Hijrah tak hanya bermakna berpindah secara fisik (jasadiyah), tetapi lebih penting dari itu, yakni berpindah secara mental (hijrah qalbiyah).
Baik dalam arti fisik maupun mental, hijrah pada intinya
mengandung makna perubahan, yaitu berpindah dan bergerak menuju kemuliaan dan
keadaban.
Perubahan sebagai inti hijrah sungguh penting, paling tidak karena tiga alasan. Pertama, perubahan merupakan watak dari alam ini atau dengan perkataan lain, perubahan adalah sunnatullah.
Kedua, perubahan merupakan tanda dari kehidupan (min ‘alamat al-hayah). Kalau sesuatu tidak bergerak dan tidak bergeser dari posisinya yang semula, ia sama dengan mati atau adanya, sama dengan tidak adanya (wujuduhu ka’adamih).
Ketiga, perubahan selalu membawa harapan pada keadaan yang lebih baik. Pergantian hari, bulan, dan tahun baru menimbulkan harapan baru.
Perubahan sebagai inti hijrah sungguh penting, paling tidak karena tiga alasan. Pertama, perubahan merupakan watak dari alam ini atau dengan perkataan lain, perubahan adalah sunnatullah.
Kedua, perubahan merupakan tanda dari kehidupan (min ‘alamat al-hayah). Kalau sesuatu tidak bergerak dan tidak bergeser dari posisinya yang semula, ia sama dengan mati atau adanya, sama dengan tidak adanya (wujuduhu ka’adamih).
Ketiga, perubahan selalu membawa harapan pada keadaan yang lebih baik. Pergantian hari, bulan, dan tahun baru menimbulkan harapan baru.
Begitu juga dengan pergantian pimpinan baru. Seluruh rakyat
dan bangsa pasti berharap semoga kehidupan membaik, lebih makmur, dan
sejahtera.
Dakwah Nabi SAW dan hijrah yang dilakukannya, sesungguhnya merupakan bagian dari proses perubahan ini, perubahan mental: dari kufur kepada iman, dari jahliah kepada Islam.
Sebagaimana firman Allah, “Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka.” (QS Ibrahim [14]: 1).
Rauf Syalabi, dalam Usus al-Takwin al-Mujatama’ al-Muslim, mencatat beberapa perubahan mental dan kultural yang secara fundamental berhasil dilakukan Nabi SAW sebagai berikut.
Pertama, Nabi SAW mengubah bangsa Arab dari budaya pedang (kekerasan) kepada budaya perdamaian (min al-sayf ila al-musalamah). Pedang merupakan simbol dari kekerasan yang menjadi watak kehidupan bangsa Arab pra Islam.
Orang Madinah dari suku al-Aus dan al-Khazraj terus bertikai dan berperang satu dengan yang lain tanpa kesudahan, sampai datang Islam (Nabi Muhammad SAW) mendamaikan mereka. (Baca QS Ali Imran [3]: 103).
Kedua, Nabi SAW mengubah cara penyelesaian masalah dengan kekuatan pada penyelesaian dengan hukum atau undang-undang (min al-quwwah ila al-qanun).
Seperti diketahui, pada masa jahiliah, semua persoalan diselesaikan dengan otot alias adu kuat (hukum rimba). Pasa masa Islam, setiap persoalan dibawa ke ranah hukum, diputuskan sesuai syariat dan hukum-hukum Allah.
Ketiga, Nabi SAW mengubah budaya paganisme, syirik (politeisme) kepada paham Ketuhanan Yang Maha Esa (min al-watsaniyah ila al-tauhid).
Dakwah Nabi SAW dan hijrah yang dilakukannya, sesungguhnya merupakan bagian dari proses perubahan ini, perubahan mental: dari kufur kepada iman, dari jahliah kepada Islam.
Sebagaimana firman Allah, “Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka.” (QS Ibrahim [14]: 1).
Rauf Syalabi, dalam Usus al-Takwin al-Mujatama’ al-Muslim, mencatat beberapa perubahan mental dan kultural yang secara fundamental berhasil dilakukan Nabi SAW sebagai berikut.
Pertama, Nabi SAW mengubah bangsa Arab dari budaya pedang (kekerasan) kepada budaya perdamaian (min al-sayf ila al-musalamah). Pedang merupakan simbol dari kekerasan yang menjadi watak kehidupan bangsa Arab pra Islam.
Orang Madinah dari suku al-Aus dan al-Khazraj terus bertikai dan berperang satu dengan yang lain tanpa kesudahan, sampai datang Islam (Nabi Muhammad SAW) mendamaikan mereka. (Baca QS Ali Imran [3]: 103).
Kedua, Nabi SAW mengubah cara penyelesaian masalah dengan kekuatan pada penyelesaian dengan hukum atau undang-undang (min al-quwwah ila al-qanun).
Seperti diketahui, pada masa jahiliah, semua persoalan diselesaikan dengan otot alias adu kuat (hukum rimba). Pasa masa Islam, setiap persoalan dibawa ke ranah hukum, diputuskan sesuai syariat dan hukum-hukum Allah.
Ketiga, Nabi SAW mengubah budaya paganisme, syirik (politeisme) kepada paham Ketuhanan Yang Maha Esa (min al-watsaniyah ila al-tauhid).
Bangsa
Arab pra-Islam merupakan penyembah berhala. Di sekitar Ka’bah saja pada waktu
itu terdapat tak kurang dari 200-an patung, besar dan kecil.
Belum lagi di setiap rumah juga ada berhala yang mereka sembah. Nabi SAW berhasil mengubah mereka menjadi muwahhid sejati, yaitu orang-orang yang menyembah hanya kepada Allah SWT semata.
Nabi SAW juga berhasil membangun keadilan dan kesetaraan gender, juga mengajarkan kepada mereka adanya tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab sosial, bukan tanggung jawab kesukuan.
Apa yang dilakukan Nabi SAW di atas dapat disebut sebagai revolusi mental dan kultural dalam arti yang sebenarnya. Revolusi yang dilakukan Nabi bersifat transformasional bukan transaksional dan universal bukan partikular. Wallahu a’lam.
Belum lagi di setiap rumah juga ada berhala yang mereka sembah. Nabi SAW berhasil mengubah mereka menjadi muwahhid sejati, yaitu orang-orang yang menyembah hanya kepada Allah SWT semata.
Nabi SAW juga berhasil membangun keadilan dan kesetaraan gender, juga mengajarkan kepada mereka adanya tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab sosial, bukan tanggung jawab kesukuan.
Apa yang dilakukan Nabi SAW di atas dapat disebut sebagai revolusi mental dan kultural dalam arti yang sebenarnya. Revolusi yang dilakukan Nabi bersifat transformasional bukan transaksional dan universal bukan partikular. Wallahu a’lam.
Oleh: A Ilyas Ismail