Senin, 13 Juli 2009

Kecenderungan Pemanasan Bumi Seharusnya Terbalik



Perubahan iklim sebenarnya telah hampir sepenuhnya disadari publik sejak 1980-an, tetapi belakangan ini isu pemanasan global sudah merupakan suatu keadaan baru yang mendesak. Barangkali tidak ada tempat di manapun juga di atas planet ini yang tidak terkena masalah perubahan iklim dan tindakan mendesak yang bersifat memperbaiki perubahan iklim ini lebih dirasakan oleh para ilmuwan dan para pemikir pada Worldwatch Institute (Institut Pemerhati Dunia) yang mana baru saja mengeluarkan laporan tahunannya, State of the World 2009: Into a Warming World (Keadaan Dunia 2009: Memasuki sebuah Dunia yang Panas).

Pada suatu konferensi pers 13 Januari lalu, menandai saat peluncuran buku tersebut, Presiden Worldwatch (Pemerhati Dunia), Christopher Flavin berbicara tentang betapa cepatnya isu perubahan iklim itu berkembang, “tersebar laksana kecepatan cahaya,” seperti yang ia tuliskan.

“Sayangnya, banyaknya perkembangan yang menuju pada peningkatan masalah yang mendesak dan perlunya bertindak lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya,” kata Flavin.

Emisi global meningkat 37 persen sejak 1992, ketika tindakan pertama diambil secara internasional ditujukan kepada perubahan iklim. Kita sedang bergerak “mendekati apa yang disebut ambang batas bahaya terganggunya sistem iklim.”

“Saya terpukul oleh meningkatnya tingkat kekuatiran (di antara) para ilmuwan dan kenyataan yang menyedihkan terhadap lambannya proses negosiasi di antara bangsa-bangsa,” yang telah “menggunakan bermacam alasan yang terus digunakan selama lebih dari satu dekade.”

Keseimbangan Planet Bumi Sudah Tak Seimbang

Pada Bab 1 dalam buku Into a Warming World (Memasuki sebuah Dunia yang Panas) dimulai dengan menceritakan perkembangan baru di daerah utara yang paling dingin: Selama tiga musim semi yang lalu, selama beberapa minggu, air yang menggantikan es tampak pada sebagian besar Artik sehingga memungkinkan kapal mengambil jalan pintas dari Atlantik ke Pasifik, yang biasanya hanya bisa melalui Terusan Panama atau Tanjung Harapan Baik (Cape of Good Hope).

“Sebelumnya tidak pernah ada dalam catatan sejarah manusia kapal yang dapat melakukan perjalanan seperti itu,” tulis Flavin dengan Robert Engelman, yang juga sebagai direktur proyek Worldwatch (Pemerhati Dunia) untuk State of the World 2009.
Sedikit gambaran perubahan yang mengindikasikan meningkatnya pemanasan planet bumi adalah suatu tanda peringatan dari buku. Sudah begitu mendesaknya sehingga kita harus segera mengurangi dan meniadakan emisi gas rumah kaca (Green-House Gas (GHG), sementara pada saat yang sama mempelajari bagaimana menyesuaikan diri pada perubahan iklim, kata dua penasehat ini dalam menyikapi perubahan iklim.

Into a Warming World, memberikan catatan yang terperinci terhadap masalah pemanasan global dalam suatu bahasa yang mudah dimengerti secara umum dan terbebas dari istilah-istilah yang ilmiah, dengan harapan bahwa masalahnya lebih mudah dipahami, sehingga para pemimpin pengambil kebijakan, organisasi-organisasi non pemerintah (NGOs, Non Goverment Organization), para akademisi dan orang-orang yang yang berkepentingan akan dapat benar-benar memahami masalah tersebut dan menuntut dengan tegas suatu perubahan yang terarah.

Dibalik analisa yang ada dan prediksi mengerikan yang dibahas dalam Into a Warming World, terletak harapan pada konferensi iklim internasional yang akan diselenggarakan di Copenhagen akhir 2009, dimana hasil yang dibuat dapat menyelamatkan iklim bagi masa depan peradaban manusia.

Kebutuhan yang mendesak dalam buku tersebut adalah tidak adanya ketergerakan hati untuk mengakhiri “emisi karbon dioksida (CO2) sampai 2050, agar terhindar dari bencana besar akibat terganggunya iklim dunia.” Secara obyektif kelihatannya hampir tidak mungkin terpenuhi. Namun buku tersebut tidaklah menyedihkan seperti yang mungkin Anda duga.

Penulis yang semuanya ada 47 orang itu sangat antusias, bahkan optimis terhadap peluang cara hidup baru bagi penghuni bumi dengan banyak cara:menggunakan energi yang dapat diperbaharui, peningkatan efisiensi dalam agrikultur (pertanian) dan kehutanan serta menghadapi kenaikan permukaan air laut dan ancaman kesehatan kaitannya dengan iklim yang lebih panas.

“…berbagai sumber daya, teknologi dan kesanggupan manusia untuk mengubah, semuanya ada di tempat. Sedangkan unsur yang hilang adalah kehendak politis, dan hal tersebut merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui,” kata Flavin dan Engelman.
Para pemimpin lambat dalam bertindak kata James Hansen dari NASA pada 23 Juni 1988, yang kali pertama menyuarakan peringatan sebelum Komite Senat menyatakankan bahwa catatan suhu tahunan bukan bervariasi secara acak tetapi itu diakibatkan oleh peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) dan gas-gas pencemar (polutan) lain.
Khususnya Amerika Serikat (AS), yang lamban seperti negara lainnya dalam mengambil tindakan, pertama pada 1992 dengan mengadopsi kerangka persetujuan PBB yang mencapai puncaknya di Protokol Kyoto 1997, yang mana keduanya baik pemerintahan Clinton maupun Bush menolak untuk masuk ke dalamnya.

Jurang pemisah untuk berubah semakin lebar dan dalam. Kembali pada saat penanda tanganan Protokol Kyoto, senat AS memberikan suara 95-0 “mencampakkan pengesahan itu dengan alasan bahwa itu akan merugikan ekonomi AS dan meninggalkan negara-negara berkembang, tanpa adanya rasa tanggung jawab membandingkannya secara tidak adil dengan dalih kemajuan ekonomi,” tulis Engelman.

Juga ada alasan-alasan ilmiahnya dan alasan untuk mengelak. Penelitian-penelitian iklim yang tidak dapat terbukti secara pasti menimbulkan sikap skeptis (tidak mudah percaya), sehingga dapat memperpanjang penerimaan terhadap pemanasan global. Namun waktu yang berharga telah hilang selama dua puluh tahun terakhir, emisi global naik dari 1 persen pada 1990-an sampai 3,5 persen setahun selama 2000-2007. Sebagian besar peningkatan dapat dianggap berasal dari Tiongkok.

“…konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfir telah meningkat dengan cepat selama 10 tahun terakhir dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya sejak mulai dilakukan pengukuran pada 1960,” kata W.L. Hare dalam bab 2, seorang ilmuwan iklim dari Institut Postdam Jerman, yang meneliti pengaruh iklim.

Kita akan sangat terlambat, jika tidak segera mengubah kecenderungan ini, peringatan kedua Hansen saat berbicara pada 23 Juni lalu, untuk menandai tepat 20 tahun dikeluarkan peringatannya itu. Kecenderungan emisi sekarang ini akan menaikkan suhu Bumi sampai 4-6°C (7,2-10,8°F) sampai akhir abad, sementara itu bumi sudah memanas lebih dari 0,7°C pada 100 tahun terakhir, kata Hare, peningkatan sebanyak itu berasal dari aktivitas manusia.

Sampai berapa tingkat “aman” dari pemanasan tersebut? Kesepakatan bersama dari para ilmuwan atas pertanyaan ini mengacu pada 1,3-1.4°C di atas tingkat era awal industri sekitar 1750. Di atas tingkat ini, maka risiko kekacauan sebagian besar ekosistem adalah yang paling utama, bahkan memungkinkan melelehnya hamparan es Greenland atau Antartika Barat.

“Sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa bahkan pada suatu pemanasan 2°C pun sudah merupakan risiko yang tidak dapat diterima dalam menyelamatkan sistem alam dan manusia,” kata Hare. Pengurangan emisi secara besar-besaran sangat diperlukan untuk mencapainya, tetapi yang secara teknis memungkinkan untuk mudah dilakukan. Jadi sekitar 1°C cocok untuk pemanasan global, Hare menyimpulkan bahwa emisi GHG akan mencapai puncaknya sebelum 2020 dan kemudian turun sampai 85 persen sampai 2050 di bawah tingkat emisi 1990, “Dan terus mengalami pengurangan sampai di bawah tingkat sekarang ini.”

Banyak strategi yang sedang dikembangkan dan dibahas dalam buku untuk mencapai tujuan ini. Satu contoh yang dibahas secara panjang lebar adalah untuk mengubah pertanian dan lahan garapan (terutama yang diperoleh dengan cara memangkas hutan) “untuk mendinginkan planet.”

Pada Bab 3, kami mempelajari bahwa lahan garapan dan lahan garapan peralihan (yang berasal dari hutan) tercatat kurang lebih “31 persen dari total emisi GHG yang dipancarkan manusia ke atmosfir,” menurut Sara J. Scherr dan Sajal Sthapit dari Eko-agrikultur. Mereka mengatakan bahwa sekarang ini memungkinkan bagi tumbuhnya tanam-tanaman untuk “memindahkan sejumlah besar karbon dari atmosfir serta menyimpannya dalam tumbuh-tumbuhan dan tanah…” dan ini adalah tindakan yang perlu sekali dilakukan untuk menopang makanan dan menghasilkan hutan dalam menanggapi perubahan iklim.

Salah satu metode yang dibahas adalah beralih dari pupuk anorganik ke pupuk organik, karena pupuk anorganik menyebabkan terlepasnya miliaran ton GHG setiap tahun. Mereka mengutip sebuah percobaan selama 23 tahun yang dilakukan oleh Institut Rodale yang menemukan bahwa dengan mengubahnya kembali ke organik, lahan pertanian jagung dan kacang kedelai seluas 65 juta hektare dapat menyita seperempat miliar ton karbon dioksida (CO2).

Peternakan merupakan sebuah faktor besar dalam emisi GHG dengan prosentasi 50 persen terhadap agrikultur dan lahan garapan peralihan. Kami mempelajari bahwa seekor sapi pada peternakan sapi “bertanggung jawab lebih banyak mengemisikan GHG dalam setahun dibandingkan dengan seseorang yang mengendarai sebuah mobil ukuran sedang sejauh 8.000 mil.” Penulis menyimpulkan mengurangi konsumsi daging sangat dibutuhkan pada masa mendatang, sebagaimana strategi dalam agrikultur.

Tiongkok dan Amerika berperan dalam emisi GHG

Sebagai negara yang perkembangannya paling cepat, Tiongkok merupakan sebuah keprihatinan khusus pada masa sekarang ini dan berpotensi mengemisikan GHG, kata Yingling Liu, dari Institut Worldwatch, di “Koneksi Iklim,” suatu bab khusus dari Into a Warming World. Tiongkok diperkirakan menghasilkan 24 persen dari GHG global, melebihi porsi AS yang 21 persen, tulis Liu.
Sekitar 85 persen emisi GHG Tiongkok berkaitan dengan ketergantungannya padabatu-bara sebagai energi. Kelihatan bahwa emisi GHG Tiongkok akan terus tumbuh selama kecepatan pertumbuhan ekonominya terus berlangsung, sehingga berdampak pada kondisi lingkungan global.

Tentu saja, berdasarkan perkapita Tiongkok jauh di bawah AS dalam emisi GHG-nya. Walaupun kami bersalah terhadap pemanasan global, karena selama ini AS menunjukkan perlawanan untuk melaksanakan pengurangan emisi, yang mana “secara tidak diragukan merupakan satu-satunya rintangan terbesar bagi tindakan internasional atas masalah tersebut,” kata Engelman.

Harapan tertumpu pada Kopenhagen


Para pemimpin negara-negara yang berperan sebagai pengambil kebijakan perlu memutuskan dalam bulan-bulan mendatang, sehingga mereka siap untuk bergerak cepat saat bertemu di konferensi Kopenhagen untuk konvensi perubahan iklim.

Secara kasar diperkirakan ada 200 bangsa bertemu pada Desember yang akan menyusun suatu protokol baru untuk mengganti Kyoto, yang sudah habis masa berlakunya pada 2012. Buku tersebut menyimpulkan bahwa mereka perlu sungguh-sungguh memutuskan bahwa bukan hanya krisis keuangan global seperti yang sudah kita alami sebelumnya, atau perang di Timur Tengah, atau kemiskinan dan kelaparan yang melanda dunia, atau serangan teroris yang lain, sehingga membuat mereka tidak mau melakukan pengelolaan emisi karbon dan harus memandang ancaman terhadap planet bumi sebagai prioritas nomor satu atau minimun sama kedudukannya dengan krisis-krisis lain.

“Persetujuan iklim apapun yang dibangun atas dasar kepura-puraan demi kemakmuran global semata perlu diberi sangsi hukum atas kelalaiannya,” kata Flavin dan Engelman. (pls)

Gary Feuerberg, The Epoch Times Jumat, 30 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar