Sabtu, 01 Agustus 2009

KEJUJURAN


Alquran menjanjikan lewat salah satu ayat-Nya: ''Barangsiapa bertakwa kepada Allah, akan dikaruniai-Nya pertolongan dari arah yang tak tersangka-sangka.'' (QS 65:3).

Bagi mereka yang tidak tahu asal-usulnya, lebih-lebih yang tak mengenal kekuatan dahsyat ibadah, pertolongan seperti yang dinyatakan Alquran itu dianggap sekadar keajaiban alam. Padahal pertolongan itu merupakan fenomena supranatural yang tak terjelaskan melalui kata-kata. Hanya bisa ditangkap dengan penghayatan dan ketajaman mata batin yang dinamakan bashirah.

Karena itu berbagai istilah digunakan oleh para pakar nonagamis untuk mengenali fenomena supranatural tersebut. Sedangkan dalam pandangan ulama sufi, pertolongan itu dibedakan sesuai tingkat ketakwaan seseorang. Untuk kelebihan yang dimiliki para wali, dinamakan karomah, artinya kemuliaan, lantaran datangnya dari Tuhan sebagai isyarat ketinggian martabat seorang hamba yang sangat taat kepada Penciptanya.

Dalam suatu hadis Qudsi yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, ''Sesungguhnya Allah berfirman: Tidak seorang pun yang mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib dan amalan sunat yang Aku sukai, kecuali Aku mencintainya. Dan jika Aku mencintainya, ia akan mendengar dengan telinga-Ku, akan melihat dengan mata-Ku, akan menjamah dengan tangan-Ku, dan akan melangkah dengan kaki-Ku. Jika ia memohon pada-Ku pasti Kukabulkan, dan jika meminta perlindungan-Ku niscaya Kulindungi.''

Selain itu, karomah bisa muncul pada seseorang yang tawakal dan jujur, yakni dua sifat kewalian yang utama. Dari sifat tawakal dan jujur akan lahir rasa keadilan dan kebijaksanaan yang lapang. Seperti keajaiban yang dimiliki Kyai Jamil, ulama sederhana di kota kecil Pemalang, Jawa Tengah, yang weruh sadurunge winarah atau bisa menebak pikiran orang.

Suatu hari, seorang tukang becak bertengkar dengan istrinya. Pasalnya, si suami keliru memberikan sedekah kepada Kyai Jamil. Niatnya hanya mau mengeluarkan dua ratus rupiah dari dompet bututnya untuk pembangunan majlis taklim Kyai Jamil, tetapi yang diserahkan satu lembar sepuluh ribuan dan satu lembar ratusan.

Tegur si istri, ''Itu kan hasil memeras keringat selama seminggu.'' Tiba-tiba wajah si suami berubah pias. ''Ssst, jangan ngomel terus, nanti Kyai Jamil dengar,'' tukasnya. ''Dengar dari mana, wong rumahnya jauh,'' bantah si istri. Hanya terpaut beberapa saat, sekonyong-konyong Kyai Jamil telah muncul di depan pintu. Sesudah mengucapkan salam, ulama sepuh tersebut langsung menyodorkan uang sepuluh ribuan sambil berkata, ''Tolong ambil uang ini, dan ganti dengan seratus rupiah saja.''

Pasangan suami istri itu tak bisa menolak atau bersuara. Mereka kian yakin, Kyai Jamil betul-betul wali yang serba tahu. Padahal keajaiban tersebut semata-mata berkat kejujuran dan nalar Kyai Jamil sehat. Mana mungkin tukang becak mampu memberi sedekah sepuluh ribu seratus rupiah, padahal penghasilannya sehari hanya sekitar dua ribu atau tiga ribu rupiah?

Lagipula jumlah sepuluh ribu seratus rupiah rasanya sangat ganjil. Yang pantas seharusnya dua puluh ribu atau dua ratus rupiah. Menurut pandangan Kyai Jamil, untuk tingkatan tukang becak lebih masuk akal kalau hanya mampu bersedekah dua ratus rupiah.

Oh, andaikata semua pemuka agama, penggede negara, pengelola perusahaan, dan panutan masyarakat, memiliki kejujuran dan nalar yang sehat seperti Kyai Jamil, barangkali Nabi saw takkan perlu mengingatkan, ''Inna syarra ummati aimmatuhum, sesungguhnya seburuk-buruk umatku adalah para pemimpin mereka.'' ahi

By Arman Arroisi
Jumat, 31 Juli 2009 pukul 17:39:00
http://www.republika.co.id/berita/66194/KEJUJURAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar