Senin, 06 Juli 2009

DR. Aafia dan Dusta FBI


Kisah Aafia Siddiqui jauh lebih tragis dari kisah The Man in The Iron Mask karya Alexandre Dumas. Yang paling menyedihkan, bahwa ini kisah nyata, walau terasa ajaib dan sukar diterima akal sehat.

Aafia Siddiqui meraih gelar doktor di Massachussets Institute of Technology, Amerika. Ia hilang di Karachi pada Maret 2003, bersama tiga anaknya yang waktu itu berusia sebulan (paling kecil) dan 7 tahun (paling besar). Baru setelah namanya disebut-sebut oleh Moazzam Begg, seorang tahanan Guantanamo asal Inggris yang telah bebas, dalam buku The Enemy Combatant (2005). Begg menulis tentang “Tahanan 650” di Bagram Base, Afghanistan.

Ada dugaan kuat, bahwa Tahanan 650 adalah Aafia Siddiqui, 32, salah satu “orang Pakistan hilang” yang diduga banyak orang terkait dengan operasi intelijen AS dan Pakistan dalam Perang Melawan Teror. Penyebutan nama Aafia menarik perhatian jurnalis dan aktivis Organisasi HAM asal Inggris, Yvonne Ridley. Yvonne bersama anggota parlemen Inggris Lord Nazir Ahmed, menyelidiki dan mengangkat kasus Aafia ke permukaan. Pada 6 Juli 2008, Yvonne menyerukan secara terbuka pertolongan internasional bagi Aafia.

Dari penyelidikannya sebagai wartawan, Yvonne mendengar kabar mengerikan soal Tahanan 650 yang beredar dari mulut ke mulut. Tahanan itu dikurung dalam sel khusus, konon disiksa dan diperkosa secara rutin. Suara lolongan dan jeritan Tahanan 650 selalu menghantui sesiapa yang pernah mendengarnya di penjara. Yvone menyebut Tahanan 650 sebagai The Grey Lady, Perempuan Kelabu.

Baik pemerintah Pakistan maupun pemerintah AS yang dianggap Yvonne paling bertanggungjawab terhadap nasib Aafia atau Tahanan 650 menampik tahu-menahu soal hilangnya Aafia dan ketiga anaknya. Sebaliknya, pemerintah AS malah meyakini sampai hari ini bahwa Aafia adalah salah satu dalang teror Al-Qaeda. Saat Aafia dan ketiga anaknya masuk daftar orang hilang, pemerintah AS dan FBI malah mengumumkannya sebagai daftar buron yang hilang.

Pada konferensi pers Mei 2004, Jaksa Agung John Ashcroft dan Direktur FBI Robert Mueller III mengumumkan 7 buronan yang dicurigai terkait Al-Qaeda. Salah satunya, Aafia, satu-satunya perempuan dalam daftar itu. Media massa Barat menyuburkan prasangka dan khayalan eksotik tentang seorang perempuan muslim berkerudung ahli neuroscience dari MIT, sebagai agen penyusup sekaligus otak teror senjata kimia yang akan dikembangkan oleh Al-Qaeda.

Dan tiba-tiba saja, setelah gencarnya seruan internasional seperti Amnesti Internasional dan berbagai lembaga HAM Asia, untuk memeriksa nasib Aafia dan ketiga anaknya, awal Agustus 2007, FBI mengumumkan telah menangkap Aafia (dengan anaknya tertua, kini berusia 12) di Afghanistan pada 17 Juli 2008. Ia segera disidang, dengan tuduhan telah membahayakan jiwa tentara AS di Afghanistan.

Menurut tuduhan itu, pada 18 Juli 2008, beberapa agen FBI, penerjemah, dan tentara AS ke ruangan tempat seharusnya Aafia berada. Aafia tak ada. Beberapa tentara AS tak lantas mencari Aafia, tapi duduk dengan senjata mereka di ruangan itu. Tiba-tiba, kata laporan itu, Aafia menyerbu dari balik tirai, dan berusaha menembaki semua orang. Pada saat itulah Aafia ditembak.

Itulah mengapa pada saat persidangan di New York pada 11 Agustus 2008, Aafia harus duduk di kursi roda, keadaannya lemah, dan tampak tak mampu berkomunikasi dengan baik. Pengacara Aafia, Elaine Whitfield Sharp, berulangkali mengajukan protes atas perawatan buruk yang diterima Aafia. Pada sidang itu, Elizabeth Fink, salah seorang tim pengacara Aafia, meminta hakim memerintahkan agar Aafie dirawat dokter. “Ia sudah seminggu di Amerika, dan tak ada dokter yang menemuinya. Padahal para penahannya tahu belaka ia korban penembakan.”

Salah seorang jaksa dalam sidang itu, Christoper LaVigne, memberi alasan tidak diberikannya perawatan medis itu karena Aafia dianggap punya “risiko keamanan tinggi.” Hakim Robert Pitman memerintah jaksa memastikan Aafia mendapat perawatan dokter dalam waktu 24 jam.

Pada 4 September 2008, Aafia menolak hadir di persidangan sebagai protes terhadap penistaan yang, menurutnya, ia alami setiap kali akan bersidang, termasuk saat persiapan dan harus bertemu pengacaranya. Setiap kali persiapan itu, menurut Fink, Aafia dipaksa strip search, digeledah dengan melucuti pakaiannya hingga telanjang, disaksikan orang-orang yang menjaga serta pengacara Aafia.

Sementara pada 15 September 2008, pemerintah Afghan menyerahkan kepada pemerintah Pakistan anak kedua Aafia, Muhammad Ahmed, yang ikut hilang 5 tahun lalu bersama ibunya. Ia kini 10 tahun. Ketiga anak Aafia lahir di Amerika, dan karenanya adalah warga negara AS.

Komentar Yvonne yang keras tentang kasus ini bergema ke publik. Bagi Yvonne, kredibilitas FBI telah hilang sejak lama. Lebih-lebih dalam kasus orang-orang hilang sehubungan dengan “Perang Melawan Teror” pasca 11 September 2001. Lebih-lebih lagi, dalam kasus Aafia Siddiqui ini. Dengan berang, Yvonne menyebut FBI sebagai Fantasy Brigade International untuk segala kebohongan mereka.***

Sumber: WWW.Madina.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar