Minggu, 08 Februari 2015

NAFSU MUTHMAINNAH


A’uudzu billaahi minasysyaithaanir rajiim

Bismillahirrahmaniraahim...

Assalamu’alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuhu ,

Perjuangan para hamba ALLAH yang mencari keutamaan berakhir pada hawa nafsunya. Maka barang siapa yang mampu menundukkan hawa nafsunya (Taat dan Ridho terhadap apa yang telah ALLAH berikan , berbagai macam ujian kehidupan di hadapi tetap dalam keimanan , ke qana’ah’an dan ketaatan (ber-amal Sholeh) maka ia akan berbahagia karena telah mendapatkan kemenangan = Ridho ALLAH Subhana Wa Ta’ala => Surga Ad’n , jadi yang di perjuangkan hamba ALLAH yang beriman , yang faham dengan segala amal Sholeh/a nya itu , bukan lah menjemput Surga yang dijanjikan ALLAH Subhana Wa Ta’ala tapi menjemput ridho-Nya , dengan Ridho-nya ALLAH itu lah hamba ALLAH itu bisa menempati Surga yang dijanjikan. 

Nafsu Muthmainnah (مطمئنّة) adalah peringkat nafsu yang tertinggi yang perlu kita berusaha untuk mencapainya.

Ibnu Abbas berkata, “nafsu muthmainnah ialah nafsu yang membenarkan”.
Dalam arti kata lain, perkataan beliau mungkin bermakna nafsu yang membenarkan dan yakin dengan segala yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w.

Sheikh Dr. Ahmad Farid mengulas tentang ciri-ciri nafsu muthmainnah: “Bila nafsu terasa damai dengan Allah, merasa tenteram dan tenang dengan mengingatiNya, suka kembali kepadaNya, merasa rindu ingin berjumpa denganNya dan merasa senang berdekatan denganNya, itulah yang disebut sebagai nafsu muthmainnah“.

Banyak lagi pengertian yang lain. Saya simpulkan arti nafsu muthmainnah ini sebagai nafsu yang jiwanya sentiasa tenang, khusyuk dan akrab dengan Allah, jiwa yang betul-betul teguh aqidahnya, sentiasa redha atas segala ketentuan dan tunduk dengan perintah Allah, serta dimanifestasikan seluruh keteguhan iman dan cinta kepada Allah itu dengan keinginan yang kuat untuk giat beramal soleh. 

Tentang kemuliaan nafsu muthmainnah ini, ganjarannya ialah keredhaan Allah dan dimasukkan ke dalam syurga di mana terletaknya puncak kebahagiaan yang tidak terbanding.
-------------------------------------------------------------------------------
Al Fajr 27 – 30

يٰٓأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
yaa ayyatuhaa alnnafsu almuthma-innatu
Wahai jiwa yang tenang (Al Fajr , 89 : 27)

ارْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
irji'ii ilaa rabbiki raadiyatan mardhiyyatan
kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai. ( Al Fajr , 89 : 28)

فَادْخُلِى فِى عِبٰدِى
faudkhulii fii 'ibaadii
Maka masuklah kedalam golongan hamba-hamba-Ku ( Al Fajr , 89 : 29)

وَادْخُلِى جَنَّتِى
waudkhulii jannatii
dan masuklah kedalam surga-Ku” (Al Fajr , 89 : 30)

----------------------------------------------------------------------------

Siapakah yang disebut Nafsul-Muthmainnah?

Al-Qur’an sendiri menyebutkan tingkatan yang ditempuh oleh nafsu atau diri manusia. Pertama Nafsul Ammarah, yang selalu mendorong akan berbuat sesuatu di luar pertimbangan akal yang tenang. Maka keraplah manusia terjerumus ke dalam lembah kesesatan karena nafsul-ammarah ini. (Lihat Surat 12, Yusuf; ayat 53).

Bilamana langkah telah terdorong, tibalah penyesalan diri atas diri. Itulah yang dinamai Nafsul-Lawwamah. Itulah yang dalam bahasa kita sehari-hari dinamai “tekanan batin”, atau merasa berdosa. Nafsul-Lawwamah ini dijadikan sumpah kedua oleh Allah, sesudah sumpah pertama tentang ihwal hari kiamat. (Surat 75, Al-Qiyamah ayat 2).

Demikian pentingnya, sampai dijadikan sumpah. Karena bila kita telah sampai kepada Nafsul-Lawwamah, artinya kita telah tiba dipersimpangan jalan; atau akan menjadi orang yang baik, pengalaman mengajar diri, atau menjadi orang celaka, karena sesal yang tumbuh tidak dijadikan pengajaran, lalu timbul sikap yang dinamai “keterlanjuran”.
Karena pengalaman dari dua tingkat nafsu itu, kita dapat naik mencapai “An-Nafsul-Muthmainnah”, yakni jiwa yang telah mencapai tenang dan tenteram. Jiwa yang telah digembleng oleh pengalaman dan penderitaan. Jiwa yang telah melalui berbagai jalan berliku, sehingga tidak mengeluh lagi ketika mendaki, karena di balik pendakian pasti ada penurunan. 

Dan tidak gembira melonjak lagi ketika menurun, karena sudah tahu pasti bahwa dibalik penurunan akan bertemu lagi pendakian. Itulah jiwa yang telah mencapai Iman! Karena telah matang oleh berbagai percobaan.

Jiwa inilah yang mempunyai dua sayap. Sayap pertama adalah syukur ketika mendapat kekayaan, bukan menepuk dada. Dan sabar ketika rezeki hanya sekedar lepas makan, bukan mengeluh. Yang keduanya telah tersebut dalam ayat 15 dan 16 tadi.
Jiwa inilah yang tenang menerima segala khabar gembira (basyiran) ataupun khabar yang menakutkan (nadziran).

Jiwa inilah yang diseru oleh ayat ini:

“Wahai jiwa yang telah mencapai ketentraman.” (ayat 27). Yang telah menyerah penuh dan tawakkal kepada Tuhannya: Telah tenang, karena telah mencapai yakin: terhadap Tuhan.

Berkata Ibnu ‘Atha’: “Yaitu jiwa yang telah mencapai ma’rifat sehingga tak sabar lagi bercerai dari Tuhannya walau sekejap mata.” Tuhan itu senantiasa ada dalam ingatannya, sebagai tersebut dalam ayat 38 dari Suray 13, Ar-Ra’ad.

Berkata Hasan Al-Bishri tentang muthmainnah ini: “Apabila Tuhan Allah berkehendak mengambil nyawa hamba-Nya yang beriman, tenteramlah jiwanya terhadap Allah, dan tenteram pula Allah terhadapnya.”

Berkata sahabat Rasulullah SAW ‘Amr bin Al-‘Ash (Hadis mauquf): “Apabila seorang hamba yang beriman akan meninggal, diutus Tuhan kepadanya dua orang malaikat, dan dikirim beserta keduanya suatu bingkisan dari dalam syurga. Lalu kedua malaikat itu menyampaikan katanya: “Keluarlah, wahai jiwa yang telah mencapai keternteramannya, dengan ridha dan diridhai Allah.
Keluarlah kepada Roh dan Raihan. Tuhan senang kepadamu, Tuhan tidak marah kepadamu.” 

Maka keluarlah Roh itu, lebih harum dari kasturi.”
“Kembalilah kepada Tuhanmu, dalam keadaan ridha dan diridhai.” (ayat 28). 
Artinya: setelah payah engkau dalam perjuangan hidup di dunia yang fana, sekarang pulanglah engkau kembali kepada Tuhanmu, dalam perasaan sangat lega karena ridha; dan Tuhan pun ridha, karena telah menyaksikan sendiri kepatuhanmu kepada_nya dan tak pernah mengeluh.

“Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku.” (ayat 29). 
Di sana telah menunggu hamba-hamba-Ku yang lain, yang sama taraf perjuangan hidup mereka dengan kamu; bersama-sama di tempat yang tinggi dan mulia. Bersama para Nabi, para Rasul, para shadiqqin dan syuhadaa. “Wa hasuna ulaa-ika rafiiqa”; Itulah semuanya yang sebaik-baik teman.

“Dan masuklah ke dalam syurga-Ku.” (ayat 30). 
Di situlah kamu berlepas menerima cucuran nikmat yang tiadakan putus-putus daripada Tuhan; Nikmat yang belum pernah mata melihatnya, belum pernah telinga mendengarnya, dan lebih daripada apa yang dapat dikhayalkan oleh hati manusia.

Dan ada pula satu penafsiran yang lain dari yang lain; yaitu annafs diartikan dengan roh manusia, dan rabbiki diartikan tubuh tempat roh itu dahulunya bersarang. Maka diartikannya ayat ini: “Wahai Roh yang telah mencapai tenteram, kembalilah kamu kepada tubuhmu yang dahulu telah kamu tinggalkan ketika maut memanggil,” sebagai pemberitahu bahwa di hari kiamat nyawa dikembalikan ke tubuhnya yang asli. 
Penafsiran ini didasarkan kepada qiraat (bacaan) Ibnu Abbas, Fii ‘Abdii dan qiraat umum Fii “Ibaadil.

Wallahu A’lam Bishshawaabi.
Wassalamu’alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuhu ,






2 komentar: