Selasa, 07 Juli 2009

Mewaspadai Lisan



Lisan, bentuknya memang relatif kecil bila dibandingkan dengan anggota tubuh yang lain, namun ternyata memiliki peran yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Celaka dan bahagia ternyata tak lepas dari bagaimana manusia memanajemen lidahnya. Bila lidah tak terkendali, dibiarkan berucap sekehendaknya, alamat kesengsaraan akan segera menjelang. Sebaliknya bila ia terkelola dengan baik , hemat dalam berkata, dan memilih perkataan yang baik-baik, maka sebuah alamat akan datangnya banyak kebaikan..

Di saat kita hendak berkata-kata, tentunya kita harus berpikir untuk memilihkan hal-hal yang baik untuk lidah kita. Bila sulit mendapat kata yang indah dan tepat maka ahsan (mendingan) diam. Inilah realisasi dari sabda Rasulullah sholallohu alaihi wasalam

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam ( HR Muslim )

di samping itu kita pun harus paham betul manakah lahan-medan kejelekan sehingga lidah kita tidak keliru memijaknya. Kita harus tahu apakah sebuah hal termasuk dalam bagian dosa bagi lidah kita atau tidak? Bila kita telah tahu , tentunya kita bersegera untuk meninggalkannya.

Diantara medan-medan dosa bagi lidah kita antara lain..

* Ghibah
Ghibah bila didefinisikan maka seperti yang diungkapkan oleh Rasulullah sholallohu alaihi wasalam

"Engkau menyebutkan tentang saudaramu, dengan apa-apa yang dia benci" terus bagaimana jika yang kita bicarakan tersebut memang benar-benar ada pada saudara kita? "Jika memang ada padanya apa yang engkau katakan maka engkau telah meng-ghibahinya, dan bila tidak ada padanya maka engkau telah berdusta" (HR. Muslim)

Di dalam Al quran , Allah ta'ala menggambarkan orang yang meng-ghibahi saudaranya seperti orang yang memakan bangkai saudaranya:

"Janganlah kalian saling memata-matai dan jangan mengghibahi antara satu dengan yang lain, sukakah kalian memakan daging saudaranya tentu kalian akan benci" ( Al Hujurat 12)

Tentu sangat menjijikkan makan daging bangkai , semakin menjijkkan lagi apabila yang dimakan adalah daging bangkai manusia , apalagi saudara kita sendiri. Demikianlah ghibah, ia pun sangat menjijkkan sehingga sudah sepantasnya untuk dijauhi dan dan ditinggalkan.

Lebih ngeri bila berbicara tentang ghibah, apabila kita mengetahui balasan yang akan diterima pelakunya. Seperti dikisahkan oleh Rasulullah sholallohu alaihi wasalam di malam mi'rajnya. Beliau menyaksikan suatu kaum yang berkuku tembaga mencakar wajah dan dada mereka sendiri. Rasul pun bertanya tentang keberadaan mereka, maka dijawab bahwa mereka lah orang-orang yang ghibah melanggar kehormatan orang lain.

* Namimah
Kalau diartikan ia bermakna memindahkan perkataan dari satu kaum kepada kaum yang lain untuk merusak keduanya. Ringkasnya "adu domba". Sehingga Allah mengkisahkan tentang mereka dalam Al-Qur'an. Mereka yang berjalan dengan namimah , menghasut, dan mengumpat. Di sekitar kita orang yang punya profesi sebagai tukang namimah sangat banyak bergentayangan, dan lebih sering di kenal sebagai provokator-kejelekan. Namimah bukan hal yang kecil , bahkan para ulama mengkatagorikannya di dalam dosa besar . Ancaman Rasulullah bagi tukang namimah

" tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba " (HR Bukhari)

akibat ghibah ini sangat besar sekali, dengannya terkoyak persahabatan saudara karib dan melepaskan ikatan yang telah dikokohkan oleh Allah. Ia pun mengakibatkan kerusakan di muka bumi serta menimbulkan permusuhan dan kebencian.

* Dusta
Dusta adalah menyelisihi kenyataan atau realita. Dusta bukanlah akhlaq orang yang beriman, bahkan ia melekat pada kepribadian orang munafiq

"Tiga ciri orang munafik, apabila berkata berdusta, apabila berjanji mengingkari dan apabila dipercaya berkhianat (HR Bukhari dan Muslim)

padahal orang munafik balasannya sangat mengerikan "di bawah kerak api neraka" Dusta pun mengantarkan pelakunya kepada kejelekan "Sungguh kedustaan menunjukkan kepada kejelekan dan kejelekan mengantarkan kepada neraka.

NB :

Allah SWT menciptakan nikmat lisan sebagai sarana beribadah. Dengan lisan, manusia diperintahkan menyampaikan kebaikan, saling menasihati dalam kebenaran, dan memperbanyak zikir kepada Allah SWT.

Jika nikmat ini tak dapat difungsikan dengan baik, tapi justru digunakan untuk menggunjing, memfitnah, berkata kasar, memaki, memecah belah, dan lainnya, maka diam adalah pilihan paling tepat sebagaimana perintah Rasulullah SAW. ''Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah berbicara dengan baik atau diam.''

Lisan laksana pisau bermata dua. Ia bisa membawa manfaat yang besar, tapi juga bisa menimbulkan mafsadat sangat dahsyat. Ketika Rasulullah SAW ditanya apa yang paling ditakuti pada umatnya, Nabi SAW menunjuk lisannya seraya berkata, ''Inilah (yang paling aku takuti).''

Begitu besarnya bahaya yang ditimbulkan lisan, Rasulullah SAW mengajarkan umatnya agar menjaga lisan dengan cara diam, kecuali pembicaraan yang membawa maslahat. Diam adalah benteng bagi lidah manusia dari perkataan sia-sia.

Banyak hikmah yang dapat dipetik dari sikap diam. Diam adalah ibadah tanpa mengeluarkan tenaga, perhiasan tanpa harus berhias, kharisma tanpa diminta, kerajaan tanpa singgasana, benteng tanpa pagar, istirahat bagi kedua malaikat pencatat amal, dan penutup segala aib.

Rasulullah SAW pernah mengajarkan bahwa ada dua amal ibadah yang paling mudah dilakukan manusia, yaitu diam dan budi pekerti yang baik. Rasul SAW juga mengabarkan kebanyakan manusia masuk neraka disebabkan dua hal: lisan dan kemaluan.

Para sahabat dan ulama terdahulu telah memberikan teladan tentang bagaimana menjaga lisan dari perkataan sia-sia dengan diam. Abu Bakar RA sampai meletakkan kerikil di dalam lisannya karena khawatir telanjur mengeluarkan kata-kata tidak berguna.

Ketika ditanya, beliau menjawab sambil menunjuk lisannya, ''Inilah yang menjerumuskan aku pada jurang kecelakaan.'' Selama 40 tahun, Manshur bin Mu'taz tidak pernah berbicara setelah Isya. Rabi' bin al-Khaitsam tidak pernah melakukan pembicaraan tentang urusan dunia selama 20 tahun.

Setiap pagi, beliau selalu meletakkan pena dan kertas di sampingnya dan menulis setiap perkataan yang keluar dari lisannya. Sore harinya, beliau memeriksa tulisan itu, lalu melakukan introspeksi diri. Selanjutnya meminta ampun kepada Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar