Senin, 03 Agustus 2009

Kiai NU tidak akan Tinggalkan Politik


Rais Syuriah PWNU Jatim, KH Miftakhul Akhyar, mengatakan, banyaknya pernyataan agar kiai-kiai NU berhenti berpolitik adalah pernyataan yang perlu diwaspadai oleh ummat Islam khususnya warga Nahdliyin. Sebab pernyataan tersebut adalah sekular yang terselubung, berupaya untuk mengerdilkan Islam.

"Umat Islam khususnya NU harus pandai menyaring pernyataan yang tampak manis tetapi sebenarnya akan memberangus agar NU dan Islam diluar pemerintahan dan dikuasai orang Islam tetapi tidak mengerti kemauan dan kebutuhan Islam," ungkap Kiai Miftakhul, kemarin.

Banyaknya pernyataan tersebut sudah terasa sejak pascapilgub Jatim, pemilihan umum legislatif (pileg), dan puncaknya pada pilpres 8 Juli lalu. Yang menyatakan dari sejumlah tokoh yang menyatakan bahwa peran politik kiai telah usai. Karena itu, diharapkan para kiai lebih mengonsentrasikan perhatian dan kerjanya di bidang keagamaan, pendidikan, dan sosial yang berhubungan dengan ponpes dan umat di lapisan bawah.

"Yang diperjuangkan kyai itu kemaslahatan umat, termasuk di bidang politik. Sedang NU tetap netral dan tak mungkin menjadi parpol," tegas pimpinan Pondok Miftachussunnah Kedung Tarukan Surabaya ini.

Bahkan Maiftahul Ahyar juga sudah menuliskan pernyataanya itu pada artikelnya di NU Online edisi 30 Juli 2009, apabila agama (Islam) hanya ditempatkan di hati dan tak bersangkut-paut dengan urusan hidup, ini adalah batil dan tak sinkron dengan Islam. Terlebih jika ada pendapat bahwa politik itu kotor, sedang agama adalah luhur dan suci. Karena itu, tak boleh mencampuradukkan agama dengan politik.

"Pernyataan itu merupakan statemen sekular yang terselubung, kita menjadi paham dan maklum kenapa belakangan muncul provokasi politik, baik dari internal NU maupun kalangan luar, yang menyerukan agar kiai harus kembali ke barak (pesantren, jamaah atau umat), karena memandang dunia politik yang profan dan korup tak selayaknya diurusi kiai yang selama ini berkecimpung di bidang agama yang sakral," tulis Kiai Miftakhul.

Dalam bagian lain tulisannya, Kiai Miftakhul menambahkan bahwa pandangan itu sepintas tampak memuliakan dunia kiai, tapi pada saat yang sama juga bisa bermakna peminggiran atau pemangkasan peran politik kiai. Apalagi opini 'Kiai sudah ditinggal umatnya, Kiai tidak laku' dan lain sebagainya tanpa menalar secara dalam bahwa permainan ini (pemilu-pilkada-pilpres) sudah menjadi ajang permainan rekayasa dan opini jauh-jauh hari.

"Kiai-kiai yang tugasnya andum barokah sangat dibutuhkan umat pada saat-saat seperti ini sementara masih kalah pesona di mata umat dibanding dum-duman BLT, sertifikasi guru, raskin dan lain sebagainya yang hanya sesaat," katanya.

Ditegaskan Kiai Miftakhul, yang mesti diperdebatkan adalah bukan boleh tidaknya kyai masuk lingklaran kekuasaan melainkan mampu dan tidaknya kai jika ikut berkompetisi di dunia politik kekuasaan yang profan dan korup itu. Di sinilah diperlukan prasyarat berupa kompetensi personal, yakni integritas moral dan kemampuan untuk memahami politik dengan baik.

"Jika kiai memiliki kapabilitas untuk mengelola politik, mengapa mereka tidak diberi kesempatan untuk ikut bertarung di panggung politik. Hal itu tidak akan mengurangi makna dan semangat Khittah NU," tandasnya.

Kiai Miftakhul mengingatkan bahwa dukungan sejumlah kiai NU di Jatim dan provinsi lainnya kepada JK-Wiranto pada pilpres lalu jangan sekadar dilihat dari perspektif menang dan kalah. Ada nilai lebih substansial yang mesti diamati dibanding aspek menang-kalah. "Adalah ukhuwah para dan antarkiai," tegasnya.

Di momentum pilpres 8 Juli lalu, katanya, ukhuwah dan integrasi antar-kiai NU tampak terlihat. Kiai Miftakhul mengaku senang dan bersyukur adanya realitas itu. Sebab, di momentum sebelumnya tak jarang antarkiai NU sulit berkomunikasi akibat perbedaan pandangan politik maupun aspek lainnya. "Jadi, kemarin (pilpres) itu bukan soal menang atau kalah. Bukan itu tujuan satu-satunya tujuan," katanya.

Sorotan tajam tersebut menurutnya, tak menyurutkan kiai-kiai NU memerankan kiprah dan peranan komprehensif di masyarakat. Apalagi, belajar dari sejarah bahwa kiai dan tokoh NU sulit melepaskan diri dari politik.

"NU memberikan gelar kepada Presiden Soekarno pada tahun 1960-an dan keputusan kembali ke khittah 1926 pada muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo adalah langkah politik NU yang luar biasa. Itu adalah kompromi politik NU," pungkasnya. uki/taq

By Republika Newsroom
Senin, 03 Agustus 2009 pukul 16:42:00
http://www.republika.co.id/berita/66656/Kiai_NU_tidak_akan_Tinggalkan_Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar