Sabtu, 11 Juli 2009

Salam Damai dan Mi'raj


Ada dialog menarik antara Allah swt dan Nabi Muhammad saw dalam peristiwa Mi'raj. Setelah sampai di Sidratul Muntaha, Rasulullah tidak lagi dikawal Malaikat Jibril. Beliau menghadap Allah sendirian. Ucapan pertama yang disampaikan Rasulullah kepada Allah saat itu adalah salam penghormatan yang penuh berkah dan sembah bakti yang penuh kebaikan. Salam itu kemudian dijawab oleh Allah: Damai, kasih sayang, dan berkah buatmu wahai Nabi.

Alangkah gembiranya Rasulullah ketika mendapat jawaban salam semacam itu. Betapa tidak, salam itu bukan salam basa-basi sekadar memenuhi formalitas pertemuan, seperti layaknya dalam kehidupan kita sehari-hari. Ia salam yang benar, isi dan kandungannya nyata dan sungguh terjadi, diterima dan dirasakan langsung oleh Rasulullah. Apakah ada di dunia ini yang lebih besar, lebih berharga, dan lebih nilainya daripada kedamaian, kasih sayang, dan berkah yang diterima langsung secara pribadi dari Allah.

Namun di tengah-tengah kegembiraan itu, Beliau tetap berada dalam suatu kesadaran yang tinggi bahwa dirinya adalah seorang pemimpin dari sebuah umat yang tak dibatasi oleh kurun waktu, suku, ras, dan bangsa. Menurut Rasulullah, kebahagiaan itu harus dibagi-bagikan pula kepada orang-orang baik lainnya. Beliau tak suka menikmatinya sendiri, sementara umatnya yang baik tak kebagian. Karena itu Beliau memohon kepada Allah hendaknya salam itu tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk orang-orang baik lainnya. ''Salam untuk kami dan untuk hamba-hamba-Mu yang saleh juga,'' pinta Rasulullah.

Begitu pentingnya dialog tersebut, Allah sampai mengabadikannya dalam shalat. Setiap muslim pada setiap shalatnya -- baik fardlu maupun sunat -- akan selalu mengenangnya. Dialog itu menjadi bacaan wajib setiap shalat pada saat kita melakukan duduk Tasyahhud, baik yang pertama maupun yang terakhir.

Di akhir setiap shalat kita menutupnya dengan bacaan 'Damai dan kasih sayang serta berkah Allah semoga selalu buatmu sekalian', sambil menoleh ke samping kanan dan kiri. Menurut analisa Ghazalba, shalat adalah ibadah di mana seorang muslim sedang berkonsentrasi penuh (baca: khuyuk) melakukan komunikasi vertikal dengan Allah. Selepas itu manusia akan melakukan hubungan horisontal dengan manusia. Begitu shalat selesai berarti hubungan vertikal selesai dan kita segera memulai hubungan dengan manusia. Untuk mengawali hubungan dengan manusia yang ada di samping kanan dan kiri, kita telah mengumandangkan sebuah landasan sikap hidup bermasyarakat dan bernegara: damai, kasih sayang, dan berkah Allah.

Tidak itu saja, salam itu -- dengan isi yang sama persis -- diabadikan pula sebagai ajaran resmi dalam Islam, yang selalu dikumandangkan pada setiap persentuhan sosial dimulai, setiap perjumpaan dan pertemuan terjadi di mana dan kapan pun. Resmi dan tak resmi. Ternyata, Mi'raj yang kita peringati itu membawa pesan perdamaian yang kongkret, menyatu antara teori dan praktek, konsep dan aplikasinya, jauh sebelum pemimpin-pemimpin dunia modern ini menyerukan. Tetapi mengapa tidak kita hayati sehingga terhindar dari salam basa-basi yang formalistik. ahi

By Syarqawi Dhofir
Kamis, 02 Juli 2009 pukul 16:23:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar