Senin, 20 Juni 2011

Deklarasi Bandung 1955 dan Dunia Multipolar

Pada 18 April 1955, presiden Soekarno telah membuka konferensi Asia-Afrika di Bandung, dihadiri oleh 29 negara dari Asia dan Afrika, dan merupakan konferensi dunia pertama yang tak dihadiri oleh negeri Eropa dan Amerika. PM China saat itu, Zhou Enlai, menjadi bintang dalam pertemuan ini karena kepiawainnya memimpin para negara peserta untuk menemukan persamaan; anti imperialisme.

Pada pidato pembukaan itu, Soekarno telah mengatakan: “ Kita dipersatukan…oleh kebencian bersama kepada kolonialisme dalam segala penjelmaannya. Kita dipersatukan oleh rasa kebencian bersama kepada rasisme. Dan akhirnya, kita dipersatukan oleh tekad kita bersama untuk mempertahankan dan memperkuat perdamaian di seluruh dunia”.

Itu disampaikan oleh Bung Karno ketika sebagian besar bangsa-bangsa di dunia masih berada dibawah kungkungan kolonialisme dan imperialisme (unipolar), sementara Samir Amin menyebutnya sebagai dunia bipolar di bidang militer: AS dan Uni-sovyet.

Dunia Multipolar

Kini, 54 tahun setelah pertemuan bersejarah itu, “Dunia sedang mengalami perubahan penting yang belum pernah terjadi sebelumnya,” demikian kata Hu Jintao, pemimpin China dan sekaligus sekjend Partai Komunis China. Menurut Hu Jintao, Serangkaian peristiwa kompleks—politik, ekonomi, sosial, dan budaya- telah menggiring dunia untuk berevolusi menuju tatanan baru—multipolarisme.

Bukan hanya Hu Jintao yang berkata demikian, presiden Hugo Chavez pun berusaha menegaskan hal yang serupa, bahwa situasi baru sedang menjelaskan transisi menuju multi-polarisme dan kehancuran dunia unipolar dan bipolar. Hanya saja, menurut Chaves, perjuangan intensif menuju dunia multi-polar harus disertai usaha untuk membongkar kekaisaran tunggal global saat ini—sistim kapitalisme.

Terkait kriteria presiden Chavez di atas, Samir Amin telah menandai konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung, 1955, sebagai bentuk pergerakan multipolar yang pertama dan paling konsisten bersifat menentang neo-kolonialisme dan imperialisme. Deklarasi Bandung telah menyemangati gerakan pembebasan nasional baik di negara yang baru saja merdeka, maupun di negeri-negeri yang belum merdeka, khususnya Aljazair, Kuba, dan sebagainya.

Jeny Clegg, penulis buku “China Global Strategy; Toward a Multipolars World” mengatakan, konferensi Asia Afrika telah menjadi ajang internasional bagi China dan Indonesia dalam memimpin perjuangan melawan ketidakadilan ekonomi, sosial, dan politik di tingkat dunia. Clegg kemudian mengutip penegasan PM Zhou Enlai, bahwa KAA di Bandung merupakan bentuk penerapan teori “strategi politik kontra-hegemoni” di tingkat global.

Hanya saja memang, saat ini, Indonesia yang pernah menjadi pemimpin terkemuka dari gerakan pembebasan nasional dunia ketiga, justru menjadi pendukung paling setia dari kekuasaan “unipolar” AS dan sekutunya. Ini terjadi semenjak “teknokrat-teknokrat” pro-barat (neoliberal) ditampung oleh penguasa-penguasa paska pemerintahan Soekarno dan, karena itu, politiknya bergeser menjadi “penjilat” kepentingan politik AS.

Kelanjutan Semangat Bandung dan Dunia Multipolar?

Di akhir pemerintahan Bush, posisi hegemonik AS sedikit mengalami penurunan karena beberapa faktor, diantaranya krisis ekonomi dunia, kegagalan penaklukan Irak dan Afghanistan, dan merosotnya produktifitas ekonomi AS. Sebaliknya, di beberapa belahan dunia sedang muncul kutub-kutub baru (multi-kutub), seperti kelompok BRIC (Brazil, Rusia, India, dan China), kemudian Amerika Latin.

Meski begitu, AS masih menampakkan kekuasaan hegemoniknya, khususnya kekuasaan unipolar AS dalam bidang kemiliteran dan unipolarisme dollar sebagai nilai mata uang cadangan dunia. Melalui pembangunan kekuatan militer, pangkalan militer AS terbangun di 700 hingga 800 basis militer di 63 negara di dunia, serta menempatkan 325 ribu pasukannya di berbagai negara . Bank sentral AS, The Fed, mengontrol seluruh bank sentral negara-negara lain di seluruh dunia.

Salah satu kekuatan baru dunia saat ini, China, terlepas dari berbagai tuduhan buruk terhadapnya, negara ini terlihat lebih sukses dibanding negara manapun di dunia dalam melewati krisis dan resesi ekonomi global. Dengan kepemilikan negara terhadap sektor ekonomi, baik industri maupun perbankan, China berhasil menggunakan investasi besar-besaran untuk sektor produktif, khususnya program stimulus yang diarahkan ke pedesaan.

Namun demikian, seperti yang ditandai oleh Samir Amin, bahwa bisa saja pertumbuhan ekonomi China dan sejumlah negara selatan, terutama akibat relokasi produksi barang dari barat ke timur, khususnya produksi barang, terutama ke China, India, Asia timur, dsb. sengaja dilakukan AS untuk tetap mempertahankan kontrolnya terhadap institusi finansial dan menyelamatkan kapitalisme global dari krisis over-produksi.

Dalam konteks ini, deklarasi Bandung bukan hanya menjadi pelajaran histories bagi bangsa-bangsa selatan atau dunia ketiga, tetapi menjadi acuan paling penting bagi mereka ketika hendak memunculkan kutub baru saat ini. Apa yang paling penting sebetulnya adalah melanjutkan semangat deklarasi Bandung 1955, yaitu perjuangan konsisten menghapus ketidakadilan ekonomi, sosial, dan politik antara utara dan selatan. Jika ini dijadikan patokan, maka baru Chaves dan ALBA-nya yang konsisten mengarah ke tujuan-tujuan mulia itu.

China sendiri, seperti penilaian Jeny Clegg, tidak hanya menjadi negara berpenduduk paling padat di dunia, dengan 1,3 miliar orang, tetapi juga sebuah negara berkembang paling berkomitmen untuk sosialisme. Argumentasi Clegg ini dipungut dari pendapat bahwa perjuangan di tingkat global bukan hanya soal pertempuran sosialisme melawan kapitalisme, tetapi yang terpenting adalah anti-imperialisme melawan imperialisme—dimana China dimasukkan di dalam blok anti-imperialis oleh Clegg.

Kita bisa saja berpendapat berbeda dengan Clegg, namun kita tidak bisa menapikan, bahwa China memiliki arti penting dalam kerjasama global saat ini dalam merangkul negeri-negeri selatan: Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Investasi dan fasilitas China kini terbangun di negeri-negeri tersebut, termasuk Kuba dan Venezuela ikut menikmatinya.

Sementara Rusia, dalam beberapa tahun terakhir, telah melakukan perang terselubung dengan AS dalam mengusai sumber daya hidro-karbon, khususnya gas alam, sumber energi penting untuk abad 21 ini. Dan beberapa bulan lalu, Chavez telah mengundang kapal perang Rusia berlabuh di kawasan Karibia.

Sementara Afrika, dalam pertemuan iklim di Copenhagen bulan lalu, telah memperlihatkan perlawanan keras terhadap proposal irasional negeri-negeri imperialis. Negeri-negeri Afrika membangun Pan-African Climate Justice Alliance, dan membangun barisan yang sama dengan negeri-negeri progressif dari ALBA- Venezuela, Bolivia, dan Cuba.

Kita harus menyadari bahwa penggabungan antara China, India, Asia tenggara, dan Afrika saja sudah mencakup lebih dari separuh penduduk dunia. Artinya, kalau negeri-negeri ini konsisten melanjutkan “semangat Bandung”, maka lebih dari separuh penduduk dunia akan berada di luar kontrol Unipolar AS.

Dan, menurut saya, semangat utama dari deklarasi Bandung, salah satunya, adalah semangat berdikari. Konsep berdikari menganut prinsip kemandirian dalam pengelolaan ekonomi dan kerjasama ekonomi antara bangsa berdasarkan solidaritas dan kesetaraan. Prinsip ini jelas berlawanan dengan dotrin kekaisaran dunia—neoliberalisme. Dan, kalau negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin serentak mengikuti prinsip ini, maka segala bentuk imperialisme di dunia ini, mengutip Bung Karno, “akan rontok satu per satu”.


oleh Rudi Hartono, adalah peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), pemimpin redaksi Berdikari Online, dan pengelola Jurnal Arah Kiri.


*******************

Catatan :

Laporan intelijen Amerika Serikat menyebutkan dominasi ekonomi, militer dan politik Amerika Serikat tampaknya akan berkurang selama dua puluh tahun mendatang. Dewan Intelijen Nasional, NIC memperkirakan Cina, India dan Rusia akan semakin menyaingi pengaruh Amerika Serikat. Laporan itu juga menyebutkan mata uang dolar kemungkinan tidak akan lagi menjadi mata uang utama dunia.

Dewan Intelijen Nasional, badan yang mengkoordinasikan informasi rahasia dari semua badan intelijen di Amerika meramalkan bahwa pada tahun 2025, dunia bisa menjadi semakin berbahaya karena pangan dan air akan semakin langka.

Namun dalam laporan itu disebutkan bahwa kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa dihindari dan tergantung pada berbagai tindakan yang diambil oleh para pemimpin dunia.

“Selama dua puluh tahun mendatang selama masa transisi menuju sistem baru akan dipenuhi dengan resiko,” demikian bunyi laporan NIC.

Washington tetap bisa mempertahankan kemajuan militernya, tetapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, proliferasi senjata jarak jauh dan penggunaan taktik perang dunia maya “akan semakin membatasi kebebasan Amerika untuk bertindak,” kata laporan itu.

Penggunaan senjata nuklir

Namun laporan itu juga menyebutkan Amerika akan tetap menjadi pemain tunggal yang paling kuat tetapi kurang dominan. Kekuatan-kekuatan ekonomi baru seperti Cina, India, Rusia, dan Brazil akan memberikan kompetesi lebih besar bagi Amerika di dalam sistem internasional yang multi kutub. Laporan dikeluarkan bersamaan dengan pergantian presiden di negara tersebut.

Melihat ke tahun 2025, Dewan Intelijen Nasional menggambarkan masa depan suram tentang pengaruh dan kekuatan Amerika Serikat. Bagi presiden terpilih Barack Obama, ini adalah masukan yang kurang menggembirakan.

Laporan itu memperkirakan krisis keuangan saat ini adalah awal awal dari pergeseran besar dalam perekonomian global. Peran dolar Amerika sebagai mata uang utama di dunia akan pudar. Kemakmuran akan berpindah dari Barat ke Timur.

Perseteruan internal di Uni Eropa bisa mengurangi kekuatan raksasa itu. Perubahan iklim dan sumber daya alam yang menipis kemungkinan akan memicu konflik di berbagai belahan dunia. Namun laporan itu menambahkan, apa yang akan terjadi nanti akan ditentukan oleh tindakan para pemimpin dunia.

Sementara itu, pada Desember 2004 lalu, National Intelelligence Council’s (NIC) merilis sebuah laporan yang berjudul, “Mapping the Global Future”. Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020: (1) Davod World: Digambarkan bahwa 15 tahun ke depan Cina dan India akan menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia. (2) Pax Americana: Dunia masih dipimpin oleh Amerika Serikat dengan Pax Americana-nya. (3) A New Chaliphate: Berdirinya kembali Khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai global Barat. (4) Cycle of Fear

Bagaimana pun juga, terlepas dari perkiraan intelejen Amerika tersebut, saat ini Amerika berada dalam kondisi akhir peradaban. Ideologi kapitalisme yang sedang diemban AS yang sudah terbukti kerusakkannya kini tengah tenggelam. Khilafah Islamiyyah akan segera menggantikan dominasi AS terhadap dunia dengan menerapkan Islam hingga benar-benar menjadi rahmat badi semua. Insya Allah dengan izin Allah, tidak akan lama lagi! (nl/Sumber: BBC Online, 21/11/08)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar