadanya, 'Anda datang untuk menanyakan anak Anda sambil
memakai cadar?' Lalu dia menjawab, 'Jika aku telah
kehilangan anakku, maka aku tidak kehilangan perasaan maluku
..."19

Jika cadar itu sudah menjadi kebiasaan pada waktu itu, maka
tidak perlulah si perawi mengatakan bahwa dia datang dengan
"memakai cadar," dan tidak ada artinya pula keheranan para
sahabat dengan mengatakan, "Anda datang untuk menanyakan
anak Anda sambil memakai cadar?"

Bahkan dari jawaban wanita itu menunjukkan bahwa perasaan
malunyalah yang mendorongnya memakai cadar, bukan karena
perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan seandainya cadar itu
diwajibkan oleh syara', maka tidak mungkin ia menjawab
dengan jawaban seperti itu, bahkan tidak mungkin timbul
pertanyaan dari para sahabat dengan pertanyaan seperti itu,
karena seorang muslim tidak akan menanyakan, "Mengapa dia
melakukan shalat? Mengapa dia mengeluarkan zakat?" Dan telah
ditetapkan dalam kaidah, "Apa yang sudah ada dasarnya tidak
perlu ditanyakan 'illat-nya."

10.Tuntutan Muamalah Mengharuskan Mengenal/Mengetahui
Pribadi yang Bersangkutan

Muamalah (pergaulan) seorang wanita dengan orang lain dalam
berbagai persoalan hidup mengharuskan pribadinya dikenal
oleh orang-orang yang bermuamalah dengannya, baik sebagai
penjual maupun pembeli, yang mewakilkan maupun yang menjadi
wakil, menjadi saksi, penggugat, ataupun tergugat. Karena
itu, para fuqaha telah sepakat bahwa seorang wanita harus
membuka wajahnya apabila sedang beperkara di muka
pengadilan, sehingga hakim bisa mengetahui personalia saksi
dan orang-orang yang beperkara. Seseorang (wanita) tidak
mungkin dapat diketahui atau dikenal identitasnya jika
sebelumnya wajahnya tidak dikenal oleh masyarakat. Maka
tidak ada artinya bagi seorang wanita membuka wajahnya di
sidang pengadilan jika sebelumnya memang tidak pernah
dikenal oleh masyarakat di sekitarnya.

Dalil-dalil Golongan yang Mewajibkan Cadar

Setelah kita mengetahui dalil-dalil cemerlang dari jumhur
ulama, sekarang kita coba lihat dalil-dalil golongan
minoritas yang menentangnya.

Sebetulnya saya tidak menemukan - bagi golongan yang
mewajibkan cadar dan menutup muka dan tangan - dalil syara'
yang shahih tsubut (jalan periwayatannya) dan sharih
dilalahnya (jelas petunjuknya) yang selamat dari sanggahan,
yang sekiranya dapat melapangkan dada dan menenangkan hati.

Semua dalil mereka merupakan nash-nash yang mutasyabihat
(samar) yang ditolak oleh nash-nash muhkamat dan
bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas dan terang.

Berikut ini saya kemukakan beberapa dalil yang mereka anggap
paling kuat berikut sanggahan saya terhadapnya.

A. Penafsiran sebagian ahli tafsir terhadap ayat "jilbab"
yang termaktub dalam firman Allah berikut:

"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: 'Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak diganggu ..." (al-Ahzab: 59)

Diriwayatkan dari beberapa mufasir (ahli tafsir) salaf
mengenai penafsiran "mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh
mereka" bahwa mereka menutupkan jilbab mereka ke seluruh
wajah mereka, dan tidak ada yang tampak sedikit pun kecuali
sebelah matanya untuk melihat.

Penafsiran tersebut di antaranya diriwayatkan dari Ibnu
Mas'ud, Ibnu Abbas, dan Ubaidah as-Salmani. Tetapi, tidak
ada kesepakatan mengenai makna "jilbab" dan "mengulurkan"
dalam ayat tersebut.

Yang mengherankan justru dijumpai penafsiran dari Ibnu Abbas
yang bertentangan dengan penafsiran tersebut ketika
menafsirkan firman Allah "kecuali apa yang biasa tampak
daripadanya" (an-Nur: 31). Yang lebih mengherankan lagi
ialah sebagian ahli tafsir berbeda-beda dalam menafsirkan
surat al-Ahzab, tetapi mereka memilih penafsiran yang justru
bertentangan dengan penafsiran surat an-Nur.

Didalam Syarah Muslim dalam mensyarah hadits Ummu Athiyah
tentang shalat Id (artinya): "Salah seorang diantara kami
tidak mempunyai jilbab ..." Imam Nawawi berkata: "An-Nadhr
bin Syamil berkata, 'jilbab itu ialah kain (pakaian) yang
lebih pendek tetapi lebih lebar daripada kerudung, yaitu
tutup kepala yang dipakai wanita untuk menutup kepalanya.
Ada juga yang mengatakan bahwa jilbab adalah pakaian yang
luas tetapi masih dibawah selendang, yang digunakan oleh
wanita untuk menutup dada dan punggungnya. Ada pula yang
mengatakannya seperti selimut. Ada yang mengatakannya
sarung, serta ada pula yang mengatakannya kerudung."20

Tetapi bagaimanapun, sesungguhnya firman Allah "hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" tidak
memastikan menutup wajah, baik dilihat dari segi bahasa
maupun dari segi adat kebiasaan, dan tidak ada satu pun
dalil dari Al- Qur'an As-Sunnah, maupun ijma, yang
menetapkan begitu. Disamping itu pendapat sebagian ahli
tafsir bahwa ayat itu memastikan menutup muka, bertentangan
dengan pendapat sebagian yang lain yang mengatakan bahwa
ayat itu tidak menetapkan menutup muka, sebagaimana yang
dikatakan oleh pengarang Adhwa'ui Bayan rahimahullah

Dengan demikian, pengajuan ayat tersebut sebagai dalil untuk
menetapkan kewajiban menutup wajah menjadi gugur.

B. Yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dalam menafsirkan
firman Allah: "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan
mereka kecuali yang biasa tampak daripadanya," bahwa apa
yang biasa tampak dari perhiasan itu ialah selendang dan
pakaian luar.

Penafsiran ini bertentangan dengan penafsiran yang sahih
dari sahabat-sahabat lain seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar,
Aisyah, Anas, dan para tabi'in bahwa yang dimaksud ialah
celak dan cincin, atau bagian tubuh yang ditempati celak dan
cincin, yakni wajah dan tangan. Ibnu Hazm mengemukakan bahwa
ketetapan riwayat dari sahabat mengenai penafsiran ini
sangat sahih.

Penafsiran (yang kedua) ini didukung oleh keterangan yang
dikemukakan oleh Al-Allamah Ahmad bin Ahmad Asy-Syanqithi di
dalam kitab Mawahibul Jalil min Adillati Khalil, beliau
berkata, "Barangsiapa yang bergantung pada penafsiran Ibnu
Mas'ud terhadap ayat 'kecuali yang biasa tampak daripadanya'
bahwa yang dimaksud ialah selimut, maka dapat diberi
jawaban: sebaik-baik perkara untuk menafsirkan Al-Qur'an
adalah Al-Qur'an, dan Al-Qur'an menafsirkan zinatul mar'ah
dengan al-huliyi (perhiasan). Allah SWT berfirman:

"... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nur: 31 )21

Maka nyatalah bahwa arti zinatul mar'ah ialah perhiasan
(gelang kaki dan sebagainya).22

Ini diperkuat pula dengan apa yang saya katakan sebelumnya
bahwa pengecualian dalam ayat tersebut dimaksudkan untuk
memberi keringanan dan kemudahan. Sedangkan terlihatnya
pakaian luar seperti selimut dan sebagainya itu merupakan
sesuatu yang pasti terlihat, bukan rukhshah (keringanan)
juga bukan pemberian kemudahan.

C. Apa yang dikemukakan oleh pengarang Adhwa'ul Bayan tentang
berdalil dengan firman Allah mengenai istri-istri Nabi:

"... Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(istri-istri Nabi), maka mintalah dan belakang tabir. Cara
yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka
..." (al-Ahzab: 53)

Sesungguhnya penetapan 'illat dari Allah terhadap hukum
mewajibkan hijab - karena hati laki-laki dan perempuan akan
lebih suci dari keragu-raguan sebagaimana tersebut dalam
firman-Nya "yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan
hati mereka" - merupakan indikasi yang jelas yang
menunjukkan tujuan hukum. Karena tidak ada seorang pun
diantara kaum muslimin yang mengatakan bahwa selain
istri-istri Nabi saw. tidak memerlukan kesucian hati (tidak
perlu disucikan hatinya) dari keraguan/kecurigaan.

Namun demikian, apabila orang mau merenungkan makna dan
susunan kalimat ayat tersebut niscaya akan dia dapati bahwa
"kesucian yang disebutkan sebagai 'illat hukum bukanlah dari
keraguan mereka (para istri Nabi saw.), sebab keraguan
semacam ini jauh dari mereka yang memiliki kedudukan
demikian luhur. Selain itu, tidak terbayangkan jika di hati
ummahatul mu'minin serta para sahabat - yang masuk ke tempat
mereka - terdapat keraguan atau kecurigaan seperti itu.
Tetapi kesucian itu semata-mata dari memikirkan perkawinan
yang halal yang kadang-kadang memang terlintas dalam hati
salah satu pihak - sepeninggal Rasulullah saw..

Sedangkan argumentasi mereka dengan ayat "maka mintalah
kepada mereka dari belakang tabir" tidaklah benar, karena
hal ini khusus mengenai istri-istri Nabi sebagaimana yang
tampak dengan jelas. Demikian juga, perkataan mereka: ("Yang
dipakai ialah keumuman lafal, bukan khusus yang berkaitan
dengan sebabnya") tidaklah berlaku disini, sebab lafal ayat
tersebut bukan lafal umum. Begitupun halnya dengan qiyas
yang mereka lakukan - yang menyamakan semua wanita dengan
istri-istri Nabi-merupakan qiyas yang tertolak. Qiyas
seperti itu termasuk qiyas ma'a al-faariq (qiyas yang
berantakan, tidak memenuhi syarat), karena mereka
(istri-istri Nabi) terkena hukum yang berat yang tidak
dikenakan kepada selain mereka. Karena itu Allah berfirman:

"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita
yang lain ..." (al-Ahzab: 32)

D. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dari
Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Janganlah wanita yang sedang ihram memakai cadar dan jangan
memakai kaos tangan."23

Hadits tersebut, menurut mereka, menunjukkan bahwa cadar dan
kaos tangan sudah terkenal di kalangan wanita yang tidak
sedang ihram.

