Senin, 06 Juli 2009
Mengukur Kebebasan Beragama
Sejalan dengan makin kuatnya kampanye untuk mempertahankan dan memperkuat kebebasan beragama, sebagai bagian dari kebebasan sipil dan politik di dunia, para sarjana dan aktivis mulai mengembangkan cara-cara baru untuk memahami secara lebih mendetail dan mengukur secara lebih persis kebebasan beragama atau pelanggaran atasnya.
Hal ini ditandai oleh makin solidnya laporan tahunan tentang kebebasan beragama di dunia yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri (Deplu) AS. Belakangan, beranjak dari kritik mereka atas laporan tahunan ini, para sarjana dan aktivis mulai mengembangkan teknik-teknik baru di dalam mengukur kebebasan beragama.
Tulisan ini hendak melaporkan dan mendiskusikan perkembangan di atas secara ringkas, dan melihat relevansinya dengan upaya mempertahankan dan memperkuat kebebasan beragama di Indonesia. Saya akan memfokuskan perhatian pada laporan tahunan Deplu AS dan – yang paling baru – laporan keluaran Center for Religious Freedom (2008).
Juga yang Positif
Sejak September 1999, Deplu AS mengeluarkan laporan tahunan tentang kebebasan beragama di dunia – terakhir terbit September tahun lalu. Mereka mengeluarkan laporan ini untuk memenuhi salah satu missinya yang utama, yakni mempromosikan kebebasan beragama di dunia. Tujuan khususnya adalah untuk mendokumentasikan berbagai tindakan pemerintah yang terkait dengan kebebasan beragama, baik yang negatif atau positif.
Laporan ini mendokumentasikan pelanggaran kebebasan agama dalam lima kategori:
(1) Pelanggaran yang ditemukan di bawah rezim totalitarian dan otoritarian, yang hendak mengontrol ekspressi keagamaan warganya;
(2) Pelanggaran yang terjadi akibat permusuhan negara terhadap agama-agama minoritas tertentu atau yang tidak disetujui;
(3) Pelanggaran yang terjadi akibat kegagalan negara di dalam mengatasi baik diskriminasi atau pun pelanggaran sosial atas kelompok-kelompok agama tertentu;
(4) Pelanggaran yang terjadi ketika pemerintah membuat undang-undang atau peraturan atau menerapkan kebijakan tertentu yang mengistimewakan agama-agama mayoritas dan merugikan agama-agama minoritas; dan
(5) Praktik diskriminatif atas agama-agama tertentu dengan mengidentifikasi mereka sebagai sekte atau aliran yang berbahaya.
Laporan ini harus dipuji karena inilah laporan pertama yang mencakup semua negara di dunia. Sayangnya, sikap antipati banyak kalangan terhadap kebijakan pemerintah AS telah turut mendiskreditkan laporan itu. Kata kalangan ini, bukankah war on terror, yang dikomandani AS, telah menimbulkan banyak korban, termasuk persekusi atau kecurigaan baik negara maupun masyarakat terhadap kelompok-kelompok agamawan tertentu?
Saya kira, sekalipun kekecewaan terhadap kebijakan luar negeri Paman Sam itu mengandung kebenaran, mestinya hal itu tidak membutakan mata kita dari nilai penting laporan ini. Dalam hal ini mungkin baik jika kita mendengar pepatah orang pesantren: “Unzhur mâ qâla, wa lâ tanzhur man qâla” – lihatlah apa yang dikatakan seseorang, jangan lihat siapa yang mengatakannya.
Selain itu, kelebihan lain laporan ini adalah kesediannya untuk secara adil mendokumentasikan perkembangan tertentu yang dianggap positif dalam kebebasan beragama di satu negara. Ini tidak cukup umum, karena biasanya yang dilaporkan hanya yang buruk-buruk. Dan karena laporan ini sifatnya tahunan, kita jadi dimungkinkan untuk melihat ups and downs rekam jejak kebebasan beragama satu negara tahun demi tahun. Tapi, yang mungkin paling penting, laporan ini juga patut dipuji karena lima kategori yang dikembangkannya amat berguna. Lima kategori itu, khususnya yang keempat dan kelima, sensitif terhadap berbagai kemungkinan pelanggaran kebebasan beragama yang seringkali dianggap bukan pelanggaran. Bukankah kita sering menyaksikan bagaimana sebuah pemerintahan mengistimewakan tafsir tertentu atas satu doktrin agama, yang mengakibatkan persekusi atas golongan agama yang sama tetapi mendukung tafsir lainnya? Bukankah itu yang kita saksikan dalam kasus Lia Eden atai al-Qiyadah di Tanah Air? Juga kasus Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang akhir-akhir ini terus dipersekusi, sekalipun jamaah itu sudah ada di Indonesia sejak tahun 1924.
Tidak Komparatif
Sayangnya, sekalipun mencakup semua negara di dunia, laporan Deplu AS di atas hanya mendeskripsikan apa yang terjadi di masing-masing negara, dan tidak dengan sengaja membandingkannya satu sama lain. Ini patut disayangkan karena perbedaan yang ada di antara satu dan lain negara, yang tampak jika perbandingan seperti itu dilakukan, bisa membuka mata kita akan kelemahan-kelemahan tertentu dalam penghormatan kita akan kebebasan beragama.
Bandingkan misalnya rekam jejak kebebasan beragama di Indonesia dengan China atau Korea Utara. Kita patut bangga karena rekor kita tentunya lebih baik dibanding kedua negara itu, di mana rezim Komunis masih melarang ekspressi keagamaan apa pun. Rekor kita juga lebih baik dibanding kerajaan Arab Saudi, di mana penguasa melarang ekspressi Islam mana pun selain versi Wahhabisme. Sambil berbangga hati, kita patut terus waspada agar rekor itu tidak merosot menjadi lebih buruk.
Tapi kita akan memperoleh masukan penting lain jika rekam jejak kita dibandingkan misalnya dengan AS. Sementara kita hanya mengakui enam agama resmi, AS menghormati agama apa pun, bahkan ekspressi (keagamaan atau ketiadaannya) kalangan ateis atau humanis. Kita nanti bisa berdebat apakah ateisme, misalnya, bisa diberi ruang di Tanah Air. Tapi sekarang kita sedikitnya harus mulai menyadari bahwa persoalan itu ada, karena sila pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Sekali lagi, kesadaran itu bisa kita peroleh jika kita membandingkan dengan rekor kita dengan negara-negara lain, yang sayangnya tidak disediakan laporan Deplu AS.
Kekurangan lain laporan itu adalah bahwa laporan itu bermula dari draft yang dipersiapkan oleh berbagai kedutaan besar AS di dunia. Karena alasan ini, ada kecenderungan bahwa isinya terlalu lunak, karena bisa diduga bahwa para dutabesar tidak mau bermusuhan, atau terlibat dalam konfrontasi, dengan pemerintah di mana mereka bertugas. Bukankah, seperti dikatakan Sir Henry Wotten sedini tahun 1604, “Seorang dutabesar adalah seorang yang jujur yang dikirim ke luar negeri untuk berbohong demi kebaikan negaranya”?
Karena alasan yang sama, bahasa yang digunakan dalam laporan Deplu AS kadang cenderung mau “baik-baik”, sehingga hal itu bisa mengaburkan perkara yang sesungguhnya. Contohnya, dalam deskripsinya mengenai kebebasan beragama di Mesir, laporan itu menulis bahwa “Anggota-anggota minoritas non-muslim pada umumnya bisa beribadah tanpa gangguan”. Kalimat ini cenderung mengaburkan fakta bahwa kebebasan beribadah (worship) hanya satu dari kebebasan beragama, yang secara umum buruk di Mesir.
Indeks Tiga Dimensi
Kelemahan-kelemahan di atas dalam laporan Deplu AS, yakni ketiadaan perbandingan antarnegara dan kecenderungan para dubes dan staf mereka untuk berbaik-baik kepada para pejabat tempat mereka bekerja, menunjukkan perlunya satu hal: standar yang sama yang dapat diberlakukan secara universal untuk mengukur kebebasan beragama. Penyusunan standar ini merupakan tantangan tersendiri bagi para sarjana dan aktivis, karena disadari bahwa bagaimana agama dijalankan dan diatur sangat tergantung pada agama tertentu, praktik pemeluk agama-agama itu, dan rezim atau negara tempat di mana agama itu bernaung. Dengan kata lain, meskipun dimaksudkan berlaku universal, standar itu harus juga sensitif terhadap konteks lokal agama atau negara tertentu. Misalnya, bagaimana mengukur dukungan pemerintah kepada agama tertentu, padahal Islam tidak memiliki struktur kependetaan yang formal seperti ada dalam agama Katolik ?
Pada gilirannya, khususnya untuk tujuan perbandingan antarnegara, standardisasi di atas juga harus disederhanakan dalam bentuk kuantifikasi atas semua informasi yang diperoleh. Kuantifikasi dengan sendirinya mengakibatkan penyederhanaan. Tapi hal ini tak bisa dihindari, karena tanpanya perbandingan sulit, kalau bukan mustahil, dilakukan secara efektif.
Dalam Religious Freedom in the World (2008), disunting Paul A. Marshal, terutama dua hal itulah yang hendak diusahakan solusinya. Laporan ini diterbitkan oleh Center for Religious Freedom, yang berinduk pada Hudson Institute. Lembaga ini bertindak semacam cabang dari Freedom House, badan internasional yang terkenal menyoroti kebebasan sipil dan politik di dunia dan yang setiap tahun mengeluarkan laporan Freedom in the World. Berbeda dari induknya, Center for Religious Freedom khusus menyoroti kebebasan beragama. Pengkhususan ini penting karena kebebasan beragama mencakup beberapa segi HAM dalam dua pengertian: (1) Kebebasan badan atau organisasi tertentu, atau rumah ibadah, lembaga-lembaga agama, dan seterusnya, bukan individual; dan (2) Kebebasan seseorang di dalam menjalankan praktik-praktik agama – beribadah, berpakaian, berdakwah.
Dalam laporan ini, rekor kebebasan beragama negara-negara tertentu diukur berdasarkan tiga dimensi pembatasan kebebasan beragama. Tiga dimensi ini, yang pertamakali dikembangkan oleh Brian J. Grim dan Roger Finke (2006), dianggap mampu untuk diterapkan secara universal.
Yang pertama adalah pengistimewaan pemerintah terhadap kelompok-kelompok agama tertentu. Dimensi ini sering kali kurang diperhatikan, karena hal itu sudah dianggap “natural”, given, di satu konteks nasional tertentu. Misalnya, negara-negara tertentu seperti Indonesia mengistimewakan “agama-agama historis” tertentu, yang mengakibatkan berkurangnya kebebasan agama-agama lain yang tidak diakui sebagai agama resmi. Negara-negara lainnya, seperti Yunani, hanya mengistimewakan Gereja Ortodoks.
Pengistimewaan ini melibatkan, dalam istilah ekonomi, sanksi-sanksi “positif” tertentu, di mana perlakuan khusus atas kelompok-kelompok agama tertentu mengakibatkan meningkatnya kebebasan kelompok-kelompok itu dengan ongkos – artinya, makin merosotnya – kebebasan kelompok-kelompok agama lainnya. Salah satu bentuk pengistimewaan itu adalah bahwa kelompok-kelompok tersebut memperoleh dana publik untuk pembangunan atau pengurusan tempat ibadah, pendidikan, dan lainnya.
Penting diperhatikan bahwa derajat pengistimewaan itu berbeda dari satu negara ke negara lain. Misalnya di Irak, di mana kaum muslim Sunni memperoleh perlakuan istimewa di bawah Saddam Husein. Pengistimewaan ini bisa jadi salah satu bentuk kontrol negara, misalnya dalam rangka menghentikan atau mengurangi kritik kalangan agamawan terhadap pemerintah. Tapi pengistimewaan itu bisa jadi sumber kekerasan agama, ketika sebuah pemerintahan jatuh, seperti yang terjadi di Irak sepeninggalan Saddam Husein.
Yang kedua adalah peraturan pemerintah yang membatasi kebebasan beragama. Dimensi ini beragam dalam intensitas dan bentuknya. Di negara-negara seperti Arab Saudi, peraturan yang ada sangat keras, di mana pesaing Wahhabisme tidak punya hak hidup. Di negara lain seperti Nigeria, peraturan itu sifatnya regional, di mana penerapan hukum Syari`ah dilaksanakan hanya di 12 wilayah negara itu. Di negara lainnya lagi, larangan itu diberlakukan khusus kepada kelompok agama tertentu seperti Jehovah’s Witness.
Dalam dimensi kedua ini, yang disoroti bukan saja apakah undang-undang atau peraturan sebuah negara menghormati kebebasan beragama, tapi juga apakah undang-undang atau peraturan itu dijalankan. Yang juga disoroti adalah apakah pemerintah turut campur dalam mengatur kebebasan seseorang untuk beribadah, melarang misionaris internasional atau lokal bekerja, atau membatasi upaya dakwah, pindah agama, dan lainnya.
Yang ketiga adalah regulasi sosial yang membatasi kebebasan beragama. Di sini, yang disoroti adalah sejauh mana kelompok-kelompok agama tertentu membatasi kebebasan beragama kelompok-kelompok lain. Seperti dapat disaksikan di Indonesia, regulasi sosial ini kadang bisa lebih membatasi kebebasan beragama seseorang atau satu kelompok dibanding pemerintah atau aturannya. Di negara-negara lain seperti Pakistan atau Afghanistan, praktik perpindahan agama, misalnya, bisa mengakibatkan kematian.
Dalam dimensi ini juga disoroti kasus di mana kelompok-kelompok agama tertentu mendukung atau menentang pemerintah, sehingga dari sana muncul peraturan tertentu yang berakibat pada terhambatnya kebebasan beragama satu kelompok. Di Indonesia, kita bisa mengatakan bahwa tumbuhnya perda-perda bernuansa Syari`ah adalah salah satu contoh gejala ini.
Untuk ketiga dimensi di atas, laporan ini memanfaatkan tiga indeks yang juga sudah dikembangkan oleh Grim dan Finke, yakni berturut-turut Government Favoritism of Religion Index (GFI), Government Regulation of Religious Index (GRI), dan Social Regulation of Religion Index (SRI). Dalam laporan, ketiga indeks ini digabungkan, untuk memperoleh skor keseluruhan kebebasan beragama sebuah negara. Untungnya, selain angka-angka yang dihasilkan dari indeks ini, laporan juga menyertakan deskripsi naratif mengenai kebebasan beragama di satu negara, lengkap dengan data-data kasar tentang negara bersangkutan.
Indonesia
Kita harus belajar dari laporan-laporan di atas untuk kemajuan advokasi kebebasan beragama di Tanah Air. Bukan saja isi laporannya, tapi juga metode yang digunakan untuk menghasilkannya.
Pertama-tama, seperti sudah saya singgung, dengan membaca laporan-laporan ini, wawasan kita mengenai kualitas kebebasan beragama kita bisa diperluas dengan membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain. Tanpanya, kita akan puas dengan diri sendiri, seperti katak dalam tempurung. Atau, sebaliknya, menjadi frustrasi karena begitu seringnya kita didera informasi mengenai pengekangan kebebasan beragama di Tanah Air.
Kedua, laporan-laporan ini juga patut ditiru karena kesediannya untuk berkata apa adanya mengenai rekor kebebasan beragama satu negara, dengan antara lain menyeimbangkan laporan perkembangan yang negatif maupun positif. Pendeknya, laporan-laporan itu hanya mendokumentasikan, tidak dilakukan dengan maksud menjelek-jelekkan satu pemerintahan. Kadang kita tidak terlatih untuk bersikap obyektif seperti ini. Padahal, advokasi yang baik adalah advokasi yang didasarkan atas dokumentasi yang lengkap dan apa adanya.
Akhirnya, menarik juga untuk memikirkan kemungkinan membuat ranking kualitas kebebasan beragama di antara berbagai daerah di Tanah Air. Ini dimungkinkan karena Indonesia dicirikan antara lain oleh terkonsentrasinya pemeluk agama tertentu di daerah tertentu. Jangan-jangan hambatan untuk membangun rumah ibadah tidak saja dialami oleh umat Kristen di Jawa, tetapi juga oleh umat Islam di daerah seperti Menado atau Papua. Bedanya, yang hendak dibangun dalam kasus pertama adalah gereja, di kasus yang terakhir masjid!***
Ditulis oleh Ihsan Ali-Fauzi
Sumber : WWW.Madina.co.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar