Minggu, 20 Maret 2011

Seandainya Saya Bertemu Adam

Cucu Adam (CA): Ini semua gara-gara sampean, Mbah.

Adam (A): Loh, kok tiba-tiba aku disalahin.

CA: Lah iya, gara-gara sampean dulu makan buah terlarang, aku sekarang merana. Kalau sampean dulu enggak tergoda Iblis kan kita tetap di surga. Enggak kayak sekarang, sudah tingggal di bumi, eh ditakdirkan hidup di negara terkorup, sudah gitu jadi orang miskin pula. Emang seenak apa sih rasanya buah itu?

A: Yo mbuh, sudah lupa. Kejadiannya sudah lama banget. Tapi ini bukan soal rasa. Ini soal khasiatnya.

CA: Halah, kayak obat kuat aja pake khasiat segala. Emang Iblis bilang khasiatnya apa sih kok sampean bisa tergoda?

A: Dia bilang, kalau makan buah itu aku bisa abadi.

CA: Anti-aging gitu?

A: Iya. Pokoknya kekal.

CA: Terus sampean percaya? Iblis kok dipercaya.

A: Lha wong dia senior.

CA: Maksudnya senior?

A: Iblis kan lebih dulu tinggal di surga dari aku dan mbah putrimu.

CA: Iblis tinggal di surga? Boong ah.

A: Nah ini nih kalo puasa ndak baca Quran. Baca Al-Baqarah ayat 30-38. Coba kowe pikir, gimana dia bisa mbisiki aku yang ada di surga kalo dia ndak tinggal di surga juga?

CA: Oh iya, ya. Tapi, walau pun Iblis yang mbisiki, tetep sampean yang salah, Mbah. Gara-gara sampean, aku jadi kere kayak gini.

A: Kowe salah lagi. Manusia itu ndak diciptakan untuk menjadi penduduk surga. Baca surat Al-Baqarah : 30. Sejak awal, sebelum aku lahir… eh, sebelum aku diciptakan, Tuhan sudah berfirman ke para malaikat kalo Dia mau menciptakan manusia yang menjadi khalifah (wakil Tuhan) di bumi.

CA: Lah, tapi kan sampean dan mbah putri tinggal di surga?

A: Iya, sempet, tapi itu cuma transit. Makan buah terlarang atau ndak, cepat atau lambat, mbahmu ini pasti diturunkan ke bumi untuk menjalankan tugas dari-Nya: memakmurkan bumi. Di surga itu masa persiapan, penggemblengan. Di sana Tuhan ngajarin mbah bahasa, ngasih tahu nama semua benda (Al-Baqarah:31).

CA: Jadi di surga itu cuma sekolah?

A: Kurang lebih kayak gitu. Waktu di surga, simbahmu ini belum jadi khalifah. Jadi khalifah itu baru setelah turun ke bumi.

CA: Aneh.

A: Kok aneh?

CA: Ya aneh, menyandang tugas wakil Tuhan kok setelah sampean gagal, setelah gak lulus ujian, termakan godaan Iblis? Pendosa kok jadi wakil Tuhan.

A: Lah, justru itu intinya. Kemuliaan manusia itu ndak diukur dari apakah dia bersih dari kesalahan atau ndak. Yang penting itu bukan melakukan kesalahan atau ndak melakukannya. Tapi, bagaimana bereaksi terhadap kesalahan yang kita lakukan. Manusia itu pasti pernah keliru, Tuhan tahu itu. Tapi, meski demikian, toh Dia memilih mbahmu ini, bukan malaikat.

CA: Jadi, gak papa kita bikin kesalahan, gitu?

A: Ya ndak gitu juga. Kita ndak isa minta orang ndak melakukan kesalahan. Kita cuma isa minta mereka untuk berusaha tidak melakukan kesalahan. Namanya usaha, kadang berhasil, kadang enggak.

CA: Sampean berhasil atau gak?

A: Dua-duanya.

CA: Kok dua-duanya?

A: Aku dan mbah putrimu melanggar aturan, itu artinya gagal. Tapi kami berdua kemudian menyesal dan minta ampun. Penyesalan dan mau mengakui kesalahan, serta menerima konsekuensinya (dilempar dari surga), adalah keberhasilan.

CA: Ya kalo cuma gitu semua orang bisa. Sesal kemudian tidak berguna, Mbah.

A: Berguna toh ya. Karena menyesal, aku dan mbah putrimu dapat pertobatan dari Tuhan dan dijadikan khalifah (Al-Baqarah:37). Bandingkan dengan Iblis, meski sama-sama diusir dari surga, tapi karena ndak tobat, dia terkutuk sampe hari kiamat.

CA: Sampean iki lucu, Mbah.

A: Lucu piye?

CA: Lah kalo dia tobat, ya namanya bukan Iblis lagi.

A: Bener juga kamu ya, he-he-he. Tapi intinya gitu lah. Melakukan kesalahan itu manusiawi. Yang ndak manusiawi, yang iblisi, itu kalo sudah salah tapi merasa bener, sombong.

CA: Jadi kesalahan terbesar Iblis itu apa? Ndak ngakuin Tuhan?

A: Iblis bukan ateis, dia justru monoteis. Percaya Tuhan yang satu.

CA: Mosok sih, Mbah?

A: Lha wong dia pernah ketemu Tuhan, pernah dialog segala kok.

CA: Terus, kesalahan terbesar dia apa?

A: Sombong: menyepelekan orang lain dan memonopoli kebenaran.

CA: Wah, persis cucu sampean tuh, Mbah.

A: Ente?

CA: Bukan. Cucu sampean yang lain. Mereka mengaku yang paling bener, kalo ada orang lain berbeda pendapat akan mereka serang. Orang lain disepelekan. Mereka mau orang lain menghormati mereka, tapi mereka ndak mau menghormati orang lain. Kalo sudah ngamuk nih Mbah, orang-orang ditonjokin, barang-barang orang lain dirusak. Setelah itu mereka bilang kalau mereka pejuang kebenaran. Bahkan ada yang sampe ngebom segala loh.

A: Wah, persis Iblis tuh.

CA: Tapi mereka siap mati Mbah, karena kalo mereka mati nanti masuk surga.

A: Siap mati, tapi ndak siap hidup.

CA: Bedanya, Mbah?

A: Orang yang ndak siap hidup itu ndak siap menjalankan agama.

CA: Loh, kok?

A: Lah, aku dikasih agama oleh Tuhan kan waktu diturunkan ke bumi (Al-Baqarah:37). Bukan waktu di surga.

CA: Jadi, artinya, agama itu untuk bekal hidup, bukan bekal mati?

A: Pinter kowe.

CA: Cucu siapa dulu.

A: Cucuku dan mbah putrimu.

CA: BTW, Mbah. Sampean itu kan terkenal dengan satu nama: Adam. Tapi mbah putri itu namanya kok beda-beda? Yang bener iku Hawa, Eve, atau Eva.

A: Sak karepmu. What’s in a name?

CA: Shakespeare, Mbah?

A: Mbuh, sak karepmu.


http://blog.tempointeraktif.com/agama/seandainya-saya-bertemu-adam/#more-1248

http://hilmanmuchsin.blogspot.com/2011/03/seandainya-saya-bertemu-adam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar