Senin, 08 Agustus 2011

Sikap Konsumerisme Selama Ramadhan

Ramadhan sangat identik untuk menilai bagaimana orang miskin menahan haus dan lapar. Ada keinginan untuk bertenggang rasa. Seperti inilah yang dirasakan kaum miskin. Sehingga Ramadhan mengajarkan kita untuk tawaduk dan selalu rendah hati. Mau memahami penderitaan sesama, seperti itulah paling tidak hakikat puasa.

Minggu pertama, mushalla penuh dengan jamaah yang melaksanakan shalat fardhu terutama sembahyang Isya dan dilanjutkan dengan shalat sunat tarawih dan witir, bahkan sampai luber ke halaman masjid sehingga tenda untuk jamaah pun menghiasi masjid dan mushalla selama bulan Ramadhan.

Hotel-hotel pun tak ketinggalan menyediakan tempat bagi umat Islam yang ingin melaksanakan berbuka puasa bersama sekaligus shalat tarawih dan witir berjamaah di ruangan yang ‘full air conditioning’, agar ibadah yang dilaksanakan nyaman dan khusuk. Demikian pula lantunan kalam ilahi ayat-ayat suci Al Quranul Karim tak henti-hentinya dikumandangkan dari majelis tadarus yang digelar di masjid dan mushalla usai shalat tarawih dan witir hingga larut malam baru berakhir.

Ironisnya justru di bulan Ramadhan ini, pengeluaran masyarakat malah semakin tinggi. Kenapa bisa terjadi?

Pada umumnya masyarakat kita mulai memikirkan banyak hal selama Ramadhan. Pola hidup konsumerisme menjerat kuat..
Di hari-hari awal seperti ini yang di pikirkan adalah makanan berbuka puasa .
Di hari pertama hingga sepekan Ramadhan masyarakat hanya akan sibuk oleh makanan berbuka puasa, buka puasa dimana, makanannya apa dan sahur bagaimana.
Masuk pekan kedua, pikiran sudah mulai terpecah, kebutuhan semakin banyak. Mulai dari renovasi rumah, baju lebaran, kue, biaya pulang kampung dan duit kebutuhan hari raya. Bukan penghematan yang ada tapi peningkatan biaya hidup hingga tiga kali lipat bahkan lebih.


Padahal budaya konsumerisme di bulan puasa itu TIDAK TERJADI pada hari-hari biasa, mereka hanya menyediakan makanan ala kadarnya berupa nasi dengan lauk pauk apa adanya tidak berlebihan, bahkan untuk kebutuhan minum hanya dengan air putih atau air mineral saja.

Pemandangan lain yang TIDAK BERUBAH dari tahun ke tahun pada bulan Ramadhan lebih-lebih menyongsong hari raya Idul Fitri, adalah aktivitas perekonomian semakin meningkat. Pusat perekonomian seperti plaza, mall, super market, pasar tradisional semarak ramai dikunjungi konsumen berbelanja untuk keperluan berbuka, maupun menyambut hari raya.

Meningkatnya aktivitas per-ekonomian terutama karena permintaan konsumen meningkat membawa implikasi harga menjadi naik. Sesuai teori ekonomi yang menyatakan apabila permintaan barang meningkat, maka harga pun akan naik, Sebaliknya bila bila barang banjir di pasaran, harga akan turun. Berdasarkan teori itu pedagang pun mengambil momentum berharga itu dengan menaikkan harga untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Tidak jarang pula masyarakat berutang ke sana ke mari, bahkan menggadaikan emas ataupun barang bergerak ke kantor pegadaian hanya untuk kepentingan sesaat demi mengimplementasikan konsumerisme tersebut. Inilah sketsa masyarakat menunjukkan konsumerisme pada bulan Ramadhan seperti DIPAKSAKAN diluar kemampuannya . Dalam pepatah Melayu disebutkan : “Besar pasak dari tiang”, suatu budaya yang jelas jelas bertentangan dengan norma agama.

Fenomena Ramadan yang penuh dengan sakralitas seolah pupus karena sudah bersifat materialistik-komsumtif. Tradisi massif yang membudaya dimana-mana, dengan makan yang lezat, baju baru, mengecat rumah, telah mengalokasikan anggaran yang berlipat ganda dari hari biasa.

Padahal konsumerisme dan sifat mubazir sangat dilarang dalam agama seperti firman Allah SWT “ Sesungguhnya mubazir atau perilaku berlebihan adalah saudara setan” (QS: Al Isra’ ayat 28).

Perilaku masayarakat yang demikian justru telah mendistorsi ajaran agama itu sendiri. Karena di saat ramadan seperti ini, rakyat miskin yang terlantar juga ingin mendapatkan nikmat dan bahagianya bulan ramadan. Tetapi anehnya, para pejabat dan bangsawan ketika melakukan acara berbuka bersama, yang hadir juga ‘sebangsa’ dan selevel dengan mereka. Tak satu pun kaum miskin menikmatinya, paling hanya melihat di layar TV sehingga yang terjadi adalah semakin parahnya kesenjangan sosial dalam masayarakat. Karena dalam perasaan kaum miskin tidak ada bedanya antara Ramadan dan selain Ramadan.

Fenomena ini setidaknya dilatarbelakangi 2 (dua) hal.

Pertama, Islam masih dipahami secara fiqh oriented. Paradigma fiqh oriented memandang ibadah hanya secara hitam-putih, halal-haram. “Jebakan-jebakan” fiqh yang parsial telah mendarah daging dan menjadi tradisi yang massif dikalangan umat beragama.

Fiqh belum mampu membangkitkan spiritual umat dalam menghadapi kondisi riil masyarakat yang tengah dilanda demoralisasi individual dan sosial ini. Maka tidak salah kalau puasa hanya dilihat sekedar memenuhi perintah syariat belaka.

Puasa yang berdasarkan pemahaman agama yang fiqh oriented seakan belum menyentuh dimensi kemanusiaan. Padahal dalam al-Quran diindikasikan bahwa puasa agar memantapkan ketaqwaan. Ketaqwaan merupakan something spiritual yang akan membentuk pribadi manusia yang total dan integral. Karena dalam diri orang yang taqwa tidak akan muncul krisis percaya diri, krisis moral dan tidak pula timbul image yang memancing krisis percaya diri dan moral.

Krisis yang timbul di kalangan elite dan masyarakat kita sekarang ini karena mereka melepas baju ketaqwaan yang manusiawi. Bahkan di zaman modern sekarang, manusia sudah kehilangan rasa kebersamaan dan solidaritas sosial. Maka tidak salah kalau banyak manusia yang kelaparan di saat kita semua menjalankan ibadah puasa, karena puasa hanya sekedar kewajiban.

Kedua, Ramadan telah dijadikan komoditas yang kapitalistik. Berbagai industri, media massa, dan stasiun TV berpacu memanfaatkan Ramadan untuk menayangkan program-program dakwah. Semua artis manggung di TV dengan pakaian yang islami, namun secara tidak sadar kita disuguhi iklan-iklan yang menyuntik ke dalam mindset kita.

Mereka memanfaatkan momentum Ramadan, padahal produk mereka sama sekali tidak terkait dengan ibadah puasa. Di saat ini ramadan nampaknya malah menjadi bulan para produsen dan para artis, bukan milik kita lagi. Di sisi lain, masyarakat juga adu gengsi dengan berbagai kegiatan di hotel yang mewah dan mengagumkan.

Menghadapi maraknya konsumerisme agama di saat Ramadan sekarang ini, maka perlu kiranya kita bangkitkan kembali nilai-nilai substansi agama. Atau dengan kata lain, respiritualisasi agama merupakan jawaban atas krisis keberagamaan kita dewasa ini.
Artinya, pelaksanan Ramadan dengan berbagai advertensi dan aktivitas tetaplah berlangsung sepanjang hal itu merupakan refleksi dari kesadaran keberagaman yang positif. Atau didasarkan pada ketulusan niat untuk meningkatkan iman dan taqwa sesuai dengan pesan moral yang dibawa oleh puasa Ramadan.

Semua simbol yang ditampilkan apapun bentuknya harus diberengi dengan kesadaran kolektif untuk bersama-sama menghadirkan semangat dan pesan Ramadan dalam meningktakan kebersamaan, toleransi, kesetiakawanan [dengan memperbanyak shodaqoh, infak, dan zakat fitrah untuk kaum miskin, dhu’afa, dan mustadh’afin], dan sifat-sifat kemanusiaan lainnya.

Respiritualisasi ini agar kita tidak terjebak ke dalam sinyalemen Rasulullah, “bahwa berapa banyak amal yang berwujud amal akhirat tetapi menjadi amal dunia karena niat yang jelek, dan berapa banyak amal yang berwujud amal dunia tetapi menjadi amal akhirat karena niat yang baik”. Demikian juga puasa yang merupakan ibadah mahdhoh yang diwajibkan Allah, kalau kita gunakan dengan mengumbar konsumerisme, juga akan menjadi sia-sia.

Dalam ketulusan niat, Rasulullah mensinyalir dalam Hadits Qudsi bahwa Allah mengemukakan kepada para malaikat dedikasi orang yang puasa, “Wahai malaikat-Ku, lihatlah hambaku yang meninggalkan hawa nafsunya, keinginanya, makanannya, serta minimnya demi Aku.”.

Hadits tersebut mengindikasikan bahwa Ramadan harus diniatkan dan dilakukan dengan ibadah, ketimbang melakoninya dengan berbagai kegiatan yang gegap gempita namun tidak ada kaitan secara langsung bahkan tidak ada kaitan sama sekali dengan puasa Ramadan itu sendiri.

Karenanya sudah saatnya masyarakat kita menerapkan sungguh-sungguh kultur pola hidup sederhana secara konsekuen dan konsisten. Berkenaan dengan ibadah puasa bukanlah bertujuan untuk konsumerisme berlebih-lebihan dan pemborosan akan tetapi hakikat utama adalah agar kita menjadi INSAN YANG TAQWA (Al Baqarah, 183).
Semoga ibadah puasa yang kita laksanakan tahun ini diterima Allah SWT. Aamiin yaa rabbal ‘alamin.


(Dari berbagai sumber)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar