Sabtu, 01 Agustus 2009

Jangan Anggap Remeh Flu Babi


Energi yang lebih tercurahkan untuk menyambut kemenangan pada pemilihan presiden, kisruh perhitungan hasil pilpres, heboh bom Marriott dan Ritz Carlton, hingga pengejaran dedengkot teroris Noordin M Top, telah membuat pemerintah lupa bahwa ancaman paling nyata dan paling berbahaya justru sudah berada di depan mata. Ancaman itu adalah penyebaran virus flu babi, A-H1N1.

Bila ancaman ini tak segera diredam, ia akan berubah menjadi sebuah bencana yang merusak kualitas kesehatan masyarakat, memiskinkan sejumlah daerah peternak babi, dan memukul kegiatan perekonomian nasional secara keseluruhan.

Boleh saja pemerintah meminta agar masyarakat tidak cemas apalagi panik, dengan mengatakan bahwa pandemi flu babi bukan sebuah ancaman serius, karena tingkat keparahan yang ditimbulkannya tidak lebih berat dari flu biasa. Betul bahwa tingkat kematian atau fatality rate masih relatif rendah, kurang dari 6%, yang berarti jauh lebih rendah jika dibanding dengan tingkat kematian dari flu burung (H5n1) yang mencapai 80%.

Namun, pemerintah jangan terkecoh dengan rendahnya tingkat kematian tersebut. Jangan jadikan rendahnya tingkat kematian sebagai dalih untuk tidak usah berbuat apa-apa.

Di sinilah justru letak bahayanya, yakni bahwa dengan tingkat penyebarannya yang begitu cepat, serangan virus menjadi lebih berbahaya karena semakin sulit dihentikan. Dengan begitu, virus akan semakin mudah menyerang dan menular antarmanusia.

Jadi, jangan anggap remeh penyebaran virus flu babi. Seringan apa pun serangannya, pandemi flu babi tetap saja merupakan ancaman bagi masyarakat. Ia tetap mengganggu kesehatan masyarakat, terbukti sudah sekitar 500 orang Indonesia – data Departemen Kesehatan -- yang harus dirawat di rumah sakit akibat bersin-bersin, batu, dan sesak nafas. Angka ini diperkirakan masih terus bertambah seiring penyebaran virus yang semakin sulit terkendalikan.

Betapa cepat dan berbahayanya penyebaran virus ini, hal itu bisa kita lihat dari situasi panik yang semakin sering menimpa masyarakat akhir-akhir ini. Di Tangerang, Banten, baru-baru ini, sebanyak 4.000 santri penghuni pesantren Dar-Qolam harus diisolasi agar tak terjangkit 300 santrinya yang diduga terinfeksi influenza A-H1N1.

Virus flu babi juga menyerang siapa saja, tak terkecuali mereka yang hidup dalam lingkaran kelas atas dengan jaminan kesehatan yang begitu terawat. Sebut saja keluarga Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal “Ical” Bakrie, yang pekan lalu sempat dibuat sibuk karena salah satu anaknya, Anindya Bakrie, terinveksi A-H1N1 sepulangnya dari Amerika Serikat.

Selain mengganggu kesehatan, virus flu babi berpotensi menimbulkan dampak lain yang tak kalah seriusnya bagi perekonomian masyarakat. Meski tak ada hubungannya dengan hewan babi, penyebaran virus ini bisa membuat masyarakat menjadi enggan untuk beternak babi, atau malah membasmi babi peliharaannya yang selama ini telah memberi mereka sumber penghasilan (uang).

Masyarakat di daerah kawasan Timur Indonesia, seperti Maluku, Papua, Papua Barat, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur, dipastikan akan kehilangan mata pencaharian gara-gara pandemi flu babi ini. Ternak babi yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat bisa terancam hilang, yang pada gilirannya membuat kehidupan ekonomi mereka merosot.

Lambannya penanganan flu babi oleh pemerintah juga bisa mengakibatkan investor enggan memilih Indonesia sebagai ladang bisnis mereka. Batam adalah contoh untuk hal ini. Dalam beberapa hari belakangan sejumlah investor yang hendak berinvestasi di Batam mulai berpikir ulang tentang rencana mereka berinvestasi mereka di sana. Mereka melihat pemerintah Indonesia tidak serius menangani flu babi yang sudah menjadi gejala global ini.

Karena itu, melihat dampak luas yang ditimbulkan oleh penyebaran virus flu babi, pemerintah tak perlu lagi berdalih, sebaliknya, segeralah mengambil langkah pencegahan yang menyeluruh. Sebagai pelayan masyarakat, pemerintah tetap ujung tombak dalam menghadapi kasus pandemi flu babi ini.

Berupaya menenangkan masyarakat dengan ucapan “jangan panik”, jelas sangat tidak cukup. Pemerintah harus tanggap dan waspada terhadap setiap perkembangan gelombang pandemi dan segera engambil langkah tepat dan terukur, guna menyelamatkan masyarakat dari kemerosotan kesehatan dan ekonomi yang lebih dalam lagi. ***

02/08/2009 00:58:17 WIB
TAJUK INVESTOR DAILY, 1 Agustus 2009
http://www.investorindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=66427&Item

Tidak ada komentar:

Posting Komentar