Saya tidak menyangkal bahwa sebagian wanita mengenakan cadar
dan kaos tangan atas kemauan mereka sendiri, ketika tidak
sedang melakukan ihram. Tetapi, mana dalil yang menunjukkan
bahwa yang demikian itu wajib? Bahkan kalau peristiwa atau
hadits ini dijadikan dalil untuk menunjukkan yang
sebaliknya, maka itulah yang rasional, sebab
larangan-larangan dalam ihram itu pada asalnya adalah mubah,
seperti mengenakan pakaian yang berjahit, wangi-wangian,
berburu, dan sebagainya. Tidak ada sesuatu pun yang asalnya
wajib kemudian dilarang dalam ihram.

Karena itu, banyak fuqaha - sebagaimana telah saya sebutkan
sebelumnya - yang justru berdalil dengan hadits ini untuk
menetapkan bahwa wajah dan tangan itu bukan aurat; sebab
kalau tidak demikian maka tidak mungkin beliau mewajibkan
membukanya (pada waktu ihram).

E. Riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Baihaqi dari
Aisyah, ia berkata:

"Ada beberapa orang yang menunggang kendaraan yang melewati
kami ketika kami sedang berihram bersama Rasulullah saw..
Apabila mereka berpapasan dengan kami, masing-masing kami
mengulurkan jilbabnya dan kepalanya ke atas wajahnya, dan
apabila mereka telah melewati kami maka kami buka jilbab
itu."

Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah karena beberapa hal:

1.Hadits ini dha'if, karena di dalam isnadnya terdapat Yazid
bin Abi Ziyad, sedangkan dia menjadi pembicaraan. Sedangkan
hadits dha'if tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan
hukum.

2.Apa yang dilakukan Aisyah dalam hadits ini (seandainya
bersanad sahih) tidak menunjukkan kepada wajib, karena
perbuatan Rasul sendiri tidak menunjukkan hukum wajib, maka
bagaimana lagi dengan perbuatan orang yang selain beliau?

3.Kita mengenal kaidah dalam ushul: "bahwa suatu kejadian
yang mengandung serba kemungkinan, maka ia adalah mujmal
(global) karena itu tidak dapat dijadikan dalil."

Dengan demikian, kemungkinan yang terjadi disini ialah bahwa
hal itu merupakan hukum khusus mengenai para ummul mu'minin
(istri-istri Nabi saw.) disamping hukum-hukum khusus lainnya
untuk mereka, seperti haramnya mengawini mereka sepeninggal
Rasulullah saw., dan sebagainya.24

F. Riwayat Imam Tirmidzi secara marfu':

"Wanita itu aurat; apabila ia keluar maka ia didekati oleh
setan."25

Sebagian ulama Syafi'iyah dan Hanabilah menjadikan hadits
ini sebagai dasar untuk menetapkan bahwa seluruh tubuh
wanita adalah aurat, serta mereka tidak mengecualikan wajah,
tangan, dan kaki. Sebenarnya hadits ini tidak menetapkan
hukum secara menyeluruh sebagaimana yang mereka kemukakan
itu, tetapi hanya menunjukkan bahwa pada dasarnya wanita itu
terlindungi dan tertutup, tidak terbuka dan terhina. Dan
hadits ini cukup menetapkan bahwa sebagian besar tubuh
wanita itu aurat. Andaikata hadits ini hanya diambil
pengertian lahiriahnya, niscaya tidak boleh membuka sedikit
pun tubuhnya dalam shalat dan haji, tetapi hal ini
bertentangan dengan dalil yang sahih dan meyakinkan -
tentang dibukanya wajah dan tangan dalam shalat dan haji.

Maka, bagaimana mungkin dapat digambarkan bahwa wajah dan
tangan itu aurat, padahal sudah disepakati tentang dibukanya
pada waktu shalat dan wajib membukanya pada waktu ihram?
Apakah masuk akal bahwa syara' memperbolehkan membuka aurat
pada waktu shalat dan mewajibkan membukanya pada waktu ihram
- kalau wajah dan tangan itu termasuk aurat?

G. Ada dalil lain yang dipakai golongan yang mewajibkan cadar
ini apabila mereka tidak mendapatkan dalil nash yang
muhkamat, yaitu mereka menggunakan saddudz dzari'ah (menutup
pintu kerusakan/usaha preventif) . Inilah senjata mereka
yang termasyhur apabila senjata-senjata lainnya sudah
tumpul.

Saddudz dzari'ah ini dimaksudkan untuk mencegah sesuatu yang
mubah karena dikhawatirkan akan terjatuh pada yang haram.
Tetapi' hal ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha,
antara golongan yang melarang dan memperbolehkan (penggunan
teori ini), serta antara yang memperlapang dan mempersempit.
Al-Allamah Ibnul Qayyim mengemukakan sembilan alasan yang
menunjukkan disyariatkannya saddudz dzari'ah ini dalam kitab
beliau llam al-Muwaqqi'in.

Tetapi, yang sudah menjadi ketetapan para muhaqqiq dari
kalangan ulama fiqih dan ushul ialah bahwa berlebih-lebihan
dalam menutup "pintu/jalan" sama dengan berlebih-lebihan
dalam membukanya. Berlebihan dalam membuka "jalan" akan
mengakibatkan banyak kerusakan yang membahayakan manusia
dalam urusan agama dan dunia mereka. Sedangkan berlebihan
dalam menutup "jalan" akan menghilangkan banyak sekali
kemaslahatan manusia dalam urusan kehidupan dan urusan
akhirat mereka.

Apabila Asy-Syari' (Allah dan Rasul-Nya) telah membuka
sesuatu dengan nash dan kaidah, maka kita tidak boleh
menutupnya dengan pemikiran dan kekhawatiran-kekhawatiran
kita, lantas kita halalkan apa yang telah diharamkan Allah
atau kita membuat syariat yang tidak diizinkan Allah.


Kaum muslim pada zaman dulu telah bersikap sangat ketat
dengan alasan "membendung pintu fitnah" (saddudz dzari'fah
ila al-fitnah), lalu mereka mengharamkan wanita pergi ke
masjid. Dengan demikian, mereka telah menghalangi kaum
wanita untuk mendapatkan kebaikan yang banyak, sedangkan
ayah atau suaminya belum tentu dapat menggantikan apa-apa
yang seharusnya mereka dapatkan dari masjid, seperti ilmu
yang bermanfaat atau nasihat-nasihat yang dapat
menyadarkannya. Sebagai akibatnya, banyak wanita muslimah
yang hanya hidup bersenang-senang dengan tidak pernah sekali
pun ruku kepada Allah. Padahal Rasulullah saw. dengan tegas
mengatakan:

"Janganlah kamu larang hamba-hamba perempuan Allah datang ke
masjid-masjid Allah." (HR Muslim)

Secara berkala terjadilah diskusi-diskusi di kalangan kaum
muslim seputar masalah kegiatan belajar kaum wanita dan
kepergiannya ke sekolah atau kampus. Yang menjadi hujjah
golongan yang melarangnya ialah saddudz dzari'ah. Sementara
itu, kenyataan menunjukkan bahwa wanita yang berpendidikan
lebih mampu membuat keterampilan dan berbagai kesibukan
tulis-menulis atau surat-menyurat. Akhirnya, diskusi itu
berkesudahan dengan keputusan bahwa kaum wanita boleh
mempelajari semua ilmu yang bermanfaat untuk dirinya,
keluarganya, dan masyarakatnya, baik mengenai ilmu agama
maupun ilmu dunia, dan kondisi inilah yang dominan di semua
negara Islam tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya,
kecuali hal-hal yang menyimpang dari adab dan hukum Islam.

Cukuplah bagi kita hukum-hukum dan adab-adab yang telah
ditetapkan oleh syara' untuk menutup pintu kerusakan dan
fitnah. Seperti kewajiban mengenakan pakaian menurut aturan
syara', tidak boleh bertabarruj (membuka aurat), haramnya
berduaan antara laki-laki dan perempuan, wajib bersikap
serius dan sopan dalam berbicara, berjalan, dan
beraktivitas, serta wajib menahan pandangan terhadap lawan
jenis. Kiranya hal ini sudah cukup bagi kita sehingga tidak
perlu lagi kita memikirkan larangan-larangan lain dari kita
sendiri.

H. Diantara dalil mereka lagi: 'urf (kebiasaan) yang berlaku
di kalangan kaum muslim selama beberapa abad, bahwa kaum
wanita menutup wajahnya dengan selubung muka, cadar, dan
sebagainya.

Sebagian ulama berkata: "'Urf didalam syara' mempunyai
penilaian, karena itu diatasnya hukum ditegakkan."

Selain itu, Imam Nawawi dan lainnya telah meriwayatkan dari
Imam al-Haramain - dalam berdalil tentang tidak bolehnya
wanita memandang laki-laki - bahwa kaum muslim telah sepakat
melarang wanita keluar rumah dengan wajah terbuka.

Akan tetapi, saya tolak alasan dan anggapan ini dengan
beberapa alasan sebagai berikut:

1.Bahwa 'urf ini bertentangan dengan 'urf yang berlaku pada
zaman Nabi, zaman sahabat, dan pada zaman generasi terbaik,
yaitu generasi yang mengikuti jejak langkah para sahabat
(yakni tabi'in).

2.Bahwa 'urf itu bukan 'urf umum, bahkan 'urf itu berlaku di
suatu negara tetapi tidak berlaku di desa-desa dan
kampung-kampung, sebagaimana yang sudah dimaklumi.

3.Bahwa perbuatan Nabi al-Ma'shum saw. tidak menunjukkan
hukum wajib, tetapi hanya menunjukkan kebolehan dan
pensyariatan sebagaimana ditetapkan dalam ushul, maka
bagaimana lagi dengan perbuatan orang lain?

Karena itu, 'urf atau kebiasaan ini - meskipun kita terima
sebagai 'urf umum sekalipun - tidak lebih hanya menunjukkan
bahwa mereka menganggap bagus memakai cadar itu, sebagai
sikap kehati-hatian mereka, dan tidak menunjukkan bahwa
mereka mewajibkan cadar sebagai ketentuan agama.

4.'Urf ini bertentangan dengan 'urf atau kebiasaan yang
terjadi sekarang, sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan
perkembangan zaman, tuntutan kebutuhan hidup, tata kehidupan
masyarakat, dan perubahan kondisi kaum wanita dari kebodohan
kepada keilmuan (berpengetahuan), dari kebekuan kepada
pergerakan, dan dari cuma duduk di dalam rumah menuju ke
aktivitas dalam berbagai lapangan yang bermacam-macam.

Sedangkan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan 'urf atau
kebiasaan di suatu tempat dan pada suatu waktu, ia akan
berubah sesuai dengan perubahannya.

SYUBHAT TERAKHIR

Akhirnya saya kemukakan juga di sini suatu syubhat yang
ditimbulkan oleh sebagian orang yang peduli terhadap agama
yang ingin mempersempit ruang kebebasan wanita, yang
ringkasnya sebagai berikut:

"'Kami menerima argumentasi yang Anda kemukakan tentang
disyariatkan (diperbolehkan)-nya wanita membuka wajahnya,
sebagaimana kami juga menerima bahwa kaum wanita pada
periode pertama - masa Nabi dan Khulafa ar-Rasyidin - tidak
memakai cadar melainkan pada keadaan tertentu saja yang
sedikit jumlahnya.

Tetapi kita harus mengerti bahwa zaman itu merupakan zaman
yang ideal, akhlaknya bersih, rohaniahnya tinggi, wanita
aman membuka wajahnya tanpa ada seorang pun yang
mengganggunya. Berbeda dengan zaman kita dimana kerusakan
sudah merajalela, dekadensi moral terjadi dimana-mana,
fitnah menimpa manusia dimana-mana, maka tidak ada yang
lebih utama bagi wanita daripada menutup wajahnya, sehingga
tidak menjadi mangsa serigala-serigala lapar yang senantiasa
mengintainya di setiap penjuru."

Terhadap syubhat ini dapat saya kemukakan jawaban sebagai
berikut:

PERTAMA: bahwa meskipun periode awal merupakan periode yang
ideal, yang tidak ada tandingannya dalam hal kesucian akhlak
dan ketinggian rohaninya, tetapi mereka masih termasuk
periode manusia juga, yang didalamnya ada kelemahan, hawa
nafsu, dan kesalahan. Karena itu di antara mereka ada orang
yang berbuat zina, ada yang dijatuhi hukuman had, ada yang
melakukan tindakan-tindakan yang masih dibawah zina, ada
orang-orang yang durhaka, dan ada pula orang-orang gila dan
sinting yang suka mengganggu kaum wanita dengan melakukan
ulah-ulah yang menyimpang. Dan telah turun ayat (dalam surat
al-Ahzab) yang menyuruh wanita-wanita beriman mengulurkan
jilbab ke tubuh mereka agar mereka dapat dikenal sebagai
wanita-wanita merdeka yang sopan dan menjaga diri hingga
tidak diganggu:

"... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (Al-Ahzab:
59)

Selain itu, telah turun pula beberapa ayat dalam surat
al-Ahzab yang mengancam kaum durhaka dan "sinting" itu jika
mereka tidak mau meninggalkan perbuatan mereka yang hina
itu. Allah berfirman:

"Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik,
orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, d n orang- orang
yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu),
niscaya kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka
kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah)
melainkan dalam waktu yang sebentar, dialam keadaan
terlaknat. Dimana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan
dibunuh dengan sehebat-hebatnya." (al-Ahzab: 60-61)

KEDUA: bahwa dalil-dalil syariah - apabila telah sah dan
jelas-bersifat umum dan abadi. Ia bukan dalil untuk satu
atau dua periode saja, kemudian berhenti dan tidak dijadikan
dalil lagi. Sebab, jika demikian, maka syariat itu hanya
bersifat temporal, tidak abadi, dan hal ini bertentangan
dengan predikatnya sebagai syariat terakhir.

KETIGA: kalau kita buka pintu ini, maka kita bisa saja
menasakh (menghapus) syariat dengan pikiran kita,
orang-orang yang ketat dapat saja menasakh hukum-hukum yang
mudah dan ringan dengan alasan wara' dan hati-hati, dan
orang-orang yang longgar dapat menasakh hukum-hukum yang
telah baku dengan alasan perkembangan zaman dan sebagainya.

Yang benar, bahwa syariat adalah yang menghukumi bukan yang
dihukumi, yang diikuti bukan yang mengikuti, dan kita wajib
tunduk kepada hukum syariat, bukan hukum syariat yang tunduk
kepada peraturan kita:

"Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti
binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di
dalamnya ..." (al-Mu'minun: 71 )

BEBERAPA PERNYATAAN YANG MENGUATKAN PENDAPAT JUMHUR

Saya percaya bahwa persoalan ini telah begitu jelas setelah
saya kemukakan argumentasi kedua belah pihak, dan semakin
jelas bagi kita bahwa pendapat jumhurlah yang lebih rajih
(kuat) dalilnya, lebih mantap pendapatnya, dan lebih lempang
jalannya.

Namun demikian, perlu kiranya saya tambahkan disini beberapa
pernyataan yang menambah kuatnya pendapat jumhur, dan dapat
melegakan hati setiap muslimah yang taat dan mengikuti
pendapat ini tanpa merasa kesulitan, insya Allah.

PERTAMA: Tidak Ada Penugasan dan Pengharaman Kecuali dengan
Nash yang Sahih dan Sharih

Bahwa pada dasarnya manusia itu terbebas dari tanggungan dan
taklif (beban tugas), dan tidak ada taklif kecuali dengan
nash yang pasti. Karena itu, masalah mewajibkan dan
mengharamkan dalam ad-Din itu merupakan suatu urusan yang
serius, bukan urusan sembarangan, sehingga kita tidak
mewajibkan kepada manusia apa yang tidak diwajibkan oleh
Allah, atau kita mengharamkan kepada mereka apa yang
dihalalkan oleh Allah, atau kita membuat syariat atau
peraturan dalam ad-Din yang tidak diizinkan oleh Allah.

Karena itu, para imam salaf dahulu sangat berhati-hati dalam
mengucapkan kata haram kecuali terhadap sesuatu yang sudah
diketahui pengharamannya secara pasti sebagaimana yang
dikemukakan Imam Ibnu Taimiyah dan saya sebutkan dalam kitab
saya al-Halal wal-Haram fil-Islam.

Disamping itu, pada asalnya segala sesuatu dan segala
tindakan yang merupakan adat kebiasaan adalah mubah. Maka
apabila tidak didapati nash yang shahih tsubut
(periwayatannya) dan sharih (jelas) petunjuknya yang
menunjukkan keharamannya, tetaplah hal itu pada asal
kebolehannya. Dan orang yang memperbolehkannya tidak
dituntut dalil, karena apa yang ada menurut hukum asal tidak
perlu ditanyakan 'illat-nya, justru yang dituntut agar
mengemukakan dalil ialah orang yang mengharamkan.26

Sedangkan mengenai masalah membuka wajah dan tangan tidak
saya jumpai nash yang sahih dan sharih yang menunjukkan
keharamannya. Andaikata Allah hendak mengharamkannya niscaya
sudah diharamkan-Nya dengan nash yang jelas dan qath'i yang
tidak meragukan, karena Dia telah berfirman:

"... sesunguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa
yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu
memakannya..." (al-An'am: 119)

Sedangkan dari apa-apa yang telah dijelaskan-Nya tidak kita
dapati masalah haramnya membuka wajah dan telapak tangan.
Maka tidak perlulah kita mempersukar apa yang telah
dimudahkan Allah, sehingga kita tidak tergolong ke dalam
kaum yang disinyalir oleh Allah karena mengharamkan makanan
yang halal:

"... Katakanlah: 'Apakah Allah telah memberikan izin
kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah?'" (Yunus: 59)

KEDUA:Perubahan Fatwa karena Perubahan Zaman

Diantara ketetapan yang tidak diperselisihkan lagi ialah
bahwa fatwa itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman,
tempat, adat kebiasaan, serta situasi dan kondisi.

Saya percaya bahwa zaman kita yang telah memberikan sesuatu
kepada kaum wanita ini telah menjadikan kita menerima
pendapat-pendapat yang mudah, yang menguatkan posisi dan
kepribadian kaum wanita.

Sungguh, musuh-musuh Islam baik dari kalangan misionaris,
Marxis, orientalis, atau lainnya, telah mengekspos kondisi
buruk kaum di beberapa negara Islam, dan menyandarkannya
kepada Islam itu sendiri. Mereka juga berusaha
menjelek-jelekkan hukum-hukum syariat Islam beserta
ajarannya mengenai wanita, dan digambarkannya dengan
gambaran yang tidak cocok dengan hakikat yang dibawa oleh
Islam.

Karena itu saya melihat bahwa keunggulan pendapat dari
sebagian orang pada zaman kita sekarang ialah pendapat yang
menyadarkan kaum wanita dan peran serta kaum wanita serta
kemampuannya menunaikan hak-hak fitrahnya dan hak-hak
syar'iyahnya, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam
kitab saya al-Ijtihad fi asy-Syari'ati Islamiyyah.

KETIGA: Bencana Umum

Saya persilakan wanita muslimah yang sedang sibuk
menjalankan dakwah agar tidak memakai cadar, supaya tidak
terjadi pemisahan antara mereka dengan wanita-wanita
muslimah lainnya, karena kemaslahatan dakwah disini lebih
penting daripada melaksanakan pendapat yang dipandangnya
lebih hati-hati.

Diantara hal yang tidak diperdebatkan lagi ialah bahwa
terjadinya "bencana umum" (meratanya bencana) di kalangan
masyarakat ialah disebabkan oleh sikap meringankan dan
mempermudah urusan sebagai yang sudah diketahui oleh
orang-orang yang sibuk menggeluti ilmu fiqih dan ushul
fiqih, dan untuk ini terdapat banyak fakta dan data.

Dan bencana telah merajalela pada hari ini dengan keluarnya
kaum wanita ke sekolah-sekolah, kampus-kampus, tempat-tempat
kerja, rumah-rumah sakit, pasar-pasar, dan sebagainya.
Mereka sudah tidak betah lagi tinggal di rumah sebagaimana
pada masa-masa sebelumnya. Semua ini menuntut mereka untuk
membuka wajah dan tangannya agar memudahkan gerak dan
pergaulan mereka dengan kehidupan dan makhluk hidup, dalam
mengambil dan memberi, menjual dan membeli, memahami dan
memberikan pemahaman.

Alangkah baiknya kalau semua persoalan itu hanya berhenti
pada yang mubah atau yang diperselisihkan saja seperti
mengenai membuka wajah dan telapak tangan. Tetapi
persoalannya sudah melaju kepada yang sudah jelas-jelas
haram, seperti membuka bahu dan betis, kepala, leher, dan
kuduk, dan wanita-wanita muslimah juga ada yang melakukan
bid'ah-bid'ah Barat (mode-mode) itu. Disisi lain, kita
jumpai pula wanita-wanita muslimah yang berpakaian tetapi
telanjang, yang bergaya dan berlenggak-lenggok dengan
dandanan dan mode rambut sedemikian rupa, persis seperti
yang disinyalir dalam hadits sahih dengan sinyalemen yang
sangat jitu dan tepat.

Bagaimana kita akan bersikap ketat dalam masalah ini,
sedangkan kebebasan dan kebinalan ini sudah terjadi di depan
mata kita?

Sesungguhnya peperangan ini tidak hanya seputar "wajah dan
telapak tangan": apakah boleh dibuka ataukah tidak? Tetapi
peperangan yang sebenarnya ialah dengan mereka yang hendak
menjadikan wanita muslimah sebagai potret wanita Barat, dan
hendak melepaskan identitasnya dan melucuti ghirah
islamiyahnya, lantas mereka keluar rumah dengan berpakaian
tetapi telanjang, dengan berlenggak-lenggok miring ke kanan
dan ke kiri.

Karena itu tidak boleh bagi saudara-saudara kita dan
putri-putri kita yang "bercadar" serta ikhwan dan
putra-putra kita yang "menyerukan cadar" membidikkan
panahnya kepada saudara-saudara mereka yang "berhijab"
(dengan tidak bercadar) dan ikhwan mereka "yang menyerukan
hijab," yang merasa mantap dengan pendapat jumhur umat.
Tetapi hendaklah mereka membidikkan panahnya kepada
orang-orang yang menyerukan budaya buka-bukaan, telanjang,
dan melepaskan adab Islam.

Sesungguhnya wanita muslimah yang mengenakan hijab syar'i
itu sendiri sering berperang (berjuang) menghadapi
lingkungannya, keluarganya, dan masyarakatnya sehingga
mereka dapat melaksanakan perintah Allah untuk mengenakan
hijab, maka bagaimanakah kita akan mengatakan kepadanya:
"Sesungguhnya Anda melakukan dosa dan maksiat, karena Anda
tidak memakai cadar"?

KEEMPAT: Masyaqqah (Kesulitan) Mendatangkan Kemudahan

Sesungguhnya mewajibkan wanita muslimah - lebih-lebih pada
zaman kita sekarang ini - untuk menutup wajah dan tangannya
berarti memberikan kesulitan dan kesukaran serta kemelaratan
kepada mereka. Padahal Allah Ta'ala telah meniadakan
kesulitan, kesukaran, dan kemelaratan dalam melaksanakan
agama-Nya, bahkan ditegakkan-Nya agama-Nya itu diatas dasar
kelapangan, kemudahan, keringanan, dan rahmat kasih sayang.
Allah berfirrnan:

"... dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan ..." (al-Hajj: 78)

"... Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu..." (al-Baqarah: 185)

"...Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia
dijadikan bersifat lemah." (an-Nisa': 28)

Rasulullah saw. bersabda:

"Aku diutus dengan membawa agama yang lembut dan lapang
(toleran). ,' (HR Imam Ahmad dalam Musnadnya)

Maksudnya, lurus dalam aqidahnya dan lapang dalam
hukum-hukumnya.

Sedangkan para fuqaha telah menetapkan dalam kaidahnya:
"Kesukaran itu menarik kemudahan."

Nabi saw. telah menyuruh kita untuk memberikan kemudahan dan
jangan memberikan kesukaran, memberikan kegembiraan dan
jangan menjadikan orang lari. Kita ditampilkan untuk memberi
kemudahan bukan untuk memberi kesulitan.

BEBERAPA PERINGATAN:

Ada beberapa peringatan penting yang perlu dikemukakan
disini untuk kita perhatikan:

1. Bahwa membuka wajah disini tidak dimaksudkan agar si
wanita memolesnya dengan bermacam-macam bedak dan parfum
yang berwarna-warni. Begitupun membuka tangan disini tidak
dimaksudkan agar mereka memanjangkan kukunya dan mengecatnya
dengan apa yang mereka namakan manukir. Tetapi hendaklah dia
keluar dengan sopan, tidak bersolek dan ber-make-up
warna-warni, dan tidak tabarruj (menampakkan aurat,
berpakaian mini, atau berpakaian yang tipis, atau yang
membentuk lekuk tubuh). Semua yang diperbolehkan disini
adalah perhiasan yang ringan-ringan, sebagaimana yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan lainnya, yaitu celak di
mata dan cincin di jari.

2. Pendapat yang mengatakan tidak wajib bercadar tidak
berarti mereka berpendapat bahwa memakai cadar itu tidak
boleh. Maka barangsiapa diantara kaum wanita yang ingin
memakai cadar, tidak ada larangan, bahkan hal yang demikian
terkadang disukai - menurut pandangan sebagian orang yang
cenderung bersikap hati-hati, apabila wanita itu cantik yang
dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah, lebih-lebih jika
memakai cadar itu tidak menyulitkannya dan tidak menimbulkan
pergunjingan orang banyak. Bahkan banyak ulama yang
mengatakannya wajib jika kondisinya demikian (bisa
menimbulkan fitnah). Tetapi saya tidak menemukan dalil yang
mewajibkan menutup wajah ketika dikhawatirkan menimbulkan
fitnah. Sebab ini merupakan masalah yang tidak ada
ukurannya, dan kecantikan itu sendiri sifatnya relatif, ada
wanita yang oleh sebagian orang dianggap sangat cantik,
tetapi oleh sebagian yang lain dianggap biasa-biasa saja,
dan oleh yang lain lagi dianggap tidak cantik.

Beberapa penulis bahkan mengemukakan, hendaklah wanita
menutup wajahnya apabila ada laki-laki ingin berlezat-lezat
memandangnya atau mengkhayalkannya. Namun masalahnya, dari
mana wanita tersebut mengetahui bahwa ada laki-laki ingin
berlezat-lezat dengannya atau mengkhayalkannya (sehingga ia
wajib menutup mukanya)?

Oleh karena itu, yang lebih utama daripada menutup muka
ialah hendaknya wanita tersebut menjauhi lapangan yang bisa
menimbulkan fitnah, jika ia menaruh perhatian terhadap
masalah itu.

3. Bahwa tidak ada kaitan antara membuka wajah dengan
kebolehan melihatnya. Maka diantara ulama ada yang
memperbolehkan membuka wajah tetapi tidak memperbolehkan
melihatnya, kecuali pada pandangan pertama yang selintas.
Ada pula yang memperbolehkan melihat apa yang diperbolehkan
melihatnya itu, apabila tidak disertai dengan syahwat; jika
disertai dengan syahwat atau dimaksudkan untuk membangkitkan
syahwat, maka haram melihatnya, dan pendapat inilah yang
saya pilih.

Allah-lah yang memberi pertolongan dan petunjuk ke jalan yang lurus.

Catatan kaki:
1 Al-Ikhtiyar li-Ta'lilil Mukhtar, karya Abdullah bin Mahmud
bin Maudud al-Maushili al-Hanafi, 4: 156.
2 Hasyiyah ash-Shawi 'alaa asy-Syarh ash-Shaghir, dengan ta'liq,
Dr. Mushthafa Kamal Washfi, terbitan Darul Mawarif, Mesir, 1: 289.
3 Imam Nawawi berkata dalam al-Majmu': "Tafsir yang disebutkan dari
Ibnu Abbas ini diriwayatkan oleh Baihaqi dari Ibnu Abbas dan dari
Aisyah juga."
4 Hadits ini tersebut dalam Shahih al-Bukhari, dari Ibnu Umar r.a.
bahwa RasuluDah saw. Bersabda: "Janganlah wanita yang berihram
memakai cadar dan jangan memakai kaos tangan."
5 al-Majmu', 3: 167-168
6 Al-Majmu', karya Imam Nawawi. 3: 169
7 Periksa ad-Durul Mantsur oleh as-Suyuthi
dalam menafsirkan ayat 31 surat an-Nur.
8 Al-Muhalla, 3: 279.
9 Hadits Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim, dan Baihaqi
dalam asy-Syu'ab dari Ubadah, dan dihasankan dalam
Shahih al-Jami'ush-Shaghir, (1018).
10 HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Hakim dari Buraidah,
dan dihasankan dalam Shahih al-Jami'ush-Shaghir (7953)
11 Dalam "Kitab an-Nikah"' hadits nomor 1403
12 Disebutkan oleh al-Albani dalam
Silsilah Ahadits ash-Shahihah, nomor 235.
13 Sunan Tirmidzi, "Bab al-Haj," nomor 885
14 Nailul Athar, 6: 126.
15 Al-Muhalla, 3: 280
16 Hadits nomor 1141 dan Sunan Abi Daud, dan Imam Nasa'i
juga meriwayatkan hadits ini.
17 Al-Muhalla 11: 221 masalah nomor 1881.
18 Dikemukakan oleh al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaid, 10: 192
dan beliau berkata: "Diriwayatkan oleh Thabrani
dan isnadnya bagus." Dan kata al-'air di sini berarti al-himar.
Sebelumnya beliau telah menyebutkan beberapa hadits yang
semakna dengan itu.
19 HR Abu Daud dalam Sunan-nya pada "Kitab al-Jihad," nomor 2488.
20 Shahih Muslim Syarah Nawawi, 2: 542, terbitan Asy-Sya'b.
21 Yakni gelang kaki dan sebagainya.
22 Mawahibul Jalil, 1: 148, terbitan Idarah Ihya'
at-Turats al-Islami. Qathar.
23 Shahih al-Bukhari, 1: 316.
24 Mawahibul Jalil min Adiliati Khalil 1: 185.
25 Imam Tirmidzi berkala: "Hadits ini hasan sahih."
26 Berbeda dengan masalah ibadah yang pada asalnya
tidak boleh (haram/batil) sehingga ada dalil yang
memerintahkannya. Maka orang yang tidak memperbolehkan
melakukan suatu bentuk ibadah tidak dituntut dalilnya,
tetapi yang dituntut mengemukakan dalil ialah orang yang
mendakwakan adanya ibadah tersebut. (Penj.)

-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X

Tidak ada komentar:

Posting Komentar